The Gift From Taiwan



2014-05-29 / Siti Khalimah The Gift From Taiwan / Indonesia 印尼 / FLP Taiwan


"                   The Gift From Taiwan

Sore yang memendar warna ceria, langit cerah dan anak-anak bermain dengan riang gembira. Minggu kedua aku berada di Indonesia, di kampung halamanku tercinta. Purwokerto. Tahun-tahun sebelumnya aku selalu mengambil cuti pendek setelah finish kontrak, dan kali ini aku memutuskan untuk cuti selama delapan bulan. Aku ingin menikmati kebersamaan yang lebih lama dengan keluargaku, terutama Ibu. Memasak menu-menu yang biasa aku masak selama bekerja. Masakan sehat dan bergizi yang bagi keluargaku adalah sesuatu yang baru.

Dan sore ini ada pertandingan sepak bola antar desa di lapangan. Dari semasa aku kecil, pada bulan Agustus lapangan selalu ramai dengan kompetisi sepak bola. Pergi ke lapangan sore ini seperti sedang bernostalgia dengan masa kecilku. Bahagia dan betah sekali. Semua masih tetap sama seperti yang dulu, hanya orang-orangnya yang berbeda. Penjual kedelai rebus, es krim dan buah rambutan yang sedang musim.

Aku bergegas menuju ke pedangang rambutan dan membeli dua ikat agar bisa berbagi dengan keponakanku. 

“Boleh aku minta plastik kosong, Bu?”

“Oh, kebetulan tidak bawa, Neng,” jawab Ibu penjual rambutan, “Untuk apa, kan rambutannya sudah diikat?” lanjutnya bertanya.

“Untuk tempat kulitnya, Bu,”

“Oalah…buang saja di situ, Neng, ini bukan Taiwan!” Si Ibu memberi usulan seraya menunjuk-nunjuk rerumputan tempat kami duduk.

Aku tertegun sejenak, kemudian berlalu. Ada sekelebat perasaan aneh di kepalaku, aku merasa tidak nyaman membuang sampah sembarangan, apakah aku berubah? Kenapa mereka tidak peduli kebersihan? Dan sejak kapan aku peduli?

“Tante…bagi rambutannya,” sorak keponakanku.

“Eh..nanti dulu, Sayang..kita tidak punya plastik buat nempatin kulitnya,”

“Ah, biar aja.” Sejenak kemudian keponakanku sudah lahap menikmati rambutan yang merah dan besar-besar. Aku tidak bisa makan, tidak tega membuang sampah sembarangan.

“Hurraaay…..,” keponakanku bersorak gembira karena tim dari desa kami berhasil memasukkan gol ke gawang lawan. Bersamaan dengan nalarku yang menemukan titik temu. Aku memang sudah berubah, sudah belajar sesuatu di negeri tempat aku merantau. Tentang betapa pentingnya kebersihan dan daur ulang sampah. Akupun turut bersorak, sangat gembira. Tim kami unggul satu poin dan tanda tanya yang tadi memenuhi kepalaku sudah menemukan jawabannya.

Menjelang Maghrib kami pulang ke rumah dengan membawa keceriaan yang sama dan tentu saja sisa rambutan yang merah-merah dan besar. Setelah makan malam nanti aku akan menghabiskannya.

Bedug maghrib bertalu, masing-masing anggota keluarga mempersiapkan diri untuk sholat maghrib dan mengaji sampai isya. Sebuah rutinitas yang membuat aku sangat bahagia, damai sekali. Kehidupan di sini memang sangat jauh berbeda dari Kota Taipei yang selalu sibuk. Di Taipei para orang tua sibuk bekerja, pulang malam dan makan, kemudian menemani anak mereka belajar, kemudian pagi-pagi sekali mereka bangun dan bergegas mengantar anak sekolah dan langsung ke kantor. Dan aku? Tentu saja aku juga sibuk, kawan. Mengurus Ama yang sudah lanjut usia, menata rumah, memasak dan membawa Ama jalan-jalan di taman agar kaki Ama tidak kaku.

Malam ini mataku susah sekali terpejam, kejadian di lapangan tadi sore begitu mengusik pikiranku. Tentu tidak akan mudah merubah suatu kebiasaan yang sudah mendarah daging, tapi aku akan merasa tidak berguna jika tidak berbuat sesuatu. Baiklah, besok aku akam memulai dari rumahku sendiri.
                                                          *****

Enam Bulan Kemudian….

Butuh banyak kesabaran, dan tak jarang aku merasa kehabisan rasa itu. Tapi tak ada yang sia-sia bila sesuatu dikerjakan dengan sunguh-sungguh. Anak-anak yang pergi mengaji di mushola sebelah rumah kini hampir terbiasa membuang sampah di karung-karung yang aku sediakan. Pelan-pelan akhirnya mereka mengerti mengapa aku memisahkan sampah plastik dan kertas.

“Kenapa buang sampahnya sekarang di sini, Tante?” tanya keponakanku, saat pertama kali aku memasang karung-karung waktu itu.

“Karena kita harus mencintai kebersihan, dan bersih itu sehat?” jawabku singkat agar mudah dimengerti. Aku rasa bocah umur lima tahun belum paham bila ku jelaskan tentang pentingnya daur ulang sampah dan pemanasan global yang terjadi pada planet bumi, “Dan kalau sudah dipisah begini, nantinya Paman Pemulung lebih mudah mengambil barang-barang bekasnya,” lanjutku menjelaskan seraya membuang botol plastik ke dalam karung.

Aku memang belum bisa berbuat banyak, tentu saja karena pengetahuanku masih sangat rendah tentang pengelolaan sampah. Tapi setidaknya aku sudah melakukan sesuatu untuk sebuah perubahan kecil. Dan bila ratusan ribu tenaga kerja yang datang ke Taiwan membawa pulang sebuah pengetahuan  kecil itu, aku yakin akan ada perubahan besar yang bermanfaat bagi negeri Indonesia.

Bulan terakhir di kampung halaman....suasana perpisahan selalu diwarnai dengan kesedihan. Kehilangan dan berat untuk meninggalkan. Ah, bukankah semua rasa itu ditumbuhkan oleh rasa mencintai dan memiliki? Ya, aku sangat menyayangimu, Bu! Dan aku tahu kau selalu berusaha untuk menjadi pelindung terbaik bagi anak-anakmu. Aku bersyukur karena Tuhan memberi kami sepenuh cinta hingga perpisahan begitu berat terasa.
                                                             ******
Medio Februari 2014, pesawat China Airlines akhirnya membawaku terbang kembali ke Taiwan. Serasa menembus mesin waktu yang sangat jauh, dari cuaca panas yang membakar di Jakarta, tiba-tiba hanya berselang lima jam aku sudah berada di tempat dengat titik suhu yang sungguh membuat aku tergigil. Jaket yang aku bawa tak mampu menangkal dingin di sepuluh derajat celcius. Setelah bermalam untuk menjalani medikal, besok aku akan pulang sendiri ke rumah majikan tanpa diantar oleh agensi. 

Bekerja pada majikan yang sama dan ini tahun ketujuh di Taiwan, membuat aku merasa berada di rumah sendiri, dengan mudah aku bisa naik kereta dari tempat agensi di Hsincu ke Taipei dengan kereta cepat. Rasa aman dan sarana publik yang yaman, membuat kita lebih leluasa dan tidak merasa kuatir untuk bepergian kemanapun. Gaya hidup di negara maju, orang-orang bangga naik MRT, bangga naik sepeda dan selalu peduli dengan gaya hidup sehat.

Aku juga merasa beruntung bisa menikmati sarana publik MRT yang mewah, murah dan super bersih, bahkan di jalur Wenhu Line, toilet-toilet didesain dengan sangat apik. Lengkap dengan hiasan bunga dan sebagian disertai musik! 

“Hai…kamu ingat pulang juga ya…?” seru Paman Satpan begitu aku tiba di pelataran apartemen majikan. Sangat ramah.

“Iya, Paman. Apa kabar? Mm….aku kedinginan, harus segera pulang,” jawabku ceria dan mengganggukkan kepala. Namun jalan masuk agak terhalang oleh dua orang wanita yang sedang mengobrol.

“經過…,” ucapku meminta jalan.

“Oh, 不好意思..,” jawab mereka bersamaan beberapa kali. Ungkapan bu hao yi shi sering digunakan bila kita membuat seseorang menunggu atau saat menerima kebaikan orang lain. Sebuah pembelajaran etika yang indah bagiku.

Di rumah majikan dan lingkungan sekitar, aku banyak sekali belajar tentang tata krama dalam bahasa mandarin. Selain selalu mengawali dengan kata 請幫我 dan mengakhirinya dengan 謝謝, keluarga majikan selalu berbicara dengan intonasi yang pelan. Buatku bahasa mandarin menjadi semakin menarik untuk dipelajari, dan kelak aku bisa mengajarkan etika-etika ini kepada anak-anakku.

Ah, akhirnya aku sampai juga di rumah. Ama pulang dari rumah anak pertamanya malam nanti, majikan menyuruhku istirahat saja siang ini. 我觉得不好意思… tapi setelah istirahat aku akan beberes sedikit sambil menunggu Ama. Hari-hari baru dengan kegiatan yang sama, aku menyandarkan mimpi-mimpiku di sini, menggantungkan masa depan demi sebuah perubahan. Pada saatnya nanti aku ingin membuat sebuah perubahan dengan ilmu-ilmu yang kudapat selama bekerja di Taiwan. Cindera mata dari Taiwan tak selalu harus berupa souvenir, tapi pengetahuan yang akan kubagi dengan orang-orang disekitarku kelak. Tiga tahun lagi, aku harus pulang dengan membawa tabungan dan juga ketrampilan. Semangat!

"