Tangga Kehidupan

2015-3-15 / Zikriani Putri / Tangga Kehidupan / Indonesia 印尼 / tidak ada



            Tangga Kehidupan

  Ada banyak hal dalam hidup ini yang tidak kita ketahui, kejutan-kejutan yang terkadang kita harus siap menerimanya. Baik itu manis maupun pahit, kalau kita yakin itu semua adalah hadiah dari sang pencipta agar kita bisa menaiki setiap anak tangga ujian dari-Nya. Hingga kita sampai di puncak tangga kehidupan.

   Namaku  Amy Laras Sati , Sebuah nama yang bagiku cukup indah pemberian dari orang tuaku.   Aku anak pertama dan mempunyai seorang adik laki -laki yang selisih empat tahun.   Bapakku hanya seorang pedagang buah keliling yang penghasilannya tidak tentu. Sedangkan, Ibu sebagaimana kebanyakan ibu-ibu lainnya menjadi ibu rumah tangga. Namun, terkadang ibu juga menjadi buruh tani apa bila ada yang membutuhkan jasanya.  Besar keinginanku setelah lulus sekolah aku bisa bekerja agar bisa membantu meringankan  beban orang tuaku. Namun, Bapak tidak mengizinkan aku untuk bekerja. Aku  dijodohkan dengan anak  teman Bapakku. Bagaimana menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal apalagi untuk mencintainya.

""Aku tidak mau nikah, Pak!"" kataku pada bapak.
""Aku ingin bisa bekerja dan membantu Bapak dan Ibu.""
""Bapak ingin lihat kamu bahagia, Nduk. Ardi itu anak baik."" jawabnya singkat.
Dengan banyak pertimbangan aku menyetujui perjodohan itu. Memenuhi permintaan terakhir Bapak. Mungkin, dengan cara ini aku bisa berbakti.


        Beberapa bulan berlalu setelah 7 bulan usia pernikahanku, Duka menghampiri keluargaku. Bapak telah pergi setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit karena sakitnya.  Setelah kepergian Bapak perangai suamiku berubah pula. Tampak keasliannya, Ia yang awalnya sayang padaku sekarang kasar. Bahkan beberapa kali mukaku membiru karena gamparan yang mendarat ke mukaku.  Terkadang hanya masalah sepele tangannya melayang ke pipiku. Ingin aku mengadu dengan Ibu, tetapi aku tak mau menambah beban duka Ibu. Duka kehilangan Bapak belum sembuh di tambah lagi dengan masalahku.

 Perutku yang semakin membuncit tidak juga bisa merubah kekasaran suamiku kepadaku.  Aku ingin menangis di  antara derasnya hujan yang menguyur bumi, Sehingga tetes peluh yang mengalir dari kelopak mataku tidak terlihat jelas oleh orang lain.  Hanya satu kata yang membuatku bertahan"" Sabar"".


      Setelah beberapa bulan usia kandunganku bayiku lahir dengan selamat. Meski butuh perjuangan  karena tekanan darah tinggi. Kata Dokter "" Stres di saat usia  mengandung bisa  Hipertensi,  yang berdampak  bagi bayi bisa  lahir secara prematur dan juga bisa berakibat kebutaan bagi sang ibu. Dan apabila tidak segera di tangani bisa berakibat fatal dan mungkin tipis kemungkinan untuk keduanya selamat. Apalagi di usia kandungan yang sudah tua.""


        Tiga bulan sudah usia bayiku. Namun, suami tidak pula berubah perangainya. Minuman keras , judi menjadi teman setiap harinya. Bahkan terkadang jarang pulang. Sehingga aku harus berfikir bagaimana untuk mendapatkan uang agar aku bisa membelikan susu buat si buah hatiku, karena ASI yang seharusnya keluar tidak bisa keluar, kemungkinan karena pengaruh kesehatanku. Selama beberapa bulan ini untuk membeli susu anakku. Aku menjual perhiasan yang diberikan oleh suamiku saat menikah, Dan sisa pemberian orang -orang di Kampungku saat aku melahirkan. Sudah menjadi tradisi di desaku  di mana kalau ada orang yang melahirkan ada orang yang berdatangan memberikan sumbangan.

 Dengan Ijasah tamatan SMA yang aku kantongi. Aku mencoba melamar beberapa pabrik di tempatku. Namun, sudah beberapa bulan tidak kunjung juga mendapatkan panggilan. Hingga suatu hari  aku bertemu dengan teman SMP-ku dulu yang pulang dari luar negeri. Keputusanku bulat untuk menjadi tenaga kerja sebagai buruh di luar negeri. Meski sebenarnya berat meninggalkan bayiku yang baru berusia beberapa bulan saja, demi membelikan susu buah hatiku aku pun nekad.


  Taiwan adalah negara tujuanku. Tidak beberapa lama aku pun mendapat panggilan jadwal penerbangan. Butuh proses dan adaptasi agar aku bisa menyesuaikan diri di lingkungan baruku ini.  Tak terhitung beberapa bulan aku pun sudah bisa beradaptasi dan di keluarga Chang ini. Aku sudah dianggap seperti kelurganya dan semua kepercayaan sepenuhnya di berikan kepadaku


        Waktu begitu cepat berlalu setahun sudah aku berada di negara yang terkenal dengan gedung 101-nya itu.  Setiap bulan uang yang aku dapatkan aku kirim untuk membeli susu, kebutuhan anakku dan keluargaku. Aku merasa bahagia meski terkadang rindu ini terpendam terlalu dalam. Ingin aku memeluk buah hatiku yang hanya aku dengar celotehnya melalui via telepon.

      Masih tersisa dua tahun lagi aku harus sabar dan kuat,  kata  itulah yang aku ucapkan untuk penyemangat diri.  Seperti sinar matahari yang tidak pernah meminta balas  seperti itulah kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Mendung bergelantung di atas langit, sepertinya tak lama langit akan menurunkan air matanya lewat rintik hujan yang akan turun. Saat aku bawa pasien yang aku rawat untuk jalan-jalan.

""Nduk, telepon ibu segera.""  sebuah pesan masuk di handphone-ku.
Segera aku telepon ibu, mencari tahu apa yang terjadi. Karena tidak biasanya ibuku mengirim pesan seperti itu.  Setelah kudengar kabar keluarga baik-baik saja, aku sedikit merasa lega. Namun, saat kalimat terakhir yang ibu katakan, Aku tidak percaya.

"" Nduk, Suamimu nikah lagi.""  ucap ibuku.
""Bagaimana mungkin"" pikirku dalam hati, sedang aku sendiri belum diceraikan.


    Masa sulit dalam hidup kita berada dalam posisi tergantung, saat itulah hidup merasa tidak tenang. Dengan bantuan sudara, Ia mencarikan pengacara buat  aku, untuk proses perceraianku dengan suamiku. Karena aku tak ingin di madu. Sudah hampir sepuluh kali persidangan tetapi hakim belum juga mengetukkan palu , karena suamiku  bersikeras untuk mempertahankan aku.   Hingga proses kepulanganku tiba ketanah air juga belum selesai. Ada rasa bahagia pulang ke tanah  air, bila bisa bertemu keluarga dan anakku , Rasa rindu yang  aku pendam  seperti isyarat tetasan embun yang begitu suci tak mampu untuk dijelaskan.  Namun, apabila  ingat akan masalah yang kini aku alami . Malam terlihat pucat, tidak ada terang meski sinar rembulan dan  gemerlap bintang -bintang menerangi.  Pancaran sinarnya seolah tak mampu  menembus kelamnya mega.



     Tak lama kemudian hujan deras mengguyur bumi,  Aku melamun kian nestapa meratapi nasib hidup ini.  Hingga tidak sengaja mataku berkaca-kaca, setelah merasa sedikit tenang aku ingin jalan-jalan melepaskan penat yang ada dalam pikiranku. Hingga aku tiba di sebuah sungai di mana sewaktu kecil tempat aku bermain dan mandi bersama teman-teman sebayaku, saat itu tak tidak ada dalam hidup kita memikirkan banyak masalah dalam hidup ini, yang ada hanya bermain.  Tiba- tiba lamunanku buyar kita ada seseorang yang mendorong tubuhku dari belakang.

""Byuurrrr... !"" tubuhku masuk dalam sungai dan sesorang menekik leherku dengan eratnya, sehingga sulit bagiku untuk bernafas.
Aku mencoba untuk berontak. Namun, tubuh kecilku tak mampu untuk melawannya.

""Ingat, aku tidak akan  melepaskanmu. Kalau pun harus berpisah nyawa ini yang akan memisahkan.""
Aku ingat betul gambaran mukanya, Aku sangat mengenalnya.

""To...long......!"" teriakku , saat pegangannya tidak begitu erat. Dan kembali tubuhku dan kepalaku masuk dalam derasnya air sungai.

  Tidak beberapa lama, bayak orang datang berduyun-duyun menolongku, Aku diantara sadar dan tidak sadar.
Ketika aku membuka mata, Aku sudah berada di tempat tidurku.  Aku seperti artis dangdut yang lagi
 konser, rumahku bagai lautan penonton.


    Sementara seseorang yang aku kenal yang tadi mendorong tubuhku masuk ke sungai, duduk di kursi ruang tamu dengan di dampingi bapak Lurah dan ketua RT.

""Kalau sampai terjadi apa-apa lagi dengan Amy kamu akan langsung berhubungan dengan hukum!"" kata Pak Lurah.

""Maaf, Pak. Saya khilaf."" kata orang yang tadi mendorongku ke sungai.

""Terus sekarang apa yang kamu inginkan?""

""Saya mau cerai asalkan dengan syarat tanah yang di beli Amy menjadi hak anak dan hak asuh anak menjadi hak asuh saya."" kata suamiku, Orang yang tadi hampir membunuhku.

""Baik."" jawabku.

""Selama ini aku sabar, Mas. Aku tidak menuntut apa-apa dari kamu, meski sering kali kamu memukulku."" Air mataku tumpah, seiring dengan luapan kata yang selama ini aku pendam.

""Keluarkan apa yang ingin kamu katakan, Nduk."" kata Pak RT kepadaku.

""Maafkan aku, Dik."" kata suamiku.

 Aku pun memaafkannya. Meski, nyawaku hampir terenggut setidaknya masalah sudah ada jalan keluar dengan damai.

""Ma, tidak apa-apa aku ikut Ayah. Suatu saat kalau aku sudah dewasa aku akan mencari Mama.""  ucap seorang bocah yang ada dalam gendongan ibuku.



             

*******



        Kaca jendela masih basah oleh embun, musim dingin menyergapku sampe menusuk tulang. Rintik  air hujan mengelus merdu, sehingga membuatku enggan untuk bergegas bangun.  Selimut tebal yang semalam menghangatkan tubuhku, hanya aku tarik kembali.

      Cerita masa lalu kini semua hanya tinggal bait kenangan, seperti naskah drama melow yang ada di film -film itu.  Kini kehidupanku berubah, setelah keputusanku untuk menjadi warga nagara yang awalnya hanya sebagai tempat pelarianku untuk bekerja.  Jian Ying Seorang eksetutif muda yang kini menjadi suamiku. Aku memilihnya bukan karena kesuksesannya ataupun karena
 kekayaan yang dia miliki. Melainkan ketulusan hatinya yang memperjuangkan aku dan dia yang telah mengobati serpihan luka yang membekas di dalam hatiku.
Aku mengenalnya dari Bosku di mana aku bekerja dulu. Dia adalah teman Bosku, sejak pertemuan makan malam waktu itu, undangan  makan dari bosku. Saat itulah getaran -getaran aroma rindu mengusik dinding kalbu.

 Bukan perkara yang mudah ketika aku memutuskan untuk menikah dengan Jian Ying. Ibu yang  tidak begitu setuju karena akan jauh dari anak perempuan satu satunya menjadi pertimbanganku, sedang dari keluarga Jian -Ying sendiri tidak ada kendala yang berarti. Dia anak tunggal dan hanya tinggal Ibunya saja. Semua keputusan Jian-Ying yang menentukan.   Karena melihat keseriusan Jian Ying yang berani datang ke Indonesia melamarku akhirnya  mampu meluluhkan hati ibuku. Sebelumnya ia juga sudah menjadi mualaf yang  di saksikan oleh pengurus masjid di daerahku.


     Dengan bantuan ejensi aku mencari informasi untuk surat-surat dan dokumen apa saja yang di butuhkan untuk menikah dan menjadi warga Negara Taiwan. Setelah menunggu beberapa waktu akhirnya selesai.

       Jian Ying seperti malaikat yang tak bersayap yang pernah aku temui. Dia  suami yang penyayang dan juga bertangung jawab.  Tidak seperti pandangan orang kebanyakan  orang yang menikah dengan orang taiwan tidak baik.  Semua tergantung dengan pribadi orang itu masing-masing, Tidak cuma di negara taiwan saja, bahkan di setiap negara pasti kita akan menemui tindak kejahatan, Bukan?""  Berarti pendangan  orang tentang menikah dengan orang  luar  hidupnya tidak baik adalah salah.


     Bukan cuma Jiang Ying saja  yang baik terhadapku ibu mertuaku pun sangat baik padaku , mereka tidak melihat kekuranganku. Atau pun  berbedaan di antara kami. Aku bahagia bersama keluarga baruku ini apalagi selain aku di bawa ke rumah ini Jian Ying juga membawa Tian anakku bersama kami.

 Beberapa hari terakhir ini aku sering kali merasakan nyeri di tubuhku. Aku kira hanya kecapekan saja. Aku hanya  membeli obat penahan sakit yang aku beli di apotek.

"" Ma, sebaiknya periksa ke dokter"" kata suamiku.

""Papa khawatir dengan kesehatan , Mama. Kalau ada apa-apa dengan Mama siapa yang jagain Papa, nanti?"" kata dia kembali, sedang aku merapikan piring yang ada di  atas meja.

""Mama, tidak apa-apa sayang! paling cuma kecapekan saja."" balasku lagi sambil mencium keningnya.

"" Sepulang dari kerja nanti aku antar Mama ke rumah sakit! Papa, berangkat  kerja dulu, ya. Wo te po pey ! jaga baik-baik dedek kita, ya?"" pamit suamiku.
 Aku kembali merapikan rumah . Kata ibu mertua aku tidak boleh kerja berat-berat karena aku sedang hamil muda.


 Nada panggilan masuk menggetarkan handphone-ku, Aku tekan  'Answer""

""Hallo, dengan Nyonya Jiang?"" suara dari seberang sana.

""Iya..."" jawabku singkat.

""Bisa kerumah sakit segera?"" Jawab orang itu dengan memberikan alamat sebuah rumah sakit di Taipei.

 Transportasi  di Taiwan  lebih  modern, yang belum  aku jumpai di negeriku seperti kereta cepat (KAO TIEK) sehingga mempermudah  perjalanan. Hanya dengan 30 menit saja jarak antara Hsinchu - Taipei bisa di tempuh, kalau dengan kendaraan umum atau pun mobil butuh waktu lebih dari satu jam belum lagi kalau kena macet.    Tidak beberapa lama aku dan ibu mertua sampe ke alamat yang orang tadi sebutkan. di sebuah ruangan Emergency ketemukan tubuh seseorang yang sangat aku sayangi berbaring lemah di ranjang  rumah sakit.

""Nyonya, Jian Ying?"" tanya sesorang dengan seragam putih kebanggaannya.

""Iya, Dok.""

""Bisa keruang saya, sebentar?"" ucap dokter. Sambil  berjalan  ke sebuah ruang di pojok rumah sakit dan aku mengikutinya dari belakang.

""Dari hasil diagnosa kemungkinan ada benturan yang mengenai kepalanya dan kita harus segera melakukan operasi. Kami akan  berusaha semaksimal mungkin, di lihat dari luar tidak ada luka tetapi luka dalam yang mengenai bagian kepala cukup parah. Mungkin, apabila bisa sembuh pun tidak bisa sembuh normal dan apabila tidak segera di operasi hanya menunggu waktu saja. Mohon, segera isi formulir persetujuan untuk melakukan operasi."" Dokter memberikan beberapa lembar kertas yang bertulisan bahasa mandarin.

Mendengar penyataan dokter aku  tidak percaya, bumi yang aku pijak seperti tak mampu menopang kakiku, atau malah sebaliknya. Aku hampir pingsan tetapi ibu mertua selalu memberiku semangat kepadaku meski sebenarnya aku tahu dia sebenarnya juga terpukul dengan kenyataan ini.

     Setelah beberapa jam setelah operasi selesai. Suamiku di pindahkan ke ruang ICU (Intensive Care Unit)  di Rumah Sakit NTHU ( National Taiwan University Hospital) Rumah sakit yang cukup ternama di Taiwan. Ku lihat matanya masih terpejam, raut mukanya  terlihat lebih tenang seakan kedamaian yang ia rasakan.  Ruangan itu hening hanya suara-suara beberapa alat rumah sakit yang tidak aku ketahui yang berada di sisi ranjang tempat suamiku berbaring.

 Sudah hampir satu minggu suamiku di sana . Namun, belum juga ada tanda-tanda harapan.  Tiba- tiba sebuah keajaiban terjadi, tangan kanan suamiku bergerak, aku terkejut. Sejenak aku hampir ragu tetapi saat suamiku mengukir sebuah senyuman  dan matanya sedikit terbuka aku yakin ia mulai sadar.

""Pa, bangun ! lihat ada Ibu, Tian, Aku dan sebentar lagi dedek kita akan lahir. Kita semua ingin Papa sembuh."" ucapku.   seiring dengan gelembung air mata yang hampir tumpah tetapi aku menahannya
 tidak berapa lama ku lihat bibir suamiku mulai bergerak, seolah dia ingin mengatakan sesuatu. Ku dekatkan tubuhku agar aku bisa mendengar kata-katanya.

""Ma...af..kan..pa..pa..ja..ga..a.nak..anak..titip...ibu..."" lirih suaranya.
Setelah selesai berbicara, desahan nafas yang tadinya terdengar tiba-tiba lenyap.
""Tiiiiiiiitttttt""  tangan suamiku dingin, seiring dengan suara mesin yang ada di sisi ranjang suamiku.

""Pa,,,pa,,,"" Jeritku, tetapi kali ini tak aku pedulikan orang yang ada di sekitarku. Tumpah sudah air mataku.

   Dokter pun datang dan mengambil alat kecil yang ada dalam sakunya memeriksa keadaan suamiku.
""Ambil defibrillator ...!"" perintah dokter  kepada salah satu Suster.

""I...EL...SAN....""  perintah dokter.  Dengan sebuah alat yang di letakkan ke dada suamiku.

""DUUUKKKK....."" seketika tubuh suamiku sedikit melayang karena sengatan alat  itu.
""Tiiiiiiittttt...."" suara mesin yang ada di sebelah suamiku seketika  itu menunjukan garis lurus dan alat sebelahnya yang tadinya ada tulisan beberapa angka seketika berubah menunjukan angka nol.




*****


 Semenjak kepergian suamiku, rumah yang seharusnya ramai karena berdekatan dengan jalur tol seperti huma di atas bukit terasa sangat sepi. Tuhan sepertinya tidak adil kepadaku, mengapa setiap kali aku mau merasakan kebahagiaan ia mengambilnya begitu saja. inilah realita hidup, harus siap menerima kenyataannya. Semua yang ada di dunia ini hanya titipan-Nya.


   Perusahaan yang di miliki suamiku tiba-tiba bangkrut karena setelah suamiku pergi orang-orang kepercayaannya mengkhianatinya pergi entah kemana. Hanya sisa rumah yang kini aku dan keluargaku tempati, sedang untuk menyambung hidup aku menjadi penerjemah di salah satu Ejensi dengan penghasilan yang cukup untuk hidup kami. Sering kali Ibuku yang di Indonesia menyuruhku untuk kembali ke tanah air, tetapi aku menolaknya. Karena aku harus menepati janjiku kepada suamiku untuk menjaga anak-anak dan ibu mertua. Aku tidak mungkin meninggalkan ibu mertuaku sendirian di Taiwan ini.   Meski sebenarnya ada kerinduan dengan tanah air yang selama ini membesarkan aku.

""Rasa nyeri yang sering Nyonya rasakan itu karena Tendinitis, sebaiknya Nyonya banyak istirahat dan terapi agar tidak semakin parah dan jangan lupa untuk konsumsi obatnya."" Pesan dokter waktu itu mengingatkan aku. Bagaimana mungkin aku kembali ke tanah airku sedang di sana biaya untuk berobat sangat mahal, sedangkan Taiwan ada jaminan kesehatan dan bisa berobat dengan biaya yang cukup murah..


    Entah di titik anak tangga mana aku sekarang? hingga suatu saat aku mampu untuk berada di puncak tangga kehidupan.




Taiwan, 15 Maret 2015


Catatan :
- Nduk adalah sebutan untuk anak perempuan dalam bahasa jawa (seperti bahasa taiwan selain mandarin ada  juga bahasa  hokien).
- Dik adalah kata sapaan yang lebih muda  atau teman dari sang penyapa.
- Defibrillator bisa di sebut juga dengan Dc Shock merupakan alat untuk memberikan kejutan listrik dengan tujuan mengembalikan irama detak jantung agar kembali normal.
-Tendinitis adalah penyakit yang disebabkan oleh iritasi  atau peradangan otot tendon.