Talak Tiga Di Pintu Kereta

2015/5/24 / Asri Fara / Talak Tiga Di Pintu Kereta / Indonesia 印尼 / tidak ada

Talak Tiga Di Pintu Kereta

          Kembali kuayunkan kaki menyusuri lorong-lorong stasiun bawah tanah, stasiun terbesar di kota Taipe,  Taipei Main Station (TMS). Tak terasa, lima tahun sudah aku meninggalkannya bersama tawa dan airmata. Semua telah  terbungkus rapi dalam laci kenangan, untuk beberapa tahun semenjak kutinggalkan Taiwan. Benar, untuk beberapa tahun aku bisa melupakan luka itu, tapi tidak untuk tahun ini. Aku terpaksa harus mengorek luka itu demi kisah yang baru.

         Mataku terpaku pada blok telepon umum yang tertempel di tembok lantai dasar rel MRT jalur biru. Di sanalah dulu kutumpahkan airmata, untuk meluapkan segenap luka, dan tak seorang pun yang pedulikanku, termasuk suamiku.
Di sanalah, suami pertamaku memberikan surat cerai tepat di depan pintu MRT, hanya dengan satu kalimat, ""Ini surat cerai kita, setelah ini jangan kau ganggu aku lagi!"" Ucapnya sebelum kemudian berlalu dan  tubuhnya lenyap dalam kerumunan orang di atas eskalator. Serasa berakhir hidupku kala itu,
usiaku baru 27 tahun, kemana aku harus mengadu? Sedangkan di sini, aku hanyalah seorang  pengantin asing yang tak bersanak dan saudara. Bahkan teman pun hanya bisa kuhitung dengan jarin .Aku sebatang kara di belantara kosmopolitan Taiwan.
Semua itu disebabkan ketatnya peraturan suamiku yang melarangku bergaul dengan orang luar, dan mewajibkanku tinggal di dalam rumah seharian. Bahkan mengikuti kegiatan untuk pengantin asing yang di selenggarakan pemerintah pun aku tak boleh. Segala keperluan  mulai dari sabun mandi, bumbu dapur dan keperluanku dialah yang belanja.
Hanya sesekali saja aku keluar, itupun diajaknya untuk sekedar makan di luar atau jalan-jalan. Yang lebih sering aku  diajaknya ke rumah mertua,  membantu mereka bersih-bersih dan memasak untuk keperluan sembahyang.
Serasa mendekam di penjara emas hidupku, tapi kujalani dengan ikhlas demi rasa cinta dan hormatku pada suami.

         Dari seringnya berkunjung ke rumah mertua itulah, semua masalah berawal. Ibu mertua yang sejak awal tidak menyetujui anaknya menikah denganku, yang hanya seorang bekas pembantu. Dia selalu mencari gara-gara dan segala cara dia tempuh untuk menghancurkan pernikahan kami.
Dari masalah asal-usulku, caraku berpakaian, hingga masalah anak yang tak kunjung hadir di rahimku setelah dua tahun menikah. Bahkan ibu mertuaku sering dengan sengaja mengundang  makan bersama A Chen, wanita lokal yang dulu dipilihkan untuk menjadi istri suamiku sebelum menikahiku. Ibu mertua juga selalu membanding-bandingkan aku dengan adik iparku yang telah memiliki anak setelah setahun menikah. Dan masih banyak lagi ulah kesengajaannnya untuk membuatku sakit hati. Tapi  aku tak pernah membantah atau sekedar membela diri, aku hanya diam saja dan menyimpannya jauh ke dalam hati. Biarlah hanya Tuhan yang tahu semua kesedihanku. Yang penting bagiku, suamiku masih sayang dan peduli padaku, itu sudah lebih dari cukup.

Setahun, dua tahun, rumah tanggaku berjalan tentram dan bahagia, suami tak terlalu menuntut anak padaku, bahkan dia selalu menghiburku di kala aku berkeluh kesah tentang kerinduanku pada seorang bayi.
Namun, di tahun ketiga pernikahanku, prahara mulai datang perlahan dan bertubi. Mulai diberhentikannya suamiku dari pabrik pembuatan kue bulan, imbas dari kasus pewarna makanan, dan beralih profesi menjadi supir taksi. Hingga ayah mertuaku yang kena strok dan
 semua beban pengobatannya dibebankan kepada suamiku.
 
        Suamiku  pun sering pulang larut malam dalam keadaan mabuk, kami pun semakin jarang berkomunikasi, bahkan sudah semakin jarang menyentuhku.
Awalnya aku hanya diam dan memakluminya, mungkin karena dia terlalu capek. Tapi lama-kelamaan dia juga jarang pulang, dan itu membuatku curiga, namun setiap kutanyakan, jawabnya hanya mengantarkan penumpang taksi ke luar kota.
Hingga suatu pagi saat sarapan, dia mengatakan hal yang tak pernah kuduga sebelumnya. ""A Li, A Chen hamil anakku, maafkan aku."" Katanya datar, seolah tanpa beban, seraya meneguk kopi di cangkirnya. Matanya pun tak berani menatapku langsung. Sedangkan aku hanya mampu menatapnya tanpa kata, bahkan roti yang telah kugigit sepotong seolah berubah menjadi duri  dan tak mampu aku telan. Kata-katanya serasa bagai petatasan yang membangunkan tidur lelapku.
""A Chen, hamil? Sejak kapan ...? Kenapa kau lakukan ini padaku … ?"" Aku tak mampu melanjutkan pertanyaanku lagi. Buru-buru kuraih gelas tehku dengan tangan gemetar, lalu menenggak isinya hingga tak tersisa setetes pun, lalu kutuangi lagi dan lagi dari dalam teko sampai entah berapa gelas telah kuminum. Namun masih saja tak mampu menenangkan gemuruh di dadaku, sejuta rasa bercampur aduk jadi satu. Aku ingin marah, menangis , teriak! Tapi aku tak mampu, suaraku seolah terhenti di tenggorokan.

""Maakan aku, A Li, aku yang salah, maafkan aku ... "" suamiku tiba-tiba telah berlutut di samping kursi yang kukduduki,kata-kata maafnya semakin lama semakin menghilang, hingga tak kudengar lagi apa pun lagi. Langit cerah pagi itu mendadak hitam pekat seperti malam, gelap ... teramat gelap.

         Ketika kubuka mata, yang tampak pertama kali adalah foto pernikahanku, dalam pigura besar di atas meja riasku. Di sana tubuh mungilku dalam balutan gaun pengantin warna biru di dekap erat lengan kekar suamiku, sedangkann dia mengenakan setelan tuksedo lengkap dengan dasi kupu. Hanya senyum yang menghias wajah kami ketika itu, senym penuh harapan dalam mengarungi bahtera kehidupan, dan kini senyum itu telah hilang lenyap terbawa badai yang mendadak mematahkan layar biduk rapuh kami.
Perlahan kkuputar kepala ku mengamati sekeliling. Di samping kanan tempatku berbaring, suamiku duduk menopang dagu dengan wajah pasinya.""Kamu sudah sadar?"" Mau minum atau mau makan apa? Biar kubuatkan."" Buru-buru dia bertanya ketika dilihatnya aku telah terjaga.
""Tidak usah, terima kasih."" Jawabku seraya mengusap airmata yang tiba-tiba telah mengalir di pipiku.

Sejak  itu hubungan kami  benar-benar renggang. Kami tak ubahnya dua orang asing yang tinngal di bawah satu atap penuh bara. Semua kenangan indah kami pun lenyap dalam kebisuan tak berujung pangkal.
Hingga beberapa hari kemudian,  meledaklah sekam yang telah cukup panas itu.
""Besok, akan kuurus perceraian kita, aku akan menikahi A Chen, dan mulai malam ini aku akan tinggal di rumah Ibu, di Sinchu. Rumah ini kamu tempati saja sampai kamu bosan. Dan aku juga akan mengurus pembagian harta untukmu."" Ucap suamiku sambil mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam koper.Sedangkan aku hanya mampu duduk mematung di depan meja rias, tanpa menjawab sepatah katapun. Dia lalu pergi setelah meletakkan sebuah amplop coklat berisi uang dalam jumlah banyak.
""Ini untuk keperluanmu selama belum mendapatkan pekerjaan.""Katanya lagi, dan itulah hari terakhir aku tinggal  bersama suamiku. Beberapa hari setelahnya dia menelponku, bahwa dia ingin bertemu denganku  terakhir kali di TMS untuk menyerahkan surat cerai.

        Satu dua bulan memang hidupku terasa hampa, ingin pulang ke Indonesia, hatiku belum siap mengatakan masalakku pada orang tua yang selama ini menggap rumah tangga kami penuh kebahagiaan. Sedangkan untuk tingggal di sini, rasanya tak sanggup lagi, mau makan apa aku, sedang satu pekerjaan pun belum kudapatkan.
Sampai suatu hari kuputuskan menemui temanku sesama pengantin asing yang memiliki toko kelontong dan menyediakan keperluan para WNI dan TKA. Darinyalah aku diperkenalkan temaannya yang memiliki usaha agensi, nah dibsanalah aku bekerja sebagai penerjemah.

        Setahun aku bekerja, semakin banyak pula kenalan dan temanku. Perlahan aku pun bisa melupakan luka pernikahanku.
Tak lama, Tuhan pun mengirimkan jodoh kedua untukku. Dia seorang expatriat asal Canada, yang sedang menjalankan bisnis di Taiwan. Beberapa bulan setelah perkenalan aku dinikahinya dan dibawa pulang ke negaranya. Dari pernikahanku ini, aku di karuniai seorang anak laki-laki yang sehat dan setampan ayahnya, suamiku pun semakin sayang dan perhatian padaku. Bahkan keluarga mertuaku tak lagi menganggapku sebagai menantu, tapi seperti anaknya sendiri.

Berkat cinta dan ijin suamiku pulalah aku kembali menginjakkan kaki di bumi Formosa ini, namun kali ini bukan sebagai pengantin asing Indonesia-Taiwan, atau pekerja asing. Tapi sebagai seorang laopan niang
di perusahaan agensiku sendiri. Aku bekerjasama dengan mantan bosku dulu untuk menjadi perantara WNI ataupun warga lokal yang ingin bekerja ke Canada.
Aku juga bisa mempekerjakan benerapa karyawan yang sebagian besar WNI.

Hidupku benar-benar sempurna saat ini, namun begitu aku harus tetap berterima kasih pada takdir masa laluku. Mungkin bila suami pertamaku dulu tak memberiku surat talak tiga dengan cara yang cukup hina, hanya di depan pintu MRT. Tentu aku takkan menemukan suami kedua yang begitu cinta padaku , dan tentu aku takkan menemui kebahagiaanku seperti sekarang.
Terima  kasih Taiwan, kau temaniku melukis pelangi di langit hidupku.

Selesai.

Nangang 24 Mei 2015