Gasing Kehidupan

2014-04-25 / Umirah Ramata / Gasing Kehidupan / Bahasa Indonesia / Tidak ada



Gasing Kehidupan

Harusnya mereka memelukku dengan bahagia, melepas rasa rindu yang menggunung di dada. Tapi nyatanya, mereka malah beringsut menggeser tempat duduknya dari sampingku, menjauh dengan cepat tanpa mau menoleh ke arahku.

Ternyata aku lemah, rapuh tanpa mereka. Aku semakin sadar bahwa mereka adalah nyawa hidupku. Ketika mereka semua menjauh, dari mana aku harus mengganti sebuah nyawa untuk kehidupanku?

Ini seharusnya tak boleh terjadi, aku pulang dengan membawa kebahagiaan yang begitu penuh mengisi hati. Lelaki idaman telah begitu lekat dalam rangkulan tanganku, ia tempat bersandar yang paling nyaman. Aku mengenalnya selama aku berada di Taiwan dengan segala penat yang timbul pelan-pelan bersama waktu..

Seorang duda tanpa anak telah menjadi tempat berbagi untukku. Ia selalu ada saat waktu membawa semua bahagia yang menyisa di sudut kehidupanku.

***
“Kamu yakin dengan keputusanmu, Yanti?” Nyonya Wang meletakkan cangkir yang berisi kopi di atas meja kaca di hadapan kami. Aku hanya mengangguk. Sesuatu yang besar di pikiranku sangat kuat menentukan pilihan.

“Terkadang, hidup itu seperti sebuah gasing, Yanti. Ia akan berputar cepat setelah kita memutarnya sangat kuat untuk beberapa waktu. Tapi setelah energi yang kita berikan padanya habis, maka ia akan melambat dan berhenti pada satu titik yang membuat kita harus mengambil kembali untuk memutarnya.”

Ia menatap dengan jutaan makna yang tersorot menuju retinaku, "Seberapa lama dan kencangnya gasing itu berputar, itu tergantung keinginan dan energi yang kamu keluarkan untuknya."

Nyonya Wang adalah majikanku. Selama dua tahun ini, kami tinggal serumah hanya bertiga. Ia hanya memiliki satu anak lelaki berumur 18 tahun yang lumpuh kedua kakinya sejak kecelakaan tiga tahun lalu. Akulah yang merawatnya, membantu Nyonya Wang menyiapkan semua keperluan, Ben namanya. Sedangkan suami Nyonya Wang, telah meninggal bersamaan dengan kecelakaan mobil yang telah merenggut kenormalam Ben.

“Dani sangat baik, Nyonya. Ia pun pekerja keras.” Aku sedikit gemetar memberikan sebuah jawaban yang entah akan dinilai seperti apa olehnya. Ia pemikir yang handal dan seorang perempuan dengan jiwa besar. Dan aku, masih sangat kerdil dibandingkan dengan pengalamannya yang sangat luas.

“Bagaimana dengan keluargamu?” Aku segera mengambil gelas teh yang masih tersisa setengah milikku. Aku sengaja menghindari tatapan dan tanyanya yang seolah menghardikku. Aku beranjak menuju washtafel untuk mencucinya.

“Mereka baik-baik saja, Nyonya. Mereka menyerahkan semuanya pada keputusanku. Suamiku pun mau menuruti kemauanku." Aku mendengar Nyonya Wang menghela napas panjang. Ia lalu mengambil remote control dan mematikan acara berita TV yang sedang kami tonton sejak satu jam yang lalu.

Aku dan Nyonya Wang memang sangat dekat, kami sering berbincang apa saja tentang keluarga dan dunia perempuan. Kami memiliki banyak persamaan tentang keinginan dan harapan. Tapi tidak dengan keinginnan dan perasaan yang beberapa bulan ini menjalar di hati dan pikiranku.

***

Ini adalah kontrak pertamaku di Taiwan. Setelah sebulan yang lalu aku mengambil cuti pulang karena urusan yang sangat mendesak, aku hanya menunggu sepuluh bulan lagi untuk menyelesaikan kontrak kerja.

Sebagai sebuah panggilan pekerjaan dan panggilan dari sebuah pelarian yang mengusung-usung sebuah keranda di perasaanku. Aku memang menjauh, mengambil sebuah langkah yang dulu telah aku torehkan hitam kelam di jalan yang pernah aku tempuh.

Perkenalan dengan Dani, seorang duda tanpa anak tepat setahun yang lalu, telah merubah hidupku. Aku pergi merantau untuk memenuhi kebutuhan hidup yang memang sangat sulit tercukupi, jika hanya mengandalkan penghasilan suamiku sebagai seorang pekerja serabutan dan bangunan. Apalagi ia sekarang terkena stroke. Sedang kedua anakku telah berumur lima dan lima belas tahun membutuhkan sangat banyak biaya untuk sekolahnya. Maka aku putuskan untuk merantau ke negara yang memiliki gedung tinggi bernama 101 ini sebagai pembangun kehidupanku.

Dani merupakan kenalan dari seorang teman sesama Indonesia yang bekerja dekat dengan daerahku. Sebuah daerah yang jauh dari perkotaan. Sebuah desa di perbukitan Taichung. Yang bila musim dingin tiba, bunga sakura menjadi suatu pemandangan yang paling indah di tepi jalan.

Ben selalu mengerti keadaanku, ia tak pernah berteriak dan memintaku membantunya, jika aku terlihat dalam keadaan yang sedang kalut. Ia sering diam, dan memang tak terlalu lancar berbicara setelah ada kelainan otak yang dideritanya pasca kecelakaan.

“Kamu tampak sedih Yanti. Ada apa? Bukankah seharusnya kamu bahagia telah cuti sebulan di rumah?” Aku menghentikan lahapan mi goreng cumi kesukaanku. Ya, memang benar, akhir-akhir ini aku memang banyak murung dan tak banyak berbicara. Padahal biasanya, akulah yang paling ceriwis kalau bercerita.

“Anakku sudah tak mau lagi bicara denganku. Entah kenapa.” Aku letakkan sumpit di atas piring datar dengan motif kotak di hadapanku.

“Segala sesuatu punya resiko, jika berani memutuskan, harus berani mengambil konsekuensi.”

Jam dinding kuno yang berada di ruang tamu terdengar sangat nyaring ketika ia berdenting tujuh kali. Seolah ada getaran yang dicipta udara untuk menyampaikan sebuah pesan dari Tuhan.

Sesuatu yang begitu tajam serasa menembus dadaku masuk ke ulu hati. Aku sendiri tak mengerti, mengapa ada ribuan rasa yang berjejalan saat ini.

“Sudahlah, nikmati saja makan malammu.” Nyonya Wang beranjak meninggalkan meja makan.

“Boleh aku tanya satu hal, Nyonya?” Tanyaku meluncur cepat. Nyonya Wang berhenti. Menoleh dan mengangguk dengan senyum.

“Setelah tiga tahun Tuan meninggal, mengapa Nyonya tak menikah lagi? Bukankah Nyonya masih muda dan berhak hidup bahagia?” Aku segera tertunduk, malu sekali kenapa pertanyaan itu sampai keluar begitu saja, tanpa menghiraukan perasaan Nyonya bagaimana ia menjawab pertanyaanku.

Nyonya Wang tersenyum dengan sedikit suara yang ia keluarkan dengan deheman kecil. Meja makan kaca itu mampu membuat pantulan wajah Nyonya Wang begitu jelas di sana.

“Aku mencintai suamiku. Jauh dari apapun di dunia ini. Dan aku menikah dengannya untuk seumur hidupku, bukan separuh kehidupanku.” Kembali sebuah tumpahan air raksa seolah menyirami wajahku, berikut dengan persendian yang tiba-tiba seperti tak bertulang. Aku luruh, duduk tersender di kusi kayu.

***

“Aku ingin Mas melepaskan aku.” Dengan lembut aku ucapkan itu di samping pembaringannya. Ia hanya diam, tapi aku tahu, ada banyak pertanyaan yang menjelma di tatapannya. Tapi ia mengangguk. Walau aku tak paham mengapa ia melakukan itu. Aku hanya mengerti bahwa ia setuju dengan keinginanku.

Suamiku, Hartono, telah lumpuh selama lima tahun. Ia terbaring tak berdaya di sebuah ranjang yang berkasur bantat keras. Ia tak bisa melakukan apa-apa, Ia hanya mampu menggerakkan sedikit tangan kiri dan kepalanya. Selebihnya, tak ada yang bisa ia lakukan. Kecuali berbicara.

“Aku mengerti.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dan aku lega, seperti melepas sebuah jeratan tali yang selama ini menjerat tubuh, menjadikanku susah untuk bernapas.

Navis, anak ke duaku, masuk ke dalam ruang sempit kamar kami. Ia tak lagi tersenyum padaku sejak hari pertama aku pulang. Ia bahkan tak pernah menyapaku. Ia hanya menghampiri ayahnya dan mencium kedua tangannya saat berangkat atau sepulang sekolah. Tanpa melakukan hal yang sama padaku.

Sakit rasanya menerima suatu ketidakadilan dari seoseorang yang telah kita lahirkan. Tapi mas Hartono membesarkanku, bahwa dengan seiring jalannya waktu, Navis akan berubah.

“Navis tak suka dia pulang Yah. Navis lebih senang dia di luar saja tak usah pulang.”

Aku tertegun walau dadaku sakit. Navis hanya memanggilku dengan sebutan dia. Sebegitu asingnyakah diriku di matanya? Bukankah aku yang membiayai sekolahnya selama ini?

“Jangan bicara seperti itu, Navis, ia ibumu.” Mas Hartono masih mencoba membujuk.

"Seorang ibu, tak pernah mementaskan diri ketika bagian dari kehidupannya butuh kehadirannya!" Ia menunduk, namun suara tingginya terdengar jelas di telingaku.

Navis berlalu di hadapanku dengan cepat tanpa menatapku. Ia seperti sebuah kereta api yang melintas tanpa berhenti di stasiun tempatku menunggu. Dan aku, seperti berdiri di depan kepala kereta yang dihuni masinis. Kilat, aku terlindas dan tubuhku pecah.

Salahkah aku mencoba mencapai kebahagiaanku sendiri, sedang sebuah cinta yang ditawarkan yang lain terlihat lebih indah dari yang pernah aku rasakan?

***

Aku melihat seorang kakek berusia sekitar 70 tahunan melintas di depanku. Dengan sebuah kursi roda yang berisi seorang perempuan tua, istrinya. Mereka tetanggaku, tetangga samping rumah yang hampir aku lupakan mengambil pelajaran dari mereka.

Taman sore itu tak mendung, tapi mentari sudah sembunyi di pucuk-pucuk daun pohon akasia. Semilir angin seolah membawa cerita legenda tentang Rama dan Shinta yang begitu setia mempertahankan hati dan cinta.

Ben menyentuh pipiku dengan bergetar. Mencoba menghapus bulir hangat yang jatuh di pipiku. Aku tersentak. Menghangat. Tiba-tiba aku rindu pelukannya, pelukan sang pemberi mimpi dan sang penyemangat. Begitu kejamnya aku, seorang istri dan ibu yang hanya mencari sebuah mimpi dan istana yang lain bagi dirinya sendiri.

"Terima kasih, Ben." Aku menatap Ben seolah tertular air mataku. Sebuah air mata bahagia yang terlukis pula di senyumnya. Ia mengelus pipiku. Aku menggapai rambutnya. Ia seperti anakku. Menyayangiku dan aku menyaynginya.

***
Nyonya memelukku erat, menepuk punggungku dengan lembut, seolah menyalurkan ribuan kilo volt energi melalui aliran darahku.

"Selamat tinggal, Yanti. Berbahagialah dan putar gasingnya pelan. Agar tiap sapaan angin yang menyapanya, mampu kau resapi dalam-dalam. Dan ingatlah, bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya adalah saat sebuah senyum yang tulus hadir tanpa sebuah alasan yang mampu diucapkan."

Aku terisak. Nyonya Wang tersenyum. Aku melihat Ben melambaikan tangannya.

***
Mas Hartono sudah mulai bisa berjalan. Navis menuntunnya pelan-pelan ke halaman belakang rumah. Aku dan anak bungsuku menunggu mereka dengan empat gelas teh hangat dan roti panggang rasa kacang, kesukaan kami.

Aku akan memutar gasingnya pelan, seperti nasihat seorang perempuan di Formosa sana.