MERETAS IMPIAN

2014-04-23 / EVA SUSANTI / MERETAS IMPIAN / Bahasa Indonesia / Tidak ada


MERETAS IMPIAN


Banyak alasan yang membuat aku memilih Taiwan menjadi tempat mengadu nasib, selain karena aku melihat banyak warga di desaku yang sudah sukses setelah pulang bekerja dari Taiwan. Sebagian banyak dari mereka sudah berhasil membangun rumah minimalis sederhana,  juga memiliki berpetak-petak tanah. Seperti Bu Rokayah, tetanggaku. Selama sembilan tahun di Taiwan, janda dua anak ini, sudah berhasil memiliki rumah minimalis sederhana, sepeda motor, juga dua anaknya yang sudah berhasil lulus Universitas.



Impian. Ya, tentang impian itulah aku pun ingin merubah nasibku, yang hanya jadi pengrajin sapu dari sabut kelapa. Usaha yang 100% masih menggunakan tenaga manual ini, memperoleh penghasilan yang kurang sepadan dengan tenaga yang kami keluarkan. Proses pengolahan sabut kelapa hingga menjadi sapu jadi, lumayan menguras waktu. Pasalnya sabut kelapa segar harus direndam terlebih dahulu sebelum proses pemukulan menggunakan 'palu khusus' sampai sabut terurai, setelah itu masuk ke proses pengeringan dengan menjemurnya di bawah terik matahari.  Terahir, proses penjahitan. Dengan lambatnya proses ini, kami hanya mampu menghasilkan sapu  sekitar 100 buah dalam satu minggu, meski banyak permintaan.  Tugasku memang lebih ringan karena hanya menjahit sapu saja. Suamikulah yang bertugas memukul sabut segar hingga terurai.  Jika saja, kami memiliki modal untuk membeli mesin pengurai sabut, mungkin proses pembuatan lebih singkat.  Karena ingin memperbaiki usaha kami ini, aku bertekad  bekerja ke Taiwan, keinginan terbesarku memiliki mesin pemroses sabut kelapa. Dan memiliki sebuah home industri.


Aku hidup dalam lingkungan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tak heran memang. Meski Indonesia sendiri mengakui adanya enam agama yang sah. Diantaranya: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu ( Confusius). Tapi pemeluk agama Islam di Indonesia mencapai prosentase 87, 18%. (menurut data sensus tahun 2010) yang dalam arti Islam agama nomer satu di Indonesia. Dan  bahkan Indonesia tercatat sebagai pemeluk agama Islam terbanayak di dunia.


Nah, memilih Taiwan sebagai tujuan negara untuk bekerja, sebenarnya sempat menjadi dilema sendiri dalam batinku. Mengingat Taiwan adalah negara yang mayoritas pemeluk agama Budha. Tapi, bukankah ideologi dasar dari negara Indonesia sendiri meyakini 'Ketuhanan Yang Maha Esa' yang dalam arti, mengakui dan menyakralkan keberadaan agama tidak hanya Islam. Itu artinya meski aku tidak berinteraksi langsung dengan umat agama Budha, sebenarnaya sejak lahir, aku sudah hidup berdampingan dalam satu atap Indonesia. Dengan umat Budha. Karena pemikiran inilah, membuatku  terus maju dan tidak menyurutkan keinginanku bekerja ke Taiwan.


Selama tiga bula, aku di karantina di PJTKI. Menjalani latihan bahasa Mandarin, juga praktek merawat orang jompo. Tidak mudah menjalaninya, apalagi ini kali pertamanya aku berpisah dengan suami, dan anak semata wayangku,  dalam waktu yang cukup lama. Rasa rindu pada mereka hanya mampu aku uraikan dalam tangis, dan doa disetiap sholatku. Tiga bulan di PJTKI, baru awal perjuanganku karena di Taiwan nanti, aku harus menjalani kontrak selama tiga tahun. Aku hanya berdoa semoga Allah SWT selalu melindungi keluargaku.



Saat aku  meninggalkan Inonesia, melangkah maju pada sebuah tujuan yang entah ... , aku sendiri tak mampu menerawangnya. Taiwan seperti apa? Nanti majikanku bagaimana? Pasien yang aku jaga baik tidak? Beribu pertanyaan melintas dalam fikiranku,  ketika pesawat China Airlines, membawaku menemui tujuanku, Taiwan.



Taichung, Wuchi distric. Di sini lah tempatku bekerja. Menjaga seorang Ama berusia 83 tahun, yang menderita penyakit kencing manis. Sebenarnya Ama masih bisa berjalan. Tapi, dengan  bantuan tongkat berkaki empat. Akupun juga hanya tinggal bertiga saja. Aku, Akong, dan Ama. Sempat ada kendala karena Ama yang aku jaga hanya bisa berinteraksi dengan bahasa Tayi saja. Sementara di PJTKI dulu bahasa yang aku pelajari adalah bahasa Mandarin. Untunglah Akong bisa bahasa Mandarin, jadi Akonglah yang jadi penerjemah antara aku dan Ama. Keadaan seperti ini tidak berlangsung lama, karena tidak perlu waktu lama, akupun bisa menguasai bahasa Tayi, meski masih terbata-bata. Beruntung, Ama dan Akong mereka sabar mengajariku hingga aku benar-benar lancar bisa bahasa Tayi.


Pada awal aku bekerja, dengan kemampuan bahasa Mandarinku yang pas-pasan. Aku mengutarakan keinginanku untuk beribadah sesuai keyakinanku, yaitu sholat lima waktu. Aku menerangkan bahwa aku meminta izin lima belas menit untuk sholat. Diantaranya pada waktu pukul dua belas siang, untuk sholat dzuhur, dan pukul tiga sore, untuk sholat ashar. Karena waktu sholat magrib (pukul, 18:00), isya ( pukul, 19:00), dan subuh (pukul, 04:50). Aku sudah istirahat di dalam kamar dengan Ama. Akong mengizinkanku, begitupun Ama yang memang tidur satu kamar denganku,  hanya diam melihat  aku sholat di dalam kamar. Setelah aku sholat, seperti biasa. Ama menanyaiku, "sudah selesai sembahyangnya?"
"Ya" jawabku. Lalau kami tidur dalam balutan satu selimut berdua.


Ketika bulan ramadhan tiba, bulan dimana umat muslim menjalankan rukun Islam yang ke tiga, yaitu puasa. Aku kembali meminta izin pada Akong dan Ama,  sambil menerangkan aku tidak ikut makan siang dan malam dengan mereka selama satu bulan, karena aku hanya makan pada malam hari dan dini hari saja. Permintaanku membuat Akong dan Ama kaget.
"Satu bulan?" tanya Akong.
"Ya" jawabku.
"Ya sudah kalau begitu, kamu makan manthou saja ya, kalau lapar!" tambah Akong lagi.
"Tidak, Akong. Aku bukan  hanya tidak makan nasi saja, tapi minum airpun tidak boleh!" terangku pada Akong. Aku lihat Akong sempat menggelengkan kepala.

"Apa kau yakin tidak makan dan minum seharian?" tanyanya lagi, aku tau ada raut cemas di wajahnya.
"Jangan hawatir Akong, dari kecil aku sudah terbiasa berpuasa di bulan ramadhan ini." Aku meyakinkan Akong.
"Baiklah kalau begitu, kau atur sendiri saja ya! Awas jangan sampai sakit!" pesannya.
"Baiklah, terima kasih banyak" jawabku sumringah. Bulan puasa di Taiwan adalah saat musim panas tiba, dimana siang lebih panjang dari malam. Mulai dari waktu imsyak pukul 4:30, dan maghrib pukul 19:00. Meski harus menahan lapar selama 14 jam lebih. Tapi, yang aku rasakan adalah rasa syukur, karena aku bisa diberi kesempatan menjalankan kewajibanku berpuasa.



Kenyataannya, memang sangat sulit menerima warga asing masuk dan berbaur dalam kehidupan kita. Sebagai contoh kita sendiri warga Indonesia, sering berselisih paham bahkan ada juga yang berujung dengan perkelahian serta pembunuhan antara sesama pekerja asing di sini. Jadi menurutku kita patut meniru bagaimana warga Taiwan bisa menerima dengan tangan terbuka warga asing, dan memberikan toleransi beragama, serta budaya yang kita bawa dari negara masing-masing.


Dihargai, dicintai, intulah yang aku rasakan. Mereka bahkan tidak mempunyai garis keluarga denganku, tapi begitu menghormatiku, agamaku, seperti juga dalam hal larangan makan daging babi. Akong bahkan selalu memberitahu, makanan mana yang mengandung babi dan tidak.  Meski kadang masyarakat Taiwan kurang mengerti kenapa kami tidak memakan daging babi. Seorang teman Amaku berkata.

"Ini lang bo jia ti ba" ("orang Indonesia tidak makan daging babi")  setelah tahu kalau aku orang Indonesia. Atau setiap aku membeli sarapan pagi di kedai-kedai yang menjual sarapan pagi.  Setelah aku pesan menu dengan menggunakan daging ayam. Nona-nona itu bertanya.
"Ni she Ini ren ma? Ini ren meyo ce curou!" (kamu adalah orang Indonesia? Orang Indonesia tidak makan daging babi!").
Sebenarnya aku ingin menjelaskan pada mereka, bukan karena aku orang Indonesia lantas tidak makan daging babi. Karena  tidak ada undang-undang pemerintah Indonesia yang melarang warganya memakan daging babi. Melainkan, karena aku seorang muslim, yang diharamkan memakan daging babi. Menurut ajaran Islam.  Di pasar-pasar tradisional di Indonesia, juga banyak yang menjual daging babi, yang memang diperuntukan untuk warga non muslim.


Setelah hampir tiga tahun aku bekerja di Taiwan, kini setidaknya aku bisa tersenyum lega. Tatkala mendengar kabar dari suamiku dari Indonesia, impianku memiliki home industri terkabul sudah. Pabrik kecil kami kini memiliki dua mesin pemroses sabut kelapa dan 12 pekerja. Dengan penjualan sapu yang perharinya mencapai 500 buah. Sudah enam bulan ini,  pabrik yang dinamai 'Pabrik Sapu Ayu' berdiri.  Suamiku sudah bisa  menghitung keuntungan bersih yang kami peroleh. Yaitu kisaran empat juta rupiah. Tidak jauh berbeda dengan gajiku di Taiwan.

"Ayu, setelah kontrakmu selesai. Pulanglah. Kau tidak perlu bekerja ke luar negri lagi! Pabrik kita sudah berdiri. Dan berjalan lancar. ini semua karena pengorbananmu. Terima kasih, istriku. Mari kita jaga buah hati kita bersama." pesan singkat yang masuk pada ponselku. Dari suamiku. Membuatku bersujud syukur. Sebuah pengorbanan, yang kami bayar mahal dengan melepas kebersamaan selama ini. Terbayar lunas sudah oleh keberhasilan.


Betapa aku sangat bersyukur mendapatkan majikan sebaik Akong dan Ama yang aku jaga, dalam perjuanganku meretas impian di Formosa. Mereka dengan jiwa besarnya memberiku toleransi beragama yang begitu tulus. Tidak membatasiku dalam beragama.
Artikel ini sengaja aku tulis,  sebagai ungkapan rasa terima kasihku pada mereka, Akong, Ama. hingga aku merasa Taiwan adalah rumah keduaku.



Tamat.