Rencana Tuhan: Sungguh Indah pada Waktunya

2014-04-26 / 王偉文 / Rencana Tuhan: Sungguh Indah pada Waktunya / Bahasa Indonesia / Tidak ada


Inilah sebuah kisah nyata yang kualami dalam diriku. Layaknya manusia pada umumnya, lahir sebagai bayi yang tidak mengerti apa-apa tentang dunia ini. Seiring berjalannya waktu, aku beranjak dewasa memasuki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), di sinilah aku benar-benar menemukan jati diriku, sebagai manusia yang begitu lemah di mata Tuhan. Ternyata, aku dilahirkan sebagai manusia yang mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat berbicara lancar (gagap) ketika berada di depan umum. Bayangkan saja, betapa tersiksanya diriku ini, terlebih ketika guru memanggil namaku untuk membaca sebuah cerita pendek (cerpen) di depan kelas. Aku merasa gugup sekali sehingga tidak ada satu katapun yang dapat kukeluarkan untuk membaca cerpen tersebut. Dari situlah, diriku sangat malu dan merasa lemah sekali. Terlebih lagi ketika satu kelas menertawakanku, aku merasa diriku ini benar-benar orang yang bodoh dan tidak berdaya. Akan tetapi, aku berusaha untuk menyelesaikan semuanya itu dengan sekuat tenagaku. Seiring bertambahnya umur, aku semakin merasakan bahwa diriku ini dilahirkan sebagai manusia yang sangat lemah sekali, baik di mata Tuhan maupun sesama manusia lainnya. Aku adalah manusia yang bodoh, tidak berdaya, dan tidak berguna bagi siapapun.

Sampai pada akhirnya, aku beranjak memasuki tingkat pendidikan perguruan tinggi. Saat aku memasuki tingkat pendidikan perguruan tinggi, di situlah jati diriku juga muncul. Aku mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang dosen, yang dapat memberikan banyak ilmu kepada orang banyak. Akupun juga pernah menceritakan hal ini kepada kedua orang tuaku, akan tetapi mereka berkata bahwa menjadi seorang dosen tidak akan pernah mempunyai banyak uang, karena honor yang diterima para dosen di Indonesia memang masih tergolong sangat rendah, bila dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Ya memang yang namanya cita-cita, haruslah dikejar. Begitu pula dengan cita-citaku ini, meskipun kedua orang tuaku tidak merestuinya, tetapi dari dalam diriku sendiri aku ingin tetap menjadi dosen.

Kembali lagi pada realita yang terjadi dalam hidupku, bahwa aku seorang yang gagap. Mana mungkin orang gagap dapat menjadi dosen, terlebih lagi seorang dosen harus bisa berbicara di depan puluhan bahkan ratusan mahasiswa di depannya. Selain itu, realita kedua yang harus dihadapi adalah untuk menjadi seorang dosen di universitas tempatku belajar, haruslah berpendidikan minimal S2. Bayangkan saja, mana bisa seorang yang gagap bisa melanjutkan studi S2-nya.

Suatu hari, di universitas tempatku belajar, muncullah berita bahwa ada seorang perempuan yang bunuh diri, karena putus cinta dengan pacarnya. Sempat terlintas di benakku dan didalam hati, aku berkata “Wow, seseorang bunuh diri karena orang tersebut gagal dalam meraih apa yang diinginkannya. Semudah itukah seseorang untuk mengakhiri hidupnya?” Bahkan, beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi, aku sempat berpikiran untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang telah dilakukan oleh perempuan itu.

Aku terlahir sebagai orang yang tertutup dan malu, sehingga kelemahan dan penderitaan yang kualami selama ini, tidak pernah kuceritakan pada kedua orang tuaku. Mungkin kedua orang tuaku menganggap diriku ini normal, terlahir sebagai anak muda yang sedang belajar, layaknya anak-anak lainnya.

Semester demi semester kulalui dalam dunia pendidikan dengan tidak ada perkembangan dalam diriku (tetaplah gagap seperti sedia kalanya). Sampai pada akhirnya, setelah melakukan sebuah presentasi di depan kelas dan seperti biasanya, aku terlihat gagap di depan kelas, temanku menghampiriku, bertanya “Ada apa dengan dirimu teman?” Dengan malu aku menjawabnya “Iya teman, memang sejak kecil aku dilahirkan gagap dan tidak dapat berbicara lancar secara normal seperti halnya orang-orang lain.” Dengan rasa iba dan perhatiannya kepadaku, temanku itu berkata “Jangan putus asa teman, berlatihlah terus-menerus, dan percayalah bahwa suatu saat, engkau bisa berbicara normal layaknya orang-orang lainnya.”

Mendengar nasihat dari temanku itu, hatiku langsung terkejut dan ingin menangis seketika itu juga. Akan tetapi, kuingat bahwa diriku sudah beranjak dewasa di tingkat pendidikan tertinggi, sehingga aku berusaha menahan rasa tangisku itu. Terkejutnya hatiku karena aku merasakan masih ada orang baik seperti dia yang tidak menertawakanku ketika aku gagap, dan justru dia memberikan nasihat yang terbaik bagiku.

Sepulang dari sekolah, aku merenung di dalam kamar sendiri, dan tentunya, rasa terharu dan ingin menangis itu akhirnya kukeluarkan, tanpa ada satu orang pun yang mengetahuinya. Setelah aku puas menangis dan merenungkan apa yang dikatakan temanku tadi siang di kelas, seketika itu juga seolah-olah Tuhan masuk dalam hidupku.

Pada awalnya, aku adalah remaja yang biasa-biasa saja, tidak terlalu religius dan taat terhadap agama. Akan tetapi, setelah satu hari perenungan yang kulakukan dalam kamarku, aku semakin dikuatkan iman dan harapan hidupku. Melalui peristiwa itu, hidupku kembali dikuatkan oleh Tuhan, dalam bentuk keyakinan akan sembuhnya penyakit gagapku ini.

Keyakinan ini semakin hari semakin kudalami, dan aku pun semakin mendekatkan diriku pada Tuhan, sebagai Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui segala apa yang diinginkan oleh hamba-hambanya yang selalu taat dan setia kepada-Nya. Setiap hari aku selalu berdoa dan memohon petunjuk kepada Tuhan, bahwa jikalau hamba-Nya ini memang benar-benar ditakdirkan untuk menjadi seorang dosen dan hal itulah yang terbaik bagi diriku, maka kehendak itulah yang akan terjadi. Memasuki tingkat akhir perkuliahan, aku berusaha dengan sebaik mungkin menyelesaikan tugas akhirku, dan mempersiapkan segala dokumen untuk studi lanjut S2.

Di saat-saat menunggu hasil penerimaan untuk studi lanjut S2, kembali aku berdoa dan meminta petunjuk kepada Tuhan “Apabila Tuhan memang berkehendak aku untuk menjadi seorang dosen dan dapat memberikan ilmuku kepada banyak orang, maka terjadilah kehendak baik-Mu itu Tuhan.” Setiap hari aku selalu berdoa dan berharap yang terbaik semuanya terjadi dalam diriku.

Tiba pada saat hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru untuk studi lanjut S2. Dengan hati berdebar, aku membuka situs websitenya, dan melihat-lihat terus ke bagian bawah halaman, dan akhirnya aku berhenti di suatu baris. Baris tersebut memuat namaku dan jenis beasiswa yang kuterima. Betapa bahagianya diriku saat membaca baris tersebut, bahwa aku diterima dengan beasiswa penuh, yang artinya aku tidak perlu mengeluarkan uang sedikitpun untuk membayar uang sekolahku dan tentunya, tidak perlu membebani kedua orang tuaku.

Dalam hatiku berkata dan seraya mengucap syukur kepada Tuhan “WOW, sungguh besar kasih karunia-Mu ya Tuhan. Kehendak baik-Mu sudah Engkau berikan dan wujudkan dalam kehidupanku ini.” Berulang-ulang kali aku mengucap syukur dan berdoa sesaat itu juga. Sungguh rahmat Tuhan tidak akan pernah habis dan tak terhingga adanya bagi hamba-hamba-Nya yang taat dan berserah kepada-Nya.

Kembali lagi pada hari dimana menunggu untuk ujian sidang akhir S1. Tiba saatnya satu hari sebelum ujian sidang akhir, seperti biasanya hatiku berdegup sangat kencang, mempersiapkan segala presentasi yang akan kujalani untuk keesokan harinya. Aku berlatih terus-menerus cara presentasi yang baik dan benar, khususnya supaya tidak gugup di depan umum dan tidak lupa pula untuk berdoa kepada Tuhan, memohon yang terbaik untuk keesokan harinya.

Keesokan harinya, aku memasuki ruang sidang dengan penuh rasa takut dan gugup untuk melakukan presentasi. Waktu presentasi pun dimulai dan oh ternyata, penyakit gagapku muncul kembali. Aku tidak dapat melakukan yang terbaik dalam presentasiku hari itu. Setelah selesai presentasi, para pengujiku menyuruhku keluar untuk menunggu keputusan lulus tidaknya aku sebagai seorang sarjana S1. Di luar pintu ruang sidang, aku kembali berdoa kepada Tuhan, berserah semuanya dan memohon yang terbaik pada-Nya. Namaku dipanggil kembali untuk memasuki ruang sidang. Satu dosen sebagai ketua tim penguji berkata kepadaku “Kenapa kamu tidak dapat maksimal pada hari ini? Kenapa kamu tidak dapat melakukan presentasi dengan baik?” Dengan wajah yang sangat malu, aku menjawabnya “Mungkin saya agak grogi, Pak”. Akhir kata ketua tim penguji ini menyatakan “Ya sudah, kamu lolos dengan nilai …” Butuh waktu sekitar sepuluh detik baginya untuk mengatakan nilai akhirku itu. Dan betapa terkejutnya, setelah sepuluh detik itu, dia melanjutkan perkataannya “dengan nilai A”. Sontak dalam diriku terkejut dan tidak dapat berkata-kata lagi. Sesekali diriku ingin menangis di depan ruang sidang, akan tetapi kembali aku mengingat bahwa diriku sudahlah dewasa. Untuk mengatakan rasa terimakasihku saja, aku sudah tidak dapat berkata-kata lagi, sehingga akhirnya aku hanya memberikan salam berupa menundukkan kepala kepada mereka semuanya yang berada dalam ruang sidang tersebut. Sekeluarnya dari ruang sidang, aku kembali mengucap syukur kepada Tuhan dan berdoa tiada hentinya.

Sampai sekarang, aku masih menempuh studi S2-ku, dan penyakit gagapku belum sembuh juga. Akan tetapi, setiap harinya aku selalu berdoa kepada Tuhan dan meminta apa yang terbaik dalam diriku, terjadilah dalam diriku di waktu yang tepat. Sungguh besar rahmat kasih karunia-Mu ya Tuhan.

Semoga melalui kisah nyata berupa pengalaman yang aku sharingkan melalui sastra ini, dapat membuka pikiran dan hati bagi para pembaca, bahwa sesungguhnya di dunia ini tidak ada yang mustahil, asalkan kita selalu percaya dan berpegang teguh pada Tuhan. Percayalah bahwa Tuhan akan selalu mendengarkan dan mengabulkan doa hamba-hambaNya, asalkan kita semua juga mau percaya dan berpasrah kepada-Nya.