Dimensi Mimpi

2014-04-23 / Ita Widiastuti / Dimensi Mimpi / Bahasa Indonesia / Tidak ada


"Dimensi Mimpi

           

           Dengan muka masam aku baca sebuah tulisan  di salah satu surat kabar berbahasa Indonesia. “Pemerintah Tidak Pernah Menganjurkan Menjadi TKI”. Kamar yang nyaman , yang disediakan majikan untukku tidak membuaiku lantas lupa untuk mencari tahu apa yang terjadi di negaraku, Indonesia.  
""TKI menjadi alternatif terakhir jika kesempatan di dalam negeri sudah tidak ada lagi,"" ujar  bapak pejabat kepada wartawan..
""Sebaiknya wanita ada di rumah dan membesarkan anaknya dengan kasih sayang.” 
“Jika ada pilihan lain kami juga ingin berada di Negara sendiri. Jika semua kebutuhan terpenuhi kita pasti akan memilih tinggal merdeka di kampung sendiri.” Gumamku.

            Pikirku melayang kembali ke masa lalu,

         “Kamu berhenti sekolah dulu ya Nduk,’’ ucap bapak. Aku tak sanggup menatap wajah pucatnya. Kutahan air mataku, kutelan segala pedih ini sendiri. Meskipun hatiku remuk redam aku mengangguk dan berusaha tersenyum. Aku tak ingin menambah berat beban pikiran Bapak, sementara dia sendiri tengah melawan penyakit menahunnya. Maag kronis yang acap kali datang dan membungkus harapan kami.
“Jangan dengarkan Bapakmu, Es! Kamu harus tetap sekolah.” Tiba-tiba ibuku dari luar menyahuti. Kamar yang tak berpintu hanya terpasang tirai using sehingga ibu bisa mendengar semua kata bapak. Ada getar dalam kalimat ibu mungkin dia  sedang menahan tangis sehingga tidak masuk ke kamar dimana aku dan bapak sedang bicara. 
“Bapak minum obatnya.” Aku suapkan lima butir obat, dan air. Aku pandangi bungkus obat itu ada nama Dokter spesialis dalam, tergambar jelas dimataku berapa lembar puluhan ribu yang harus kami keluarkan untuk menebus obat-obat itu. Dan kemungkinan tidak hanya sebulan atau dua bulan Bapak harus diperiksakan rutin. Darimana kami mendapat uang? Lalu biaya sekolahku?
“Bapak tidur dulu ya?’’ tanpa menjawa Bapak lekas menutup matanya. Saat itu bapak pasti sedang memikirkan kata-katanya barusan. Dia pesti sedang merasa bersalah dan merasa menjadi orang tua yang tidak berguna.
“Tidak Pak, Esti tahu Bapak telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyekolahkan aku.”  Ucapku dalam hati.
         Aku menutup pintu pelan, lalu melangkah menuju dapur. 
“Kalau memang harus putus sekolah Esti tidak apa-apa Bu,” dihadapan Bapak aku bisa tegar, tapi entah mengapa di hadapan ibuku air mataku meleleh tak tertahan lagi. Mimpi untuk kuliah setelah lulus SMA, terbujur beku dan mati terbunuh cobaan. 
“Tidak boleh kamu harus sekolah.” Jawab ibu tegas. 
“Biaya darimana Bu? Kalaupun ibu ada simpanan kita buat  untuk biaya berobat bapak saja.”
         Sebagai petani di kampung menyekolahkanku sampai tingkat SMA sudah membuat Bapak ibuku harus memeras keringat dan otak. Menjadi kuli batu juga Bapakku lakoni untuk menambah penghasilan. Sering saat matahari diatas ubun-ubun Bapak berangkat menurunkan muatan batu dari truk. Semuanya demi kami demi sekolahku dan adikku yang sebentar lagi masuk SMP. Dan sekarang Bapak tengah berperang melawan sakitnya, apakah aku masih harus egois untuk meneruskan sekolahku. Toh nanti setelah ijasah ku dapat apakah aku bisa memanfaatkan ijasahku untuk bekerja?
“Kamu harus tetap sekolah Esti, ibu akan berusaha.” Ujar ibuku tegas. Aku tidak mungkin lagi membantah kata-kata ibuku. Ibuku bersifat keras. Ibuku paling tidah suka kata-katanya dibantah.

Aku tidak tinggal diam, aku ajukan beasiswa tidak mampu. Sebagian siswa pasti merasa gengsi untuk menerima beasiswa tidak mampu, karena akan mempengaruhi popularitas di sekolah. Tapi itu semua tak berlaku untukku. Setidaknya aku harus bisa meringankan beban orang tuaku.

                     
Hari kelulusan tiba dengan nilai yang memuaskan.  Senyum sesaat selanjutnya realita yang bicara. Saat teman-temanku sibuk mempersiapkan diri untuk UMPTN, aku mempersiapkan seluruh biodata untuk proses ke luar negeri.

         Hari itu seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu, nenekku tak henti-hentinya menyusut air mata dengan ujung jarik. Tekadku telah bulat untuk menyeberangi lautan. Aku tatap kerut di wajah nenek-kakekku bergantian, di dalam hatiku melafadz doa,
“Ya ALLOH seru sekalian alam, berilah umur yang panjang kepada kedua orang ini agar kelak saat aku kembali mereka masih bisa memelukku.” Saat pandanganku tertumbuk pada sosok laki-laki yang duduk lemah di kursi rotan, air mataku bertambah deras, “Ya RAB, berikanlah kejaibanmu sembuhkan Bapak dari sakitnya, bebaskan beliau dari siksaan sakit itu.” Aku cium tangannya. Pelan dielusnya rambutku, taka ada kata namun dari mata yang berkaca-kaca itu bisa ku baca ribuan makna. Sebuah pesan
“Hati-hati, jaga diri, pegang teguh aqidah…” dan ribuan kata yang terungkap dalam diam..
Ibu wanita yang melahirkanku  semoga di beri kekuatan untuk menjalani segala cobaan hidup ini.
 Ibuku memelukku erat, juga tanpa kata, hanya isak tangis. Ibuku yang sering tak sepaham denganku, yang sering mengomel karena kebandelanku dengan berat melepasku. Aku dekati adikku yang berdiri di pojok dengan air mata berurai, memeluknya erat. Sesak  dadaku. Aku menatap butiran bening di wajah mereka  sampai mobil sponsor yang membawaku dan kedua temanku menghilang di balik tikungan.

        Aku yakin Tuhan Maha mendengar doa setiap makhuknya, oleh karena itulah aku disini ditengah keluarga Chen. Tahun pertama adalah masa adaptasi yang sulit,  aku belum mengerti kebiasaan mereka, merekapun belum mengenalku apalagi percaya. Seiring berjalannya waktu semua kendala terkikis sudah.
Tahun kedua keluarga Chen tidak lagi menganggapku asing.
 “Tata, kamu ganti baju sekarang kita sebentar lagi keluar menjenguk papa.”  kata erlsau . Tidak kaget dengan ajakan itu karena kemanapun mereka pergi aku pasti diajak. Berlibur bahkan ke restorant paling mahal sekalipun aku pasti turut serta.

     Aroma obat bius khas yang khas tercium saat kami memasuki salah satu ruang VIP, seperti biasa mei-mei  tenang berada dalam gendong “jaritku”. Keadaan Tuan Chen sepertinya kurang begitu baik. Mereka mengobrol dan aku sibuk dengan mei-mei , inilah tugasku  sehari-hari menjaga titi dan meimei. 
“Hari ini Ita ulang tahun dan kami akan mengajaknya makan di restaurant Indonesia ketepatan hari ini dia tidak makan seharian.” Aku kaget sekali, tidak menyangka mereka tahu hari ulang tahunku, bulan itu bulan Ramadhan atas ijin Nyonya aku menjalankan kewajibanku berpuasa  sehingga erlke mengatakan aku tidak makan seharian.
 Tuan Chen memandangku dan bertanya “Kamu orang Islam kan? yang sembahyang 5 kali sehari menghadap ke barat ?” 
Aku tersenyum, “Bagaimana anda bisa tahu?” tanyaku
“Kakak perempuanku tingga di Malaysia, saat mengunjunginya aku biasa mendengar orang bernyanyi 5kali sehari di masjid.” Senang sekali rasanya Tuan Chen  bicara padaku mengingat beberapa hari yang lalu dia marah sekali karena bekerja ceroboh hingga jaring-jaring candela jatuh ke jalan.
“Sekali lagi kamu bekerja lalai, akan aku pulangkan kamu ke Indonesia.” Katanya dengan pandangan mata memerah kepadaku. Berkali-kali aku meminta maaf tapi Tuan Chen tetap diam sepertinya  tidak bisa memaafkanku sampai ketika  dia harus berkali-kali  masuk rumah sakit sehingga kita jarang sekali bertemu. 

        Hari ini sungguh hari yang tak terduga mungkin benar kata Nyonya, Tuan sedang sakit sehingga mudah sekali emosi.  Dia tidak benar-benar ingin memulangkanku ke Indonesia.
Haru meletup-letup memenuhi dadaku saat kami telah duduk di restaurant  Indonesia. Seporsi nasi kuning  berbentuk kerucut yang biasa kami sebut “Tumpeng” membuat air mataku meleleh. Dulu saat masih sekolah aku begitu ingin merayakan ulang tahun seperti teman yang lain. Hanya keinginan yang terpendam, jangankan untuk meminta uang untuk merayakan ulang tahun bahkan untuk membeli bolpoint saja aku harus menyisihkan uang saku. Dan majikanku mengingat hari ulang tahunku serta memberikan surpraise, sungguh mengharukan. Apalagi ketika saat pulang  tatsau turut memberikan sebungkus kado dan hongpao. Bukan tentang nilainya tetapi tentang suatu penghargaan kepadaku yang hanya pendatang dari negeri jauh.

         Waktu terus berputar seperti sebuah daun pada sebatang pohon berguguran lalu bersemi kembali. Itulah hidup, kita lahir kemudian berpulang. Tuan Chen berpulang mendahului kami semua.Dengan isak dan punggung berguncang  Nyonya Chen melepas nahkoda kapalnya pergi. Aku bisa meraba kesedihan diatara tatapnya yang layu. Sungguh hal yang tak mudah melepas pendamping hidupnya selama 40 tahun lebih. 
Beberapa bulan kemudian baru Nyonya bisa berkata padaku.
“Sedih ataupun bahagia hari  harus dilewati, jika aku bisa melewati hari ini dengan bersukacita kenapa aku harus menyiksa diri dengan kesedihan. Mungkin ini yang terbaik buat dia. Dia telah melepas semua rasa sakitnya di dunia ini, PR nya sudah usai.”  Aku salut sekali dengan kebijaksanaannya. Rasanya ingin sekali mengusap pundaknya seperti yang bisa dia lakukan padaku.

         Kesibukan menjaga titi  dan mei-mei membuatku merasa waktu ini bukan lagi berjalan meliankan berlari dengan cepat. Sekarang anak-anak sudah masuk Taman Kanak-kanak jadi lebih banyak waktu untuk mengobrol dengan Nyonya Chen di dapur.
Setiap orang hidup aku yakin punya masalah dan terkadang kita harus membicarakan masalah kita dengan orang lain. Terkadang aku bisa menerima cobaan dalam hidupku, tidak jarang pula aku berkeluh.
“Sekian tahun ayahku sakit, harus berapa lama lagi aku dan keluargaku harus seperti ini?” ditengah kesibukan mencuci sayur aku ungkapkan gundahku.
“Peribahasa kami mengtakan bahwa angin, dan air itu bergantian mengalir. Kamu mengerti artinya?” tanya Nyonya Chen.
Aku menggeleng bodoh. 
“Tidak selamanya seseorang itu dirundung malang, bahagia sedih, miskin dan kaya itu bergantian tidak selamanya kamu kaya atau miskin. Dulu kami pernah tidak punya uang sama sekai, bahkan untuk membeli sebotol arakpun tidak ada uang di kantong.” Cerita inilah meskipun diulang ribuan kalipun tetap kunanti dan kudengarkan dengan seksama. Agar aku punya setitik harapan untuk perubahan hidup keluarga kami.
“Kamu disini untuk mengubah hidup, harus hemat. Belanja jangan utamakan keinginan tetapi nomor satukan kebutuhan.” 
“Dulu kita juga memulai semuanya dari 0, bahkan saat awal mendirikan pabrik kita  selalu lembur hingga kita bisa seperti ini sekarang.” Nada bicaranya bukan untuk menyombongkan diri melainkan untuk melecut semangatku.  Inilah yang membentuk satu planning di otakku kelak setelah pulang ke negaraku aku ingin berusaha berbisnis yang sesuai dijalankan di Indonesia.

     Hari itu aku lebih banyak diam karena masih terngiang pembicaraan dengan adikku semalam.
“Kamu kenapa?” tanya Nyonya.
“Adikku ingin  sekolah. Sebetulnya inilah jalan untuk meneruskan mimpiku yang tertunda, mimpi untuk melanjutkan studyku tapi...”
“Kenapa?”
“Orang tuaku bilang kelak biayanya akan menjadi bebanku lagipula  di Negaraku  untuk bekerja di departemen pemerintahan selain dengan ijazah juga harus dengan uang, tak terkecuali untuk menjadi guru seperti yang dicita-citakan adikku dari kecil.”
“Bilang kepada adikmu kamu bisa membantu tetapi bukan menanggung, jadi dia harus berusaha sendiri . Dan kamu juga harus suruh dia berjanji untuk serius sekolah.  Niat kamu sudah bagus untuk membantunya, teruskanlah…” ucapnya lalu seperti biasa mengusap punggungku. Aku tersenyum rasanya seperti mendapatkan segelas  kopi di pagi yang dingin. 

           Aku berharap ini kontrak terakhirku di Taiwan. Bukan karena sudah menemukan kekasih hati atau karena rumah yang kita buat dengan patungan sudah hampir selesai pembangunannya jika aku berfikir untuk tidak lagi kembali ke Taiwan. Tetapi lebih karena kakek nenekku yang sudah tua. Mereka yang merawatku sejak kecil sudah sepatutnyalah aku merawat mereka saat mereka menjadi seperti anak kecil.
“Jadi kamu tidak akan kembali kesini?” tanya nyonya datar. “Apa kamu akan menikah?” tanyanya kemudian. “Kamu punya pacar?”
Malu-malu aku memngangguk.
“Aku harus mengucapkan selamat kepadamu hanya pesanku kamu harus memastikan dulu apakah dia pria yang bertanggung jawab? Pria yang baik, setelah dia menikahimu dia harus bisa menopang hidup kalian. “ 
“Nyonya benar sekali.”
“Tentu saja kata orang jahe tua itu lebih pedas.” Candanya sembari tersenyum. 

    Aku terkadang sering tidak ingat umur, karena anak-anak selalu menganggap aku adalah teman mereka.
Saat mereka makan permen dan coklat mereka pasti akan mengatakan sesuatu padaku.
“Maaf ya kamu tidak aku kasih, karena permen bisa membuat gigi kamu sakit lalu disuntik oleh tante dokter.” Ucapnya cadel dengan logat orang tua  menasehati anaknya.

“Tata jadi kamu tidak lahir di rumah ini?” tanya titi saat aku menemani mereka sepulang sekolah.
“Aku lahir dinegaraku Inni. (Indonesia)” Karena pengucapanku yang kurang fasih mei-mei salah dengar dikiranya aku berkata immi (jagung).
“Jadi kamu lahir dari jagung pantas saja kulitmu hitam tidak sama seperti kami.” Sebelum sempat menjawab tawaku sudah pecah. Sampai air mataku meleleh.
Saat aku libur lalu kebetulan titi tidak keluar , pulangnya dia akan berkata padaku
“Dimana kamu seharian? Kenapa tidak menemaniku bermain padahal aku kangen kamu lho..”
Kata-kata yang manis tak jarang membuatku berfikir betapa beratnya kelak saat aku harus meninggalkan mereka.
Di sini Taiwan, di keluarga ini bukan hanya materi yang kudapat tetapi anak-anak, ibu dan juga guru yang baik. Banyak petuah berharga yang tidak bisa aku dapatkan sebelumnya di bangku sekolah bahkan tidak akan aku dapatkan di tempat lain. 
Berharap jika tulisan ini bisa digubah dalam versi mandarin, kelak anak-anak akan mengingtku sebagai bagaian dari dimensi kisah masa kecil mereka.
Berharap mereka tidak secepat angin lalu melupakan sosok Tata, sahabat mereka.

Nb:
Titi = adik laki-laki
Mei-mei = adik perempuan
Erlke = kakak kedua
Tatsau = ipar perempuan pertama
Erlsau = ipar perempuan kedua

"