Desa, ladang ilmuku

2014-05-30 / syafa windi Desa, ladang ilmuku / Indonesia 印尼 / disyak ayumy

"Bukan gedung menjulang tinggi, bukan pula gemerlap lampu jalan, bukan juga riuh lalu lalang kendaran. Melainkan tingginya pohon pinang, kemerlip kunang-kunang dan ramainya suara hewan malam hari, katak, burung, dan jangkrik. Inilah taiwan yang aku tempati, bukan seperti dalam bayanganku layaknya kota Jakarta. Phintung, adalah ujungnya dunia negara Taiwan, berada paling selatan dari ibukota negara taiwan yaitu Taipei.
Andai di Indonesia, layaknya Sabang dengan Merauke, akan tetapi Taiwan negara yang cukup sempit dan kecil, dari ujung utara hingga ujung selatan dapat ditempuh dengan waktu 6-8 jam menggunakan mobil pribadi.
Inilah rejekiku, yach di sini. Ombak kehidupan mendamparkan aku di tepian negara yang terkenal dengan sebutan Formosa. Merawat kakek dengan usia yang masih cukup muda, 76 tahun. Bagi penduduk taiwan, umur 76 tergolong masih muda. Ada dan banyak yang mampu hidup hingga 90 tahun lebih. 
Derasnya hujan dan petir menyambar adalah saksi pertama aku menapakkan kaki di tanah nan subur ini. Senyum kedamaian pun menyambutku dengan gembira. Merekalah keluarga baruku. Tuan Chun Ming dan nyonya Khou Su Chi, adalah anak dari kakek yang aku rawat. Rumahnya tepat berada di samping rumah kakek. Di rumah ini masih ada nenek, yang masih gesit bekerja, ke kebun ngurus pinang. Nenek, tak butuh bantuanku, karena keadaannya masih sangat sehat. Memang benar adanya. Nenek cukup cerewet, inilah yang menjadi kendalaku ketika lelah badan dan pikiran bercampur dengan lelah batin. 
Lagi-lagi, wajah Syafa, anakku dan kedua orangtuakulah yang selalu menyemangati. Dalam setiap doa aku selalu meminta agar aku diberi kesabaran. Aku memang merasa seperti hilang, sendirian dan tak punya teman.
Rumah yang berada di tengah kebun pinang, jauh dari keramaian kota, membuatku sulit mendapatkan teman. Akan tetapi inilah tantanganku melawan keadaan. Seringkali ketika aku mengeluh dengan segala kehidupan di pedesaan ini, aku kembali sadar melihat keluarga tuan Chun Ming yang sangat sederhana. Meski punya mobil mewah, sepatu bermerk, baju licin dan berdasi. Mereka masih mau pergi ke kebun potong rumput, nyemprot obat dan memanen pinang. Itulah bedanya dengan kebanyakan orang-orang indonesia, ketika mereka memiliki harta lebih, mereka akan sombong dan gengsi untuk melakukan hal-hal yang menurut mereka kotor. Meski tak semua orang indonesia seperti itu. Bagi mereka kekayaan didapat dari bekerja keras. Aku semakin salut dengan keluarga baruku yang penuh dengan kesederhanaan. Walau  hatiku sering berontak, kenapa aku harus mendapatkan majikan di pedesaan?, aku ingin seperti teman yang lainnya. Bisa berlibur ke gedung 101, berkumpul di taman, mengikuti acara dan kegiatan positif, juga berkumpul dengan banyak teman.
Aku benci di tempat ini, tempat yang menurutku seperti pengasingan para narapidana, yach tepatnya seperti di Nusakambangan. Hampir selama 6 bulan lebih, hatiku selalu bergejolak. Antara lanjut atau ganti majikan. Setiap malam aku mencoba merenung dalam sepi, dalam sujud simpuhku pada sang Khalik. Meraba hikmah dari setiap tapak jalan yang Dia berikan padaku.
Cucuran airmata tak henti membasahi wajahku yang penuh dosa. Aku telah mendustakan nikmatNya.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba.” lelehan airmata menjadi teman sejatiku malam ini. Betapa indah rencanaNya menempatkan aku di sini, di pedesaan yang aku anggap seperti penjara. Bukankah tempat ini jauh lebih baik untukku? Menghindarkan aku dari fitnah banyak orang, dari kedzoliman orang-orang jahat, dari bebasnya pergaulan negri Taiwan. Betapa Engkau tahu bila aku, hamba yang lemah dan mudah tergoda ke jalan syetan.
“Ya Allah, Engkaulah Sang Maha Tahu apa-apa yang terbaik untukku”.
***
Merawat penderita Alzheimer sangat membutuhkan kesabaran yang lebih. Alzheimer bukan penyakit menular, melainkan merupakan sejenis sindrom dengan apoptosis sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan mengecil. Alzheimer juga dikatakan sebagai penyakit yang sinonim dengan orang tua.

Risiko untuk mengidap Alzheimer, meningkat seiring dengan pertambahan usia. Bermula pada usia 65 tahun, seseorang mempunyai risiko lima persen mengidap penyakit ini dan akan meningkat dua kali lipat setiap lima tahun, kata seorang dokter. 

Kakek memang bukan murni menderita alzhaimer, kecelakan 3 tahun yang lalu merupakan faktor utama yang menjadikan kondisi kakek seperti ini. Kakek samasekali tak bisa diajak ngobrol dengan normal. Setiap apa yang dia katakan hanya kejadian sewaktu masa muda dulu. Ditambah bahasa yang kakek gunakan adalah bahasa hakka yang membuatku semakin kesulitan merawatnya. Kadang baik, kadang marah-marah, yang lebih parah adalah kakek sering main tangan. 
“Mei-mei (adik perempuan), cepet sini kasih aku!” teriak kakek.
“Ngasih apa? Aku nggak pegang apa-apa,” balasku singkat.
“Kamu itu sudah mengambil uangku 5000 NT.” jawab kakek dengan nada keras.
“Aku nggak ngambil apa-apa!” sahutku.
Suara kakek membuat seisi rumah gempar, semua anak-anaknya dipanggil. Bahkan tak segan-segan kakek melempar sendal ke mukaku. Untung saja aku cepat menghindar.
“Ada apa, Wiwi? Tanya tuan.
“Kakek, mengira aku mengambil duitnya,” jawabku.
Tuan hanya geleng-geleng kepala.
“Lain kali nggak usah diladenin, kamu tahu sendiri kakek begitu.” jelas tuan.
Akupun hanya menganggukkan kepala. Tuan pergi ke kamar mengambil uang dan memberikan kepada kakek dan aku hanya tersenyum geli melihat kakek dengan cepatnya menghitung uang itu. Alangkah hebatnya, kakek masih mampu menghitung uang itu dengan benar. Yang bikin aku ketawa geli adalah ternyata uang yang dikasih kakek adalah uang mainan.
Tak jarang aku kadang meledek kakek dan memancing amarahnya. Dengan begitu aku bisa tertawa melihat kejahilan kakek. Itung-itung dapat humor gratis. Bicara tentang kakek yang aku rawat sering membuatku tertawa sendiri. Aku harus bermain drama dengan kakek, ketika dia tertawa, aku harus ikut tertawa. Kakek marah aku juga marah. Kakek bicara apa, aku pun mengikuti alurnya. Pertunjukan drama yang sering membuat heboh penonton yang tak lain adalah nenek dan keluarga.
Seiring berjalannya waktu, aku terbiasa dengan keadaan ini. Damainya alam pedesaan, kasih sayang keluarga majikan, tingkah laku kakek, cerewetnya nenek. Semua telah menyatu dan mendarah daging. 
***

“Tuan, Nyonya! Bolehkah aku libur untuk menemui kakakku?” tanyaku dengan gemetar.
“Boleh saja, asalkan kamu harus jauh-jauh hari mengatakannya, agar bisa disesuaikan dengan jadwal liburku” jawab tuan bagai angin yang begitu sejuk di musim panas. Aku yang haus akan hiruk pikuk dunia luar merasa sangat beruntung. Ternyata tak seseram yang aku bayangkan, padahal selama 1 minggu aku mempersiapkan diri untuk melontarkan kata-kata tersebut. 
Kini, aku mendapatkan libur 1 atau 2 bulan sekali, hatiku tergerak untuk memanfaatkan waktu libur yang hanya sedikit itu. Hingga akhirnya aku meyakinkan diri untuk meminta ijin kuliah di Universitas Terbuka Taiwan.
“Kamu yakin?” tanya nyonya sedikit meragukan keputusanku.
“Aku yakin dengan keputusanku” jawabku tegas.
“Bagaimana dengan keluargamu?” lanjut nyonya.
“Mereka semua setuju, asalkan tak menganggu pekerjaanku” sambungku seranya menundukkan kepala. Aku tahu tak semudah itu meyakinkan tuan dan nyonya untuk memberi ijin kuliah.
“Di brosur ini tertulis, kuliah dilaksanakan di Taipei, Taipei itu jauh. Selain memakan waktu tak sebentar, juga banyak biaya. Uangmu akan habis untuk kuliah, terus bagaimana dengan anak dan keluargamu? Kamu harus banyak menabung, agar kamu bisa cepet pulang dan tak berlama-lama ninggalin anakmu. Bagaimana dengan cita-cita kamu membuka usaha ternak dan budidaya jamur. Bukan aku tak memperbolehkannya, kuliah memang bagus. Untuk masa depan yang lebih baik. Tapi …” pernyataan nyonya membuatku tertegun, betapa aku tahu dia sangatlah perhatian denganku, dengan keluargaku, dengan masa depanku. “Apa tak sebaiknya kuliahnya di Indonesia saja, ketika kamu pulang nanti.” terdengar nada suara nyonya lebih lirih dari sebelumnya.
“Tapi, aku ingin memanfaatkan liburku untuk kuliah” balasku dengan bibir gemetar, tak mampu aku memandang kedua bola mata nyonya yang sedikit memerah.
Hening yang kurasakan, namun detak jantungku berpacu lebih cepat. 
Hembusan nafas tuan dan nyonya seakan seperti dengusan serigala yang mencium bau daging segar dan siap menerkamnya.
“Baiklah, tapi kamu harus janji. Kuliahmu tak akan menganggu pekerjaanmu” jawab tuan yang lagi-lagi membuatku menundukkan punggung tanda penghormatan terimakasih atas kebaikan mereka berdua.
Sejak hari itu, aku semakin rajin bekerja. Meski siang aku begitu sibuk dengan segudang pekerjaan. Dari mengurus kakek, mencuci baju, ngepel, nyapu, masak, urus rumah majikan yang berlantai 4. Ada juga mengurus bunga-bunga koleksi nyonya. dan yang terberat adalah ketika musim semi dan musim panas. Aku harus disibukkan dengan panen pinang. Kalau dipikir memang tak sesuai dengan job, namun aku rasa ini adalah tanggungjawabku. Serasa di rumah sendiri, tanpa diperintah, tanpa disuruh secara otomatis harus aku lakukan. Malam hari, walau lelah aku harus tetap berjuang belajar untuk kuliahku. Rasa capek, ngantuk, males, tak ayal sering menyerangku. Bahkan kondisi drop sering menyerangku, tubuh belum mampu beradaptasi dengan kesibukan baruku.
***
Kebahagian demi kebahagian telah terbayarkan oleh kerja kerasku selama ini, kuliahku di universitas terbuka taiwan (UTT) telah menginjak semester 2. Semua berjalan lancar, meski rintangan sering datang. Tak pernah mengikuti TTM (tatap muka) dengan alasan lokasi yang sangat jauh di Taipei, akan tetapi aku yakin bila aku harus tetap berjuang. Yang utama bagiku adalah mengikuti ujian. Setidaknya meski nilai tak sebagus yang aku harapkan. Selama ini banyak yang meragukanku karena aku berada dipelosok desa, sedangkan hampir semua teman di UTT tinggal di daerah atas, daerah yang dekat dengan Taipei.
Inilah tantanganku untuk membuktikan bahwa di dunia ini tak ada yang mustahil bila Allah telah berucap “kunfayakun (maka terjadilah)”.
Perjuanganku masih panjang, masa depanku, masa depan adik-adikku, masa depan anakku satu-satunya. Syafa, dialah bintang kecilku. Yang menerangi setiap gelap datang. Dikala mentari telah enggan membagi cahayanya.
Akan aku tunjukan meski aku adalah wanita lemah yang tak berdaya, aku masih mampu berdiri. Berdiri karena cinta orang –orang yang menyayangiku. Tentang masa lalu, tentang kegagalan berumahtangga, tentang hancurnya hati. Biarkanlah menjadi lika-liku jalan yang mengantarkanku pada sebuah kebahagian sejati.
Tinggal tersisa 12 langkah lagi, aku sampai pada titik perpisahan dan pertemuan. Perpisahan dengan keluarga majikan yang begitu banyak mengajarkan arti hidup, kesederhanaan, kasih sayang dan tentang pertemuan kembali pada tanah pertiwi. Sekelumit kenang-kenangan di negri formosa ini bukan tentang banyaknya lokasi wisata yang telah aku kunjungi atau souvenir baju dan pernak-pernik khas Taiwan. Melainkan tentang perjuangan hidup, arti kesederhanaan, kerja keras dan tetap rendah diri. Satu hal yang lebih aku tekankan yang selalu di ajarkan oleh majikan adalah janganlah gengsi untuk bekerja keras, walau kita telah sukses”
“Syafa, tunggulah ibu. Sebentar lagi ibu akan menebus gendongan di pegadaian kehidupan. Karena ibu tahu, gendongan simbah sudah kusut dan rapuh. Tak kuat lagi menahan beban berat tubuhmu yang semakin berat. Ibu sedang mengumpulkan dolar masa depan kita untuk menebusnya kembali. Jadilah kau anak yang bermanfaat seperti arti namamu “syafa’at” untuk keluarga, bangsa, dan agama”
"