Gadis Asing Si Pencuri Hati

2014-04-29 / AyuTrya / Gadis Asing Si Pencuri Hati / Indonesia 印尼 / Teman


-2014-


Seorang pemuda tampak tengah duduk di sebuah bangku tua lapuk, namun masih cukup kuat untuk menahan beban tubuhnya―yang terletak di taman belakang sebuah rumah. Rumahnya. Surai brunette-nya tampak memunculkan anak-anak rambut yang bergerak-gerak lembut tersapu angin. Kevin namanya. Mengabaikan bahwa ia hanya mengenakkan sweater tipis di tengah udara sore di musim penghujan yang dingin.

Ditangannya terdapat sehelai kertas―entah apa itu. Ia tampak mengusap lembut helaian kertas ditangannya. Dan bersamaan dengan itu ingatannya kembali tertarik pada sebuah kenangan beberapa tahun sebelumnya.




-flashback 2008-


Ia terus menghitung hari; kehidupan bak bentukan merlon dan crenel―beruntai, saling berkaitan meski selalu ada batasan antara 'tinggi' dan 'rendah'.

Cahaya yang membayang dan bayangan yang terus ia simpan. Lukisan hidupnya belum pernah terasa sesulit ini sebelumnya. Tapi ia tetap menjaganya di alam mimpi―bagai nyanyian angsa dalam kehidupan.

Bahkan saat lukisan langit menggoreskan violet dan udara sewarna lembayung. Gadis itu tidak akan meninggalkan kanvasnya. Kevin tahu itu.

Mata kucing itu dan kulit putih pucatnya, aroma matahari pagi dan taburan kristal hujan sedingin es yang membiasnya.

Dia berbeda. Dan Kevin tak tahu dimana letak perbedaannya.

Ia bahkan tak tahu nama gadis asing itu.

Saat udara menguarkan pigmen sewarna merah maroon, di bawah tiang dan dibalik awan. Kevin masih saja dapat mencium aroma gadis asing itu―yang mampu mengirimnya pada sebuah sensasi memabukkan disetiap detailnya.

Secara ajaib, Pemuda brunette itu seolah mampu melihat bintang-bintang, bulan dan juga keindahan taburan kembang api di mata feline gadis itu. Dan bibir sewarna buah peach-nya yang seakan mampu bercerita meski tanpa uraian kata.

'Siapa namamu?'

Kevin selalu bangun disebuah pagi yang sama dengan pertanyaan yang sama pula.

Namun ia tak juga mendapatkan jawabannya. Pertemuan itu terjadi hanya sekejap. Kevin adalah seorang mahasiswa tingkat kedua, dan tebakannya gadis asing itu berada satu atau dua tahun dibawahnya.

Mereka bertemu dibawah langit biru yang jernih. Ternaungi atap gerbong kereta, yang merupakan saksi pertemuan tak terlupakan itu.
Dan mereka tak pernah menyangka apa yang akan terjadi setelahnya.


---


"Maaf, bisakah kau membuang rokokmu?"

Kevin mengangkat kepalanya dan melihat kearah orang―yang jika ia tak salah, sedang bicara dengan dirinya. Seorang gadis berperawakan ramping, rambut ikal panjang dengan warna sehitam burung gagak tergerai sempurna, kulit putih pucat―yang terlihat hampir transparan―tampak kontras dengan warna rambutnya. Oh dan jangan lupakan juga feline eyes-nya yang indah itu. Sangat cantik.

Kereta yang mereka tumpangi tidak terlalu penuh, Kevin bahkan dapat melihat beberapa bangku kosong. Tapi gadis itu berdiri tepat dihadapan tempat ia duduk saat ini―menatapnya. Dan Kevin hanya mampu melemparkan senyuman bodohnya, setelah itu kembali menghisap batangan ditangannya.

"Aku bilang, buang rokokmu."

Kevin kembali mendongak, menatap si gadis berambut gagak. "Namaku Kevin, siapa namamu?" Alih-alih menurut untuk membuang rokoknya, pemuda brunette itu justru bertanya sok akrab.

Gadis asing itu mulai terbatuk akibat tak sengaja menghirup asap nikotin yang terdistribusikan dari mulut pemuda dihadapannya--yang memperkenalkan dirinya sebagai Kevin beberapa saat lalu.

"Aku bilang....."

"Oke, aku tak peduli siapa namamu. Sekarang, bisa tolong hentikkan gerutuanmu itu. Dan menyingkirlah dari hadapanku! legal bagiku untuk merokok. Jadi apa masalahnya?" Kevin berkata tidak sabaran.

"Kau sedang mencoba membunuh dirimu sendiri, bung." Si gadis menimpali.

"Begitukkah?" Kevin merespon tak peduli seraya membuang batangan sebelumnya yang sudah tak menyala keluar jendela. Kemudian, mengambil bungkusan rokok di saku celana bagian belakangnya dan mulai menyalakan yang baru.

"Aku benci melihat orang merokok," gadis asing itu agak sedikit menaikkan intonasi suaranya.

Kevin tampak menghela napas panjang, "bukan urusanku" ucapnya tak peduli.

Tiba-tiba saja, gadis asing itu mengambil bungkusan rokok yang masih berada di tangan pemuda brunette dihadapannya―Kevin belum sempat memasukkannya kembali kedalam saku celananya―dan melemparnya keluar jendela. Si gadis asing menampakkan smirk-nya saat melihat ekspresi kaget bercampur tak percaya Kevin. Sesaat kemudian ekspresi gadis itu berubah menjadi seringai kepuasan.

"Apa masalahmu? Itu bungkusan terakhirku dan kau baru saja membuangnya. Selamat karena telah membuat perjalanan 6 jamku yang tersisa di kereta ini akan terasa sangat membosankan," hazel Kevin menatap tajam gadis dihadapannya, kentara sekali ada nada kekesalan dalam suaranya.

"Aku sudah katakan sebelumnya, aku benci melihat orang merokok." Gadis asing itu memiringkan sedikit kepalanya seraya tersenyum tanpa dosa kearah Kevin.

Kevin mendengus, "apa yang salah dengan anak ini?" gerutunya pelan. Tapi masih bisa didengar oleh gadis dihadapannya, dan si tersangka yang telah membuang 'kawan perjalanan' Kevin itu hanya mengendikkan bahunya.

"Jadi apa pertanggungjawaban yang akan kau berikan untuk kebosanan selama 6 jamku nanti di kereta sialan ini, Nona cerewet?" Kevin menghembuskan napas putus asa. Gadis asing itu hanya terkekeh. "Dan aku pikir, kau tidak akan terus-terusan berdiri disana untuk selamanya, bukan?" Kevin melanjutkan. Entah kenapa ia tak bisa marah―nada ketus dalam suaranya tidak Kevin maksudkan sebagai kemarahan pada gadis asing dihadapannya ini, padahal untuk ukuran orang yang baru saja dikenal dan bahkan namanya pun tak Kevin ketahui, dia ini benar-benar tidak sopan.

Si gadis berambut gagak itu tersenyum―senyum cerah yang disertai sedikit kikikan tertahan―seraya mengambil duduk tepat disamping Kevin.

"Jadi, kau mau kemana?" Kevin membuka obrolan yang terdengar lebih bersahabat.

"Kemanapun"

Pemuda brunette itu mengerutkan keningnya, "tapi kau tidak membawa apapun, maksudku tidak dengan tas bodoh itu, bukan?"

"Aku tidak peduli. Lagipula kau bahkan tidak lebih pintar dari tas bodohku ini, jadi mulailah berbicara sesuatu yang lebih menarik." gadis asing itu berkata santai.

Ada jeda panjang setelah itu. Kevin bergerak canggung ditempatnya dan mengeluarkan ponsel dari saku depan celananya, tanpa melakukan apapun. Ia hanya menatap layar ponselnya, menunggu keajaiban agar mereka mampu berbicara secara normal, karena tiba-tiba saja Kevin merasakan perubahan pada tempo detak jantungnya―seakan hendak menerobos keluar dari rongga dadanya. Kevin menarik napas perlahan agar gadis disampingnya tak menyadari kegugupannya.

Ia masih terus berusaha meredam apapun itu yang membuatnya terasa sulit bahkan hanya untuk bernapas, hitungan waktu bergerak tanpa ia sadari.


---


Baru pertama kali Kevin merasakan hal semacam ini--parahnya lagi didekat seseorang yang baru saja ia kenal. Mengingat bahwa baru beberapa saat lalu mereka―bisa dibilang beradu mulut―dan sekarang Kevin justru tampak begitu canggung. Ini lucu pikirnya. Ia bahkan tidak fokus pada apa yang tengah dilakukan gadis asing disampingnya, yang sepertinya sedang menulis sesuatu atau apapun itu--Kevin terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Kenyataan bahwa gadis itu tampak asik dengan kegiatan barunya saat ini, membuat Kevin agak tenang. Setidaknya ia tidak perlu mengeluarkan suara yang nantinya mungkin akan terdengar aneh bagi gadis itu. Kebosanan yang dikhawatirkan Kevin tadi, tergantikan dengan sebuah kegugupan.

"Ah sudah sampai, pas sekali!" Pekikan si gadis asing menyeret Kevin kembali pada kewarasannya.

Kevin menolehkan kepalanya dengan bingung kesamping dimana gadis asing itu berada, "apa?"

"Maaf aku tidak bisa bertanggung jawab atas masalahmu, stasiun ini adalah tujuanku." Tampak sebuah cengiran tanpa dosa diwajah pualam gadis asing itu―menampakkan gigi putihnya yang tersusun rapih.

Manis, pikir Kevin tanpa sadar.

Kevin tak bisa berbuat apapun saat kereta itu berhenti dan gadis disampingnya berdiri membenahi letak tas punggungnya yang berwarna merah muda pastel. Kemudian melangkah keluar menuju pintu yang ada di gerbong itu. Sebelum benar-benar pergi, gadis asing itu menoleh sekali lagi pada Kevin. "Ingat merokok itu berbahaya bagi kesehatanmu," tersenyum sejenak, "sampai jumpa!" Pekiknya sebelum akhirnya berlari menghambur bersama kerumunan manusia.

Kevin hanya mampu terpaku ditempatnya, menatap punggung gadis asing―yang entah disadarinya atau tidak telah pergi membawa serta separuh hatinya.

"Sampai jumpa?" ucapnya pelan, kemudian Kevin menemukan sebuah sketsa lukisan dirinya ditempat gadis asing itu duduk sebelumnya. Ia juga menemukan coretan sesuatu yang membentuk sebuah huruf 'J' di samping sketsa dirinya. Kevin tersenyum seraya menggumamkan, "aku akan menemukanmu."


-flashback end-


---


-back to 2014-

Kevin tampak memejamkan matanya, merasakan semilir angin dan udara khas di musim penghujan yang menguarkan aroma tanah basah dan ranting-ranting lembab yang lembut dan menghangatkan otaknya. Kertas yang semula ada ditangannya telah berpindah―kini terlipat rapi―disaku sweater yang ia kenakan.

Di gerbong kereta itu, semua kenangannya bermula dan berakhir. Seorang gadis yang hadir hanya sekejap dalam hidupnya saat itu namun sanggup melekat dalam otaknya sampai saat ini. Seorang gadis unik yang bisa membuat Kevin bermimpi tentangnya tiap malam.

Kevin mendesah, kemudian kembali membuka matanya ketika menyadari sesuatu yang hangat melingkari pundaknya. Sebuah mantel berwarna coklat tua tersampir di bahunya. Ia mendongak dan mendapati seorang gadis dengan senyumnya yang selalu menawan. Rambut sewarna gagaknya berkilauan terkena sinar matahari.

“Kau bisa sakit jika berada di luar di cuaca seperti ini,” ujar gadis itu lembut sambil melingkarkan kedua lengannya di leher Kevin, memeluknya dari belakang.

“Apa aku bisa sakit sementara sumber energiku ada disini?” desah Kevin, “kau adalah matahariku yang tak pernah terbenam, Jean.”

Gadis yang dipanggil Jean itu terkekeh kemudian mengecup pipi Kevin, “ayo, kita masuk.”

“Jean…” Kevin melepas pelukan Jean dan berjalan menuju rumah mereka. Jean mengikutinya, melingkarkan lengannya di lengan Kevin sebelum menoleh,

“hm?”

Kevin memonyongkan bibirnya lucu, “lain kali berikan petunjuk yang lebih jelas agar aku bisa lebih mudah mencarimu. Kau tahu, untung saja kakakku meminta untuk menemaninya kesebuah galeri seni rupa waktu itu. Sehingga aku dapat menemukan sesuatu yang akhirnya bisa membawaku padamu." ucap Kevin panjang lebar.

Jean tersenyum, "yang penting sekarang aku bersamamu, bukan? Lagipula itu sudah berlalu 6 tahun yang lalu." Gadis mempesona itu menjulurkan lidahnya, sebelum menyamankan kepalanya di pundak Kevin.

"Aku benar-benar tidak menyangka dengan profesi seorang pelukis yang tersemat pada gadis menyebalkan yang suka mengomel sepertimu," Kevin tertawa.

Jean mendongak dan menegakkan kepalanya yang semula bersandar dipundak Kevin. "Tapi akhirnya kau mengejar-ngejar dan menikahi gadis menyebalkan ini bukan?" Gadis itu berkata seraya mengibaskan rambut ikal hitam panjangnya, bergaya angkuh.

Keduanyapun tertawa bersama.



-End-