MENGINTIP PINTU BAHAGIA

2015/4/17 / Jay Wijayanti / Mengintip Pintu Bahagia / Indonesia 印尼 / Bunda Umy

MENGINTIP PINTU BAHAGIA

Oleh Jay Wijayanti

                           Impian untuk mewujudkan sebuah bahagia itu sangat sederhana dan mudah, yaitu dengan selalu bersyukur. Seperti perjuangan Arina –gadis muda berusia 25 tahun-- yang selama ini merawat seorang kakek berusia 83 tahun. Arina bekerja di keluarga Lee, sebuah keluarga sederhana yang berada di daerah pegunungan Rueifang.

                            Kontrak kerja ke empat kalinya di Taiwan itu pun memberikan pengalaman berharga, yang mugkin tidak dia dapati di tempat sebelumnya. Kisi kehidupan seakan menyajikan hal istimewa di tiap celah waktu. Kakek yang dirawatnya  memiliki 6 orang anak, 3 laki-laki, dan 3 perempuan yang kesemuanya sudah menikah dan tidak tinggal bersamanya. Sementara istri Kakek Lee sudah berpulang terlebih dulu karena kecelakaan maut yang membuatnya terseret truk bermuatan pasir setahun yang lalu.

                         “Arina, kalau seandainya kamu menemani Kakek dan menginap di rumah sakit selama sebulan, apakah kamu siap?” tanya menantu perempuan Kakek Lee.

                        “Rumah sakit? Apa yang terjadi dengan Kakek?” dia penasaran.

                         “Kesehatan Kakek selama ini kian menurun, dalam kurun setahun ini berat badannya turun drastis. Kamu juga tahu itu, kemungkinan harus menginap di rumah sakit dalam waktu dekat dan … “ ia tak melanjutkan kata-katanya. Tersirat kesedihan mendalam di raut wajah menantunya yang telah berusia 58 tahun.

                        “Kakek menderita penyakit apa, Tante?” tanya Arina serius, seraya menggeser kursi dan duduk di samping kanannya. Wanita yang rambutnya sudah ditumbuhi sedikit uban itu mengelus dadanya secara pelan, ada rasa ketakutan tertangkap di kedua sorot matanya.

                       “Dia mengidap kanker esofagus, bahkan kanker itu sudah memasuki stadium empat. Entahlah, kami hanya bisa berdoa dan meminta perlindungan buat Kakek. Berharap juga kamu bisa bersabar dalam menjaganya.” Ungkapnya sambil menarik napas panjang. Dengusan  itu seperti memberitahukan rasa sesalnya yang mendalam. Tepatnya rasa takut kehilangan.


                                                                      ***

                        Arina setiap hari hanya berdua dengan Kakek Lee, di dalam rumah sederhana itu dia habiskan waktunya untuk merawat. Semenjak vonis penyakit kanker Esofagus itu positif, Arina lebih ekstra menjaga kesehatan Kakek Lee, termasuk pola makan, olah raga, dan mengontrol emosi. Hari demi hari perubahan fisik kian terlihat, Arina semakin cemas dan tak henti memberitahukan informasi seputar gejala yang dialami Kakek Lee kepada anggota keluarganya, yaitu anak-anaknya. Syukur, anaknya merespon dengan baik, hingga dari proses terapi dan periksa ke dokter pun selalu ditemani oleh anak-anaknya secara bergiliran.

                        Ada keterharuan yang tertangkap oleh Arina, “Betapa bahagianya Kakek, di sisi lain dia selalu mendapat perhatian lebih dari anak-anaknya, perjuanganku tak sendiri, ada mereka yang selalu mendukungku.”  Bisik hatinya saat itu.

                         Arina yakin, bahwa dengan kesabaran dan ketelitian, dia bisa merawat kakek dengan sebaik-baiknya. Kenyataan, anak-anaknya perhatian, selalu bergiliran menjenguk dan bahkan membelikan makanan kepada mereka berdua. Meski di tanah rantau jauh dari sanak keluarga, kadang kerinduan muncul seketika kepada orang tua, tapi dengan bekerja di keluarga Lee, Arini merasakan memiliki keluarga kedua dalam kehidupannya.

                         Suara keras yang dulu sering terlontar dari mulut kakek, semakin waktu terdengar berbeda, suara lantang itu kini kian melemah, semakin serak. Tubuh kekarnya sebagai pekerja penggali batu hitam di masa tuanya, berubah menjadi tulang yang berbalut kulit. Arina sesekali menitikkan air mata ketika melihat Kakek Lee terlelap dalam tidurnya.

                       “Ya Tuhan, kasihanilah Kakek Lee. Angkat penyakitnya secara perlahan, tak tega rasanya aku harus melihat perubahan tubuhnya yang tinggal tulang, tergeletak lemah dengan muka yang tirus. Haruskah dia hanya diam, tanpa pernah tahu apa yang sedang terjadi di dalam tubuhnya?” batin Arina, menatap dari jarak pandang satu meter, karena tempat tidurnya bersebelahan dengan Kakek Lee.


                                                                            ***

                        Pagi itu, Arina dan anak tertua kakek mengantarkan ke rumah sakit Changgeng di Keelung. Sebulan sekali jadwal periksa. Hingga sampai setahun terakhir, Arina dilarang keras untuk memberitahukan penyakit yang diderita kakek. Alasan menyembunyikan itu dimaksudkan agar kakek tidak bersedih bila mendengar jangka waktu  memperpanjang masa hidupnya di dunia ini. Meski takdir itu adalah milik Tuhan, dokter memvonis bahwa penyakit itu akan mempersingkat kehidupan kakek. Waktu bertahan diperkirakan kurang dari tiga tahun.

                         “Kanker ini sudah masuk ke stadium empat, ini bisa berpengaruh pada organ lain, seperti otak, hati, dan tulang. Ada baiknya kamu harus perhatikan reaksi tubuh pasien, entah dia ada keluhan, alergi, atau kesulitan makan. Bila nanti pada titik di mana dia tidak lagi bisa menelan bubur atau makanan lembut lainnya, saya sarankan untuk menyuruhnya minum susu kalengan. Jika pada tahab berikutnya sudah tidak dapat menelan bisa menggunakan selang lewat hidung. Bilamana itu membahayakan pasien, maka kami tim dokter akan mengoperasinya dengan memasukkan selang ke lambung. Bagaimana?” tanya dokter kepada Tuan, anak laki-laki kedua kakek.

                        “Baik, Dok. Saya paham dengan penjelasannya, terima kasih sebelumnya karena telah merepotkan. Kalau demikian, kami pamitan dulu dan ambil obat di lantai bawah,” ucapnya sembari menundukkan kepala. Semburat kesedihan menghiasi wajah lelaki berusia 52 tahun itu.

                       “Tak perlu bicara demikian, ini sudah menjadi tanggung-jawab saya. Baiklah, sebulan lagi kita berjumpa.” Sahut dokter, bibir tipisnya pun melempar senyum.

                       Arina segera mendorong kursi roda menuju pintu luar menaiki lift. Sesekali dalam benaknya bertanya, kenapa kanker itu bisa menyerang kakek? Setahu dia penyakit itu dialami oleh beberapa orang yang sengaja mengonsumsi makanan-makanan panas, merokok, dan meminum minuman keras. Pernah terpikir olehnya bahwa kakek adalah penggemar minuman berakhohol. “Pantas saja jika kanker itu menyerangnya,” pikirnya.


                                                                           ***

                      Setahun lalu…

                      “Arina, kamu harus ingat pesan saya ya?” ungkap wanita bermarga Hsiu, Arina lebih suka memanggilnya dengan Tante, karena Nyonya Hsiu tidak mau dipanggil ‘Nyonya’ olehnya.

                     “Baik. Saya akan mencari cara untuk membiasakan Kakek meminum air putih sebanyak mungkin. Bilapun nanti minum bir, akan saya taruh sebotol kecil saja di ruangan tamu.” Jawabnya.

                    Begitulah, sejak awal Arina berusaha untuk membuat kakek sadar betapa pentingnya mengonsumsi air putih, tapi tetap saja justru Arina yang terima kemarahan lelaki berhidung mancung dengan bibir tebalnya itu. Semenjak muda dia tidak suka dengan air, justru dia paling suka dengan meneguk bir, tak ayal bila emosi pun sering tak terkendali. Setahun terakhir dia menjaganya dengan baik, baru datang saja berat badannya 55 kg. Hingga akhirnya berat badannya mengalami kenaikan sampai di angka 62 kg, betapa senangnya hati Arina, buah dari kerja baiknya itu dihargai oleh anak-anaknya.

                      Tahun baru imlek pun Arina diberikan kalung emas, pemberian dari cucu kakek yang tinggal di Banchiao. Melihat ketekunan dan kegigihan Arina dalam merawat kakeknya yang baik, mereka pengertian. Tak sedikit mereka mendapati perjuangan Arina yang malam tidak tidur, sementara siang masih memasak dan memapahnya untuk jalan-jalan ke taman. Hal yang disaluti oleh anak-anaknya, Arina tidak merasa jijik ketika dia harus membantu kakek untuk mengeluarkan BAB dengan kedua jari tangannya, mencuci, dan membuang air kencingnya dalam pispot. Memandikan dan menyuapi adalah rutinitasnya setiap hari meladeni ayah mereka yang memang sudah mengalami tingkat kesehatan yang semakin turun.

                       Hari demi hari Arina lalui penuh semangat, untuk solat 5 waktu pun, majikannya juga memperbolehkan, hingga puasa pun tak ada larangan sama sekali. Berkah baginya menemukan majikan yang pengertian dan menghormati kepercayaannya, tak seperti kontrak kerjanya yang dulu. Gajian pun selalu diberi tepat waktu, hingga bersedia mengantarkannya untuk kirim uang ke Indonesia seakan menjadi sebuah kewajibannya. Arina sungguh tak ingin menyia-nyiakan karunia Tuhan yang diberikan kepadanya lewat keluarga Lee.


                                                                             ***

                        Angin semilir terasa, dedaunan pohon kelapa dan jambu air bergoyang seirama. Banyak macam pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah, bukti peninggalan kakek selama muda sering juga bercocok tanam di ladangnya nan luas. Matahari perlahan menuruni gunung yang terlihat tak jauh dari samping rumah, senja telah memperlihatkan keindahannya dengan pancaran jingga keunguannya. Suara deru motor mendekati halaman rumah Arina, segera ia keluar untuk melihatnya.

                           Suara menyalak dari salah satu anjing di depan rumah pun seakan mengisyaratkan Arina untuk keluar. Anjing itu lari dengan lincah dan mendatangi arah motor, dengan memutar tubuhnya kemudian membuntuti dari arah samping.  Lidahnya menjulur keluar dan tak hentinya menggerakkan ke kanan-kiri ekornya yang panjang. Perilaku yang tak pernah terlewat dari anjing penunggu rumah itu. Sudah bukan hal aneh, selain Arina merawat kakek, di rumahnya juga memelihara dua ekor anjing, anjing hitam besar bernama Xiao Hei dan yang kecil pendek bernama Titi –ditaruh di lantai dua, tempat tinggal nomor dua anak lelakinya-.

                       “ Oh Tante,  bagaimana kabarnya? Tumben datang,” ucapnya.

                        “Iya, Arina. Ini aku membawa beberapa macam sayur untuk persediaan beberapa hari, sekalian ini ada 2 ekor ikan, bisa kamu masak kuah atau kamu goreng,” tangannya menyerahkan dua bungkus kresek putih berisi sayuran. Arina mengucapkan terima kasih, sesaat dia membawanya ke dapur kemudian menaruhnya dalam kulkas. Kini, ia kembali duduk di halaman depan, persis di samping Nyonya Hsiu. Xiao hei pun ikut berjongkok di antara mereka berdua, sesekali menjilati kedua kaki depannya.

                              “Bagaimana perkembangan Ayah saya?” tanyanya.

                                “Sepertinya Kakek sudah mengalami kesulitan menelan bubur, bahkan tak sedikit dia memuntahkan kembali isi dalam perutnya. Pernah kemarin saya coba memberikan susu, tapi hasilnya nihil. Susu itu masuk ke perutnya hanya beberapa detik saja, kemudian dia muntahkan.” Jelasnya.

                              “Kemungkinan dia harus mengonsumsi makanan memakai selang lewat hidung,” tatapan mata Nyonya Hsiu terlihat sayu.

                            “Sebelumnya maaf  Tante, bila saya melontarkan satu pertanyaan ini. Kenapa kalian tidak bersepakat untuk mengoperasi kanker yang ada di kerongkongannya saja? Bukankah dengan menghilangkan kanker itu, setidaknya nyawa Kakek akan tertolong?” lanjutnya.

                           “Begini … “ sempat suaranya terhenti sejenak, tatapannya tertuju pada semburat senja yang perlahan mulai menghitam. Tangannya sesekali mengelus bagian kening Xiao hei.

                            “Ayah sudah tua, usia yang tidak memungkinkan seseorang untuk memilih jalan operasi. Ini bukan soal biaya, tapi pada sebuah keselamatannya. Meskipun aku sebagai menantunya, tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya berdoa. Apalagi … “

                          “Apalagi apa, Tante?” Arina menyela, tak sabar menunggu alasannya.

                           “Apalagi Ayah memiliki penyakit lain seperti darah tinggi dan jantung, justru penyakit itu yang sangat bertentangan dengan proses operasi. Jadi, bila pun Ayah operasi, kendati berhasil itu peluangnya hanya 10 %, sementara 90 % akan menyebabkan pada kematian.” Jelasnya pada Arina.

                          “Iya, saya memahaminya sekarang.” Tak lama, Nyonya Hsiu pun berpamitan pulang. Arina segera menyiapkan ember berisi air yang sengaja dia taruh tak jauh dari tempat duduk Kakek Lee, tempat untuk memuntahkan isi mulut dalam bentuk kental dan berbau tak sedap, asam. Setiap dua kali sehari dia mencucinya, betapa sabarnya dia melakukan itu.

                          Arina kembali mengingat kata-kata dokter di bulan lalu, ketika dia mengantarkan kakek periksa dokter mengatakan tentang perkembangan kanker esofagusnya. Kanker itu membesar dan hampir memenuhi rongga kerongkongan yang menyalurkan makanan ke arah lambung, maka tak heran bila pada akhirnya kakek muntah berkali-kali setiap mencoba ingin menelan sesuatu dari mulutnya. Rasa nyeri juga sering ia alami, hingga sampai merintih, itupun membuat Arina semakin khawatir akan kesehatannya. Tulang dada  terasa sakit, panas, dan seakan seperti ditarik, itu yang dirasakan kakek ketika ditanya Arina. Sama persis dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh dokter.

                         Arina mengehela napas panjang, cemas. Di sisi lain keluarga Lee memperlakukannya dengan baik dan menganggap sebagai keluarga sendiri, di sisi lain jika sebelum habis kontrak Kakek Lee meninggal, apakah Arina harus pergi dengan meninggalkan mereka dan beradaptasi dengan majikan baru. Itu yang sempat terlintas di dalam benaknya ketika malam. Bila rasa khawatir itu datang, dia selalu pergi mengambil air wudhu, sholat.

                        “Ya Allah, kembali hamba datang meminta padaMu. Karena hanya padaMu-lah segala permintaan terkabul. Berikanlah waktu dan usia panjang untuk Kakek Lee, berikan kesempatan untukku merawat Kakek sampai kontrakku habis, Ya Allah. Berikan pula kesehatan untuk Arina, keluarga Lee semuanya, jadikan kami saling menyayangi dan mencintai.” Pinta Arina dalam sholatnya, tak hentinya dia meminta pertolongan pada Sang Khalik, agar senantiasa bisa merawat Kakek Lee dengan kesungguhannya.

                        “Kamu harus sabar saja ya, Arina. Semoga kesabaranmu membuahkan hasil yang maksimal.”

                      “Terima kasih, Tante. Bukan kebetulan rasanya bila dalam kehidupan ini kita dipertemukan dalam sebuah cerita kehidupan di Formosa dan bukankah ini dinamakan jodoh? Manusia hanya bisa memilih dan berusaha, sementara Tuhan yang bisa menentukannya.” Jawabnya sambil tersenyum ramah.


                                                                        ***

                          Pagi itu anak perempuan kakek yang tinggal di Cina datang, Arina mempersilahkan masuk. Kakek betapa senangnya melihat anak perempuan bungsunya itu datang menjenguk dan membawa makanan untuknya. Perlahan ia suapi, tapi tanpa diduga kakek tersedak, Arina langsung memapah kakek masuk mobil diikuti anaknya. Kecemasan mewarnai perjalanan ke rumah sakit.

                         Sesampai di rumah sakit, kakek tertolong. Dokter hanya menyarankan untuk tidak mencoba-coba memberikan makan lewat mulutnya. Akhirnya dokter memberikan selang panjang yang sengaja dimasukkan lewat hidung sebelah kanan. Meski kakek awalnya menolak, tapi dokter memberikan wejangan yang sekiranya membuat kakek tak dapat lagi membantah.

                       “Untuk sementara kamu bisa kasih makan Kakek lewat selang ini, nanti lihat perkembangannya. Kalau  saja tadi kalian terlambat antar Kakek datang, bisa menyebabkan kematian. Namun, bukan berarti selang ini tidak mempunyai efek samping, karena bila sering ditarik atau dicabut, itu akan membuat saluran kerongkongan terinfeksi dan kemungkinan bisa keluar darah yang menyebabkan pada kematian.” Jelas dokter kepada mereka berdua yang masih hanyut dalam kecemasan.

                       “Syukur, akhirnya Kakek tertolong,” gumam Arina pelan.

                        Kakek terpaksa harus tinggal di rumah sakit selama sebulan lamanya, karena alas an kanker yang membesar, dia pun sulit mengelurkan air kencing. Maka, dokter mengambil keputusan untuk memberikan selang saluran kencing. Tidak hanya itu saja, dalam tubuh kakek terdapat tiga bakteri yang sudah menyebar, menyebabkan hasil rongsen paru-parunya memutih dengan bercak putih memudar. Maka, tugas Arina pun semakin bertambah, dari tepuk punggung, dan sedot dahak. Untung saja dia sudah berpengalaman di kontrak kerja sebelumnya, jadi dia tidak mengalami kesulitan mengerjakan itu semua.

                       Selama sebulan itu, dokter mengatakan bahwa paru-paru kakek sudah sembuh. Mereka pun diperbolehkan pulang, tapi cara makan kakek masih menggunakan selang hidung.


                                                                            ***

                       Menginjak tahun kedua, kondisi tubuh kakek tak dapat ditebak. Sampai berat badanya tersisa 45 kg, dan kankernya sudah semakin membesar mendekati area jantung. Kadang untuk bernapas pun mengalami rasa sakit dan nyeri. Pada awalnya kakek tidak mau makan menggunakan selang, maka selang pun sering ditariknya paksa hingga lepas. Cara itu ternyata  bukan menjadi jalan terbaik, hingga akhirnya dokter menyarankan untuk operasi di bagian perutnya mencari jalur menuju lambung. Selang dimasukkan lewat perutnya, dari situlah jalur masuknya makan.

                       Arina panik sekali, proses operasi menunggu waktu lama. Dengan ditemani Nyonya Hsiu, Arina pun sibuk berdoa meminta keselamatan. Selain antri, operasi itu juga butuh ketelitian, empat jam sudah dia menunggu dengan keringat dingin, cemas. Akhirnya, Kakek keluar dengan tersenyum. Syukur terucap tak henti dari bibir Arina.  Raut wajah bahagia mewarnai muka ovalnya dan binar  kedua mata besarnya itu menandakan kepuasan.

                      “Syukur Alhamdulillah, operasi berjalan lancar. Kakek sudah siuman dan kini sudah berbaring di ruangnya kembali,” ucapnya dalam telepon memberikan kabar pada anak-anak lainnya yang tidak sempat hadir karena kesibukan kerja.

                      “Terima kasih Arina atas informasimu, kami di sini ikut berdoa dan mohon jaga Papa kami dengan baik ya?” sahut telepon seberang.

                     “Sama-sama, saya akan menjaga Kakek dengan sepenuh hati.”

                     “Jika ada waktu, nanti kami ke sana untuk menjenguk Papa.” Lanjutnya.


                                                                              ***

                       Hari-hari di rumah sakit, membuat kerinduan Arina setiap kali bermain dengan Xiao Hei kian menjadi, apalagi juga keusilan Titi yang sering menyalak tanpa sebab. Genap sebulan sudah, akhirnya dokter memperbolehkan Kakek Lee pulang. Walau Arina harus mendorong dengan kursi roda, namun semua itu bukan menjadi beban. Ditemani anak perempuannya nomor tiga, Nyonya Lee Wen mengantarkan kami dengan mobilnya.

                      “Kek, kita pulang nih. Nanti ketemu lagi dengan Xiao Hei, dia pasti merindukan kepulangan kita,” ucap Arina.

                     “Itu pasti, apalagi sejak kamu bersamaku, tak ada yang mau memandikan Xiao Hei selain kamu.” Mata kakek melirik dan melempar senyum ramah.

                    Sepanjang perjalanan kakek menceritakan asal mula memelihara anjing, di masa mudanya dia juga memelihara ternak angsa, dan babi. Istrinyalah yang menemukan anjing hitam kecil di pinggiran jalan, lalu memungutnya. Jadi, anjing itu merupakan titipan terakhir istrinya, delapan belas tahun terakhir telah menemaninya. Ketika pertama ingin memberikan nama, sempat mengalami kesulitan, dikarenakan bulunya yang hitam mengkilap dan berukuran kecil, maka disebutlah dia dengan Xiao Hei yang artinya kecil hitam. Kini, dia sudah tumbuh besar,  bahkan giginya sudah bertaring tajam. Tapi, dia tidak pernah menggigit siapapun, hanya di tangan Arina dia tunduk dan menuruti kemauannya.

                     Sebelum tiba di rumah, mereka sempat melewati sebuah Miaoli atau tempat sembahyangan, akhirnya Nyonya Lee Wen menyarankan untuk Arina memapah dan mendorong kursi roda Kakek menuju ke dalam. Ketiganya datang untuk meminta keselamatan, sementara Arina menemani kakek yang berdoa menghadap kepada Dewa-dewa untuk menyalakan tiga dupa, kemudian ditancapkannya.

                    “Arina, minumkan air sesaji ini untuk Papaku, tapi jangan semua. Setelah itu, sisanya untuk membasahi handuk kecil dan kamu usapkan pada bagian muka, leher, kedua tangan, dan dada bagian depan, serta yang terakhir adalah punggung belakang.” Perintah Nyonya Lee Wen seraya menyodorkan air putih dalam botol mineral dan handuk kecil.


                     “Bolehkah saya bertanya, tujuannya untuk apa?”

                     “Tujuannya adalah untuk melindungi dari keburukan dan kejahatan, jadi Papa harus dilindungi, dengan cara ini semoga dia lekas mendapat rasa nyaman, setidaknya tidak merasakan sakit berkepanjangan,” jelasnya.

                      Arina pun mengerjakannya dengan cermat, setelah itu dia pun mendorong kursi roda menuju ke ruang sebelah. Di sana ia dipertemukan dengan seorang lelaki yang sibuk menata genting. Arina heran, baru kali pertama dia menemukannya.

                     “Om, ini untuk apa? Kenapa genting itu ditulisi nama seseorang?” rasa penasaran   menggiringnya untuk ingin tahu.

                    “Genting ini adalah genting kebahagiaan, pintu kebahagiaan akan menghampiri seseorang yang bersedia menuliskan namanya di bagian bawah genting ini, kemudian jangan lupa menuliskan tanggal lahir, dan tempat tinggalnya. Setelah itu, kami dari pihak tempat sembahyangan akan menyusunnya sebagai atap Miaoli ini, semoga harapan dan keinginannya terkabul.” Jelas pria bertubuh sawo matang dengan jenggot yang telah berubah memutih.

                    “Apakah semua itu gratis?”

                    “Tidak, tentu dengan membayar uang 300 NT,” pungkasnya, sembari tersenyum menawaran untuk menuliskan nama kakek yang sejak tadi duduk dan melihatnya. Belum sempat Arina menjawab, ternyata Nyonya Lee Wen sudah mendekati dan segera memesan satu genting untuk ditulis nama Ayahnya. Terbaca sudah tinta cat itu menuliskan nama Lee San Hsiung, disertai tanggal lahir dan tempat tinggalnya.

                     Mereka pun beranjak pulang. Setibanya di rumah, Arina dan kakek disambut oleh Xiao Hei, anjing yang sudah menjadi sahabatnya selama ini. Tatapan bening dan berkaca-kaca ia dapati di kedua retina anjing setianya. Entah, kebahagiaan mana lagi yang harus dibayar oleh Arina, bila kenyataannya dia sesungguhnya sudah mengintip pintu bahagia itu ada di depannya.

                    Pengorbanan selalu berbuah hikmah, tinggal bagaimana dia mengukir dan mengenangnya bersama Kakek Lee San Hsiung. Keikhlasannya untuk memberi yang terbaik di sisa usianya.

THE END


Magetan, 17 April 2015

                     
Note:

Kanker esofagus atau kanker kerongkongan adalah kanker yang biasanya dimulai dalam sel-sel yang melapisi bagian dalam kerongkongan. Kanker ini dapat terjadi di sepanjang kerongkongan.

Kanker Kerongkongan terjadi ketika sel-sel di kerongkongan mengalami mutasi dan tumbuh tak terkendali. Sel abnormal yang terakumulasi membentuk tumor di esofagus yang dapat tumbuh di dekatnya untuk menyerang struktur dan menyebar ke bagian lain dari tubuh.

(Diangkat dari kisah nyata)