Merenda Asa di Negeri Formosa

2015/5/1 / Meylia Nurhayati / Merenda Asa di Negeri Formosa / Indonesia 印尼 / Tidak ada

 Merenda Asa di Negeri Formosa
         
      Panggil saja aku --Ati, usia 16 tahun. Nekad pergi bekerja ke Taiwan demi memperbaiki perekonomian keluarga dan menyekolahkan ketiga adikku. Berharap suatu saat nanti keluargaku ada perubahan. Karena di Indonesia aku tidak tahu mau kerja apa? Sementara pendidikanku hanya sampai SMP, sulitnya untuk melamar kerjaan. Dengan nekad sepenuh hati dan tidak banyak berpikir panjang lagi, aku segera mendaftarkan diri ke PJTKI di Jakarta. Selama tiga bulan, aku tinggal di karangtina sambil belajar bahasa Mandarin.
       
     Tepat pada tanggal 22 agustus 2005, aku terbang menuju negara Taiwan. Inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di negara Taiwan, yang dijuluki Formosa. Dengan bekal bahasa Mandarin, sedikit memudahkanku untuk berkomunikasi dengan orang sini. Agensi menjemputku di bandara Taoyuan. Dari bandara Taoyuan menuju kota Taichung City, lumayan menempuh waktu begitu lama. Karena sudah larut malam, aku menginap di rumah agensi. Esok paginya baru diantar ke rumah majikan.
       
    Pagipun tiba, kabut putih masih menyelimuti bumi. Tetesan embun pagi membasahi dedaunan. Aku keluar menghirup udara segar, sambil menunggu Mr. Zhang datang. Namun, tak lama menunggu. Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan rumah agensi. Seorang lelaki berkemja biru keluar dari mobil, dan menghampirku. Dia menyuruhku untuk bersiap-siap pergi ke rumah majikan. Dia adalah Mr. Zhang --sponsorku. Aku segera merapikan diri, setelahnya ikut dengannya. Mr. Zhang didampingi laose Jefri serta aku, masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam itu. Mobil  melaju dengan cepat. Dari Taichung menuju Nantao Country, menempuh waktu selama 2 jam, itu juga kalau tidak macet.
         
    Nantao Coutry adalah daerah pegunungan, di sini sangat bagus untuk bercocok taman. Udaranya begitu sejuk. Dibalik kaca mobil, mataku memandangi keindahan alam --terdapat gunung-gunung, dipinggiran jalan banyak pepohonan  hijau membuat daerah itu asri. Hawa dingin mulai menusuk tulang, kepala pusing karena jalannya yang berliku. Aku segera mengambil minyak kayu putih yang berada didalam tas coklatku dan mengoleskannya dibagian kening dan perut, agar aku tidak muntah. Setelah lamanya perjalanan, akhirnya sampai juga di rumah majikan.
       
     Keluarga majikan menyambutku dengan senyuman. Mr. Zhang berserta laose Jefri dan aku  pun masuk, duduk di kursi yang sudah disediakan. Jantung ini terasa berdenyut kencang dan gugup, saat berhadap dengan majikan cewek. Ada rasa takut bercampur malu. Aku memperkenalkan diri pada mereka. Mr. Zhang menyuruhku untuk memanggil  majikan cewek dengan sebutan --Laopaning dan majikan laki-laki --Laopan. Kemudian Mr. Zhang  berbincang-bincang dengan majikan, membicarakan tentang kerjaan yang harus aku kerjakan. Sedangkan laose Jefri sedang menulis peraturan kerja di rumah ini. Setelah semuanya selesai dan mereka juga sudah jelas, laopaniang mengajak laose Jefri dan aku menuju sebuah ruangan, yang berada di paling belakang. Laopaniang membuka pintu, dalam ruangan  terdapat banyak barang-barang dan  juga begitu pengap. Ruangan itu lebih tepatnya disebut --gudang.

“Laose Jefri, dia tidur di sini,” ucapnya sambil menunjukan sebuah kursi lipat untuk tempat tidurku.

“Okay,” jawab laose Jefri.
“Apa? Gudang ini adalah kamarku, bukannya waktu di kantor laose Amey bilang aku tidur di lantai 4. Tapi, kenapa aku harus tidur di gudang yang ada di lantai satu?” protesku sama laose Jefri, dengan penuh kekecewaan.

“Mau gimana lagi? Ini adalah perintah majikanmu, kamu tidur di gudang ini,” ucapnya seolah tidak peduli.

“Terus, mana nenek yang akan aku jaga?” tanyaku penasaran.

“Kamu di sini bukan jaga nenek, tapi kamu kerja di restoran,” ungkap laose Jefri.
     
     Ternyata agensi membohongiku, aku kerja tidak sesuai dengan job kerja yang ada didalam dokumen yang kutandatangani itu. Aku terdiam, menerima semuanya dengan lapang dada, karena yang aku inginkan sekarang ini bekerja demi menghasilkan uang untuk keluarga di Indonesia. Mr. Zhang dan laose Jefri pun pergi meninggalkanku.
 
Aku tinggal di keluarga Liao. Laopaniang mempunyai tiga anak perempuan. Anak pertamanya bernama Liao Wun Zen, dia sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Sedangkan anak keduanya bernama Liao Zi Hu dan anak ketiga Liao Hua Li, tinggal serumah dengan majikan. Liao Zi, dialah yang mengatur kerjaanku. Dia bilang sore hari tepat jam 2 siang, aku harus kerja di restoran. Restorannya berjualan makanan musim dingin, seperti ; Jiang Mu Ya.[1]
       
     Pagi hari setelah kerjaan rumah sudah selesai, aku harus memcuci 50 ekor bebek. Terus membungkusin baso, jagung, kulit kerupuk, jamur paku, tahu, dan yang lainnya. Jika semuanya sudah selesai, tepat jam 2 siang aku kerja di restoran sampai jam 4 pagi.
       
    Semua sudut ruangan terpasang cctv,  terkecuali kamar mandi. Sangat susah mencuri sedikit waktu untuk istirahat. Setiap kerjaan selalu di waktu, jika tidak tepat waktu, mereka pasti memarahiku. Coba bayangkan. Cuci mobil dalam waktu 30 menit harus bersih luar dalam. Terus menghaluskan 3 ember jahe juga harus selesai dalam waktu 30 menit. Tanganku cuman ada dua, susah juga untuk bisa menyelesaikannya secepat itu. Bukan hanya kerjaan saja yang diwaktu, aku makanpun diwaktu, dalam waktu 10 menit makan  harus sudah selesai. Mereka bilang waktu adalah uang. Jika aku tidak butuh uang, mungkin aku sudah minta pulang. Tapi, aku sangat membutuhkannya. Aku harus bersabar  menerima semua ini.
       
    Satu bulan telah kulalui. Keluarga majikan setiap hari sering memaki dan memukulku. Saat itu, aku sedang mencuci baju dengan tangan, didampingi oleh Liao Zi. Dia memperhatikan terus caraku mencuci baju. Gerakan tanganku pada saat mencuci baju tidak sama dengannya. Dia langsung mengambil gantungan baju dan memukulku. Aku hanya terdiam, tak bisa melawan.

“Dasar bego! Otakmu taruh di mana? Kamu kan, sudah aku ajari cara cuci baju yang benar, sekarang masih saja salah,” makinya sambil mengayunkan gantungan itu pada kepalaku.

“Kenapa nasibku buruk sekali?” gumamku.

Aku hanya menundukan kepala. Menerima pukulan itu dengan lapang dada, walau sesungguhnya hati ini menjerit sakit. Mungkin karena aku masih lugu dan pemalu, sehingga aku tidak berani untuk melawannya.

Laopaniang sering mengadu ke agensi, kalau aku tidak bisa bekerja. Esoknya, pada saat gajihan agensi pun datang. Laopaning terus mengomel, dan agensi malah berpihak padanya. Aku mengadupun percuma, agensi tak peduli. Saking kesalnya mendengar omongan Laopaning. Laose Jefri segera menggulungkan sebuah buku tebal, dan mengayunkannya tepat di kepalaku.

Bukkk!

“Dasar anak tolol! Kamu tidak bisa kerja, orang sini tidak suka kerja lambat. Kamu bikin malu aku,” cerocos laose Jefri memakiku, sambil memukul kepalaku berkali-kali.

“Ampun, laose. Aku berjanji akan kerja lebih baik lagi,” ucapku seraya menitikan air mata.

“Bukkk. Kamu jangan menangis! Orang sini tidak suka,” ungkapnya, terus memukulku.

Segera kuhapus air mata ini. Sementara, Laopaniang tersenyum puas melihat aku dipukul berkali-kali oleh agensi. Aku tinggal di sini, bagaikan tinggal didalam sel penjara. Hanya disiksa untuk bekerja, layak pekerja rodi. Bahkan terkadang mereka tidak memberiku makan. Aku harus kuat. Aku yakin, Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya.

“Apakah begini cara Tuhan menyayangiku?” tanyaku dalam hati.

Aku tidak bisa menyalahkan Tuhan, ini sudah nasibku mendapat majikan yang tidak baik. Aku hanya bisa berdoa, semoga hari esok lebih baik lagi dari hari ini. Berharap mereka tidak memakiku terus.

******
     
     Seiring berjalannya waktu, bergantinya bulan. Tak terasa aku tinggal disini sudah 6 bulan. Tetap tidak ada perubahan pada keluarga majikan. Mereka setiap hari masih sering memakiku. Liao Zi, dia sering mengecek kerjaanku. Saat aku mengepel tangga dan mengelap bagian pinggir tangganya, dia segera ambil tissue dan mengelapnya. Jika masih kotor, dia memaki dan menjenggungi kepala, serta menendangku sampai kepala ini terbentur ke lantai. Sakit sekali. Ketika dia marah, matanya melotot seperti mau keluar, raut wajahnya sangat menyeramkan seperti macan mau menerkam mangsanya. Aku sangat takut kalau dia lagi marah.
     
    Selama 6 bulan kerjaanku merendam terus di dalam air kotor, tidak memakai sarung tangan. Seperti pada saat -- mencuci piring di restoran, mencuci usus bebek, daging bebek dan lainnya. Sehingga bakteri itu mudah masuk ke dalam sela-sela kuku, membuat infeksi serta tangan menjadi rusak. Akibatnya bagian kuku melembung. Jika sedikit tergores oleh benda kasar  akan keluar cairan kental berwarna merah keputih-putihan, yaitu darah bercampur nanah. Bagaikan ketemu musuh kalau tangan ini kena air, perih dan sakit.
     
     Waktu itu, bagian kuku ini keluar darah lagi, karena sudah melembung dan ketekan sedikit langsung muncrat, berdarah. Telapak tangan kulitnya mulai memerah dan melupas. Untuk menutupi darahnya,  aku mengambil solasiban berwarna hitam dan menggulungkannya dibagian kuku, karena tidak ada hansaplas. Kemudian aku mulai kerja di restoran. Pada saat akan mencuci sayuran, laopaniang melihat tanganku dibalut oleh solasiban. Dia pun langsung bertanya dan memakiku.

“Kenapa tanganmu dibaluti solasiban?” tanyanya.

“Tanganku keluar darah, sangat perih jika kena air. Makanya aku baluti dengan solasiban,” ungkapku padanya dipenuhi rasa takut.

“Buang solasiban itu! Itu resiko kamu, tangan kamu rusak dan berdarah. Jika tanganmu pengen bagus dan halus, kamu pulang saja,” ucap laopaniang, tidak punya hati.

“Tapi, aku tidak bisa membuang solasiban ini. Aku tidak kuat menahan sakit, saat tangan ini berendam di dalam air,” berontakku, berharap dia bisa mengerti. Namun, ucapanku tadi membuatnya tambah emosi. Dia mengayunkan tangannya, mendarat dipipiku.

Plaakkk!

“Sakit!” hatiku menjerit kesakitan.

Mata ini sudah berkaca-kaca, butiran air bening seolah mau keluar. Tapi, aku menahannya. Jangan sampai butiran  air bening itu keluar  membasahi pipi. Hatipun meringis sakit, menangis. Laopaniang benar-benar tak peduli padaku. Bukannya dia kasih salap atau hansaplas agar lukaku cepat sembuh, namun malah menamparku. Dengan hati yang sedih, aku melanjutkan kerjaan sampai malam.
   
     Tengah malam, sebelum membaringkan badan untuk istirahat. Aku segera mengambil wudhu. Diatas hamparan sajadah, aku mencurhatkan semuanya pada Tuhan. Karena selama bekerja di sini, aku tidak punya teman. Apalagi, aku dilarang bicara sama orang lain. Hanya kepadaNya, aku mengadukan semua masalah ini. Berharap Tuhan bisa memberikan jalan keluar dan selalu dalam LindunganNya. Dalam sujudku, butiran air bening berjatuhan, membasahi sajadah. Sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini. Aku menangis sampai terlelap tidur.
     
    Esok paginya, Laopaning lansung memanggilku. Dia memandangi mataku, yang membengkak karena habis menangis. Dia mulai mengomel.

“Ati, kenapa matamu bengkak? Kamu habis nangis, ya?” tanyanya.

“Tidak, Laopaning. Aku semalam tidak menangis, mungkin itu perasaan Laopaning saja mataku membengkak,” jawabku sedikit berbohong.

“Iya, sudah. Sana lanjut kerja lagi!” ucapnya seraya menyuruhku bekerja dan pergi meninggalkanku.

*******
     
          Musim panas telah tiba, kerjaanku semakin bertambah. Aku bekerja di kebun pinang. Menanam pohon pinang, mengambil buahnya, merambat rumput. Ini pertama kalinya, aku mencangkul dan menanam pohon pinang. Tangan ini sudah penuh luka, malah disuruh kerja yang lebih berat. Dibawah terik sinar mentari, aku menangis. Sudah tidak kuat lagi bekerja di sini, seluruh badanku terasa remuk. Mesin saja kalau dipakai tiap hari, pasti akan cepat rusak. Apalagi aku, hanya manusia biasa yang tidak mempunyai kekuatan super. Jika terus-menurus disiksa untuk bekerja pasti akan jatuh sakit. Ternyata mencari uang untuk sesuap nasi, tidak semudah membalikan telapak tangan, harus bercucuran keringat untuk memdapatkannya.
     
     Sepulang dari kebun, aku langsung terjun kerja di restoran sampai pagi. Kadang setiap hari aku tidur hanya 2 jam, pernah juga seharian tidak tidur. Karena disuruh mencuci 100 mangkok kecil yang terbuat dari almunium, harus dicuci bersih seperti baru beli. Kalau masih kotor, dia memasukannya lagi ke dalam air sabun. Sudah tangan rusak, masih saja ngerendam di air kotor. Semakin lama, badanku semakin kurus kering dan kumuh. Pantas saja, tidak ada pembantu yang betah tinggal di sini, karena kerjaannya sangat berat. Walau kerjaan ini begitu berat, sedikitpun aku tidak pernah meminta pulang. Namun, siang itu tidak ada angin dan hujan. Tiba-tiba agensi datang, laose Jefri menyuruhku untuk segera merapikan barang-barang.

“Kamu akan keluar dari rumah ini, majikankan sudah tidak butuh kamu lagi. Kamu harus pulang,” bisik laose Jefri.

Aku tersentak kaget mendengar bisikan laose Jefri itu. Tuhan telah menjawab semua doaku. Ada rasa senang, akhirnya bisa keluar dari rumah yang seperti penjara ini. Tapi, ada rasa sedih juga karena pulang tidak sukses kerja 3 tahun. Pulang malah membawa penyakit ditangan, dengan badan kurus kering. Aku kerja di sini cuman 1 tahun 7bulan, hanya akulah pembantu yang kuat tinggal lama di situ. Inilah resiko kerja yang tidak sesuai dengan job kerja. Kuharap agensi tidak memberikan pembantu lagi pada majikanku itu. Kasihan, jika pembantu yang lainnya tinggal di situ senasib denganku. Semoga agensi lebih mendengarkan jeritan hati seorang pembantu, dibandingkan majikan.

Tamat
Taipei City, 30-04-2015
Keterangan : [1] Jiang Mu Ya adalah makanan yang berupa sup daging bebek.