CATATAN KASIH FORMOSA

2015/4/15 / UMI SUGIHARTI / CATATAN KASIH FORMOSA / Indonesia 印尼 / Jay Wijayanti

"***CATATAN KASIH FORMOSA***

Januari 2015

Mentari mulai condong ke barat, biasnya sudah enggan untuk menyengat bumi. Tampak sedikit malu melukis mega dengan semburat jingganya walau tipis. Sementara di sebuah taman yang aku lewati, segerombolan merpati jinak tengah asyik mematuk bebijian atau serpihan roti tawar yang di sebar oleh beberapa orang tua, yang melewatkan waktu untuk menikmati kesegaran udara luar atau mungkin juga demi melepas kebosanan di rumah. Istimewanya lagi, saat menemukan beberapa sahabat, baik BMI maupun Filipina yang menemani pasiennya.

Aku baru saja keluar dari belanja dan kirim uang untuk keluarga, di toko Makmur. Pandanganku menangkap seorang perempuan muda yang selama ini selalu memberi semangat. Ia asyik mengutak-atik ipadnya. Mungkin sedang berselancar dengan dunia maya atau menuang cerita dalam notenya. Kupercepat langkah mendekatinya.

""Hei, Rin!"" Kutepuk pundaknya, walau tidak begitu keras rupanya cukup membuat biji matanya seolah ingin meloncat, saat berpaling ke arahku. Namun sedetik kemudian sudut bibirnya terangkat.

""Hai! Lama nggak ke sini. Apa kabar?"" Kini giliran bahu kananku kena tepuk.

""Sehat,"" jawabku sambil meringis dan mengelus bahu yang terkena tinju si kurus, tapi berhidung mancung. Kemudian duduk di sampingnya.

""Busyet! Banyak banget belanjaanmu?"" Erin mengernyitkan dahi melihat belanjaanku.

Toko Makmur di belakang Taipei Makay memorial Hospital, memang menjual barang-barang dari Indonesia. Letaknya memang strategis, karena dekat dengan pasar dan taman.

""Biasa ... sedang kangen makanan Indo,"" jawabku sekenanya. Kulempar senyum ke arahnya sambil membuka plastik kresek berisi 10 bungkus mi dan satu kotak kopi instan, ""Makan nasi sama mi goreng ini, mantap rasanya ...,"" celotehku, sembari mengacungkan jempol.

""Hah! Aduh Non, itu nggak baik untuk kesehatan,"" ujar Erin dengan kedua telapak tangannya saling tepuk, sekali namun agak keras. Mungkin karena gemas mendengar pengakuanku. Mulai deh ceramahnya mengalir syahdu bak melodi cinta di telingaku, ""Mi dan nasi itu sama-sama sumber karbohidrat. Kalau over dosis malah mengakibatkan kadar gula dalam tubuh meningkat. Tuh, badanmu makin gendut.""

Aku hanya bisa tersenyum kecut sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Tidak bisa membantahnya.

""Rin, sampai sekarang aku belum haid,"" keluhku, setengah berbisik.

""Wah, berarti sudah lima bulan, ya? Cepat periksa ke dokter, Mi!"" Kernyit dahi Erin bertambah jelas, menandakan keseriusannya.

Begitulah keterbukaan kami, saling menasehati dan menghibur. Hingga hari-hariku terasa ringan.

***

Tanggal 18 Januari adalah jadwalku libur. Sudah jauh hari merencanakan tour ke Xingfen, bersama teman-teman yang tergabung di PWNI. Dengan begitu akan lebih banyak sahabat.

Minggu pagi itu, menyadarkanku akan sesuatu ...
""Huft! Semuanya kekecilan!"" gerutuku, setelah mencoba beberapa baju. Ingin rasanya memecahkan kaca yang seolah menertawakan keadaanku. Mata ini mulai terasa panas, ingin menumpahkan air mata. Kesal sekali. Kupandangi tiga longdress yang tergeletak di atas kasur, semuanya seperti mengerut. Tidak bisa menyembunyikan keadaan perutku.

Saat berusaha melepaskan longdress ungu bermotif batik yang kucoba, tiba-tiba perutku terasa diremas-remas. Tulang iga pun seolah diikat dengan sangat kuat. Sakit sekali. Bahkan keringat mulai membasahi kening dan punggung.
""Oh My God! Sa-kit ...,"" rintihku, yang spontan membungkuk dengan menekan perut. Apa aku mau datang bulan lagi? Pikirku mengingat-ingat kembali kapan terakhir menstruasi. ""Ya Tuhan, itu bulan Juni tahun lalu,"" gumamku.

Pantas bila sakitnya tidak terkira. Memang selama di Taiwan aku datang bulan hampir lima atau enam bulan sekali. Apakah ini juga penyebab gendutnya perutku? Darah kotor yang seharusnya keluar, jadi tertumpuk di dalam. Ku hela napas panjang beberapa kali, untuk meredakan rasa perih. Aku segera mengambil obat terlambat datang bulan, kemudian bergegas menuju dapur, menuang segelas air putih. Mereguknya dengan penuh harap untuk sembuh.
Satu jam kemudian aku baru bisa berangkat libur.

*** 3 Februari 2015 ...

Mia, adalah gadis kecil yang kurawat. Perkembangannya sedikit lambat dibanding anak seusianya. Walau sudah berumur tiga setengah tahun, tulang pinggul dan kakinya belum mampu menopang tubuhnya dengan sempurna. Namun bagiku ia tetaplah anak yang cantik dan cerdas. Tidak mudah menyerah.
Sore itu kududukkan di kursi dorong (khusus anak-anak). Berniat mengajaknya jalan-jalan ke taman. Sialnya aku berasa ingin buang air kecil. Begitu melihatku beranjak pergi, ia mulai menjerit dan lengkingannya sangat memekakkan gendang telinga, karena tidak mau di tinggal. Tetapi aku sendiri sudah tidak bisa menahannya. Tak ada pilihan lain, akhirnya aku berlari ke toilet.

""Mei-mei ..., Tunggu sebentar!"" seruku sambil berlari menjauh, berharap si kecil diam. ""Hwaaa! Waaaaa! Atiaaa, Atiaaa!"" Tangisnya bertambah keras. Ia terus memanggilku Ati, maksudnya Aunty. ""

""Kapan mei-mei bisa sabar sedikit,"" sungutku sembari mecuci tangan.

""Iya... iya! Aunty datang!"" Lantang aku merespon dan bergegas menghampirinya. Mei-mei pun seketika terdiam saat mendapatiku mendekat. Bola matanya memerah, wajahnyapun telah basah oleh deras buliran bening. Bibir masih bergetar dan ingus bening menyertai sesenggukan. Sebuah pemandangan yang menyayat hati.

""Maaf, maaf Sayang yaaa. Kamu kan sudah besar, jangan menangis dong,"" ujarku menenangkannya. Mengusap wajahnya dengan lembut.
Sedetik kemudian, perutku terasa mengencang seperti ditali dengan sangat kuat. Begitu pula dengan lingkar pinggang, luar biasa sakit hingga tak kuasa berdiri tegak. Mengapa ini terjadi lagi? Menstruasi yang kuharapkanpun tidak kunjung hadir. Sungguh menyiksa rasanya.

""Augh ...aargh! Aduh...Mei, tunggu sebentar! Perutku, aduh!"" Aku membungkuk, telapak tangan kanan menekan perut, sementara yang kanan mencengkeram besi samping kereta bayi. Lutut semakin lunglai hingga menyentuh lantai keramik berwarna putih nan dingin. Kali ini memang luar biasa sakitnya.

Sementara Mei-mei menatapku dalam kebingungan. Ia berusaha bangkit dari sandaran, terus mencoba hingga tangan kirinya bisa menyengkeram besi kursi rodanya di tepi kiri. Sementara tangan lainnya gemetar menggapai wajahku, ""Atia, Atia!"" serunya lirih dengan jemarinya menyentuh dahiku yang telah penuh bintik-bintik keringat karena dahsyatnya sakit di peranakanku. Buliran bening meluncur dari sudut mataku. Ujung gigiku gemeretak, saling menekan.

""Mei ... ugh sssh"" Hanya desah rintihku yang mampu menjawab panggilan lembut Mei-mei. Sungguh tersiksa rasanya.
Dengan mata terpejam, sekuat tenaga kutarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan melalui mulut untuk mengurangi rasa sakit yang kian mendera. Berulang hingga mampu bangkit
Dengan mengumpulkan sisa kekuatan yang ada, kubebaskan Mei-mei dari sabuk pengaman yang mengikatnya dan sesegera mungkin menggendongnya ke kamar. Menidurkannya perlahan agak ke tengah, sebelum akhirnya tubuhkupun terhempas di sampingnya dengan posisi tengkurap. Kubenamkan wajah ke bantal. Sedang tanganku memegangi perut.

Krek kreek! terdengar ada yang membuka pintu. Dari langkahnya aku tahu itu tuan, yang pulang dari mengirim sayuran atau buah kepada puluhan restouran dan hotel langganannya.
""Atiaaa! Atia! Papaaa!"" seru mei-mei. Ia memiringkan tubuh, tangan mungilnya terus berusaha menepuk-nepuk punggungku. Meluluhkan hati dengan rasa haru memenuhi jiwa.

Rupanya suara gaduh Mia, mengundang perhatian papanya untuk langsung membuka pintu dan memeriksa kamar kami. ""Mia ... ada apa? Umi, are you ok?""

Aku hanya bisa meringis kesakitan menatap lelaki kurus, berkulit putih dan berambut cepak, kira-kira masih 40-an tahun. Mata sipitnya menyiratkan kekawatiran. ""Perutku sakit sekali, Tuan,"" jawabku lemah.
Sedikit panik, tuan segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang, ""Mami, perut Umi sakit. Coba kamu tanya dia,"" ujar tuan. Sejurus kemudian menyerahkan ponselnya padaku.

""Umi, bagian mana yang sakit?"" tanya nyonya, terdengar begitu tenang dari seberang

""Bagian peranakan. Mungkin mau datang bulan lagi. Sudah hampir tujuh bulan aku nggak EM, Nyonya,""

""Ya Tuhan, mengapa tidak kasih tahu saya dari awal? Ok-ok. Coba, aku bicara sama tuan!"" pintanya, nada suaranya terdengar sedikit gusar. Android merk HTC berwarna silver itu, segera kuserahkan kembali pada tuan.

""Ok, ok."" Hanya kata itu yang tuan ucapkan disertai anggukan saat mendengar petuah dari seberang. Entah apa yang nyonya perintahkan. Lalu kulihat tuan keluar kamar dan menelepon seseorang, ""Maaf Suster apakah saya bisa menemui dokter Lee sore ini?""
Selang beberapa menit terdengar tuan merespon lagi, ""Ok, Suster. Terima kasih.""

Beberapa menit kemudian ada derit terdengar. Sepertinyanya tuan sedang membuka laci, sebelum kembali ke kamar. Aku sudah mulai duduk di samping ranjang. Tampak beberapa helai rambutku tertinggal di sarung bantal.
Akhir-akhir ini memang sering rontok, hingga harus sering memeriksa lantai dan memungutinya. Selain demi menjaga kebersihan, karena Mei-mei harus merangkak dengan perut dan dada menempel di lantai. Hanya dari kekuatan kedua lengan dan siku yang bisa ia andalkan saat merangkak. Siapapun yang melihat perjuangannya, pasti tidak bisa menahan rasa terenyuh. Namun aku terus membantu dan memberinya semangat untuk belajar merangkak seperti anak normal.

""Umi, coba minum ini dulu ya!"" Tuan menyodorkan dua butir obat, sebesar coklat MM dan berwarna putih. ""Besok dokternya baru ada. Jam sepuluh pagi kita ke rumah sakit bersalin di ... dokternya profesional dan friendly,"" terangnya lagi dengan napas yang menandakan ia selalu berburu dengan waktu.

Akupun menerima obat sejenis aspirin dan perlahan ke dapur untuk mengambil air minum. Nyeri ini tak kunjung hilang. Sementara tuan menemani Mei-mei.

****

Keesokan harinya, tuan mengantarku ke dokter. Sesampainya di depan sebuah gedung megah bercat putih dan krem, dilengkapi dengan poster raksasa bergambar ibu dan bayi yang menggemaskan. Aku yakin, inilah rumah sakit kusus wanita di Songjiang Nanjing, yang direkomendasikan nyonya.

Begitu masuk, tuan meminta paspor dan kartu kesehatanku, kemudian bergegas menuju meja resepsionis. Selepas membayar administrasi ia menyuruhku duduk di sofa oranye ruang tunggu. Di sana ada tiga pasien yang semuanya perempuan. Dua orang tampak sedang hamil besar. Akupun melempar senyum sebelum duduk disamping seorang perempuan cantik, bertubuh langsing.

Tidak butuh lima menit, tuan menghampiriku, ""Kamu tunggu di sini, ok! Aku masih mau antar barang. Ini nomer urutmu, empat belas. Ingat ya, empat belas,"" jelasnya, sembari menyodorkan selembar kertas putih seukuran karcis bus di Indonesia, untukku. Ia mengembangkan senyum sebelum berlalu.
""Iya tuan, don't worry,"" sahutku dan membalas senyumnya.
""Aha ... hampir lupa! Nanti bila sudah selesai, suster itu bisa menunjukan jalan untuk sampai ke MRT stasion, ok! Take care, bye,"" pesannya. Aku mengerti ia tidak mungkin menunggu. Masih banyak tumpukan pekerjaan menantinya. Gesit langkah lelaki baik hati yang sudah memberiku kesempatan merawat putrinya itu, memberiku suntikan semangat untuk tidak kenal lelah dan selalu ingin mencoba hal baru.

Kembali aku sematkan pandangan ke arah papan berlampu LCD merah yang selalu berubah ke nomor urut berikutnya. Sementara masih tertera angka 10.
Walau tidak banyak pasien, menunggu tetaplah sebuah pekerjaan yang membuatku jenuh dan gusar. Kucoba menepisnya dengan membuka instagram. Notifikasi Liker dan komentar hasil jepretanku lumayan mengobati.

""Ough ... ahss!"" Rasa sakit kembali meremas, hingga Asuz merahku terpelanting ke sofa. Seorang suster jaga begitu gesit berlari untuk membantuku.

""Nona, sebaiknya ikut saya ke ruang itu,"" tawarnya sembari membantuku berdiri.
Di dalam ruang asisten dokter. Setelah memeriksa tensi darah, suster itu menginterogasi tentang keluhan-keluhanku. Butuh kejujuran untuk mengetahui penyebab sakit yang kurasakan. Setelah dirasa cukup, barulah aku dibawa ke ruang dokter.

Saat alat USG menyentuh perutku, tampak di monitor, sebuah bundaran hitam pada ruang uterus. Ada dua garis melintang yang menunjukkan panjang dan lebar benda itu. Aku melihat gelengan kepala sang dokter. Menambah kecemasanku.
Lalu dokter kembali ke meja kerjanya. Debar jantungku semakin kuat, bersiap mendengar penjelasan dokter.

""Sepertinya ada tumor di kandunganmu, dan harus segera diangkat. Dari gambar ini tampak jelas,"" ujar dokter sembari memperlihatkan foto copy, persis dengan apa yang terlihat di monitor USG.

""May, I have a copy of that picture?"" pintaku agak gemetar. Aku yakin merekapun tahu perasaanku, saat ini. Aku menatap selembar foto hasil diagnosa dokter. Tanganku pun gemetar.

Mungkin inilah yang pernah ibu rasakan, beberapa tahun lalu. Tangan kiriku mengelus perut yang membuncit. Lidah terasa kelu. Walaupun ini bisa diatasi, namun tetap saja memukulku. Mataku memanas hingga bulir mulai mengumpul di kantungnya hampir buncah.

""Don't worry, I'll give you some medicine for release your pain,"" ujar dokter spesialis kandungan itu memangkas kegundahanku.

Sementara sang asisten dokter dengan lembut menepuk bahuku agar bisa menerima semua dengan sabar. Pandangan iba tersirat jelas untukku. Mereka seolah ingin menyalurkan semangat lebih. Yah, saat ini aku sangat membutuhkan itu. Andai ibu bapakku masih hidup, pastilah segera kutumpahkan gundah. Sedang anakku..., tidak dia tidak boleh tahu. Biar dia konsentrasi saja pada masa depannya.
Dokter mengulurkan selembar resep,""Silahkan anda ke ruang sebelah, untuk pengambilan sampel darah. Berharap tidak ada penyakit lain. Ok, Next week please come back to check up, and take the report,"" perintahnya tanpa menanggalkan senyum empati untuk pasiennya. Sungguh, aura kebijakannya mampu menenangkanku.

""Yes, Dokter. Thank you,"" sahutku sembari berusaha memasang senyum setidaknya untuk membalas empati mereka. Aku pun bangkit dari kursi hitam di hadapan meja sang dokter. Sementara asistennya bergegas membukakanku pintu.

Ya Tuhan, pelayanan luar biasa ini membuatku terkagum. Begitulah para medis di Taiwan memang dituntut profesional termasuk keramahan dalam menghadapi pasien, tanpa pandang bulu.
Seusai pengambilan darah dan menebus obat, aku menghampiri suster yang akan menunjukkan arah jalan ke stasiun MRT. Ia menggambar peta kecil sembari menerangkan maksudnya. Begitu nyamanya negeri ini, mereka senang membantu siapapun.
Langkahku terasa sedikit berat oleh kabar duka dari diagnosa. Sepanjang perjalanan pulang, aku dihantui rasa takut tentang resiko dan besarnya biaya operasi di Taiwan, pasti sangat mahal. Meski kutahu paramedisnya yang jauh lebih profesional disertai alat super canggih. Siapa yang merawat Mia? Siapa yang menemaniku selepas operasi? Aku takut bila sendirian

Siapa yang menemaniku selepas operasi? Aku takut bila sendirian di rumah sakit. Apakah majikanku masih mau melakukan direct hirring, bila tahu penyakitku ini? Sedangkan waktuku tinggal empat bulan lagi. Apakah calon suamiku nanti bisa menerima keadaan ini? Sederet kekawatiran itu terus berkelebat.
Derrrt derrt Alert sms dari ponselku bergertar, rupanya dari adik laki-lakiku di Indonesia. 'Mbak, aku minta tolong ya. Pinjami aku untuk melunasi hutang pada temanku, 7 juta. Dia butuh banget, mau nikah orangnya. Please ya Mbak.'

""Ya Tuhan ...,"" desahku di antara helaan napas berat. Membaca ulang isi sms itu, seketika membuat tenggorokanku seolah terganjal sesuatu. Mataku semakin memanas. Sementara jemariku masih enggan untuk membalas pesan singkat itu. Tertunduk lesu larut dalam kekalutan.

***
""Rin, aku terkena tumor, dan harus segera operasi."" Aku menelepon Erin. Tak sanggup rasanya menyembunyikan kegelisahan.

""Ya ampun, Mi. Tapi coba kamu cari daun sirsak atau buahnya! Itu bisa mengecilkan tumor. Dulu bibiku juga punya tumor, dan berhasil mengecil dengan merebus daun sirsak, lalu di minum!"" Penjelasan Erin yang bersungguh-sungguh, menumbuhkan semangat baru.

""Ok,"" jawabku.

""Satu lagi, tinggalkan mi instan dan kopi instan! Ini serius, karena makanan seperti itu akan merangsang perumbuhan tumor dengan cepat,"" tambahnya sebelum menutup percakapan. Ucapan Erin membuatku bergidik dan berjanji tidak lagi makan sembarangan.
Aku bingung karena tidak menemukan sirsak di pasar dekat rumah. Akhirnya aku cari photo buah sirsak lewat google, dan menunjukkannya pada nenek. Kuyakin dia mau membantu untuk membelinya di pasar grosir, karena memang di sana tempat bisnisnya. Beruntung nenek menyanggupi.

Keesokan harinya, seperti biasa pukul 9:30 nenek pulang dari mengantar sayuran kepada langganan. Ada beberapa untuk keperluan sendiri. Aku membantunya membawa masuk ke dapur.

""Ini kan yang kamu maksud?"" Nenek menujukkan buah surikaya atau kepala budha, yang memang sangat mirip dengan sirsak. Walau kecewa aku lebih memilih pasrah, mengangguk. Mungkin memang tidak ada yang menjual buah berasa asam sedikit manis itu. Selesai makan siang, kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu. Kulihat nenek sudah beristirahat di kamarnya. Aku buka facebook, tanpa sengaja membaca status yang mengeshare sebuah link tentang kehebatan buah pete dan jengkol. Zat yang terkandung, mampu mematikan sel-sel kangker dan tumor. Mampu menghilangkan stress.
Tanpa menunggu lama, aku menelepon Kevin, sang pemilik toko Makmur. ""Bos, ada pete nggak?"" Yang ada di pikiran hanyalah demi kesembuhanku dari tumor. Apapun itu akan kulakukan.

""O ... ada, Mbak. Butuh berapa?"" Jawab Kevin, ramah.

Tidak ada salahnya mencoba, bukankah kita wajib berusaha? Tuhan tahu dan pasti menolongku.
Masih ada waktu 45 menit sebelum ke Tien Mu, menjemput Mia. Setengah berlari aku menuju ke toko Makmur. Begitu mendapatkan pete, lalu bergegas menuju halte Zhong Shan Elementary school (Xhingxen). Butuh waktu 15 menit jalan kaki.
Mentari masih menjilat bumi, sedang bumi sendiri melepaskan uap panasnya. Semakin lengkaplah rasa gerah. Kuusap peluh yang semakin deras membasahi pelipis hingga leher.
Pukul 2:40, akhirnya bus bernomer 606 mengantarku hingga Taipei School of Specially Education.

***
Hidangan makan malam hampir siap. Aku memindahkan tumisan sayur kangkung ke dalam piring keramik dan membawanya keluar. Langkahku terhenti di samping kamar kakek yang bersebelahan dengan meja makan, terdengar seseorang menyebut namaku.
""A mi to bo, A mi to bo, jagalah Umi dan beri kesehatan untuknya, A mi to boo,"" getar doa yang meluncur dari mulut nenek 60 tahun. Ia berdiri sedikit membungkuk sembari menggenggam dupa lidi dan menggoyangkannya di depan patung dewanya.
Seketika dada ini terasa sesak. Betapa sayangnya ia padaku. Sekuat tenaga aku melangkah keluar dan meletakkan sepiring sayur ke meja makan.

""Nek,"" sapaku, dengan suara bergetar. Hanya itu yang mampu terucap. Akupun menghambur dalam peluknya. Rasa takutku sedikit terobati oleh kasih perempuan tegar, yang menumpahkan kasihnya seperti terhadap putri kandungnya.
""Kamu pasti sehat, aku selalu mendoakanmu. Jangan sedih, ya!"" ujarnya sembari menempatkan wajahku diantara kedua telapak tangannya. Tatapan keibuan itu jelas terpancar, menyiratkan dalamnya kesedihan.

****
 Maret 2015

Di kamar rumah sakit yang hanya disediakan untuk dua pasien, aku menunggu giliran untuk operasi. Rasanya waktu berjalan begitu lambat. Gerak jarum di jam dinding menambah kencang detak jantung. Jemari saling remas di atas pahaku saat duduk di ujung ranjang, dengan baju biru kusus pasien melekat. Meski berulang kucoba melempar pandangan keluar jendela untuk sekedar mencari ketenangan, tetap saja gagal. Gelisah dan merasa kematian begitu dekat.

""Nona Umi, sudah siap?"" Sapa seorang suster yang sebenarnya tidak begitu keras, namun cukup mengagetkanku.

""Si-siap, Suster."" Aku tergagap.

""Jangan kawatir, semua akan baik-baik saja,"" ujarnya, berusaha melonggarkan sesaknya perasaanku. Mungkin dia bisa meraba hati seorang pasien. Ia pun memberi suntikan yang dalam waktu singkat membuatku terlelap.

***

Aku mengerjap, sedikit berat untuk bisa membuka kelopak mata. Samar ada bayang wajah nenek di samping ranjang, hingga semakin kuat keinginan untuk membuka mata. Dan akhirnya jelas kulihat senyum keharuan di sana.
""Nenek, Mia di-mana?"" tanyaku, dengan suara masih sangat lemah.
""Ada di rumah, dia juga rindu kamu. Istirahat saja dulu ya, biar cepat pulih!"" Nenek menggenggam jemari dan mencium keningku. Sungguh terasa tubuhku teraliri oleh kehangatan kasih dan kekuatan dahsyat, karenanya.
hari-hari berikutnya, aku dikejutkan oleh kehadiran beberapa sahabat perwakilan dari FLP Taiwan, dari PWNI, dari group ijo royo-royo, dari IPIT, mereka bergantian menjenguk. Memberiku kekuatan moral, bahkan bantuan finansial atau santunan. Betapa cinta sesama di tanah rantau, menciptakan rasa senasib sepenanggungan yang sangat besar. Hanya rasa syukur tiada batas kepada Tuhan, yang sanggup aku lakukan.

Kini bisa bernapas lega, karena majikanku tetap memberi kesempatan untuk merawat Mia. Operasi tumor kandungan yang sempat menjadi mimpi buruk, kini berlalu dengan meninggalkan sebuah pelajaran berharga bagiku. Tidak menganggap sepele bila terserang flu maupun sakit perut. Selalu memperhatikan pola makan dengan benar. Bila cinta kasih yang kita tanam, maka akan menuai kebahagiaan. Satu lagi jasa yang sangat membantuku adalah asuransi kesehatan di Formosa. Terima kasih Taiwan.

THE END