MIMPI MENTARI

2015/4/16 / Tari Sasha / Mimpi Mentari / Indonesia 印尼 / tidak ada

MIMPI MENTARI
KARYA: TARI SASHA

Sudah tiga hari aku dikejutkan oleh mimpi yang sama. Tidurku gagal lelap, malahan pengap. Keringat membasahi badan. Tenggorokanku kering kerontang dan kepalaku perih bukan kepalang. Tubuhku kehilangan haknya untuk istirahat. Butuh setengah menit untuk memulihkan kesadaran dan untuk memikirkan makna apa gerangan? Aku berharap mimpiku segera kabur dari ingatan, hanya bunga tidur yang mengganggu ketenanganku dengan jutaan bimbang.
Aku bangun dari ranjang dan segera membuka gorden. Serentak cahaya hangat menyinariku. Matahari fajar menyapa Mentari. Itu namaku. Namun, aku bukanlah pusat tata surya. Hanya Mentari yang bersinar lara. Kian hari sinarku yang kian redup seiring raga yang kian susut. Dalam palang tertutup kaca aku meradang, entah apa gerangan tapi kian detik merayap siang gulanaku maju menyerang. Aku rindu pulang.
Aku embuskan nafasku dalam-dalam. Tiga hari ini aku seperti serdadu kalah perang, pasien yang kujaga tak membiarkan mataku memejam. Dia merengek manja meminta iba, dan kewajibanku melukiskan kasih pada kanvas hatinya yang berwarna putih. Kasih tulus seorang Mentari, seorang abdi yang datang dari seberang lautan, untuk merawatnya, menjaganya dengan segenap raga dan jiwa.
Semilir angin menabrak kaca jendela. Musim dingin nyaris tersingkir, berganti udara lembab menyongsong musim panas yang sebentar lagi menguasai jagat Formosa yang berbau dupa. Kota ini menorehkan sejuta cerita, di balik tumpang tindih pelbagai papan pengenal pusat perbelanjaan, iklan, dan penunjuk jalan yang menjadi saksi keberadaanku di atas panggung drama Formosa. Yang kini tengah kumainkan babak demi babaknya. Drama kehidupan dari lakon menjadi batur, menjadi sahaya tetapi bersahaja.
Jika aku boleh bercerita tentang secuil masa laluku, aku adalah seorang penari. Bapak adalah seorang begawan tari. Biasanya kala senja merangkak ke pelukan cakrawala, lumaksana kaki kami mengguncang bawana, memijakinya menuruti alur gending yang berdentang, semua gema gong, gambang, saron, dan bonang berkumandang dalam alam bawah sadar. Rona jingga surya seperti sorotan lampu panggung yang terang. Di panggung alam itu kami pertontonkan mahadaya tari tak bercela. Tarian serimpi kami menjadi atma di atas bumi parastra.
“Grama, angin, toya, bumi,” sibak Bapak menjelaskan falsafah serimpi.
“Apa itu grama, Pak?”
“Api jiwamu, Nak. Yang menggerakkan jiwa ragaku sehingga menyatu dengan tarian itu. Bahkan, kamu tidak menyadari dirimulah tarian itu.”
Sampai sekarang aku tidak mengerti perkataan bapak. Namun waktu itu, beliau hanya tersenyum membiarkan aku didera bingung. Sampai aku berdiri di sini, di depan jendela bening apartemenku yang menghadap balai kota Taichung. Aku masih bertanya apa itu grama? Api semangat? Semangat apa? Aku sudah bukan penari yang meliuk, atau sampurku melambai. Aku abdi kini, kawulo alit yang naif lantaran percaya pada balasan sang bayu, semilir akan berbalik semilir, badai tak akan pernah datang tanpa diundang. Itulah filosofi angin yang kumengerti, kebaikan akan berbalas kebaikan, dan tak mungkin berbalas kejahatan.
Gramaku kukobarkan di sini, sebagai abdi yang bersimpuh pada dawuh, terpasung sendiri dibentengi kaca-kaca tebal, peluhku mengalir tanpa keluh. Aku dekati nenek yang terbaring lemah, dengan gumaman lebahnya yang mendengung tak bermakna. Entah apa yang dirasakannya, setelah dua puluh tahun terbaring tak berdaya. Hanya matanya yang bicara saat aku menyentuh kulit keriputnya. Bicara tentang hidup setelah mati yang kutakuti, atau hidup seperti mati yang dia jalani. Entah!.
Sebuah pesan masuk ke ponsel jadulku. Pesan dari bapakku.
“Nduk, ibu sudah membaik. Jaga dirimu baik-baik. Angin yang membawamu pergi adalah angin kesejukan yang tulus kurelakan. Tiada durja, hanya elok sifat dan penuh welas. Itu sejatinya hidup kita sebagai manusia. Di manapun bumi kau pijak di situlah kau harus menapak.” Demikian tulis bapak.
 Kabar ibu sudah membaik menyunggingkan sebuah senyum di bibirku. Seperti toya yang tersiram di dalam ragaku yang kerontang. Terima kasih Tuhan atas penghidupan yang Kau tambahkan pada ibu yang tengah melawan lara.
Aku lewati hari ini seperti biasa, dengan segala rutinitas merawat sang renta yang tak berdaya. Aku bayangkan kini kurawat ibu. Dengan segala welas asihku. Kuabdikan diriku. Untukmu ibu, kulupakan semua mimpi besarku. Menjadi penari hanya terlintas sesekali kala kumimpikan suara gamelan. Aku akan mengumpulkan keping-keping uang, untuk ibu, untuk kesembuhanmu.
Aku coba memejamkan mata, saat bulan bertengger anggun di singgasana langit, nenek telah terlelap dalam buaian mimpi. Aku pun ingin sama, berpelukan dengan mimpi, melupakan sejenak lelah duniawi. Andai gending-gending sinden berkumandang, aku akan mengibaskan sampurku dan ukel serta kenser gemulai kuliukkan.
Mentari ... Mentari ...
Suara serak itu jelas-jelas memanggilku. Awalnya sedikit kubuka mata mengintip dari mana panggilan itu berasal, tetapi sontak mataku terbelalak. Nenek  tengah berdiri di depan ranjangku. Aku tengok ranjangnya, dia tidak ada di sana. Pandanganku tidak keliru. Wajahnya muram. Diakah yang menyebut namaku barusan?
“Nek .... “ Sapaku menggantung. Jujur keadaan ini membuatku takut.
Yang kedengaran cuma langkah disaruk mendekatiku. Kaki-kaki lumpuh itu maju senti demi senti mendekatiku. Aku alihkan wajah dan selimutku menghampar di bawah.
“Mentari.” Panggilnya lagi.
Wajah tirus nenek merendah hingga kurasakan dengus napasnya. Aku pejamkan mata kembali, tetapi tak bisa. Bahkan tubuhku kini lumpuh dan kaku.
“Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku.”
Tangan keriputnya meraba bahuku.
“Lepaskan aku, Nek.”
“Kumohon tetaplah di sini.”
“Lepaskan aku!”
“Tetaplah di sini.” Cengkeraman tangannya mengerat, kurasakan bahuku diguncang.
“Lepas, Nek!”
“Dia telah pergi, dia telah pergi. Percuma kembali,” teriaknya di telinga kiri.
“NEK!”
Suara ketukan pintu terdengar keras.  Kemudian menggebrak terbuka. Aku tahu itu, sosok tinggi itu Lin Yi Ting. Dia menyalakan lampu dan membentakku.
“Mentari kamu kenapa?”
Buru-buru dia menyambangi kasur nenek, dan wanita tua itu masih lelap melena.
“Maafkan aku.”
“Kamu mimpi lagi?” sanggahnya.
“Lagi?” balasku tak mengerti.
“Sudah beberapa hari ini kudengar igauanmu. Tapi tadi yang paling kencang. Ada apa sebenarnya? Tidak tahukah kamu kalau aku masih bekerja?”
Aku lirik jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi.
“Maafkan aku. Aku ingin ke kamar mandi.”
Aku beranjak dari kasur. Kulihat majikanku masih termangu memandang ibunya yang mendengkur. Kuguyur badanku dengan air walau pakaian masih lengkap kukenakan. Air ini menenangkan, laksana kasih paramita kedua orang tuaku. Mereka yang tak pernah memaki, membentak, atau mengasariku. Seperti air yang tenang dan dalam mereka mengajariku menapaki bumi, tumbuh dan terus kuat menantang matahari. Ra-rasa ingsun handusilih..
Fajar itu mendung menggelayut. Dingin seperti berkabut. Titik-titik hujan menabrak tanah dengan lembut. Sebuah getaran halus membangunkanku dari lamunan. Bapak menelepon.
“Nduk.”
“Iya, Pak.”
“Ibumu, Nduk?”
“Kenapa Ibu, Pak?”
“Ibumu telah menghadap Gusti Allah, Nduk.”
Aku dengar suaranya melirih. Betapa kuatnya dia menahan detas kepedihan agar tak membuas. Hanya untuk mengabarkan pijar kehidupan yang telah padam.
Tubuhku merosot ke lantai dan bersimpuh luluh. Atmaku terlonjak menari dengan air mata berderai. Terus menari di bawah guyuran hujan pagi. Waktu ketika ibu benar-benar pergi. Batinku menjerit di tempat paling sunyi bernama hati.

Taiwan, 15 April 2015
Catatan:
1. Batur: pembantu
2. Lumaksana: gerakan langkah kaki maju mundur dalam menari
3. Bawana : bumi, dunia
4. Gending: lagu yang nyanyikan diiringi gamelan
5. Atma : jiwa, ruh
6. Parastra : mati
7. Grama : api
8. Toya : air
9. Sampur: selendang panjang yang digunakan penari dalam menari
10. Kawulo alit:  rakyat kecil
11. Dawuh: perintah
12. Nduk: panggilan pada anak gadis Jawa
13. Durja: jahat
14. Welas asih: belas kasih, iba
15. Sinden: penyanyi yang menyanyi lagu berbahasa Jawa diiringi suara gamelan
16. Ukel: gerakan tangan dalam menari Diana pergelangan tangan memutar ke arah dalam berlawanan dengan jarum jam, jari tengah bertemu dengan jempol
17. Kenser : gerakan kaki dalam menari, berpindah posisi menggeserkan telapak kaki secara bersamaan
18. Paramita : sempurna
19. Ra-rasa ingsun handusilih : rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani