Sebening Hati Ayi

2015/5/19 / Riyan Ferdian / Sebening Hati Ayi / Indonesia 印尼 / Flp Taiwan

Sebening Hati Ayi

Gerimis sudah mereda. Rudi masih belum dapat menghentikan tangisnya. Seluruh isi lemari dikeluarkannya. Satu demi satu baju dan celananya dibuka lipatannya, ia yakin seyakinnya uangnya telah dibawanya ke kota pagi itu. Di tas pinggang ia menaruh amplop putih berisi uang 35.000 NT$ untuk dikirim ke Indonesia. Anaknya akan masuk sekolah SD, ibunya yang sedang sakit membutuhkan biaya, serta cicilan hutang ke bank yang harus dibayarnya menunggu kiriman hasil kerjanya.
Pabrik perakitan motor tempatnya bekerja tidak banyak lembur. Sabtu dan minggu libur. Membuat Rudi dan kawan-kawannya harus benar-benar pintar mengatur keuangan agar tak terlalu boros. Sebulan rata-rata mereka dapat menyisihkan 10.000 NT$ bersih setelah untuk kebutuhan pulsa, dan lain-lain. Bersama 4 teman satu asrama Rudi mengadakan arisan agar sekali mengirim tidak terlalu sedikit. 10.000 NT$/bulan memang lumayan berat, tapi semua mereka lakukan demimencukupi kebutuhan keluarga di Indonesia. Mereka harus rela menahan 3 bulan tidak mengirim uang ke keluarga, baru bulan ke empat mereka dapat mengirim. Dan sekarang uang yang dengan susah payah dikumpulkannya hilang.
“Kamu taruh di mana tadi amplopnya, Rud?” Tanya Agus masih penasaran meski barkali-kali Rudi mengatakan ditaruh di dalam tas pinggangnya.
“Aku taruh di tas pinggang ini, Gus!” jawab Agus sambal menunjukkan tas kecil berwarna hitam.
“Tadi kamu ke mana dulu sebelum ke toko Indo? Lah wong mau kirim duit kok malah ngeluyur dulu. Gimana sih kamu, Rud!” ujar Agus sedikit emosi pada keteledoran sahabatnya.
“Tadi aku ke taman dulu. Toko Indo kan buka jam sepuluh. Jadi aku merokok dulu di taman.” Rudi menjelaskan.
“Yo wis. Kamu sing sabar. Bukan rezekimu, Rud.”
“Lah terus gimana anakku? Gimana ibuku? Semua butuh duit, Gus. Aku kudu piye sekarang?” Tanya Rudi beruntun pada sahabatnya.
Agus tak dapat berbuat apa-apa selain menasehati dan memberi semangat untuk sahabatnya ini. Pun teman-teman satu asramanya.

***

Senin pagi Rudi berjalan gontai menuju tempat kerjanya di seberang asramanya yang hanya terhalang jalan raya. Wajahnya pucat. Matanya cekung karena semalaman tak dapat tidur. Untuk mengabarkan bahwa uangnya hilang kepada istrinya ia tak sampai hati. Tak ingin istrinya bertambah panik oleh keadaan yang di rumah sendiri sedang banyak pikiran. Rudi hanya mengatakan belum sempat mengirim kemarin karena sedang tidak enak badan.
Waktunya makan siang Rudi masih tak bersemangat ke kantin. Bahkan saat bekerja beberapa kali kena tegur mandor karena kesalahan, sehingga ayah satu anak ini menceritakan kehilangan uangnya kepada mandornya.
“Rud, kamu setelah selesai makan disuruh ke kantor. Ada polisi nyariin kamu.” Perintah Suntoro. Teman asal Banyuwangi yang juga ditunjuk sebagai penerjemah di pabriknya karena kemampuannya berbahasa Mandarin.
Deg!
“Ada apa lagi ini?” Tanya Rudi dalam hati. Wajahnya memucat. Beribu tanya terus bercokol di dalam hatinya.
“Mas Suntoro, tolong temani saya ke kantor ya. Saya kan nggak pinter Bahasa Mandarin.” Pinta Rudi pada temannya dengan suara bergetar. Badannya tiba-tiba lemas, matanya berkunang-kunang tapi ia berusaha untuk tidak terjatuh.
Suntoro pun mengiyakan. Sambil menepuk pundak Rudi menenangkan. Suntoro sendiri tak tahu mengapa polisi bisa mencari Rudi.
Sesampainya di kantor dua orang polisi sudah menunggu. Seorang manajer sudah berbincang dengan salah seorang polisi berperawakan kurus.
“Ludi? Na I ke?” Tanya sang polisi dengan Bahasa mandarinnya kepada sang menejer begitu melihat Rudi dan Suntoro masuk. Sang menejer menujur Rudi. Rudi pun mengangguk. Wajahnya kian memucat.
“Rudi, kemana kamu pergi hari minggu lalu?” Tanya sang polisi mengiterogasi.
“Saya ke taman di Tainan, Sir!” jawab Rudi terbata.
Suntoro sebagai penerjemaah saat itu ikut tegang juga. Tetapi berusaha setenang mungkin menghadapi situasi.
Berbagai pertanyaan membuat Rudi panas dingin. Beribu tanya masih terus menyerang pikirannya, “Ada apa gerangan, apa salahku?”

Beberapa saat kemudian sang polisi mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya.
“Ce i ke zhe ni de, ma?” tanyanya sambil menunjukkan amplop berwarna putih bertulis namanya dengan coretan pulpen dan tulisan bercetak nama pabriknya.
“Iya. Betul itu amplon saya yang hilang, Sir!” jawab Rudi sambal terbelalak demi melihat amplop yang dipegang sang polisi. Tak sadar ia berlutut lalu sujud syukur. Puja-puji berhamburan dari mulutnya menyebut kemahabesaran-Nya.
“Bolehkah saya bertemu dengan orang yang menemukan amplop ini, Sir?”
“Boleh. Hari minggu pagi kamu telpon saya. Saya antarkan kamu bertemu dengannya.” Jawab sang polisi sambal menyerahkan kartu-namanya.

***

Seminggu tentu waktu yang tidak lama. Tetapi untuk sebuah penantian seminggu adalah waktu yang sangat lama.
Minggu pagi buta Rudi sudah rapih. Tetap ditemani Suntoro sebagai translator, Rudi pergi ke Taman Kota Tainan. Tak lupa meminta Suntoro untuk menelpon sang polisi lebih dahulu sebelum berangkat.
Tak berapa lama menungu, sang polisi datang juga.
“Mana orangnya, Sir?” Tanya Rudi tak sabar.
“Tunggu sebentar. Sabar ya!”
Memang terlalu pagi mereka datang sehingga hanya beberapa orang yang sudah berlalu lalang di taman.
“Ayi, ke sini! Ada yang mau bertemu denganmu.” Panggil sang polisi kepada petugas kebersihan taman dengan bahasa Tayigi.
Ayi mendekati mereka bertiga. Masih dengan membawa sapu panjang yang terbuat dari ujung-ujung batang bambu pagar yang kecil. Tidak seperti umumnya sapu di Indonesia yang menggunakan lidi, sapu yang seperti Ayi bawa biasanya khusus menyapu dedaunan yang jatuh. Entah itu di taman atau di pinggir jalan.
Melihat wajah sederhana Ayi, Rudi teringat orang tuanya di rumah. Mungkin seumuran dengan wanita bermata sipit di depannya. Tak sadar Rudi langsung menyalami dan mencium tangan Ayi yang masih mengenakan sarung tangan sambil berkata ‘Xie-xie Ni’ berulang-ulang. Terang saja Ayi sedikit terkejut.
“Ada apa ini?” tanyanya.
“Begini, Ayi. Seminggu yang lalu kan Ayi menemukan amplop berisi uang 35.000 NT$, lalu Ayi serahkan ke saya. Nah inilah pemilik amplop itu.” Jawab sang polisi menerangkan.
Ayi dan Rudi saling tatap. Lalu keduanya tersenyum. Suntoro sebagai perantara obrolan rudi dengan polisi, lalu polisi dengan Ayi ikut tersenyum.
Rudi berbisik pada Suntoro, lalu diterus ke sang polisi.
“Ayi, dia ingin tahu, kenapa amplop yang kau temukan tidak kamu ambil uangnya? Lalu kau buang saja amplopnya, kan tidak ada yang tahu.”
Ayi terdiam. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca.
“Aku pernah mengalami hal seperti dia. Uangku hilang di saat anakku sedang memerlukan biaya sekolah. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sedang sangat kita butuhkan. Aku yakin dia pun sedang membutuhkan uang itu untuk keperluan anak dan istrinya di Indonesia. Mungkin juga orang tuanya. Dia jauh-jauh dari Indonesia meratau ke Taiwan untuk mencari uang. Ini bukan hakku. Rasanya tak pantas bila aku menikmati uang hasil jerih payah orang lain yang sedang sangat membutuhkannya, sementara aku tertawa senang. Tidak! Meski hidup sederhana, sekarang aku tidak kekurangan. Anak-anakku sudah bekerja. Aku bekerja saat ini hanya untuk mengisi waktuku. Agar aku tetap sehat dengan bekerja, dan aku tidak ingin menghabiskan masa tuaku hanya dengan berdiam diri. Apa lagi harus menikmati hasil keringat orang lain. Tidak! Aku tidak mau.” Dengan suara sedikit bergetar Ayi menjawab panjang lebar. Air mata disekanya dengan ujung syal yang melingkar di lehernya.
Rudi dan Suntoro terharu mendengarnya. Betapa mulia hati Ayi. Seorang yang hanya bekerja sebagai petugas kebersihan taman. Tetapi tidak rakus.. tidak ingin makan rezeki yang bukan hasil jerih payahnya. Dalam harti keduanya berdoa senada: ‘Ya Allah, jadikanlah aku orang yang baik, jernihkanlah hatiku sebening Ayi.’

***

Minggu pagi, seminggu yang lalu…

Gerimis turun di hari minggu pagi itu. Musim dingin menambah gigil siapa pun yang keluar rumah. Sepoi angin kian menusuk tulang. Siapa pun akan lebih suka menarik selimutnya untuk tetap di ranjangnya sepanjang hari. Apa lagi hari minggu.
“Mama, sudahlah hari ini istirahat saja. Hujan nih, nanti mama sakit!” pinta Acuan pada mamanya.
“Tidak apa-apa, Nak. Percayalah mama akan baik-baik saja. Toh sejak muda mama sudah terbiasa bekerja keras. Hujan dan panas bukan penghalang buat mama untuk bekerja.” Sahut Ayi santai.
Kalau sudah begini Acuan tak bisa lagi berbuat apa-apa. Ia sadar ibunya memang tidak mau membuang waktunya hanya untuk diam, apa lagi hanya tiduran hanya karena gerimis di musim dingin. Karena kegigihan ibunya-lah ia dan kakaknya bisa terus bersekolah hingga dapat bekerja di perkantoran seperti sekarang.
Semenjak kematian ayahnya, memang ibunya yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta biaya sekolahnya. Ibunya bekerja serabutan. Pekerjaan apa pun dijalaninya asal menghasilkan uang yang halal untuk kedua anaknya. Satu prinsipnya adalah agar anak-anaknya tetap dapat bersekolah supaya kelak dewasa dapat bekerja layak. Tidak seperti dirinya yang hanya bisa baca tulis.
Senin hingga jumat Ayi bekerja sebagai cleaning servis  di salah satu pabrik di Yong Kang, Tainan. Sabtu dan minggu pagi Ayi bekerja menyapu taman di kota Tainan. Ayi tak sendiri menyapu taman dan bahu-bahu jalanan di kota Tainan. Ia bersama beberapa perempuan serta lelaki paruhbaya yang tinggal di sekitarnya mengambil pekerjaan itu untuk mengisi waktu pagi mereka agar mereka tetap sehat dengan bekerja pagi. Mereka mengganggapnya ‘olah raga pagi’. Selain itu mereka juga mendapat banya teman bercanda dan bercengkrama.

-TAMAT-