PELANGIKU KELUARGAKU

2014-04-23 / Rasyah Sarie / PELANGIKU KELUARGAKU / Bahasa Indonesia / Tidak ada

PELANGIKU KELUARGAKU
Ada yang berbeda. Makan malam kali ini begitu jauh berbeda dari biasanya. Entah dari mana ibu dan bapak mendapatkan rezeki. Hingga tersaji berbagai makanan mewah di meja makan ini. Ada ayam goreng, ikan bandeng, rawon, udang kare dan sepanci rendang daging. Padahal biasanya hanya nasi dan tempe goreng yang menjadi menu wajib kami. Aku merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku. Dan sesuatu itu sudah membuat kegalauan di hatiku. Meski ibu kelihatan tenang-tenang saja menikmati makannya. Tapi beda dengan bapak, bapak kelihatan resah tak seperti biasanya.
“Sari makan dulu. Kamu pasti sudah lapar setelah seharian kerja. Habis itu ibu mau ngomong sesuatu sama kamu”. Sudah kuduga, ada sesuatu. Tapi aku tak berani menebak sesuatu apa itu. Aku memilih diam dan duduk di kursi dengan lesu. Kusendok nasi dan kulahap tanpa nafsu.
”Sari mulai hari ini bapak sudah tidak lagi bekerja di pabriknya. Karena bapak bersengketa dengan atasan, jadi bapak dikeluarkan“. Aku tercengang sesaat, tapi kemudian kulanjutkan makan.
“Jadi semua ini dari uang pesangon bapak“ ”
”Bukan, bapak tidak dapat pesangon. Tapi...ibu jual rumah ini. Seketika sendokku terjatuh di atas piring. Mataku melotot kaget, tak percaya dengan apa yang dikatakan ibu barusan.
“Rumah ini dijual? Tapi kenapa bu? Inikan rumah peninggalan nenek satu-satunya. Kalau untuk makan sehari-hari aku masih bisa bekerja kok. Terus kita mau tinggal di mana?“ ”
“Bapak punya hutang banyak di bank. Dulu waktu nenek kamu sakit, bapak meminjam uang di bank dan jaminannya adalah rumah ini. Kamu jangan khawatir. Sementara kita boleh mengontrak rumah ini sampai kita bisa beli rumah baru”
“Sampai kapan? Beli rumah itu mahal. Kenapa kalian tidak berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan!!”. Suaraku makin tinggi. Ruangan menjadi hening. Kedua adikku duduk merapat ketakutan. Bapak semakin menundukkan kepala tak berani angkat bicara.
“Astagfirullah......maafkan aku bu, pak” ucapku khilaf. Kuputuskan menyelesaikan makanku dan masuk kamar. Mencoba meredakan amarah. Keputusan mereka benar-benar membuatku sangat shock. Aku kecewa karena mereka mengambil keputusan tanpa memberitahuku lebih dulu. Bagaimana aku tidak jengkel, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saja aku dan bapak bekerja tiada henti. Meski ibu juga membantu bekerja dengan berjualan gorengan. Tapi hasilnya hanya cukup untuk uang saku kedua adikku. Setiap bulan gajiku hanya tersisa sedikit untuk beli pembalut. Lalu dari mana kami bisa beli rumah? Tapi aku tidak mau terlalu menyalahkan kedua orang tuaku. Mungkin semua ini hanyalah cobaan kecil dari Allah. Dan merekalah yag mengajarkan aku agar selalu sabar dan bekerja keras. Karena kami yakin setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.
Setelah bapak, akulah tulang punggung keluarga. Umurku sudah menginjak 23 tahun. Tapi sampai saat ini tak pernah terlintas dipikiranku tentang pernikahan. Bukannya aku tak laku. Tapi aku tak punya waktu untuk memikirkn hal itu. Yang aku pikirkan saat ini hanyalah bagaimana bisa menyekolahkan adik-adikku hingga lulus. Dan bagaimana membahagiakan kedua orang tuaku yang sudah tua. Sebelum aku benar-benar kehilangan mereka untuk selama-lamanya.
Tidak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi seorang TKI. Tidak ada juga orang yang bercita-cita ingin menjadi TKI. Menjadi TKI itu bukanlah suatu cita-cita. Melainkan suatu jembatan untuk meraih cita-cita yang tertunda. Begitu pula denganku. Aku tak pernah bercita-cita ingin menjadi TKI. Dulu, aku ingin sekali bisa kuliah dan menjadi PNS. Tapi apalah daya, menjadi pegawai negeri sekarang tidak ada yang jujur. Harus ada uang sogokan jutaan rupiah agar bisa lolos ujian. Apa lagi orang miskin dan hanya lulusan SMA seperti aku. Akhirnya cita-citaku hanya bisa kusimpan dalam lemari kelabu. Tapi aku sangat berharap kelak kedua adikku bisa menjadi pegawai negeri. Entah itu menjadi PNS atau ABRI. maka dari itu aku memutuskan menjadi TKI untuk mencari uang sebanyak-banyaknya.
Malam ini hatiku gelisah. Aku ragu untuk mengatakan pada ibu dan bapak tentang niatku ini. Aku takut mereka akan terkejut dan sakit. Tapi aku akan berusaha menjelaskan sepelan mungkin pada mereka. Dan semoga saja mereka merestui niatku ini.
“Bu, pak, sari mau bekerja ke luar negeri. Sari mau jadi TKI”
“Jangan nak, apa kamu tidak lihat berita di TV? Banyak TKI mati dan disiksa oleh majikannya”
“Jangan khawatir bu, sari mau ke Taiwan saja. Di sana hukum dan perlindungannya lebih kuat. Banyak teman sari yang berhasil dan sukses setelah pulang dari Taiwan. Sari ingin segera bisa beli rumah untuk kita tinggal“. Ibu menangis memelukku. Sedih rasanya membayangkan berpisah dengan orang-orang yang aku sayangi. Dan seperti biasanya, bapak hanya diam termenung. Tidak ada yang kuasa mencegah kepergianku. Karena hanya ini jalan satu-satunya agar aku bisa secepatnya membeli rumah.

Ibu
Cukup lelah kau mendidikku
Begitu tulus perjuanganmu membesarkanku
Hingga tak kau hiraukan keriput diwajahmu
Bapak
Begitu berat pengorbananmu
Menghidupi kami anak-anakmu
Kau kuras keringatmu demi sebutir nasi
Dan demi pendidikan kami
Kini ijinkan aku menggantikan beban dipundakmu
Sudah saatnya kalian hidup bersandarkan bahuku
Karena aku adalah anakmu
Yang kau besarkan dengan keringatmu
Semoga Tuhan masih memberiku waktu
Hingga saat itu tiba dan memisahkan kita

Desember akhir adalah awal kedatanganku di negeri formosa. Awal dimana formosa sedang diselimuti kabut dingin. Tubuhku yang masih beradaptasi seakan tak mampu menahan hawa dingin ini. Begitu dingin, bahkan melebihi dinginnya puncak gunung bromo. Kucoba melakukan kegiatan dengan berjalan mondar mandir di sepanjang jalan lorong rumah sakit. Tapi tubuhku masih saja menggigil. Tepat jam 3 sore aku membangunkan pasienku. Aku harus membawanya ke tempat terapi olah raga. Inilah pekerjaanku, merawat nenek berumur 70 tahun yang baru saja mengalami kecelakaan sepeda motor. Akibat kecelakaan itu nenek mengalami lumpuh separuh dan hilang ingatan. Dan saat ini nenek masih dirawat di rumah sakit khusus orang lumpuh.
Saat pertama kali kedatanganku, majikan pernah bilang bahwa ia ingin sekali mamanya bisa pulih seperti dulu lagi. Dokter juga mengatakan, bahwa besar kemungkinan nenek bisa berjalan lagi. Tapi untuk memulihkan ingatannya sangat kecil. Dan sekali lagi semua kembali pada Yang Maha Kuasa. Harapan majikan agar nenek bisa sembuh menjadikan cambuk semangatku. Dalam hati aku berjanji akan berusaha merawat nenek sebaik-baiknya. Setiap hari senin, rabu, jum’at aku mengantar nenek ke tempat terapi. Disana nenek melakukan terapi olah raga tangan dan kaki. Setelah pulang dari terapi aku biasakan melatih nenek berjalan di dalam kamar. Awalnya nenek sangat kesusahan, kakinya terlalu kaku dan tak bertenaga. Bahkan ia sering membentakku karena kesakitan. Tapi dengan sabar aku terus memberi nenek semangat agar ia mau berjalan. Dengan telaten aku memapah nenek berjalan dari tepi ranjang hingga pintu kamar. Begitulah seterusnya hingga 2-3 kali putaran. Suatu hari seorang perawat melihatku sedang melatih nenek berjalan. Aku pikir dia akan senang melihat kemajuan nenek. Tapi tidak, ia malah memarahiku. Katanya sangat berbahaya bila nenek terjatuh. Aku mengeluh kesal, apa yang mesti dikhawatirkan. Bukankah ada aku yang selalu di samping nenek. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi melatih nenek berjalan.
Satu bulan kemudian majikan memutuskan membawa nenek pulang kerumah. Alasannya ia ingin lebih dekat dengan mamanya. Aku senang sekali, semoga saja di rumah majikan aku bisa lebih baik dalam merawat nenek. Tidak seperti di rumah sakit yang penuh dengan aturan-aturan yang membosankan. Aku kembali melatih nenek berjalan. Setiap pagi dan siang hari setelah makan aku biasakan nenek berjalan selama sekitar 10 menit. Agar perut dan pantatnya tidak melebar. Itu yang pernah aku dengar diacara TV ’sehat bersama Ade Ray‘ saat aku masih di Indonesia. Malam hari majikan pulang kerja dan makan di rumah. Aku masih belum berani memberitahukan pada majikan kalau tiap hari aku melatih nenek berjalan. Takut dia marah atau tidak suka. Maka itu sehabis makan malam aku tidak melatih nenek berjalan. Hanya memijit-mijitnya saja. Sebelum tidur aku merendam kedua kaki nenek agar ia bisa tidur nyenyak. Saat memandang wajah keriput nenek yang tertidur aku teringat akan kedua orang tuaku yang jauh disana. Hatiku sesak, rasa rindu menyeruak, melelehlah air mataku. Selama bekerja disini aku belum pernah menghubungi mereka. Karena aku tidak tahu harus menghubungi siapa. Di rumah tidak ada yang punya handphone ataupun telepon rumah. Bahkan nomer telepon tetangga dan kerabatpun aku tak punya. Aku hanya bisa berdo’a pada Tuhan, agar mereka baik-baik saja. ”Ibu, bapak, maafkan aku. Aku janji akan pulang dengan membawa sinar pelangi untuk kebahagiaan kita”.
Hari demi hari nenek semakin banyak kemajuan. Kini dia sudah bisa berjalan dengan lancar. Langkahnya sudah sedikit lebar. Tangan kirinya yang lumpuh sudah semakin kuat untuk berpegangan. Bahkan ia sudah bisa menyebut nama anak-anaknya dengan benar, meski terkadang lupa lagi. Suatu hari, saat majikanku pulang kerja nenek memanggil namanya.
”A lan...A lan....”. Majikanku sangat terkejut. Ia menghampiri nenek tidak percaya.
“Ma, kamu memanggilku?”. Nenek tersenyum manggut-manggut.
”Nenek juga sudah bisa berjalan tuan, setiap hari aku melatihnya berjalan“ ucapku menjelaskan
“Benarkah? Coba aku ingin lihat”. Aku mulai menarik tubuh nenek berdiri. Kupapah dia berjalan dengan hati-hati. Majikanku sangat bahagia, bahkan ia bertepuk tangan menyemangati nenek. Sejak saat itu majikan semakin baik padaku, dan akupun semakin sayang sama nenek. Kini suasana makan malam tak lagi sepi. Sering cara bicara nenek yang nggak nyambung membuat kami tertawa lucu. Aku melihat sinar kebahagiaan dimata majikan. Dan akupun merasa ikut bahagia.
Tahun telah berganti. Beberapa bulan lagi kontrakku sudah habis. Nenek sudah bisa berjalan sendiri dengan menggunakan tongkat. Aku sudah memutuskan untuk tidak kembali bekerja. Karena aku ingin merawat kedua orang tuaku yang sudah renta. Da majikanku bisa memakluminya. Sangat berat memang berpisah dengan mereka. Apalagi aku sudah terlanjur sayang sama nenek. Namun aku lebih tak tega bila terlalu lama meninggalkan kedua orang tuaku. Aku pikir tabunganku sudah cukup untuk membeli rumah. Dan aku ingin bekerja di rumah saja agar bisa selalu dekat dengan ibu dan bapak, juga adik-adikku.
Waktu terasa begitu cepat. Tiga tahun aku meninggalkan kampung halamanku. Kini semua tampak beda. Jalanan yag dulu masih tanah kerikil, kini sudah beraspal. Tanah kosong dan persawahan sudah banyak yang dibangun pabrik-pabrik besar. Saat aku berjalan menyusuri desa tempat tinggalku, mataku tertumbuk pada dua orang tua yang sedang sibuk menjemur sampah-sampah disebuah lapangan tempat pembuangan sampah. Di bawah matahari yang menyengat mereka bekerja dengan penuh keringat. Bajunya lusuh dan kotor. Hatiku sesak melihat pemandangan itu. Karena mereka tak lain adalah kedua orang tuaku. Air mataku semakin deras. Jadi setelah kepergianku mereka bekerja seperti itu. Ya Tuhan...begitu durhakanya aku. Aku telah menelantarkan kedua orang tuaku yang sudah membesarkan dan merawatku dengan baik. Koperku terjatuh dari tangan. Aku semakin sesenggukan.
”Ibu..!!!”. Ibu menoleh kearahku. Ia mengusap keringat dikeningnya dengan jarik lusuhnya.
“Ya Allah..Sari pak!! Itu sari..!!” teriaknya sambil menarik tangan bapak mengajaknya berlari kearahku. Aku songsong kedua orang tuaku kemudian bersujud memeluk kaki mereka.
“Bu, pak, maafkan sari, karena sari tidak pernah memberi kabar. Sari tidak tahu harus menghubungi siapa”
”Sudahlah nak, yang penting kamu pulang dengan selamat“. Bapak mengusap pundakku lalu menyuruhku berdiri.
“Alhamdulillah Ya Allah“ bisiknya sambil memelukku. Seketika adegan kami menjadi tontonan yang mengharukan. Terima kasih Tuhan, telah kau satukan lagi aku dengan keluargaku.

Bahwasanya Kasih sayang orang tua tak ada habisnya
Do‘a untuk anaknya tak akan surut dimakan waktu
Mereka adalah tempat berteduh yang selalu rindang
Dan tempat bernaung yang tak pernah gersang