Perjuangan Dalam Do'a

 2015/5/2 / Deinara Michiko / Perjuangan Dalam Do'a / Indonesia 印尼 / lovely sasa
Perjuangan Dalam Do'a
Karya: Deinara Michiko

Tawakal, ikhlas, sabar, bersyukur, dan jujur adalah modal yang terpenting untuk mengarungi bahtera hidup ini. Ketika semua itu bisa dijadikan kekuatan dalam genggaman tangan kita,  maka insyaallah Tuhan pun akan memberi kemudahan dalam setiap urusan. Begitulah wejangan yang selalu disuguhkan padaku, dari seorang perempuan yang berjiwa gigih, tegar, dan tak pernah mengeluh itu. Dialah ibuku.
Ibu adalah orang tua tunggal yang masih kumiliki. Kedua orang tuaku berpisah saat aku masih balita, ayah meninggalkan kami dengan alasan karena ia menginginkan seorang anak laki-laki, sedangkan aku terlahir sebagai seorang bayi perempuan. Semenjak berpisah dengan ayah, ibu memutuskan tidak untuk menikah lagi. Dia bertekad akan membesarkanku walaupun tanpa seorang suami. Oh ya, ibu memberi nama yang indah untukku, Mentari. Ibu punya harapan kelak aku akan menjadi orang yang selalu memberikan kebaikan untuk orang lain. Seperti halnya sinar mentari yang membias bumi.
Seorang janda miskin dengan keadaan ekonomi yang menghimpit, namun masih mempunyai harapan besar untuk menjadikan putrinya mempunyai masa depan yang lebih baik. Tangan Tuhan tidaklah kurang panjang untuk mengasihi umatnya, dan itulah yang dirasakan oleh ibu. Dalam keadaan yang begitu sulit, Tuhan memberikan pertolonganNya melalui tangan hamba yang lain. Saat setelah ibu menjadi seorang janda, kakak laki-laki ibu mengangkatku menjadi anak angkatnya. Berkat peran orang tua angkatku itu aku bisa mengenyam pendidikan hingga jenjang SMA.
Orang tua angkatku bukanlah orang yang berada, mereka hidup dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan. Aku dan ibu tinggal satu atap bersama orang tua angkatku. Sebuah rumah reot warisan dari kakek, rumah yang selalu bocor saat musim penghujan datang. Bapak angkatku hanyalah seorang tukang becak, dengan penghasilan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Dengan penghasilan bapak yang tak seberapa, rasanya sebuah kemustahilan jika harus membangun rumah yang kokoh yang tentunya akan membutuhkan dana puluhan juta rupiah. Keadaan inilah yang akhirnya mendorong semangatku untuk merubah nasib keluarga, agar orang tua yang kusayangi tak hidup sengsara dimasa tuanya.
Setelah kutanggalkan seragam putih abu-abu yang menjadi kebanggaanku. Aku fokus memikirkan tentang masa depanku. Dengan pikiran yang matang aku berpikir harus dibawa kemana langkah kaki ini, ingin rasanya aku meneruskan kejenjang perguruan yang lebih tinggi. Namun melihat keadaan ekonomi yang seperti ini, rasanya hanya akan menambah beban orang tua jika aku tetap ingin meneruskan pendidikan. Hingga akhirnya dengan tekad yang mantap, keyakinan yang kuat pula aku memilih untuk pergi merantau demi merubah keadaan keluarga. Dengan berbagai pertimbangan pula aku mengutarakan niat ini kepada orang tua, agar mereka tak begitu khawatir dengan keputusan yang kupilih.
""Emak, ada sesuatu yang ingin kubicarakan."" ucapku sembari mendekati emak (panggilan ibu angkatku) yang sedang duduk di kursi dapur seorang diri.
""Mau ngomong apa, Nduk? jawab emak dengan rasa penasaran.
""Mak, aku ingin pergi merantau keluar negri, aku ingin  ke Taiwan. Bolehkah, Mak? kataku dengan penuh kehati-hatian.
Sejenak, emak masih diam tak menjawab. Namun begitu jelas terlihat kekhawatiran di raut wajah tuanya. Emak memanglah orang yang lebih dekat denganku, dibandingkan ibuku sendiri.
""Sudah kau pikirkan matang-matang keputusanmu, Nduk?"" tanya emak dengan suara yang berat.
""Sudah, Mak. Keputusan ini sudah kupertimbangkan dengan matang. Aku ingin kehidupan kita berubah, Mak. Aku ingin membangun rumah ini, aku ingin masa tua Emak, bapak, juga Ibu dipenuhi dengan kebahagiaan."" kataku meyakinkan emak.
Mendengar alasan yang kuutarakan, emak menangis sembari memeluk erat tubuhku. Sore harinya tanpa kuduga, seluruh keluargaku berkumpul ada ibu, emak, bapak, juga kakak-kakak angkatku. Mereka mengintogerasi tentang keinginanku untuk merantau. Dengan alasanku  yang meyakinkan akhirnya aku mengantongi doa restu keluarga.
******
Dua minggu setelah lebaran Idul Fitri akhirnya dengan membawa segenggam harapan beserta doa restu keluarga, kulangkahkan kakiku meninggalkan kampung halaman. Doa kupanjatkan pada Sang Khalik semoga aku dilimpahkan kesabaran dalam meniti kehidupan di perantauan dan pulang membawa kesuksesan yang bisa kupersembahkan untuk orang tua.
Di sebuah PJTKI di kota Jakartalah yang akhirnya kujadikan jembatan jalan menuju kesuksesan. Setelah melalui serangkaian prosedur yang berlaku, akhirnya setelah menunggu selama tiga bulan di PT, aku mendapat jadwal penerbangan. Aku mendapat job menjaga seorang nenek berumur  92 tahun yang mempunyai sakit diabetes, yang berdomisili  di kota  Taichung .
“Pak, minggu depan aku dapat jadwal penerbangan."" ucap ku memberi kabar melalui telepon selular.
""Alhamdulillah, Nduk, mudah-mudahan kamu dapat bos yang baik ya, Nduk. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmatNya, dan kamu pulang bawa kesuksesan."" jawab bapak dengan doanya.
""Amin ya robbal alamin, terima kasih doanya, Pak."" jawabku mengamini doa bapak.
Di penghujung tahun, pada tanggal 29 Desember 2009 sayap burung besi membawaku terbang melintasi bongkahan awan menuju tanah perantauan. Sepanjang perjalanan rasa  cemas kian mencengkram perasaan. Khawatir pun tak terelakkan, berbagai pertanyaan pun muncul pada diri. Seperti apa orang-orang yang akan menjadi keluarga baruku apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik. Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya burung besi mendarat juga di tempat tujuan dengan selamat.
""Alhamdulillah, i'm coming Taiwan,"" ucapku lantang di dalam hati.
Setibanya di Taiwan aku dibantu agensi mengurusi semua proses tinggal, dari kartu Askes (Asuransi Kesehatan) hingga ARC (KTP Taiwan). Setelah semua proses selesai sore harinya aku diantar ke rumah majikan. Beruntung keluarga bosku semua memperlakukanku dengan baik. Tak butuh waktu yang lama, aku pun sudah terbiasa beradaptasi dengan kehidupan di Taiwan.  Aku bahagia karena sudah dianggap menjadi bagian dari keluarga bermarga Chen ini, begitu pula nenek yang kurawat kondisi kesehatannya pun berangsur membaik. Mungkin sebab itulah nenek begitu sayang padaku layaknya cucunya sendiri.
Namun, sepertinya nasib baik belum berpihak kepadaku. Baru tiga bulan aku merawat nenek, Tuhan sudah memanggil beliau kembali kepangkuanNya. Sembari menunggu proses ganti majikan baru, aku diizinkan tinggal sementara dikeluarga Chen ini. Setelah menunggu dua bulan lamanya, akhirnya aku mendapat job baru, yang tentunya aku harus kembali belajar beradaptasi  di lingkungan keluarga bos baruku ini.
Pagi yang cerah itu, agensi datang menjemputku untuk dipindah kerja di tempat majikan yang baru. Di sepanjang perjalanan melalui seorang penerjemah, agensi menjelaskan jenis pekerjaanku yang baru. Kali ini aku mendapatkan job menjaga 5 orang anak dan pekerjaan rumah pada umumnya. Kini aku bekerja di keluarga bermarga Yang, tepatnya di daerah Taichung city. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya kami pun sampai di rumah yang dituju. Segera aku turun dari mobil, namun begitu terkejutnya aku ketika melihat rumah yang akan kutinggali, besar dan begitu megah. Berkali-kali aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku mampu dengan pekerjaan kali ini.
""Ni hao? sapaku dengan senyum yang ramah pada pemilik rumah.
""Mari masuk dan silahkan  duduk."" ucapnya menyambut kedatangan kami.
""Dia bos perempuan kamu, panggil saja dia thai-thai,"" Kata penerjemah padaku.
""Iya."" jawabku tanda mengerti.
""Kamu kerja baik-baik ya disini. Sukses ya."" Pesan agensi sebelum pamit pergi.
*****
Dua minggu sudah aku bekerja dikeluarga bermarga Yang ini, sungguh keadaan yang berbeda jauh dengan majikanku sebelumnya, begitupun dengan perlakuan mereka. Sikap nyonya dan menantu perempuannya yang tak begitu menyukaiku, semakin membuatku tak betah. Apalagi pekerjaan yang harus kulakukan cukup berat,  aku harus menjaga lima orang anak, mencuci botol susu anak-anak yang kujaga, membersihkan empat rumah dengan empat lantai, memasak untuk keluarga majikan yang berjumlah 15 orang, mencuci baju pun dengan tangan. Setiap mengerjakan pekerjaan aku selalu berhati-hati, agar pekerjaan ku tak berantakan. Namun sepertinya di mata nyonya pekerjaanku tetap saja tak ada baiknya. Dan sikap nyonya tersebut hanya bisa kuhadapi dengan sebuah kesabaran. Hingga satu bulan sudah aku bekerja, agensi datang menjenguk. Dengan hati-hati kujelaskan ketidaknyamananku bekerja di rumah ini, dan aku mengajukan pindah kerja ke tempat lain. Namun sayang pengajuanku ditolak mentah-mentah oleh agensi, bahkan aku diberi pilihan yang menyudutkan. Bertahan dengan pekerjaan ini atau kembali ke tanah air. Seperti mendapatkan buah simalakama, aku pun memilih pilihan yang pertama bertahan dengan pekerjaan ini demi mewujudkan impian yang ingin kugenggam.
Hari yang kulalui tak jarang berteman dengan tangisan. Kerinduan pada keluarga yang sering kurasakan  seakan menambah sayatan luka dalam batin. Namun aku harus bersabar menempuh jalan ini karena di jalan inilah aku akan menemukan kunci kesuksesan yang kucari. Selama bekerja di sini aku tak diizinkan untuk menggunakan handphone juga tak ada libur, kalaupun aku rindu pada keluarga maka nyonya membantuku menelepon ke Indonesia itu pun tak boleh lebih dari lima menit. Pernah kuminta izin untuk mempunyai hp sendiri, tapi nyonya malah memarahiku dengan alasan aku di rumahnya mau bekerja atau mau bermain hp. Mau menggunakan secara sembunyi-sembunyi pun tak bisa, karena di lingkunganku bekerja tak ada BMI lagi selain diriku, jadi tak ada yang bisa dimintai tolong. Bahkan sekedar menonton televisi pun aku juga tak diperbolehkan.
Setelah seharian menyelesaikan semua pekerjaan, aku segera berhambur ke kamar. Tanpa sepengetahuan mereka pula, aku menunaikan kewajibanku pada Tuhan semesta alam. Kuhamparkan sajadah bertasbih memuji keagunganNya. Hanya kepada Tuhanlah aku bersandar diri, agar aku diberi kesabaran untuk menjalani cobaan hidup ini sehingga kelak aku pulang membawa kesuksesan.
Waktu terus bergulir hingga masa kontrak kerjaku memasuki tahun kedua. Dikontrak tahun kedua ini aku merasa lebih senang, karena aku memiliki seorang teman baru yang juga BMI. Namanya Ani seorang BMI Cilacap yang bekerja menjaga seorang nenek di sebelah rumah majikanku. Berkat bantuan Mbak Ani jugalah aku bisa memiliki hp yang membuatku lebih mudah menghubungi keluarga. Mbak Ani pun menjadi tempat curhat kesedihanku, dia selalu menyemangatiku agar aku selalu bersabar dalam bekerja.
Di tahun kedua ini aku memutuskan untuk pulang ke tanah air, aku tak ingin melanjutkan kontrak kerjaku lagi. Keputusanku ini kusampaikan pada pihak agensi, dan mereka siap mengurus proses kepulanganku. Tapi keadaan justru berubah drastis menjelang proses kepulanganku. Sebulan sebelum rencana kepulangan, sikap nyonya berubah begitu baik padaku tak seperti sebelumnya. Hampir setiap harinya nyonya membujukku untuk membatalkan rencana kepulanganku. Aku yang melihat perubahan sikapnya pun tak berpikir negatif, hingga akhirnya aku pun menyetujui permintaan nyonya untuk memperpanjang kontrak hingga satu tahun ke depan. Sebulan kemudian agensi datang membawa dokumen untuk perpanjangan kontrak kerjaku.
*****
Namun baru dua bulan perpanjangan kontrak kerjaku berjalan, sikap nyonya kembali berubah  padaku. Sepertinya sikap manis yang sebelumnya dia berikan padaku hanya sebagai magnet untuk membuatku mengurungkan kepulanganku ke tanah air. Begitu pula dengan menantu perempuannya yang tak jauh berbeda, sikap mereka tak pernah kumengerti jika tak menyukai cara kerjaku kenapa aku tak dibiarkan pulang saja, dan mereka bisa mencari pengganti. Namun ibarat pepatah nasi sudah menjadi bubur, maka aku harus sabar menjalani kontrak kerja yang terlanjur kuperpanjang yang masih tersisa beberapa bulan lagi.
Waktu terus berlalu hingga tak terasa waktu kepulanganku sudah di depan mata, bahagia dan haru melebur menjadi satu. Segala kesedihan yang selama ini melanda seakan tergilas oleh rasa bahagia. Kesabaran yang tertanam kini membuahkan hasil kesuksesan yang bisa kupersembahkan untuk keluarga. Jadwal kepulangan sudah ditentukan namun ada sedikit kekecewaan yang kurasa, aku tak diizinkan keluar oleh majikan sekedar untuk  membeli sedikit oleh-oleh.
Di penghujung tahun pada tanggal 26 Desember 2012, pesawat China Airlines membawaku terbang melintasi bongkahan awan menuju Indonesia. Setelah tiba di Jakarta aku memilih transit Jakarta-Lampung, pesawat Sriwajaya membawaku menemui keluargaku yang sudah menunggu di Bandara Branti Bandar Lampung. Di sana kulihat bapak, kakak laki-laki dan kakak  perempuanku. Aku berhambur ke pelukan bapak,  menumpahkan tangisanku di dada bidang itu, dalam peluknya aku menemukan ketenangan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Setelah mobil berhenti di halaman depan rumah aku segera turun, kulihat ibu, emak dan saudara yang lain. Segera kupeluk ibu juga emak  yang selama ini kurindukan, kesedihan juga kelelahanku kini tak lagi kurasakan, semua telah berganti dengan kebahagiaan. Rumah impian pun bisa kupersembahkan untuk orang tua.
Terima kasih Tuhan atas nikmat yang Kau berikan.

Taiwan, 29 April 2015