Keluarga Keduaku Di Formosa

2015/5/23 / Evi Agustika / Keluarga Keduaku Di Formosa / Indonesia 印尼 / FLP Taiwan

Musim semi telah tiba. Sinar mentari pagi memberi kehangatan, setelah beberapa bulan terhalang oleh dingin dan tebalnya kabut. Cericit burung bersenandung riang, diiringi gemulai dedaunan pinang, yang menari bersama helaian angin pagi nan menyegarkan. Kupu-kupu terbang kian kemari, menghisap nektar dari bunga-bunga yang merona bersemi. Semesta pun bertasbih, memuji keagungan-Nya.

Pagi belum sepenuhnya menyapa. Aku dan mama---panggilanku kepada majikan perempuanku telah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.

""Lika, cepat kau siapkan segala keperluan Papa . Karena Paman Wu, akan mengantarkan kalian lebih awal pagi ini!"" perintah mama saat menghidangkan sarapan di meja.

""Baik, Ma,"" jawabku patuh, terus berlalu untuk melaksanakan perintahnya.

Pagi ini memang ada jadwal papa melakukan chek up, sekaligus menjalani terapi fisik. Melakukan olahraga ringan dalam pengawasan ahli terapi.

Alika namaku. Hampir setahun, aku bekerja pada keluarga Huang. Keluarga ini tinggal di desa Dongshe-Neipu kabupaten Pingtung. Papa, begitu aku biasa memanggil tuan yang aku rawat.Pria tambun, berusia 65 tahun ini menderita penyakit komplikasi jantung dan diabetes. Sehingga ia membutuhkan perhatian khusus akan pola makan, diet dan olahraga ringan dalam kesehariannya. Perawakannya yang tinggi besar, menunjukkan bahwa papa adalah seorang pekerja keras di masa mudanya. Sebelum sakit, papa adalah seorang manager sebuah perusahaan manufaktur. Hampir seluruh waktunya, ia habiskan di luar rumah. Pola makan dan istirahat yang tidak teratur membuat kesehatannya terganggu. Puncaknya, setahun lalu beliau ditemukan tak sadarkan diri di ruang kerjanya.

Beruntung papa mendapatkan pertolongan medis secepatnya, sehingga ia terselamatkan. Dokter menyarankan agar papa tidak terlalu stres dan harus menjalani pola hidup sehat. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, papa memutuskan berhenti bekerja dan menjalani perawatan yang lebih intensive. Pekerjaan mama sebagai seorang guru sekolah dasar, membutuhkan tanggung jawab yang besar. Sehingga tidak dapat sepenuhnya berada disamping papa setiap saat. Sedangkan kedua anak mereka memiliki kesibukan masing-masing.

Putra sulung mereka, Li Wei, telah menikah. Ia dan keluarga kecilnya tinggal dan bekerja di Tainan. Mereka akan datang sesekali untuk menjenguk kedua orangtuanya. Sedangkan putri bungsu mereka, Jiao sioce, selalu sibuk dengan toko bunganya. Gadis manis berusia di atas kepala tiga ini, lebih memilih berdikari sendiri. Baginya, menjadi mandiri itu adalah suatu prestasi yang membanggakan.

""Lebih baik menjadi seorang pengusaha, meskipun  berpenghasilan kecil namun mendapat kepuasan dan jauh dari tekanan apapun, daripada terus menerus menjadi karyawan, yang memperoleh gaji besar namun hidup penuh dengan aturan dan kekangan orang lain,"" terangnya suatu sore saat kami semua duduk santai, sambil menikmati teh hangat.

Mama, adalah sosok wanita yang sabar dan penyayang. Meskipun sibuk, mama tidak pernah melalaikan tugas utamanya sebagai seorang istri dan ibu. Di usianya yang hampir memasuki masa pensiun, ia tetap semangat mengajar. Mama seorang guru kesenian, dan bakatnya dalam bermusik menurun kepada putri bungsunya itu. Terbukti dengan kemahiran putrinya itu dalam memainkan tuts-tuts piano, Jiao siaoce, menjadi salah satu anggota grup orkestra, di gereja Wanchin Basilica. Gereja tertua yang berada di kota Wanchin, tempat di mana keluarga Huang beribadah.

Aku beruntung mendapatkan majikan yang begitu baik. Bahkan mereka menganggapku sebagai bagian dari keluarga ini. Usiaku yang terpaut beberapa tahun lebih tua dari Jiao siaoce, membuat kami cukup dekat. Ia tak segan berbagi keluh kesahnya padaku. Kami berdua layaknya kakak beradik. Apalagi semenjak papa memintanya untuk segera menikah. Berbagai alasan selalu ia lontarkan, untuk menghindari pernikahan dini menurutnya. Padahal, usianya sudah sangat layak untuk memiliki anak. Sifat keras kepalanya itu yang terkadang membuat papa naik darah. Kalau sudah begitu, ia harus mampu mengontrol emosinya dan mengalah demi kebaikan papa.

****
Seperti biasa, setelah mama dan Jiao siaoce, pergi bekerja aku membersihkan rumah dan menemani papa melakukan olahraga ringan. Komplikasi diabetes yang diderita papa, menyebabkan ia selalu merasa haus dan lapar berlebihan. Sehingga aku harus selalu menyediakan air minum, dan camilan sehat untuk papa. Itu pun tidak boleh yang mengandung karbohidrat berlebih dan apalagi berlemak. Kacang hijau atau merah yang direbus tanpa gula, menjadi pilihan. Untuk buah pun, harus memilih yang banyak mengandung vitamin C. Terkadang aku merasa kasihan, ketika papa mengeluh bosan dengan makanan yang itu-itu saja. Tetapi tak ada pilihan lain, semua itu semata-mata demi menjaga kesehatannya.

Sepanjang pagi ini papa terlihat murung. Tak ada komplain darinya. Ia tidak mengeluh lelah, haus, ataupun lapar seperti yang biasa ia keluhkan sepanjang hari. Ia lebih banyak diam, dan enggan menjawab pertanyaanku. Bahkan, saat aku mengajaknya jalan-jalan ke taman pun, ia menolaknya.

""Papa kenapa? Apakah Papa kurang enak badan? Biar aku panggilkan Paman Wu, bagaimana?"" tanyaku cemas.

Paman Wu adalah orang kepercayaan keluarga Huang yang mengurusi kebun pinang, sekaligus membantu apabila keluarga ini ada suatu keperluan.

""Tidak usah. Aku baik-baik saja!"" jawabnya ketus.

Kalau sudah begitu aku tak berani banyak bertanya lagi. Karena bisa dipastikan ia akan marah, dan itu bisa mempengaruhi jantungnya. Mungkin papa merasa jenuh dengan keadaanya sekarang. Wajar saja, karena sebelumnya ia selalu berinteraksi dengan banyak orang dan melakukan aktifitas dengan cepat. Berbanding terbalik dengan keadaanya saat ini.

""Apakah aku salah, jika ingin melihat putriku bahagia dan membina keluarga, sebelum aku mati?"" ujarnya pelan seolah berkata kepada dirinya sendiri.

Aku yang sedang menyuguhkan buah-buahan untuknya, terkejut mendengar pernyataannya.

""Papa tak boleh bicara seperti itu,"" sergahku sambil mendekatinya.

Saat-saat seperti inilah papa membutuhkan teman untuk berbicara. Aku harus menjadi pendengar yang baik, agar ia tak merasa diacuhkan.

""Kau tahu, dokter memvonis hidupku tak akan lama lagi. Berbagai komplikasi penyakit bersarang dalam tubuhku. Sewaktu-waktu, maut bisa saja datang menjemputku,"" terangnya.

""Padahal mereka sudah bertunangan. Mengapa harus mengulur waktu? Apakah mereka menungguku mati, baru mereka akan menikah!"" nada suaranya meninggi.

Aku hanya diam mendengarkan keluh kesahnya. Memang enam bulan yang lalu, Jiao siaoce melangsungkan pertunangan dengan kekasihnya. Kebahagiaan terpancar dari seluruh anggota keluarga. Terutama papa. Ia adalah orang yang paling bersemangat, menyambut moment spesial putri kesayangannya.

Aku jadi ingat, saat dulu ayahku menikahkanku. Beliau terlihat begitu bahagia dan tegar, saat menyerahkanku kepada suamiku.

""Kebahagiaan seorang ayah, adalah ketika ia dapat melihat putri tercintanya menikah dan hidup bahagia. Bukan berarti ia melepaskan tanggungjawabnya begitu saja. Bukan! Asal kau tahu, Nak. Harapan terbesar seorang ayah adalah, memastikan bahwa ada seseorang yang mampu menggantikan posisinya, dalam melindungi dan menyayangi putrinya setelah ia tiada nanti,"" kata-kata ayah yang selalu terngiang dalam hidupku.

Ya aku merasakan kekhawatiran papa. Memang dua bulan terakhir ini kondisi kesehatannya menurun. Sampai-sampai ia harus di rawat inap di rumah sakit selama dua minggu. Di satu sisi papa menginginkan putrinya segera menikah, sedangkan di sisi lain, Jiao siaoce, belum siap untuk itu. Di negeri ini, pernikahan di atas usia 35 tahun itu sudah biasa. Bahkan, ada juga yang lebih memilih untuk melajang selamanya. Sangat berbeda sekali dengan di kampungku. Jangankan 35 tahun, di bawah 30 tahun saja, gadis-gadis yang belum menikah akan di cap sebagai perawan tua. Ah, entahlah. Lain lubuk lain pula ikannya. Pribahasa ini sangat cocok untuk membandingkan kehidupan antara Indonesia dan Taiwan.

****
Kondisi kesehatan papa makin menurun. Tak jarang ia menolak makanan dan obat yang harus ia konsumsi. Padahal obat Antidiabetik oral harus diminumnya setiap hari, agar kadar gulanya terkontrol dan mencegah komplikasi penyakit yang lebih parah. Olahraga pun enggan ia lakukan. Emosinya yang labil, membuat ia sering marah-marah. Aku menjadi sasaran kemarahannya setiap kali emosinya memuncak. Salah sedikit saja, aku pasti akan didampratnya. Yang aku takutkan adalah jika kondisi jantungnya memburuk. Terlebih sehari-hari aku hanya berdua saja dengannya di rumah. Beruntung, mama dan Jiao siaoce mengerti akan keadaanku. Mereka menenangkan dan memintaku untuk bersabar mengahadapi papa.

""Papa makan dulu, ya. Sejak siang, Papa belum makan apa-apa. Ini, Mama masak bubur kacang hijau untuk Papa,"" ucapku sambil membawakan  semangkuk bubur hangat untuknya.

""Tidak mau!"" ucapnya marah, sambil menampik nampan berisi semangkuk bubur yang masih aku pegang.

Aku terkejut saat bubur hangat itu tumpah tepat di dadaku. Mangkuk dan sisa bubur yang lain jatuh berantakan ke lantai. Mama yang melihat kejadian itu dari dapur, bergegas menghampiriku dan berusaha menenangkan papa. Sedangkan aku langsung membersihkan tumpahan bubur di lantai.

""Kita bersama-sama merawat Papa, ya, Alika. Papa sebenarnya orang yang baik, kondisinya saat ini yang membuatnya jadi labil dan gampang marah. Papa butuh perhatian kita semua,"" ungkap mama, saat aku sedang mencuci mangkuk di dapur.

""Maafkan, Papa. Maafkan kami semua yang sering merepotkanmu, Alika. Mama harap kau mau bersabar merawat Papa. Bantu kami menjaganya. Kau mau kan?"" pinta mama penuh harap.

Aku merasakan kecemasan dan harapan, dari teduh matanya.

""Iya, Ma. Aku akan berusaha sebaik mungkin merawat Papa. Papa sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Begitupun dengan Mama dan seluruh anggota keluarga ini. Kalian begitu baik padaku, kalianlah keluarga keduaku di sini, di Taiwan ini,"" jawabku sambil tersenyum, berusaha menutupi kesedihanku.

""Terima kasih, Alika. Terima kasih,"" ungkapnya tulus lantas memelukku hangat.

Darahku berdesir, betapa aku merasakan besarnya kasih sayang keluarga ini padaku.

""Terima kasih, Ya Allah. Atas nikmat yang Engkau limpahkan padaku,"" syukurku dalam hati.

Air mata yang sejak tadi aku tahan akhirnya menetes juga. Tak kuasa menahan haru dan gejolak di dadaku.

****
Keharmonisan antara papa dan Jiao siaoce yang beberapa waktu lalu sedikit renggang, akibat perselisihan mengenai pernikahan Jiao siaoce, perlahan kian membaik. Itu tak lepas dari peran keluarga ini. Mama dan Li Wei tak bosan-bosannya membujuk dan menasehati Jiao siaoce, agar segera memenuhi permintaan papa. Usaha mereka berhasil, dan mampu meluluhkan hati Jiao siaoce.

Semenjak putrinya menyatakan kesediaannya untuk segera menikah, papa kian bersemangat dan ceria. Pembawaanya pun kian bersahaja. Tak ada lagi amarahnya. Keceriaan keluarga ini telah kembali.

Sebenarnya, beberapa hari ini aku merasa tak nyaman dengan perutku. Rasa nyeri di bawah rusuk, hingga menjalar ke punggung, menyerangku secara tiba-tiba. Terkadang perutku pun kembung, dan mengalami sembelit. Namun, dalam beberapa saat rasa tak nyaman itu segera hilang.

""Mungkin hanya masuk angin, jika sudah dikerik dan diolesi minyak angin pasti akan segera sembuh,"" pikirku. Sehingga aku rasa tak perlu mengatakan kepada siapapun mengenai keluhanku.

Terlebih, lusa akan ada acara sederhana untuk merayakan Papa Day yang jatuh pada 8 agustus setiap tahunnya. Sekaligus pertemuan penting dua keluarga, untuk menentukan hari baik pernikahan putra putri mereka. Rumah ini pun semakin ramai, dengan kedatangan Li Wei dan keluarga kecilnya. Pekerjaanku pun semakin banyak. Membersihkan rumah, dan membantu mama menyiapkan makanan untuk makan bersama seluruh anggota keluarga ini. Sedangkan acara pertemuan dua keluarga akan diadakan di sebuah restoran.

Saat hendak membantu papa ke kamar mandi, nyeri hebat di perut kembali menyerangku. Kali ini lebih parah, bahkan terasa begitu mual dan ingin muntah. Tak sadar aku mencengkeram lengan papa kuat. Papa terkejut saat melihat wajah pucatku penuh dengan keringat dingin. Ia panik dan bertanya setengah berteriak,"" kau kenapa, Alika?!""

Aku tak sempat menjawab pertanyaannya, kuminta ia untuk duduk. Sedangkan aku bergegas masuk ke kamar mandi karena tak mampu lagi menahan mual di perutku.

Meski telah kumuntahkan isi perutku, rasa nyeri tak juga hilang. Malah terasa kian menohok ulu hati. Dengan sisa tenaga yang ada, tertatih aku keluar dari kamar mandi. Mama yang telah menunggu di depan kamar mandi, membantu memapah tubuhku yang lemas. Malang tak dapat ditolak, nyeri yang kian hebat membuat kepalaku ikut berdenyut. Nampak jelas kecemasan pada raut wajah kedua majikanku itu, sebelum semuanya terasa gelap dan tubuhku limbung.

****
Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat tersadar, aku sudah terbaring di bangsal rumah sakit. Jarum infus menancap cantik di tangan kananku. Pandanganku menyapu seisi ruangan, dan kulihat seorang perawat tersenyum ramah mendekatiku.

""Ni cilai le ma, Siaoce,"" sapanya ramah.

""she,"" jawabku lemah, dan mencoba tersenyum.

Darinya kuperoleh keterangan bahwa sejak semalam aku telah di rawat di rumah sakit ini.

''Majikan yang menelpon ambulans dan mengurus semua administrasi untuk perawatan anda. Namun, karena ada suatu hal mereka tidak bisa menemani anda di sini,"" perawat itu menjelaskan dengan rinci, sebelum akhirnya ia berpamitan untuk memanggil dokter yang menanganiku.

Aku kembali mengingat rentetan peristiwa yang aku alami semalam. Bibirku tak henti melafaskan syukur atas segala keagungan-Nya. Aku bisa memahami kesibukan majikanku. Seharusnya aku berada di rumah, membantu mereka menyiapkan segala sesuatu untuk acara besok. Tetapi musibah siapa yang tahu?

Perawat itu kembali datang bersama dengan seorang dokter. Sambil memeriksa keadaanku, dokter itu pun menanyakan apa yang aku rasakan. Dengan penuh perhatian, ia mendengarkan keluhanku. Setelah semua keterangan ia dapatkan, dokter itu pun menyatakan bahwa aku harus menjalani serangkaian tes untuk memastikan apa penyakitku.

****
Setelah serangkaian tes aku lakukan, dan kini tinggal menunggu hasilnya. Aku diharuskan menjalani rawat inap, agar pihak rumah sakit dapat mengontrol keadaanku. Tak dapat dipungkiri, kekhawatiran menyergapku. Menunggu hasil tes itu serasa menghadapi sebuah bom waktu, yang setiap saat akan meluluhlantahkan segala impianku. Namun, kecemasan itu sedikit terobati, saat siang hari perwakilan agensi datang menjenguk, sekaligus akan mendampingiku menghadapi keputusan dokter. Itu juga karena majikanku menelpon agensi dan meminta mereka untuk mendampingiku. Karena majikan khawatir aku terkendala oleh bahasa.

""Anda mengalami kolesistitis akut, Siaoce. Pengangkatan kandung empedu adalah jalan terbaik untuk Anda,"" pernyataan dokter sontak membuatku terkejut.

""Apakah tidak ada jalan lain selain dari operasi, Dokter?"" tanya penerjemah yang mendampingiku.

""Bisa saja, dengan menggunakan obat-obatan untuk menghancurkan batu empedu secara perlahan. Tetapi tingkat keberhasilan sangat tipis, sebab Alika siaoce, juga mengalami infeksi bekas operasi caesarnya dahulu dan pengaruh dari obat pil KB yang ia konsumsi sebelumnya. Yang kami takutkan, jika terus dibiarkan, batu empedu itu kian membesar dan meradang. Itu berarti memberi peluang terjadinya infeksi pankreas atau bahkan organ hatinya,"" terang dokter panjang lebar.

""Lagipula operasi ini tidak beresiko tinggi, dan mencegah terjadinya komplikasi penyakit lainnya jika cepat kita tangani. Itulah sebabnya kita harus melakukan operasi pengangkatan kandung empedu ini secepatnya,"" lanjutnya kemudian.

Setelah mendapatkan penjelasan dari dokter, aku dan penerjemah lantas berpamitan kembali ke kamar rawat. Kesedihan dan ketakutan menghantuiku. Sedih karena tak ada satu pun sanak saudara di sampingku. Takut apabila sampai terjadi sesuatu padaku, bagaimana dengan suami dan putri kecilku kelak? Pikiranku terus melayang, mengingat keluarga kecilku nun jauh di sana.

""Alika, saya harus pamit dulu. Besok saya akan datang dan memberitahu atas keputusan agensi untukmu. Kau istirahatlah,"" ujar penerjemah terus berpamitan pergi.

""Terima kasih, Siaoce,"" jawabku.

Setelah penerjemah pergi tinggallah aku sendiri dengan berbagai rasa berkecamuk di dada.

****
Hingga hari menjelang sore, penerjemah yang berjanji akan menjengukku tak kunjung datang. Pagi tadi, Paman Wu, datang mengantarkan beberapa potong pakaian dan juga HP-ku. Ia juga menyampaikan salam dari majikanku. Mereka meminta maaf karena belum bisa menjengukku. Padahal dengan perhatian mereka yang begitu besar padaku selama ini, itu sudah lebih dari cukup.

""Tak apa. Aku yang harusnya meminta maaf kepada Paman Wu dan keluarga besar Huang. Karena aku sudah merepotkan kalian semua. Bahkan tak mampu membantu menyiapkan segala sesuatu untuk acara hari ini,"" ucapku.

""Ah, sudahlah, Alika. Tak ada yang merasa direpotkan. Siapa juga sih, yang mau sakit? Paman tak bisa berlama-lama di sini, karena kau tahu kan, hari ini keluarga Huang ada pertemuan? Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menelpon Paman, ya,"" ungkap Paman Wu dan kemudian berpamitan untuk pulang.

Dokter tak berani mengambil tindakan apapun, sebelum ada persetujuan baik itu dari agensi ataupun majikanku. Karena harus ada yang bertanggung jawab nantinya. Aku sudah pasrah, hanya mampu berdoa dan memohon keajaiban. Agensi yang seyogyanya menjadi tumpuan harapanku, namun tak dapat diandalkan. Kupandangi poto anak dan suamiku di layar ponsel. Kepada potret merekalah aku berbicara. Untuk langsung menelpon, sekadar bercerita pun aku tak sanggup. Bukan apa-apa, aku takut tak mampu menahan kesedihan yang nantinya malah akan menjadi beban pikiran mereka di rumah. Saat aku sedang larut dengan perasaanku, pintu kamar terbuka. Bersamaan dengan datangnya kedua majikanku, penerjemah, dan dokter yang menanganiku.

Setelah berbasa-basi sebentar, penerjemah mengatakan bahwa aku akan menjalani perawatan di Indonesia. Itu artinya aku harus pulang dan memutuskan kontrak kerja yang baru setahun ini berjalan. Alasannya, agensi tak mau mengambil resiko besar apabila hal buruk sampai menimpaku. Aku pasrah, apapun keputusan mereka harus kuterima. Namun, pernyataan penerjemah ditentang keras oleh kedua majikanku dan dokter. Mereka bersikukuh akan merawatku dan segera melakukan operasi pengangkatan kandung empedu. Bahkan majikanku berani menjamin segala resikonya.

Kedua majikanku sampai bersitegang dengan penerjemah, demi keselamatan dan kesehatanku. Sampai akhirnya, mencapai kesepakatan bahwa aku akan tetap melanjutkan pengobatanku di sini. Bahkan majikan memberikan waktu istirahat untukku, sampai kesehatanku benar-benar pulih dan mereka masih mau mempekerjakanku. Airmataku mengalir, ungkapan rasa syukur dan terima kasih aku sampaikan kepada dokter dan kedua majikanku yang sangat baik hati. Mama menenangkan dan mengusap lembut punggungku.

****

Pagi ini gereja Wanchin Basilica telah ramai dengan para jemaat dan tamu undangan. Dekorasi ruangan yang didominasi dengan warna putih, berhiaskan bunga-bunga indah menambah semarak suasana pagi. Deretan kursi berjajar rapi di dalam tenda besar yang telah disiapkan oleh wedding organizer dan panitia pesta. Tak lama kemudian, acara pun dimulai.

Papa yang saat itu mengenakan stelan kemeja putih dan jas hitam, nampak sangat berwibawa. Begitu pula dengan Jiao sioce, terlihat anggun dalam balutan gaun pengantinnya. Dengan diiringin alunan syahdu lagu pujian untuk Tuhan, papa menggandeng tangan Jiao siaoce, berjalan mantap menuju altar. Senyum manis tersungging di sudut bibir keduanya. Hadirin pun berdiri menyambut mereka. Setelah sampai di depan altar, papa lantas menyerahkan tangan Jiao siaoce kepada sang mempelai pria. Selanjutnya kedua mempelai mendekati pendeta, dan keduanya melakukan pemberkatan yang disaksikan hadirin di gereja itu.

Pemberkatan dan pengucapan janji suci pernikahan berjalan khidmat dan sakral. Suasana bahagia dan haru menyelimuti pesta ini. Ucapan selamat dan riuh tepuk tangan menggema, saat kedua mempelai saling menyematkan cincin pernikahan mereka. Sebagai tanda bahwa mereka telah resmi menjadi sepasang suami istri. Mama tak kuasa menahan tangis bahagia, begitu pun dengan papa, rona kebahagiaan terpancar jelas dari wajahnya. Kini harapan papa untuk mengantarkan putrinya ke pelaminan telah terwujud, tak ada lagi yang perlu dicemaskan.

Aku yang sedari tadi berada di samping mama, turut larut dalam suasana bahagia ini. Betapa aku sangat berhutang budi atas kebaikan keluarga ini. Akan selalu kuingat, bagaimana seluruh keluarga ini menyemangatiku untuk sembuh dan kuat menghadapi penyakitku. Keluarga ini pula yang mengajarkanku akan arti cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tulus, tak memandang kasta, ras dan agama. Sungguh! Suatu pelajaran yang akan selalu kuingat seumur hidupku.

""Terima kasih atas besarnya cinta yang kalian berikan untukku, Semoga kebahagian dan keberkahan menyelimuti kehidupan keluarga ini,"" ungkapku di hadapan seluruh keluarga Huang.

****
Tamat

Note:
-Kolesistitis adalah adanya peradangan pada kandung empedu