Cintaku Berkilau Di Formosa

2014-04-30 / Ana Sanchong / Cintaku Berkilau Di Formosa / Indonesia 印尼 / Tony Thamsir

Cintaku Berkilau Di Formosa
Aku menyebutnya dengan cinta. Sebuah kata tulus dan murni. Kata yang mengajarkanku tentang sebuah pengorbanan dan perjuangan. Demi cinta, aku akan melakukan apapun juga.
Mungkin aku terlalu picik. Terlalu mengagungkan cinta. Atau aku memang dibutakan oleh cinta? Ah.., rasanya tidak. Karena aku menganggap cinta kami yang terikat dalam sebuah pernikahan suci ini akan abadi. Aku ingin cinta ini akan tetap kami bawa hingga mati.
Masih segar dalam ingatanku, saat pria yang mengaku cinta padaku itu datang ke rumah, melamarku. Dengan isakan dan derai air mata ia memintaku menjadi bidadari dunianya. Dan ia berjanji akan menjagaku selamanya.
Pun ketika keadaan ekonomi kami terasa makin sulit. Aku harus rela berpisah dengan Daniar, putri semata wayang kami untuk merantau ke luar negri. Dengan berbekal informasi dari beberapa temanku, aku menguatkan diriku untuk merantau. Ya, demi keadaan rumah tangga kecil kami yang lebih baik. Aku ingin mengubah nasib.
Tahun 2007 kali pertamanya aku menginjakkan kaki di Formosa. Sebuah Negara yang membuat kami, para tenaga kerja asing dari belahan bumi selatan rela meninggalkan kampung halaman, demi sebuah perubahan.
Taiwan telah mengubah hidupku. Kini aku tidak lagi menjadi Purwanti yang dulu, yang bekerja diladang dan hanya memperoleh upah sepuluh ribu rupiah saja setiap harinya. Aku adalah Purwati yang memiliki gaji setara dengan manager bank yang ada di kotaku, walau disini pekerjaanku hanya menjaga seorang akong.
Kontrak kerja selama tiga tahun membuatku tidak bisa pulang dan bertemu keluarga. Kami hanya berhubungan melalui telepon genggam. Sesekali aku berkirim foto pada suamiku. Agar Daniar, putri kami tidak melupakan wajahku, wajah ibu kandungnya sendiri.
Selama kurun waktu tiga tahun pula, aku mempercayakan semua keuanganku pada Rano, suamiku. Aku hanya menyisihkan sedikit uang untuk makan dan keperluan harianku, dan sisanya, semua aku kirim suamiku. Suamiku juga berjanji ia akan menggunakan uang itu untuk membangun istana kecil kami.
Tida tahun telah berlalu, kini saatnya aku pulang ke kampong halaman menenui orang-orang yang aku rindukan selama ini. Namu.., betapa terkejutnya aku, saat kudapati rumah yang tergolong mewah lengkap dengan motor baru yang diparkir di teras rumah. Aku sangat bahagia, tak sabar hatiku untuk segera memasukinya.
Dan apa yang akhirnya aku dapatkan?

Dari luar, aku melihat sekilas seorang wanita hamil tua tengah menjemur pakaian. Aku menerka-nerka siapa wanita itu. Karena memang sama sekali aku tidak mengenalinya. Kuberanikan untuk memasuki rumah. Hanya untuk memastikan jika rumah baru ini memang rumahku, bukan rumah orang lain.
Ya, tak salah lagi. Ini memang rumahku. Jelas-jelas foto Bang Rano terpampang di dinding dekat pintu ruang tamu. Tapi siapa wanita yang kini sedang menjemur pakaian di luar sana?
“Siapa?” terdengar suara Bang Rano dari dalam kamar. Ia menyadari seseorang telah masuk ke dalam rumahnya.
“Bang.. aku.. Purwanti...” jawabku sambil menggenggam koper.
Bang Rano nampak terkejut dengan kepulanganku yang tiba-tiba. Raut mukanya berubah. Merah padam. Aku tak tau lagi apa yang akan dia jelaskan padaku.
Akhirnya kami duduk semeja; aku, bang Rano, dan Sari, istri mudanya. Selama tiga tahun kepergianku, selama itu pula Bang Rano telah memalingkan hatinya kepada yang lain. Dan kini dengan jerih payahku, ia membangun istana dan juga tinggal bersama pujaan hatinya.
Janji tinggallah janji. Tidak ada janji yang abadi. Lima tahun ikatan suci itu telah musnah. Tercerai ke dalam lembah penderitaan yang dalam.
Rasanya sakit. Cinta yang dulu aku agungkan. Cinta yang dengan susah payah tetap kujaga. Cinta yang tetap kurawat hingga aku menderita, musnah! Bang Rano telah merusak cinta suci kami dengan penghianatan. Ia menodai apa yang sepatutnya ia jaga.
Pada akhirnya air mata ini juga yang memisahkanku dengan Bang Rano. Setelah air mata bahagia yang dulu pernah kuteteskan saat ia melamar dan menikahiku. Dan air mata ini yang tetap setia menemaniku.
Langkahku goyah. Tubuhku melemah. Akankah dunia akan berakhir hari ini? esok atau lusa? Kapan dunia akan berakhir? Kapan jarum jam akan berhenti berdetak, menghentikan waktu yang teramat berat kurasa. Aku tak sanggup lagi melangkahkan kaki.
Akhirnya...
Aku memutuskan untuk kembali merantau. Berbeda dengan niat awalku semula, aku hanya ingin memperjuangkan nasibku dan Daniar, buah hatiku. Tak ada tujuan muluk-muluk seperti dulu. Membangun istana dunia, menikmati hidup bahagia bersama suami, atau apalah itu. Aku telah membuangnya jauh-jauh.
Dan untuk kedua kalinya aku menginjakkan kaki di tanah Formosa.
Masih sama seperti sedia kala. Aku merasakan harapan baru saat aku melangkahkan kakiku di atasnya. Aku harus berubah dan berjuang di sini. Demi hidupku yang lebih baik lagi.
Aku bekerja dengan Akong-ku yang lama. Meski usianya sudah lanjut, beliau masih terlihat sehat dan kuat. Tak ada tanda-tanda sakit atau apa. Hanya membutuhkan pengawasan dan penjagaan. Karena memang anak-anaknya tidak ada yang tinggal serumah, hanya ada aku dan akong.
Tidak seperti harapanku. Hampir satu tahun pertama aku tidak bisa berhenti memikirkan Bang Rano, mantan suamiku. Pikiranku masih kalang-kabut. Terkadang terlintas masa-masa indah kami, saat kami masih bersama-sama dulu. Sekali dua kali aku masih sering memimpikannya.
Kenyatannya memang tidak semudah yang aku bayangkan. Aku kalut. Aku bak dihantui oleh kegagalan pernikahan dan penghianatan itu setiap harinya. Hingga ketakutan itu mengganggu tidur malamku. Kelelahanku tak cukup untuk membuatku tertidur pulas. Ketakutan dan kecemasan telah melemahkan rasa kantukku.
Hingga suatu ketika aku memutuskan untuk berubah. Aku tidak boleh terus-terusan terpuruk seperti ini. Perlahan aku mulai melupakan Bang Rano. Mengubur kenangan indah, buruk, mengenaskan itu dalam-dalam.
Mulanya memang tidak mudah. Aku menyiasati dengan hal lain. Malam-malam yang panjang, saat mataku belum juga terpejam, aku mengerjakan apapun yang bisa aku kerjakan. Mengepel lantai sudah bersih, mencuci jendela, menyetrika baju, menata rumah, apapun asal aku lakukan asal itu tidak membuatku melamun. Hingga suatu malam Akong terbangun dan menanyaiku. Rupanya ia memang sudah tau kebiasaanku itu sejak lama. Hanya diam dan mengamati.
Akhirnya aku menumpahkan semuanya. Kuceritakan panjang lebar kisah hidupku yang pahit. Aku ditipu suamiku sendiri, uangku dipakai untuk membangun rumah, dan ia memiliki istri baru. Saat mendengar ceritaku, akong merasa iba ku lihat kedua matanya meneteskan airmata seolah tahu apa yang aku rasakan. Tak henti-hentinya akong memberiku semangat untuk tetap tegar menjalani hidup ini.
Suatu ketika Akong memanggilku. Kukira ia membutuhkan sesuatu atau ingin makan siang. Ternyata tidak. Ia menyuruhku untuk duduk semeja dengannya. Aku dihadapkan dengan sosok pria yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku sering melihatnya bolak-balik datang menjenguk Akong. Diantara kerabat Akong, pria ini memang paling sering datang ke rumah.
“Ati, ini aku kenalkan dengan kerabatku...”
Ternyata akong mengenalkanku pada kerabatnya. Sosok pria yang bertubuh jangkung dan juga ramah. Dari sorot matanya aku mengetahui ia adalah orang yang jujur. Bukan seperti kebanyakan pria yang kukenal, bukan seperti Bang Rano. Ya, pria ini berbeda.
Aku tidak berani banyak menghayal. Aku menganggap Akong hanya mengenalkanku untuk dijadikan teman. Bukan untuk yang lain. Aku sadar betul dengan posisi dan statusku di rumah ini. Meski begitu aku tetap memperlakukan pria ini dengan baik.
“Cukup panggil aku Jeremy...” ujar pria yang berusia 32 tahun itu.
Kedatangan Jeremy tidak hanya menjenguk Akong, tetapi Jeremy kini menjadi teman bicara yang baik untukku. Ia menemaniku menyiapkan makan siang Akong di dapur. Bahkan ia juga mulai ikut makan siang bersama kami.
Tidak hanya itu ia sering menghabiskan waktu akhir pekannya di rumah Akong. Dan sesekali ia mengajak Akong jalan-jalan keluar. Tentu saja aku harus ikut menemani mereka berdua. Dan setelah kami lebih dekat, baru aku tau jika Jeremy itu bukan saudara atau kerabat Akong. Jeremy adalah anak bungsu Akong sendiri.
Setelah lima bulan berlalu, Jeremy makin sering menjenguk Akong. Tidak hanya pada hari Sabtu dan Minggu. Pada hari lain setelah dari kantor ia juga datang menjenguk Akong. Terkadang ia juga menginap di rumah.
Rasanya agak aneh. Jika aku tinggal seatap dengan laki-laki muda. Terlebih rumah kami hanya ada dua kamar, kamarku dan kamar Akong. Jeremy lebih memilih untuk tidur di sofa di ruang keluarga.
Hingga suatu malam saat aku sedang menonton televisi. Jeremy datang sepulang dari kantor. Kami membicarakan banyak hal. Termasuk kampung halamanku. Ia banyak bertanya tentang negeriku, Indonesia.
“Ya, kamu harus ke Indonesia suatu hari. Negeriku sangat cantik...” kataku sambil bercerita panjang lebar tentang Indonesia.
Sorot matanya dalam. Ia hanya melihatku sambil tersenyum.
“Bukan itu...” jawabannya mengejutkanku.
“Apa maksudmu?”aku tidak mengerti dengan perkataannya.
“Aku akan ke Indonesia untuk melamarmu dan menikahimu....”
Tidak main-main. Aku yang mengira perkataan itu hanya sebuah candaan, ia malah membuktikannya. Ya, dua bulan setelah itu ia resmi melamarku. Dan kami pun, menikah. Bukan hanya itu, Jeremy juga bisa menerima Daniar, putri semata wayangku. Karena aku memang takut, ia tak bisa menerimanya. Kami bertiga hidup seperti pasangan suami istri pada umumnya. Jeremy begitu menyanyangi Daniar, lebih dari ayah kandungnya sendiri.
Aku baru tahu, apa tujuan takdir mengirimkanku ke tanah Formosa. Bukan saja untuk mengubah nasib dan mengobati lukaku. Lebih dari itu, di Pulau Formosa ini aku juga menemukan cintaku, cinta sejatiku, dan separuh jiwaku. Terimakasih akong, terimaksih Jeremy, kalian membuat hidupku terasa lebih hidup.