2014-05-30 / Nge Biy / Bagaimana Media Asing Memandang Indonesia / Indonesia 印尼 / tidak ada
Mengapa media asing cenderung memberitakan Indonesia dari sisi minusnya?
Media cetak memuat artikel tentang WNI yang terlibat dalam jaringan teroris internasional. Radio menyiarkankan pertikaian antar-agama yang terjadi di berbagai wilayah Nusantara.
Di televisi, kehidupan kaum marjinal Jakarta dikupas. Disorotlah rumah-rumah para pemulung yang beratap triplek berdinding kardus. Dibangun di bantaran sungai yang dipenuhi sampah menggunung. Di belakang pemukiman kumuh itu, gedung-gedung pencakar langit berdiri megah. Sengaja ditampilkan untuk menonjolkan kesan ironis. Ironisnya kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia. Media-media 'online' pun, tidak kalah gencar dengan terus meng-'update' aib para wakil rakyat dan pejabat negara yang terlibat korupsi.
Terorisme, pertikaian berlatar belakang SARA, kemiskinan, serta korupsi yang merajalela. Mengapa dunia memandang Indonesia dari sisi negatif semata?
Aku ingin, mereka—media asing itu, untuk bertemu dengan keluargaku. Kami tinggal di daerah sekitar pantai. Kakekku adalah pemanjat pohon kelapa. Membeli kelapa dari rumah-rumah penduduk lalu menjualnya ke pasar. Uang yang didapat tidak seberapa. Tidak cukup dari hasil menjual kelapa, Kakek membuat sapu lidi dan menanam sayuran di pematang sawah untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Pun masih belum cukup. Tapi senyum tidak pernah pergi dari bibirnya. Semangat terus berbinar dari mata tuanya.
Mereka—media asing itu, harus menemui keponakan kecilku. Di usia sembilan tahun sudah bisa mencari uang sendiri. Dia membawa kudanya setiap akhir pekan di pagi buta menuju pantai, menyewakan kudanya kepada pengunjung yang banyak berdatangan ke pantai kami yang indah. Pamanku akan mengawasinya menuntun kuda yang dinaiki pelanggan. Pamanku, adalah penangkap Wutuk—binatang mirip kepiting kecil yang banyak ditemukan di sepanjang bibir pantai. Wutuk biasa dijual kepada para pemancing untuk umpan memancing ikan laut, juga bisa digoreng lalu dijual sebagai camilan. Keponakanku membayar biaya sekolahnya dari hasil menyewakan kuda. Pamanku bisa membeli kebutuhan untuk makan sehari-hari dari hasil mencari Wutuk. Hidup mereka baik-baik saja. Tidak mewah, tapi juga tidak setragis seperti yang diceritakan oleh media.
Temui juga ayah ibuku. Mereka menggarap sawah milik orang lain. Membagi dua hasil panennya dengan pemilik sawah. Kadang kemarau berkepanjangan membuat sawah kering. Kadang hama wereng dan tikus menyerang tanaman padi. Tidak ada hasil panen ketika itu terjadi. Tapi secara ajaib, kebutuhan makan masih bisa diusahakan. Pinjam tetangga, atau membuat kerajinan tangan dari bambu. Hasilnya dijual ke pengumpul, uangnya untuk membeli beras.
Ya, orangtuaku adalah petani yang membeli beras. Tetapi tidak ada kata patah semangat. Kami terus berjuang, hidup kami tidak menyedihkan.
Di antara keluarga dan sanak saudara, aku seorang yang tidak berbakat menanam benih padi, atau mencangkuli tanah sawah yang berlumpur. Maka aku bekerja ke luar negeri, menjadi buruh migran di Taiwan. Banyak media massa mengabarkan berita tidak mengenakkan tentang TKI korban kekerasan dan perdagangan manusia. Tentang negeri para koruptor yang membuat rakyat pinggiran semakin terpinggir, sampai harus menepi ke negeri orang untuk mencari penghidupan.
Sungguh! hidup di tanah rantau memang dobel tantangan dan kesulitan. Namun, aku di sini bekerja dengan digaji, bukan dijual sebagai budak. Kujalani semua ini penuh kesyukuran. Apapun yang diberitakan media massa, tetap cintaku kepada tanah air tidak berkurang.
Maka tanyakanlah kepada saudaraku sesama buruh migran. Tanyakan tentang keluarga dan keadaan kampung mereka masing-masing. Mempunyai latar belakang berbeda, tetapi jawaban mereka akan senada. Mereka akan bercerita tentang negeri yang indah, kerinduan yang membuncah. Tidak ada teroris di kampung mereka. Hanya ada bapak ibu yang sudah tua, anak-anak dan suami/istri yang selalu menanti kepulangan mereka. Tanyakan pula impian yang membawa mereka hingga pergi sejauh ini. Betapa bila telah mengumpulkan cukup uang di negeri orang, mereka akan pulang untuk membangun kehidupan di negeri sendiri. tidak mau pergi jauh lagi.
Diam dan dengarkan.
Mereka pasti punya cerita.
Sesekali, angkatlah cerita sederhana kami. Tidak heboh, dan mungkin bukan merupakan 'headline' yang menarik perhatian:
"Sebuah Kampung Di Indonesia Warganya Hidup Dengan Normal", memang bukan judul artikel yang menggetarkan.
Tapi inilah cerita kami yang sebenarnya. Cerita orang marjinal yang sering kalian gambarkan dengan tragis dan memilukan. Tolong, berhentilah membuat cerita dramatis tentang kehidupan kami.
Coba lihat lebih dekat. Pandang mata tua kakekku sang pemanjat kelapa. Keponakan, paman, dan ayah ibuku. Ada kesamaan di mata mereka. Kesederhanaan dan kerendahan hati menjalani hidup. Menjalaninya dengan cinta. Tulus, ikhlas, tidak terpaksa.
Pandang mata kami. Dengarkan suara kami anak negeri. Lalu kabarkan dan perlihatkan kepada dunia. Ceritakan kembali apa yang sudah kalian lihat dan dengar sendiri. Jangan ada dramatisasi. Jangan didistorsi.
Taiwan, Mei 2014