Pengalaman di Taiwan yang mengubah hidup

2015/4/22 / dewi / Pengalaman di Taiwan yang mengubah hidup /  Indonesia / 移民署北區事務大隊臺北市服務站

PENGALAMAN DI TAIWAN YANG MENGUBAH HIDUP

    Saya berasal dari Indonesia. Saya ingin menceritakan pengalaman yang saya alami selama hidup di Taiwan. Taiwan adalah Negara pertama yang saya kunjungi selama hidup saya. Saya teringat pertama kali saya berada di dalam pesawat dan melihat Taiwan dari atas pesawat “sangat indah”, begitulah kesan pertama saya.
    Saya bertemu dengan suami saya di Indonesia, ketika ada sebuah acara pertemuan silaturahmi keluarga yang biasa rutin dilakukan. Pada saat itu, bibi saya yang baru pulang berlibur dari Taiwan dia juga membawa anak temannya untuk bermain ke Indonesia. Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa disanalah saya bertemu dan berkenalan dengan dia yang pada akhirnya merubah dan membawa kehidupan saya ke tempat di negeri Formosa ini.
    Kami berkenalan dengan sangat cepat dan saat itu entah kenapa saya merasa seperti sudah lama sekali mengenalnya. Kami akhirnya mulai menjadi teman. Kadangkala saya merasa lucu dan selalu tertawa ketika melihat dan bersamanya dia. Dengan keterbatasan Bahasa dia tetap berusaha untuk selalu memberikan perhatian ketika kami berpergian keluar bersama. Dia baik, kalem sekali dan tidak banyak bicara, itulah kata-kata yang mendeskripsikan pandangan saya terhadap dia.
     Setelah berkenalan dan menjadi teman beberapa lama, pada suatu kesempatan dengan kata-kata yang terbatas dia mengunjungi keluarga saya dan mengutarakan niatnya untuk meminang saya. Saya sangat terkejut mengingat pertemuan kami yang tidak lama, namun orang tua saya sangat menyukai sikapnya, mereka menganggap dia adalah seseorang yang punya sikap yang dewasa dan bertanggungjawab. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya setelah beberapa minggu kemudian, saya memutuskan untuk menerima lamarannya. Kami melangsungkan pernikahan dengan sederhana karena pada saat itu suasana keluarga besarku masih dalam keadaan berkabung.
    Setelah menikah, untuk sementara kami tinggal bersama keluargaku. Karena dia orang asing maka banyak surat-surat yang harus kami urus. Semua itu sangat melelahkan dan butuh waktu yang panjang sedangkan masa kunjungannya segera berakhir. Akhirnya dia harus pulang sendiri ke Taiwan dan meninggalkan saya sendiri menjalani kehidupanku sampai surat-surat yang diperlukan selesai dan saya menyusul dia ke Taiwan untuk memulai kehidupan rumah tangga saya yang baru.
    Memulai kehidupan berumah tangga di Taiwan ternyata tidak mudah. Semua pemikiran dan rencana yang awalnya telah saya rencanakan semuanya tidak bisa dilakukan. Pertama-tama mulai dari yang saya harus hadapi langsung adalah komunikasi. Setelah sampai di sana saya menyadari ternyata saya di Taiwan bagaikan seseorang yang sangat bodoh, tidak dapat melakukan apapun, tidak tahu jalan, bahkan saya tidak bisa mengutarakan secara jelas apa yang saya inginkan. Ditambah lagi disini tidak ada saudara, teman ataupun sahabat yang bisa menjadi tempat curhatan hati membuat saya semakin frustasi dan kesepian. Sementara suami yang saya harapkan bisa mengerti perasaan saya, membantu dan menemani saya selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sikapnya yang berubah membuat saya sangat kecewa, kamipun sering bertengkar karena hal itu. Keadaan yang saya hadapi sangat berbeda dengan impian dan harapan saya. Terkadang seringkali saya berpikir, “apakah keputusan saya untuk menikah dengan orang asing itu benar?”. Kondisi keadaan ini membuat saya terbayang tentang kehidupan saya sebelum menikah. Hal itu membuat rasa rindu terhadap keluarga bertambah dan memenuhi hati saya. Setiap kali saya bertengkar dengan suami, selalu terpikirkan oleh saya untuk bercerita ke mama, namun saya takut keluarga saya di Indonesia khawatir. Setiap kali saya menelpon ke rumah selalu bilang kalau kehidupan saya di sini sangat baik, namun sejujurnya setelah telepon ditutup, saya malah merasa sangat sedih. Saya sendiri tidak mengerti mengapa tiba-tiba hati saya merasa sangat sedih, seolah-olah saya berada di lautan yang luas tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menolong. Saya merasa terombang-ambing di lautan luas ini, akhirnya saya berdoa, “Oh…Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” didalam hati saya menjerit. Hari terus berlalu, saya menjalani kehidupan dengan terus berdoa kepada Tuhan, saya berharap suatu hari keadaan ini akan berubah.
    Tidak mudah bagi saya untuk menjalani kehidupan di Taiwan. Mulai dari Bahasa, cara pandangan hidup, kebiasan kehidupan sehari-hari, kebudayaan yang berbeda seringkali mengakibatkan kesalahpahaman. Apalagi keluarga besar suami saya juga punya pandangan yang aneh dengan cara hidup saya yang dinilai berbeda dengan mereka. Mereka sering merasa aneh dan bertanya kenapa saya harus mandi tiga kali dalam sehari? Kenapa saya suka makanan yang bagi mereka makanan aneh? Mengapa setelah makan harus minum air putih atau teh manis? Kenapa saya makan menggunakan piring dan sendok? Kenapa saya tidak mengunakan sumpit? Kenapa semua sayur dijadikan satu? Tidak hanya itu bahkan ada juga yang bertanya apakah di Indonesia ada kursi atau tidak, ada lemari es atau tidak, apakah semua makan dengan tangan dan banyak hal-hal lain yang mereka tanyakan. Pada waktu itu karena bahasa Mandarin saya belum lancar jadi banyak sekali pertanyaan yang mau saya jawab tetapi tidak dapat saya jawab dengan baik.
     Dengan banyaknya kejadian yang saya hadapi membuat saya merasa kalau Bahasa itu sangat penting. Saya mulai mencoba beradaptasi dan belajar sedikit demi sedikit tentang Bahasa Mandarin. Kebetulan di gereja ada mengadakan pembukaan kelas pelajaran Bahasa Mandarin bagi imigran baru dan semua program itu adalah bisa diikuti secara cuma-cuma. Belajar Mandarin disana rutin dilakukan seminggu tiga kali, dimana di kelasnya diisi oleh semua orang asing termasuk saya. Yang mengajarkan Bahasa Mandarin ke kami adalah seorang kakak beradik yang merupakan anggota gereja di dekat rumahku. Mereka bermarga Mo. Adiknya adalah guru pensiunan yang sangat sabar dan murah senyum. Tidak hanya membantu dalam belajar Bahasa dan memperkenalkan kebudayaan Taiwan, dia juga membantu kami pada saat kami perlu bantuan. Dia seperti ibu kami, setiap kami ada masalah dia selalu siap mendengarkan keluhan-keluhan kami serta memberikan saran-saran yang terbaik. Kakaknya adalah seorang gembala gereja yang selalu memberi perhatian kepada kami. Dia juga sering membawa kami jalan-jalan. Jika kami punya masalah keluarga, kami boleh minta bantuannya baik dalam segala hal. Kami juga diperbolehkan belajar sambil membawa anak. Waktu belajar Bahasa Mandarin adalah waktu yang sangat membahagiakan bagi saya.
    Saya mulai terbiasa hidup di Taiwan, selama hidup di Taiwan saya menemukan banyak hal menarik yang tidak saya temukan di Negara asal saya. Mulai dari sistem transportasi yang efisien, teknologi yang canggih, jalanan yang bersih serta lalu lintas yang tertata rapih. Orang-orang Taiwan juga sangat rajin dan sangat memperhatikan pendidikan anak-anak. Mereka dilengkapi dengan asuransi kesehatan Nasional yang baik, dalam hal itu membuat saya merasa alangkah baiknya jika Indonesia juga bisa demikian.
    Kehidupan saya mulai terasa normal, saya merasa nyaman beraktivitas di Taiwan apalagi di tambah dengan makanan yang enak, barang-barang yang murah dan masyarakat yang sangat ramah. Hubungan saya dengan suami pun mulai membaik. Keluarga kami menjadi lebih harmonis. Saya juga tidak merasa bahwa saya sendirian  dan kesepian lagi karena mulai kenal dengan banyak teman imigran baru.
    Namun di sela-sela kenyamanan kehidupan saya, saya juga pernah mengalami beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan seperti ketika gempa besar di Taiwan. Pada saat itu saya baru tiba di Taiwan dan seumur hidup saya tidak pernah mengalami keadaan ini. Semua keadaan kacau, listrik mati serta banyak gedung-gedung yang terguncang sampai akhirnya runtuh. Orang-orang mulai keluar rumah, saya tidak mengerti apa yang terjadi. Dulu suami saya pernah bilang di Taiwan sering terjadi gempa bumi, namun saya masih merasa keadaan ini bukan seperti yang dia katakan. Saya melihat suami saya sangat tergesa-gesa membawa saya keluar dari rumah. Waktu kejadian itu tengah malam dan kami pun bergadang di jalanan sampai pagi. Setelah memastikan gempa sudah berakhir, kami baru pulang kembali ke rumah. Suami saya membeli banyak makanan, baterai dan minuman untuk persedian di supermarket. Setelah kejadian itu saya merasa syok berat dan terus-terusan khawatir. Setiap hari selalu merasa ada gempa sehingga saya tidak berani tidur dengan lelap, jika ada sedikit gonjangan saja saya selalu langsung lari keluar dari rumah.
    Selain gempa bumi saya juga pernah mengalami kebanjiran di Taiwan. Pada saat itu ada “taifung” atau angin topan yang melanda Taiwan. Akibatnya sebagian besar daerah di Taipei City banjir termasuk di rumah saya. Saya harus membereskan dan mengangkat semua barang agar tidak terendam air banjir. Walaupun pengalaman ini tidak semenakutkan seperti ketika gempa terjadi namun pengalaman ini sangat melelahkan karena setelah banjir mereda saya harus membersihkan rumah yang kotor dan membereskan kembali barang-barang seperti semula.
Sejalan dengan waktu saya mengandung dan melahirkan. Suami saya sangat gembira menyambut kelahiran buah hati kami, tetapi kami juga sadar kalau tanggungan kehidupan keluarga pun mulai berubah. Banyak hal yang harus saya hadapi mulai dari mengasuh dan mendidik anak-anak serta tanggungan keluarga yang berat karena pendapatan suami yang pas-pasan. Keadaan ekonomi keluarga yang akhirnya membuat saya mengambil keputusan untuk bekerja tanpa berunding dengan suami saya. Saya mulai mencari pekerjaan. Kebetulan tempat kerja teman saya memerlukan pelayan untuk mencuci piring, akhirnya saya mulai bekerja sebagai pencuci piring dalam beberapa jam di sebuah rumah makan dan juga diperbolehkan membawa anak sambil bekerja. Tidak mudah menjalaninya namun saya lakukan dengan gembira, suami saya juga tidk bertanya ataupun curiga karena dia mengira saya masih pergi untuk belajar Bahasa Mandarin.
    Pada suatu malam, anak saya sakit dan badannya panas sekali. Saya terburu-buru membawa anak saya ke rumah sakit terdekat. Pada saat itu suami saya tidak ada di Taipei, dia pulang untuk menengok orang tuanya. Dengan kemampuan bahasa yang terbatas serta hati yang cemas, saya berusaha menjelaskan ke pihak rumah sakit tentang kondisi anak saya. Akhirnya saya berhasil mengantar anak saya masuk ke ruang gawat darurat. Kemudian dokter memeriksa dan saya diberitahu bahwa ternyata anak saya terjangkit penyakit Enterovirus “zhang pintu” yang mengharuskan anak saya di rawat di RS. Suami dan mertua saya tiba di RS dan menanyakan kondisi anakku. Kejadian itu membuat saya cemas dan sedih. Mertua saya kemudian memberi nasehat kepada saya, “Cari uang itu memang penting, tapi jaga anak lebih penting. Kalau demi cari uang anak tidak terurus, apa gunanya?”, katanya. Mereka akhirnya tahu bahwa selama ini saya membawa anak saya bekerja. Mereka tidak setuju dan menyuruh saya untuk berhenti dari pekerjaan itu. Saya merenungkan nasehat mertua dan saya menyadari kalau memang keadaan lingkungan di sekitar tempat kerja saya sangat tidak cocok dengan membawa anak, apalagi dia sekarang sangat nakal. Akhirnya setelah anak saya sembuh, saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali menghabiskan waktu sepenuhnya untuk belajar Bahasa, mengurus anak dan keluarga. Terkadang jika ada waktu saya sering membawa anak saya pergi ke perpustakaan yang terdekat untuk melihat buku anak-anak.
    Anak saya sudah semakin besar dan dia mulai masuk Taman Kanak-kanak (TK). Rutinitas sehari-hari saya berubah, saya lebih banyak menghabiskan waktu di luar seperti mengantar anak sekolah dan menunggu anak saya sampai jam sekolah selesai. Terkadang saya pulang ke rumah sebentar baru kemudian menjemput anak saya ketika jam pulang sekolah. Suatu hari saya tidak menjemputnya pulang dan anak saya pulang dengan terluka, ketika saya bertanya apa yang terjadi kepadanya dan di menjawab kalau dia di dorong oleh temannya. Mendengar hal itu saya dengan terburu-buru kembali ke sekolah untuk mendengar penjelasan dari guru TKnya tentang apa yang terjadi dan orangtua anak yang mendorong anak saya juga ke sekolah untuk meminta maaf.
   Setelah kejadian itu, suami saya selalu merasa cemas dan takut kalau anak kami bisa terluka lagi. Sehingga untuk menenangkan suami, saya pergi ke sekolah dan menunggu di depan kelas selama jam pelajaran. Gurunya menyuruh saya pulang, namun saya menjelaskan keadaannya kepada guru TK anak saya dan saya berjanji tidak akan mengganggu selama proses belajar. Setelah mendengar penjelasan saya, saya pun diijinkan untuk menemani anak saya belajar di dalam kelas. Di sela-sela itu dengan tidak menggangu, saya juga membantu anak-anak yang lain misalkan ketika guru sangat sibuk mereka ingin ke kamar kecil, saya membantu membawa ke kamar kecil dan juga terlibat dalam aktivitas yang diadakan di sekolah. Waktu pun berlalu, anak saya pun lulus TK. Untuk itu sekolah mengadakan acara kelulusan. Tiba-tiba nama saya disebut dan guru anak saya menyuruh saya untuk maju kedepan. Ternyata saya dipanggil untuk menerima piagam penghargaan sebagai relawan sekolah. Saya sangat terkejut. Anak dan suami saya melihat saya dengan tersenyum. Pengalaman itu merupakan pengalaman yang tidak terlupakan dalam hidup saya. Saya berpikir ternyata saya bisa juga melakukan sesuatu yang berarti dan berguna.
    Di sekolah saya dapat bertemu dengan banyak orang seperti guru-guru, para orang tua murid dan anak-anak lainnya. Melalui pertemuan itu saya mendapatkan ilmu, masukan dan saya juga dapat belajar banyak dari pengalaman mereka. Saya merasa sangat senang selama menjadi relawan di sekolah. Perlahan-lahan bahasa Mandarin saya pun mengalami kemajuan. Saya sudah bisa mengikuti dan mendengar seminar pendidikan anak yang diadakan di sekolah. Melalui seminar ini saya menjadi semakin tahu bagaimana membantu anak saya dalam meningkatkan pendidikannya.
    Saya juga mendaftarkan diri untuk belajar di kelas-kelas yang dibuka oleh pemerintah untuk Imigran baru. Semua pelajaran itu didapatkan secara cuma-cuma(gratis), semua gurunya pun sangat sabar dan baik. Kelas yang dibuka disana bermacam-macam seperti kelas bahasa Mandarin, kelas bahasa Taiwan (Dialek), kelas untuk mencari kerja serta kelas pengetahuan undang-undang. Untuk kali ini keluarga saya juga mendukung keputusan saya dan mereka selalu menyemangati saya “chia yu…chia yu…chia yu…..”, kata mereka.
    Pengalaman saya alami memicu saya untuk ikut membantu teman sebangsa saya yang tinggal di Taiwan. Suatu kali saya mendengar dari teman saya bahwa ada kesempatan untuk membantu para imigran baru melalui program dari yayasan sebagai tenaga penerjemah. Dia menawarkan dan bertanya apakah saya berminat dengan program itu. Saya pun memutuskan untuk mendaftarkan diri pada program itu. Disana saya belajar bagaimana menjadi seorang penerjemah dan mengikuti ujiannya. Beberapa hari kemudian saya melihat pengumuman dan ternyata saya lulus dan mendapatkan sertifikat. Kemudian saya ditugaskan di sebuah tempat pelayanan kesehatan sebagai seorang penerjemah bahasa Indonesia.
    Pertama kali menjadi seorang penerjemah membuat saya takut dan gugup. Banyak pertanyaan dalam diri saya, salah satunya apakah saya dapat melakukannya dengan baik. Saya samasekali belum punya pengalaman dalam bidang ini, walaupun saya sudah belajar berbagai macam pelajaran mengenai bagaimana kita menjadi penerjemah yang baik, namun sepertinya saya masih belum siap. Saya merasa bersyukur karena ditemani oleh penerjemah yang berpengalaman, selain itu banyak teman-teman yang lain yang sangat berpengalaman juga memberikan bimbingan, sehingga membuat saya tenang dan dapat melakukannya dengan baik.
    Selama menjadi penerjemah banyak kejadian yang berkesan. Ada satu kejadian yang saya ingat di tempat pelayanan kesehatan. Saat itu saya sedang bertugas di sana, kemudian ada seorang teman Indonesia mau pergi berobat. Dia baru datang ke Taiwan selama 7 bulan lebih, walaupun begitu bahasa Mandarinnya masih belum lancar. Saya dari kejauhan melihat dia mondar-mandir dengan keraguan, saya sapa dia dan akhirnya dia mengutarakan bahwa dia mau berobat. Awalnya suaminya mau menemaninya tetapi karena ada urusan lain jadi dia pergi sendirian. Setelah sampai dia baru merasa khawatir bahwa nanti tidak bisa berkomuniksi dengan dokter. Saya menghibur dia dan membantu menulis biodatanya, setelah gilirannya saya pun ikut menemani dia sampai selesai pemeriksaannya. Tidak lama kemudian suaminya datang dengan tergesa-gesa, saya pun menjelaskan kembali kejadian tadi ke suaminya dan mengingatkan kembali nasehat dokternya. Saya juga memberitahukan tempat-tempat pelayanan imigran baru lainnya jika dia membutuhkan pertolongan.
    Saya juga teringat dengan cerita yang lain dimana saya membantu menerjemahkan Bahasa Mandarin ke seorang TKW Indonesia yang bekerja sebagai perawat orang tua di dekat rumah saya. Dia sedang membawa seorang nenek berjalan di sekitar taman. Namun ada yang aneh dari wajahnya, wajahnya kelihatan sedikit bengkak. Akhirnya saya menyapa dan berbicara dengannya dengan Bahasa Indonesia dan bertanya mengenai wajahnya. Diapun bercerita kalau sudah lama gusi giginya bengkak dan sakit, namun karena tidak bisa bicara Bahasa Mandarin dia hanya menahan rasa sakitnya itu dengan minum larutan ”kaki tiga” yang dibawanya dari Indonesia setiap hari. Ketika ditanya mengapa tidak pergi ke dokter, jawabnya takut biaya rumah sakit di Taiwan yang mahal dan dia tidak mampu untuk membayarnya. Padahal di Taiwan ada asuransi kesehatan nasional yang bisa dipakai, tetapi karena tidak mengerti Bahasa Mandarin dia tidak tahu bagaimana mengunakan fasilitas itu.
    Pada saat itu saya menjelaskan kepada dia kalau di Taiwan ada Asuransi kesehatan Nasional dan banyak biaya yang sudah ditanggung didalamnya, sehingga tidak perlu khawatir mengenai biaya. Seandainya sakit, hanya membayar dengan biaya yang ringan. Saya mengingatkan dia jika sakit harus segera berobat ke dokter dan jangan ditahan nanti semakin bertambah parah. Saya juga membantu menjelaskan masalahnya pada majikannya. Majikannya sangat terkejut mendengar kalau TKWnya sakit. Mereka meminta bantuan saya untuk menemani dia berobat. Mendengar ceritanya dan melihat kondisinya, saya pun bersedia menemani dia bersama dengan majikannya untuk periksa ke rumah sakit. Saya membantu menerjemahkan  keadaannya ke dokter dan dokter memeriksanya. Namun ternyata pembengkakan pada gusinya sudah parah sekali dan harus dikontrol beberapa kali oleh dokter sampai akhirnya sembuh total. Saya pun terus menemani dia kunjungan ke dokter sampai akhirnya dia sembuh.
     Pengalaman-pengalaman ini yang menjadi inspirasi dan membuat saya semakin mantap untuk membantu menterjemahkan Bahasa Indonesia ke orang-orang Indonesia di Taiwan yang tidak mengerti Bahasa Mandarin. Saya sangat mengerti betapa sulitnya beradaptasi dengan adanya keterbatasan Bahasa dan bagaimana perasaan mereka yang baru datang ke Taiwan dan harus menjalani kehidupan di Taiwan padahal tidak mengerti tentang Taiwan dari Bahasa ataupun budayanya.
    Saya juga mengajarkan anak saya Bahasa Indonesia dengan harapan kalau ada kesempatan pulang ke Indonesia, anak saya bisa berbicara dengan kakek-neneknya dan saudara-saudara yang lain. Apalagi pemerintah juga menganjurkan kalau imigran baru diharapkan mengajar Bahasa Ibu ke anaknya sendiri, karena dengan bisa Bahasa Ibu maka kesempatan untuk pulang ke Negara Ibu lebih terbuka. Suami saya juga mendukung keputusan ini.
   Sekarang saya merasa sangat bahagia, pengalaman yang saya jalani merupakan hadiah dari Tuhan untuk membuat saya semakin berkembang. Sekarang saya banyak berkenalan dengan teman-teman senegara bahkan dengan warga negara lain. Rutinitas saya sekarang selain mengurus anak dan keluarga, saya juga menjadi relawan di berbagai tempat, belajar pengetahuhan-pengetahuan umum, membantu menterjemahkan Bahasa Mandarin ke orang Indonesia ataupun sebaliknya. Jika ada waktu luang ikut acara-acara yang diselenggarakan pemerintah untuk imigran baru.
    Saya sekarang menjadi lebih aktif. Keluarga saya juga melihat perubahan saya, anak-anak saya juga senang dan merasa ibunya sangat hebat. Saya sangat menikmati rutinitas saya sekarang. Saya merasa bersyukur dan berterima kasih kepada keluarga saya yang selalu mendukung dan menyemangati saya pada saat suka maupun duka. Mereka adalah motivasi terbesar saya. Saya menyadari melewati banyak hal dan belajar banyak hal yang akhirnya membawa saya menjadi diri saya yang sekarang. Di Taiwan saya juga sering mendengar ada pepatah yang mengatakan “kalau memberi lebih membahagiakan daripada menerima”. Saya pun merasa demikian. Sehingga kalau ada kesempatan untuk melayani dan membantu orang lain saya sangat bersedia dan senang. Walaupun pada pertama kali hidup di Taiwan saya banyak mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan juga, namun saya yakin kalau saya terus berusaha, selalu mau belajar dan pantang mundur, suatu hari nanti saya pasti akan menuai buah yang manis dari kerja keras saya. Pengalaman yang saya alami di Taiwan ini benar-benar pengalaman yang tidak terlupakan dan sangat mengubah hidup saya. Saya berharap orang lain bisa merasakan pengalaman baik yang tidak terlupakan selama di Taiwan. Terima kasih Taiwan.

- Sekian    -
        Dewi