Air Mata Perempuan Perkasa

2014-04-22 / Riyan Ferdian / Air Mata Perempuan Perkasa / Indonesia 印尼 / Teman-teman

Air Mata Perempuan Perkasa
Oleh: Riyan Ferdian

"Bunda, Adit kan udah kelas 1 SMP. Mas Tony udah kelas 1 SMA. Kapan dong bunda nemenin kami di rumah? Plis bunda, jangan pergi lagi, ya." suara putra Yuni di ujung telpon genggamnya.
"Iya, Nak. Bunda juga sudah ingin kumpul dengan kalian." jawab Yuni lalu menekan tombol off di HPnya.
Perempuan setengah baya ini tak dapat membendung air matanya. Serasa petir menyambar dan hujan tiba-tiba turun deras menyerami bumi.
"Anak-anakku, tahukah kalian? Tanpa kalian minta aku pun ingin bersama kalian. Menemani kalian belajar, dan menjadi ibu yang sesungguhnya buat kalian, sekaligus sahabat kalian" gumannya dalam hati.
"Tunggulah sebulan lagi. Bunda akan pulang. Bunda ingin ini adalah kontrak kerja terakhir bekerja di luar negeri. Semua bunda lakukan demi masa depan kalian. Maafkan bunda ya, Nak. Terlalu lama membiarkan kalian tanpa bunda di sisi kalian." lanjutnya. Sambil terus mengemasi barang-barangnya sesaat setelah menutup telponnya.
Sepuluh tahun sudah Yuni meninggalkan kedua putranya, setahun di Malaysia dan hampir 9 tahun atau 3 kali kontrok kerja di Taiwan. Sejak putra bungsunya, Aditya Mahardika atau Adit berusia 3 tahun, sedangkan sulungnya Tony Irwansyah berusia 6 tahun. Perpisahan yang cukup lama. Kalau saja suaminya tidak meninggalkannya demi wanita lain, tentu Yuni akan tetap berjuang di Indonesia bersama keluarga kecilnya meski dengan ekonomi yang pas-pasan. Ia tak malu bekerja apa saja atau berjualan sayur mayur di pasar.
Sepuluh tahun telah berlalu, tapi benak Yuni semua masih terasa kemarin terjadi, saat ia melihat dengan matanya sendiri suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya.
***
November, 11 tahun lalu...
"Yun, nanti aku pulang agak larut malam, kamu makan malam aja duluan bareng anak-anak," pamit Hartono, suami Yuni di siang menjelang sore saat itu. Meski sudah mempunyai dua anak tapi Hartono tetap memanggil Yuni namanya saja, tidak seperti orang lain memanggil istrinya "Ma" atau "Bu" tapi Yuni tidak pernah mempermasalahkannya. Yuni tahu betul suaminya bukan tipe pria romantis.
"Ya sudah tidak apa-apa, Mas. Padahal aku sudah memasak rendang, makanan kesukaanmu, Mas," jawab Yuni.
"Nanti kan aku juga pulang. Atau buat besok nggak apa-apa." lanjut Hartono, lalu menutup telponnya. Yuni kecewa, padahal ia ingin sekali malam itu menjadi malam yang hangat untuk keluarganya.
"Bunda, kok Bunda sedih? Kan tadi bunda ceria, kita mau makan malam bersama. Ini kan malam minggu, tinggal nunggu ayah pulang kan, Bunda?" tanya si sulung Tony yang sudah duduk di TK nol besar.
"Ayah lembur malam ini, Nak. Yuk kita jalan-jalan nanti ke super market ya, kita belanja." ajak Yuni menghibur putranya. Tony pun bersorak gembira.
***
Yuni mendorong kereta belanja menuju barang-barang keperluan rumahnya untuk seminggu atau lebih. Dari susu untuk kedua putranya juga kebutuhan dapur dan lain lain. Sambil asik bercanda dengan Tony, sementara Adit yang masih kecil ia taruh di tempat duduk yang tersedia di kereta belanjanya.
"Bunda, lihat tuh! Ayah juga ada di sini, sama tante cantik." bisik Tony sambil menunjuk ke arah sepasang yang sedang memilih susu ibu hamil.
Yuni melemparkan pandangannya ke arah yang ditunjuk putranya. Bagai disambar petir rasanya hati saat Yuni melihat suaminya menggandeng mesra wanita muda nan cantik sedang memilih kebutuhan ibu hamil. Meski belum terlalu besar, tapi Yuni bisa menebak usia kandungannya kurang lebih 5 bulan.
Yuni, mendekati suaminya yang menyadari bahwa istri dan kedua anaknya berada di super market yang sama.
"Mas, begini ya lemburmu? Siapa perempuan ini, Mas?"
Hartono dan wanita yang bersamanya tampak terkejut.
"Eh, anu. Kenalkan ini Wulan," jawab Hartono tergagap.
"Wulan? Siapa dia, Mas?" tanya suara Yuni kembali, dengan suara meninggi. Sementara wanita yang bernama Wulan nampak ketakutan.
"Dia..." Hartono agak ragu melanjutkan kalimatnya.
"Saya istrinya Mas Hartono, kami sudah menikah siri 6 bulan lalu," Wulan memberanikan diri melanjutkan kata-kata Hartono.
Plak!
Reflek tangan Yuni menampar pipi Hartono, lalu segera mengandeng Tony sambil mendorong keranjang belanjaannya menuju kasir dan segera menuju tempat parkir untuk segera pulang.
Malam minggu yang dibayangkan Yuni akan menjadi malam keluarga yang hangat ternyata hanya khayalan belaka.
***
Hartono pulang tengah malam, ia mendapati rumahnya sudah gelap. Tidak seperti biasanya, hingga tengah malam pun Yuni masih menantinya pulang di ruang tamu. Ia langsung menuju kamarnya, ternyata Yuni tidak berada di kamar.
"Hartono, kita harus selesaikan malam ini juga semuanya. Aku tidak bisa menerima penghianatanmu. Ceraikan aku secepatnya! Dan anak-anak biar aku yang mengurus. Kamu urus saja Wulan dan anaknya." suara Yuni mengejutkan Hartono, terlebih Yuni yang biasanya sopan dan lemah lembut memanggil namanya saja, bertanda sudah hilang rasa hormat padanya.
"Tapi, Yun..."
"Tidak ada tapi tapian. Besok aku bawa anak-anak ke rumah ibuku. Kalau kamu masih mau bertanggung jawab pada darah dagingmu, kamu boleh ke Malang." Yuni tak lagi memberi kesempatan Hartono bicara, seraya bergegas balik kanan dan tidur bersama kedua putranya.
Pagi-pagi buta Yuni sudah menyeret koper sambil menggandeng Adit. Sementara Tony mengikuti di belakang.
"Tony, Adit, ayo pamit pada ayah," perintah Yuni pada kedua putranya. Hartono yang tertidur di sofa sontak terbangun saat melihat mereka. Tony dan adit yang masih polos hanya menurut apa kata ibundanya. Mereka menyalami ayahnya.
"Aku tunggu surat cerainya, Mas. Aku juga tidak minta apapun darimu. Aku bisa menghidupi diriku dan mereka." kata Yuni mengakhiri percakapan.
***
Taiwan, November 2012
Yuni sedang asik mengemasi barang-barangnya untuk segera dikirim ke Indonesia saat tiba-tiba ponselnya berdering, nada dering khusus sms. Bergegas ia membukanya.
"Bunda, rumah kita semakin sepi. Mas Tony sudah sibuk dengan buku-buku pelajarannya, sedangakan nenek sudah tua, diajak ngobrol mulai nggak nyambung. Cepetan ya bunda pulang."
Adit rupanya sudah tidak sabar menunggunya pulang.
"Seminggu lagi bundamu ini pulang, nak. Bunda janji tidak akan merantau lagi. Sudah cukup 9 tahun di Taiwan, dan 2 tahun di Singapura. Semua demi kalian. Karena setelah ayah kalian menikah lagi, ia lupa akan tangung jawabnya pada kalian, darah dagingnya sendiri." gumam Yuni. Seraya menghapus air matanya. Dia begitu paham perasaan Adit. Sebelas tahun bukan waktu sebentar. Meski awalnya Yuni hanya ingin merantau ke Singapura selama 2 tahun, tapi setelah tahu mantan suaminya di PHK dari kerjanya, dan perlahan-lahan bangkrut karena gaya hidup istri mudanya yang senang berfoya-foya meski Hartono tak lagi bekerja. Akibatnya Hartono tak pernah lagi menunaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah pada Tony dan Adit. Tak mau masa depan pendidikan kedua putranya suram, Yuni berinisitif merantau lagi setelah pulang dari Singapura. Taiwan adalah negara pilihannya.
Bukanlah perkara mudah menjalani kehidupan sebagai TKW yang bertugas menjaga seorang nenek yang sudah pikun. Meski apa yang Yuni lakukan benar, terkadang sang nenek melaporkan pada anaknya yang notabene adalah majikan Yuni bertolak belakang. Awalnya Yuni sangat kaget dengan perilaku neneknya. Tapi perlahan Yuni menyadari "Beginilah orang pikun, mungkin suatu saat aku pun begitu." bisik hati kecilnya. Begitu pula majikannya semakin hari kian percaya pada Yuni. Apapun hal negatif yang dilaporkan neneknya tidak ditanggapinya dengan serius.
Tantangan yang dihadapi Yuni tak hanya nenek yang sudah pikun dan hanya tinggal berdua dalam satu rumah, anaknya datang hanya menjenguk seminggu sekali, itupun hanya dalam hitungan jam bahkan terkadang menit.
Changhwa, kawasan sejuk yang berada pegunungan memang indah, asri. Jauh dari hiruk pikuk kesibukan serta bising kendaraan yang mengakibatkan polusi udara. Di sanalah Yuni beserta nenek yang ia jaga tinggal.
Sepi yang Yuni rasakan sejak menginjakkan kakinya di rumah itu membuatnya sedih. Teringat akan kedua putranya dan ibunya di Indonesia membuatnya sering tak sanggup membendung air matanya. Lalu ia menumpahkan segala perasaannya melalui pena uyang ia goreskan pada kertas putih yang menjadi teman setianya. Bila majikannya datang, ia menitipkan hasil curahan hatinya untuk dikirimkan ke majalah berbahasa Indonesia, alhasil beberapa puisi dan cerpennya sering menghiasi halaman majalah. Dari dimuatnya hasil karyanya ia berhasil mengoleksi beberapa piagam dan cinderamata dari redaksi. Majikannya semakin baik dan percaya pad Yuni. Ia dihadiahi sebuah komputer, meski komputer lama tapi Yuni senang, apa lagi ia juga diijinkan menggunakan koneksi internetnya melalui saluran telpon rumah. **
Akhirnya tibalah waktu kepulangan Yuni, seluruh keluarga majikan pun mengantarkan sampai ke bandara Touyuan. Sebenarnya mereka tak rela jika harus kehilangan Yuni, terlebih Nenek yang dia rawat kini menjadi manja seperti layaknya balita. Tak mau makan dan mandi bila bukan Yuni yang menyuapi atau memandikan. Di sisi lain Yuni juga tak ingin jauh lagi dengan kedua buah hatinya yang telah beranjak dewasa. Meski ini pilihan terberat bua Yuni, walau dengan derai air mata dia tetap membulatkan tekadnya untuk pulang. Ya, air matalah yang mengantar kepulangan Yuni dari keluarga majikannya.
Setelah menempuh perjalanan udara kurang lebih 5 jam, tibalah Yuni di bandara Juanda. Yuni sengaja tak memberitahukan tanggal dan hari kepulangan pada keluarga, karna dia ingin membuat kejutan manis untuk mereka. Yuni hanya menyewa travel untuk mengantar ke kampung halamannya.
Malam hampir larut ketika Yuni sampai di halaman rumah Ibunya, yang kini jauh lebih layak dari saat dia tinggalkan dulu.
Setelah membayar travel dia menyeret koper kecilnya menuju teras.
Tot.. tok.. tok..
”Assalamualaikum...Ibu, Yuni pulang!" Diketuknya pintu rumahnya beberapa kali sambil mengucapkan salam.
Dari dalam terdengar suara langkah-langkah kaki mendekati pintu.
"Waalaikumsalam...yoalah Nduk, kamu to? Tony, Adit! Lihat ni siapa yang datang?" Sambil membuka pintu dan menghambur ke pelukan putrinya, Bu Darmi memanggil kedua cucunya.
Dan tak lama Tony dan Adit sambil mengucek-ucek mata pun keluar kamar dan menghampiri ibunya yang telah lama dirindukan.
"Bunda...!" Kompak mereka memanggil Yuni dan berlari memeluknya bersebelahan. Air mata Yuni pun kembali tumpah, namun kali ini adalah air mata bahagia.
Namun kebahagiaan Yuni sejenak terhenti, demi dilihatnya dari ruang belakang. Hartono muncul dengan langkah ragu mendekati mereka.
"Lho Mas, kok ada di sini? Bukankah seharusnya kamu di rumah keluarga barumu?" tanya Yuni dalam keterkejutannya.
"Bu, Adit yang ajak Ayah tinggal di rumah kita, kasian ayah, Bu. Waktu Adit pulang sekolah beberapa hari yang lalu, Adit lihat ayah tidur di pos satpam sekolahan Adit. Maafkan Adit, Bu." Adit merenggangkan pelukannya dan menjelaskan tentang keberadaan Hartono di rumah mereka.
"Maafkan aku, Yun, atas segala khilafku. Setelah aku diPHK, Wulan selingkuh dengan atasanku dan mengusirku. Beberapa tahun aku berusaha merantau ke Surabaya, tapi tak berhasil. Dan hari itu aku bermaksud menunggu Adit untuk memberikan sedikit uang tabunganku. Lalu Adit mengajakku ke rumah kalian. Aku tahu kesalahanku tak mungkin kau maafkan, tapi paling tidak beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku, Yun," terang Hartono panjang lebar sambil berlutut di hadapan Yuni yang masih berdiri di depan pintu.
"Iya Bu, Tony juga ingin ayah bersama kita lagi, maafkan ayah, Bu demi Tony dan Adit..." Tony yang dari tadi diam tiba-tiba menimpali.
Lalu Yuni menatap ke arah Ibunya, yang disambut dengan anggukan kepala saja.
"Huuftt...”
Yuni menghela napasnya untuk melepaskan sesak yang memenuhi rongga dadanya. Dia berharap luka masa lalunya pun terbang bersama hembus napasnya yang terbuang. Pun demi kebahagiaan kedua buah hatinya yang selama ini terenggut paksa. Yuni pun mendekati Hartono untuk membimbingya berdiri dari berlututnya.
"Sudahlah, Mas. Berdirilah. Aku memaafkanmu demi Tony dan Adit. Dan kuharap ini kesalahan pertama dan terakhirmu. Bersama kita awali semuanya dari bawah lagi, untuk menciptakan cahaya pelangi di wajah-wajah buah hati kita." Ucap Yuni sambil menyeka air matanya.
"Terima kasih, Yun..." Hartono bermaksud memeluk Yuni yang selama ini telah disakitinya.
"Eits! tunggu dulu, setelah dari KUA baru Mas boleh memelukku, oke?" jawab Yuni sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya.
Hartono yang lupa bahwa mereka telah bercerai pun hanya tersipu sambil garuk-garuk kepala.
Malam pun beranjak menuju fajar yang telah siap menyunggingkan senyum terindahnya di keluarga kecil Yuni. Wanita perkasa yang memiliki kelembutan hati dan pintu maaf seluas samudra.

Yuni memutuskan untuk kembali merajut cintanya dengan mantan suaminya. Kembali menikah, lalu membuka usaha dengan modal yang dia dapat dari hasil kerjanya di Taiwan. Rasa syukur Yuni tak dapat dilukiskan dengan kata-kata bila mengingat kebaikan bosnya di Taiwan. Tak lupa ibu dua anak ini memberi kabar pada majikannya di Taiwan tentang kabar bahagia ini.

TAMAT