Aku Bukan Seorang Teroris

2015-3-3 / Yoan Chandra / Aku Bukan Seorang Teroris / Indonesia 印尼 / tidak ada /


Aku Bukan Seorang Teroris

Oleh: Yoan Chandra

Gerimis hujan di malam musim dingin ini, sedikit pun tak membekukan rasa rinduku. Suara angin yang masih terdengar, tak jua meredam rasaku. Tiupanya yang menggetarkan jendela ruang kamar kecilku seolah justru menambah menggetarkan rasa jiwaku. Tak terasa buliran-buliran bening ini masih tetap membasahi kulit pipiku yang semakin mengering. Perlahan aku hirup napas panjang. Sedikit aroma bunga kamboja putih milik tetanggaku mulai merasuk di indra penciumanku.

Tuk, tuk!! Di tengah suara gerimis dan tiupan angin malam itu, daun telingaku menangkap suara orang mengetuk pintu rumah. Sesaat aku terdiam, memastikan suara tersebut.

""Di malam begini mana mungkin ada tamu yang datang ke rumah,"" pikirku dalam hati.

Tuk, tuk!! Hingga bunyi ketukan pintu berikutnya terdengar lagi, aku pun segera beranjak membukakan pintu.

Grekk...!! Suara pintu rumah saat kubuka. Seorang wanita berambut pirang dengan gincu merah menghias di bibirnya. Sepatu tumit tinggi serta jaket kulit yang melekat cantik pada tubuh seksinya. Dan seorang lagi wanita berpostur kecil memakai kacamata sedang berdiri dan tersenyum padaku. Aku tiada bisa menyembunyikan rasa kagetku. Jam 23.35 malam begini U Xiao Jie(Agencyku) dan Nyonya(majikanku), kenapa datang ke rumah. Tidak seperti biasanya.

""A Mei, belum tidur ya?"" tanya Nyonya.

""Belum, Nyonya,"" jawabku sedikit tersendat. Mereka pun duduk di ruang tamu. Tanpa basa-basi aku mulai meluncurkan pertanyaan pada mereka.

""Maaf, kalau boleh bertanya, ada apa, kok, tumben jam segini datang ke rumah?"" U Xiao Jie dan Nyonya saling pandang.

""A Mei, justru kami yang mau bertanya padamu. Apa kamu baik-baik saja?"" tanya U Xiao Jie.

""Memang ada apa? Aku masih baik-baik saja,"" jawabku.

""Tadi sore, Nyonya Pao menelepon aku, katanya kamu lagi ga enak badan,"" jelas Nyonya. Aku sedikit kaget mendengar ucapan Nyonya barusan. Ya, tadi sore memang aku bertemu Nyonya Pao, saat dia memberikan sekantung kresek daun ubi untukku. Banyak hal yang aku bicarakan padanya. Aku bilang pada Nyonya Pao, betapa aku sangat ingin pulang ke Indonesia karena rindu pada keluargaku di kampung. Bahkan, saat aku bercerita, air mata ini tiada bisa kutahan. Mungkin karena hal inilah yang membuat Nyonya Pao hingga menelepon Nyonya.

""A Mei, kok, ngelamun sih. Apa obat dari Dokter sudah habis?"" tanya U Xiao Jie.

""Ingat, pesan Dokter waktu itu, A Mei!"" Aku terdiam. Memang, dua hari yang lalu aku diantar U Xiao Jie untuk pergi ke sebuah Rumah Sakit, sehubungan dengan yang aku alami. Setiap malam aku mengalami susah tidur. Dan terkadang sering menangis sendiri. Dokter itu bilang aku mengalami 'Yu I Cen'. Biasanya penyakit ini sering dialami oleh para lansia atau orang yang masih muda yang terlalu banyak memiliki tekanan hidup. Dan di Taiwan sini, sekarang banyak juga yang bukan lansia yang mengalami hal sepertiku, bahkan ada yang sampai berniat bunuh diri. Saran Dokter waktu itu, agar aku selalu optimis dalam hidup ini. Jangan terlalu banyak tekanan. Jika ada masalah, usahakan jangan terlalu dipendam di hati. Ingat, tujuan utama saat datang di Taiwan. Meyakinkan diri sendiri, bahwa keluarga di Indonesia dalam keadaan baik-baik saja. Dokter itu juga menyarankan, agar aku lebih banyak mengisi waktu luangku dengan suatu kegiatan positif yang aku sukai.

""Ya, U Xiao Jie, aku masih ingat,"" jawabku.

""Apa kamu masih ingin pulang ke Indonesia?"" tanya Nyonya. Beberapa hari yang lalu aku memang sempat ngeyel ingin pulang ke Indonesia, karena tiada bisa menahan rasa rindu pada keluargaku. Di samping itu, kata Dokter yang sebelumnya aku datangi sebelum U Xiao Jie mengantarkanku ke Rumah Sakit. Dokter itu bilang, penyakit 'Yu I Cen' ini sangat berbahaya, apalagi aku ini menjaga seorang lansia. Kata Dokter itu, efek dari penyakitku ini, aku bisa kalap atau memukul orang bahkan bisa melukai diri sendiri. Dan Dokter itu menyarankan padaku, akan lebih baik jika aku pulang ke Indonesia. Saat itu, duniaku seakan hancur tak karuan. Di satu sisi, memang aku benar-benar sangat rindu pada keluargaku. Di sisi lain, jika aku pulang, bagaimana aku bisa melunasi hutang-hutang keluargaku. Hingga waktu itu aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Bahkan, aku pun sudah menghubungi pihak PT yang memberangkatkanku ke Taiwan. Kuutarakan segala keluh kesahku. Aku sungguh ingin pulang, namun di sisi lain bagaimana hutang-hutang potongan gaji yang belum terlunasi. Terus terang aku sangat tertekan dengan keadaan ini. Akan tetapi saat mendengar ucapan ""Bapak Deni Andriano"" selaku Direktur di PT itu, seolah aku menemukan oase di tengah perjalanan padang pasir yang gersang. Pak Deni bilang, agar aku tetap tenang dan fokus dengan tujuanku. Jangan terlalu terbebani dulu dengan masalah potongan gaji PT. Yang terpenting badanku harus sehat dulu. Kata-kata semacam ini jarang sekali aku temui di ke dua PT yang memberangkatkanku ke Taiwan sebelumnya, ketika mendapati anak buahnya meminta pulang di masa potongan gaji belum selesei.

""Tidak, Nyonya. Aku masih ingin tetap bertahan bekerja di rumah ini untuk menjaga Ama,"" jawabku lirih.

""Bagus, bersemangatlah selalu. Ingat, kamu baru 2 bulan kerja di sini. Belum ada banyak uang yang kamu dapati.""

""Lagi pula, bukankah, kamu bilang ingin membantu melunasi hutang keluargamu di Indonesia?"" Mendengar ucapan Nyonya, seolah ada sesuatu yang menyentuh hatiku. Betapa beruntungnya, aku mendapatkan majikan seperti beliau.

""Terus, kalau ada masalah atau uneg-uneg, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi aku. Semua masalah pasti ada penyeleseianya,"" ucap U Xiao Jie.

""Jangan buru-buru memutuskan untuk kembali pulang ke Indonesia. Ok!!"" jelas U Xiao Jie lagi, memberiku semangat. Sepiring potongan buah apel dan dua kaleng minuman dingin bersoda, aku hidangkan buat beliau berdua.

Malam semakin larut, hawa dingin mulai merasuk. Setelah Nyonya dan U Xiao Jie pergi meninggalkan rumah, sebutir pil pengantar tidur dan butiran pil yang lain, cukup melenakan tidurku hingga pagi menjelang.
*******

Dalam hati kecilku berkata, aku harus keluar dari semua ini. Tidaklah mungkin jika setiap hari harus tergantung dari butiran-butiran pil itu. Semua saran dari berbagai pihak aku usahakan untuk melakukannya. Aku yakin bahwa semua yang terjadi ini pasti ada hikmahnya.

Aku hanya tinggal serumah dengan Ama yang sudah berusia 84 tahun. Dengan menuruti saran Dokter aku gunakan waktuku untuk sekedar menuangkan hobbyku yaitu menulis. Di lantai 2, aku menemukan setumpukan majalah berbahasa Indonesia yang terbit di Taiwan. Mungkin itu punya Mbak yang dulu merawat Ama sebelum aku datang di rumah ini. Di situlah aku menemukan sebuah alamat redaksi hingga semangatku menggebu-gebu untuk menulis, sekedar meluapkan emosi jiwa meski tanpa pengetahuan lebih, bagaimana cara menulis cerita dengan baik dan benar. Jangankan laptop, handpone android mahal seperti yang dimiliki teman-teman, aku pun tidak punya. Jadi aku menulisnya lewat tulisan tangan. Ya, beberapa karya tulisan tangan yang aku kirim ke redaksi tidak dimuat. Bahkan, karena melihat hobbyku yang unik ini, salah satu tetanggaku yang bernama Lu Mama, memberikanku dua lusin polpen serta sebendal kertas HVS putih secara cuma-cuma. Dia juga yang selalu membantuku untuk mengeposkanya.

Lewat seorang teman semasa SMU yang kebetulan juga bekerja di Taiwan, aku meminjam uang agar dia membelikanku sebuah handpone android. Maklum, uangku masih belum cukup untuk membeli, karena gajiku masih dalam masa potongan dan belum lagi untuk aku kirimkan buat keluarga di kampung. Dari sinilah aku mulai asyik mengenal dunia maya, setelah sebelumnya sebenarnya aku tak mau ikut-ikutan seperti teman-teman. Banyak yang bilang, kalau sudah mengenal Facebook, akan membuat rusak pikiran. Ah, ternyata pendapat itu salah. Ternyata, justru begitu banyak sekali manfaatnya, Facebook itu. Dari berbagai group yang aku masukin di Facebook, ada satu group yang sangat spesial buatku. Sebuah group yang bernama FLP(Forum Lingkar Pena). Dari group inilah aku banyak belajar tentang menulis yang baik dan benar. Dan dari group ini pula, aku juga menjadi tahu kenapa tulisan tanganku itu tidak dimuat oleh redaksi. Hehe, rasanya kepingin tertawa sendiri, jika membaca tulisan-tulisan tanganku yang masih ada dan belum sempat aku kirim ke meja redaksi. Bukan hanya itu saja, karena saat masuk di group ini, ada kesan tersendiri yang tak bisa aku lupakan, jika dibanding ketika aku masuk ke sebuah group yang lain di Facebook. Tak kusangka di group ini, aku yang sudah menjadi seorang ibu ini, seolah menjadi seorang pelajar dan muda lagi. Ya, bukankah belajar itu tidak mengenal usia, selama nyawa masih di kandung badan. 

Perlahan pikiranku sudah bisa mulai tenang. Dan syukur alhamdulillah secara perlahan juga aku sudah bisa terlepas dari butiran-butiran pil dari Dokter itu. Sekarang, tanpa pil-pil itu, aku bisa tidur dengan pulas. Dan alhamdulillah, segala sesuatu yang buruk yang ditakutkan Dokter waktu itu, tidak pernah terjadi. Di samping itu, ada hikmah lain yang bisa aku peroleh dari sakitku itu. Aku semakin lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.

Lewat beberapa iklan yang berseliweran di beranda Facebook, aku tertarik untuk membeli sebuah jilbab. Dari salah satu toko online, aku memesan sebuah jilbab syar'i bewarna hitam. Tak hayal, dalam waktu satu hari, barang yang aku pesan itu pun datang. Buru-buru aku membuka bungkusan itu.

""Lho! Kok?!"" Aku kaget sekali, saat mendapati, bahwa barang yang aku pesan tidak sesuai dengan yang aku inginkan. Aku pun buru-buru menulis pesan padanya lewat messenger.

""Mbak, aku, kan pesan jilbab syar'i berwarna hitam, kok, ini yang datang jilbab berwarna merah,"" tulisan pesanku.

Suwene Mas, aku ngenteni. Hati rindu sejak kau pergi.... Sebuah tembang dangdut berbahasa jawa dari Ike Nurjanah, sebagai nada panggilan masuk di handponeku.

""Halo, iya, Mbak, gimana nih?"" ucapku.

""Maaf, Mbak, kalau begitu, Mbak kirim balik lagi saja kesini. Nanti aku ganti jilbab yang warnanya merah,"" jawab Mbak dari toko online itu.

""Terus, ongkos kirimnya, gimana Mbak? Apa situ yang nanggung?"" tanyaku.

""Ya, ga, dong, Mbak,"" jawabnya.

""Oh, kalau begitu ga usah saja,"" jawabku. Pengalaman pertamakali beli barang lewat online. Untung saja, barang yang aku beli itu sebuah jilbab. Jadi ga terlalu masalah buatku, yang terpenting bisa nyaman dipakai dan yang utama bisa menutup aurat.

Pengalamanku membeli barang lewat online ini, tidak membuatku kapok. Bahkan aku dua kali membeli jilbab lagi lewat online, namun pada toko online yang berbeda dengan sebelumnya. Tapi anehnya, dua kali berikutnya itu, pengalamanku yang pertama saat belanja lewat online terulang lagi. Aku membeli jilbab yang berwarna bukan merah. Tapi aku mendapatkan jilbab yang berwarna merah. Ya, mungkin ini pertanda bahwa aku berjodoh dengan jilbab yang berwarna merah.

Saat di rumah aku tidak memakai jilbabku. Aku memakainya hanya di saat aku sedang keluar membeli belanja atau saat mengajak Ama jalan-jalan dengan kursi rodanya.

Hari itu, matahari tersenyum dengan lumayan hangatnya. Setelah pekerjaan rumahku selesei, aku mengajak Ama untuk sekedar jalan-jalan mengelilingi kompleks perumahan. Suasana yang asri dan segar, karena di sekitar sini, banyak orang yang berkebun. Hari itu, sengaja aku ajak Ama untuk berjemur di sebuah lapangan bola basket yang terletak di ujung kompleks perumahan. Tiba-tiba saja seorang laki-laki berjaket coklat mendekati kami.

""Xiao Jie, kamu, orang mana?"" tanyanya.

""Aku, orang Indonesia,"" jawabku singkat.

""Oohh, kenapa kamu berpakaian seperti itu? Aku kira, kamu tadi orang India atau orang arab,"" jelasnya.

""Memang, pakaian ini mirip pakaian orang arab, tapi aku ini bukan orang arab, melainkan seorang muslim,"" jelasku.

""Muslim? Jadi kamu itu temannya teroris yang sering diberitakan di televisi yang pernah ngebom Amerika itu ya?"" ungkapnya. Terus terang saja, aku agak sedikit kaget dengan ucapanya barusan. Aku sedikit menghela napas.

""Bukan. Muslim itu bukanlah teroris. Muslim itu cinta perdamaian,"" jelasku.

""Maksud kamu, sama, tapi cuma berbeda aliran, gitu?"" tanyanya lagi.

""Bukan. Pokoknya, aku ini seorang muslim dan bukan seorang teroris. Tuhanku, mengajarkan agar kita saling mengasihi dan menyayangi agar tercipta suatu perdamaian."" Mungkin pengetahuanku tentang agama islam, masih perlu diperdalam lagi. Tapi dalam situasi ini, aku hanya bisa menjelaskan padanya sebatas yang aku mengerti, yang penting dia paham akan maksudku.

""Eiiii...., benarkah seorang muslim itu tidak boleh makan daging babi? Kenapa begitu, padahal babi itu enak, lho,"" ungkapnya. Sembari memberikan minum pada Ama, aku menjelaskan padanya.

""Benar, muslim tidak boleh memakan daging babi. Kenapa demikian, karena itu adalah larangan Allah sebagai Tuhanku. Dan sebagai muslim yang baik, aku hanya menjalaninya saja,"" jelasku.

""O iya, bukankah muslim juga boleh beristri lebih dari satu orang?"" tanyanya.

""Iya, tapi aku kira bukan muslim saja, lho, yang boleh beristri lebih dari satu orang,"" ungkapku sambil makan buah anggur kering.

""Maksud kamu?"" tanyanya heran.

""Dulu, ketika aku datang pertama kali di Taiwan, majikanku istrinya lebih dari satu.""

""Bahkan pada kenyataanya di daerah kampung tempat tinggalku di Indonesia, aku jarang sekali menemukan seorang muslim beristri lebih dari satu orang,"" jelasku.

""Benarkah?"" ucapnya seakan tidak percaya.

""Memakai pakaian seperti itu, apa ga dimarahi majikan kamu?"" tanyanya lagi. Orang ini memang doyan ngobrol.

""Tidak, bukan hanya itu saja, majikanku juga membolehkanku sembahyang lima waktu di rumahnya,"" jelasku bangga.

""What!! Benarkah? Oo, majikan kamu baik sekali,"" jelasnya.

""Ya, majikanku adalah majikan paling baik di dunia, hehe,"" ucapku bangga.

Cling!! Sebuah pesan messenger datang di handponeku. Ternyata pesan dari Wahyuni, temanku yang juga berasal dari Indonesia yang juga di sekitar kompleks perumahan sini.

""Mbak, aku sama teman-teman yang lain ada di taman.""

""Cepatan ke sini, kita lagi bawa nasi urap sama ikan asin goreng, enak, lho,"" tulisan pesan dari Wahyuni.

""Oke, jangan dihabisin, aku segera meluncur ke sana,"" tulisan balasanku. Sesaat aku melihat jam di handponeku yang masih menunjukan pukul 09.30 pagi. Aku pun, mendorong kursi roda Ama pergi ke taman. Kurang lebih 10 menit, kami sudah sampai di taman. Disana sudah ada Wahyuni, Imas, Etik dan Siti.

""Ayo, Mbak Mei, cepetan, kita makan bareng nasi urapnya!"" ajak Wahyuni.

""Wahhh, siapa yang bikin?"" tanyaku.

""Imas,"" jawab Siti dan Etik bebarengan.

""Aiyahhhhh, dah tentu kalau Imas yang bikin, pasti pedasnya bikin 'merem melek' mataku ini,"" jawabku yang memang takut sama makanan pedas.

""Ha ha!!!"" tawa Imas dan teman-teman yang lain. Begitulah suasana saat kami berkumpul bersama. Apalagi jika salah satu diantara kami memiliki makanan khusus dari kampung. Kami selalu berbagi. Teman-teman yang masih menikmati nasi urap dan ikan asin goreng buatan Imas. Sedangkan aku angkat tangan untuk tidak melanjutkan makannya, karena benar-benar super pedas.

Taman tempat kami berkumpul ini, tidaklah luas. Namun taman bunga serta kolam ikan yang menghias sungguh membuat kami selalu betah untuk ngobrol lama di sana. Sambil menunggu teman-teman selesei makan, aku mencari tempat yang agak terkena sinar matahari, untuk berjemur sambil mengotak-atik handponeku. Di sebuah kursi yang berada di bawah pohon beringin, sedari tadi tampak seorang lelaki paruh baya sedang menatapku. Entahlah, apa yang dia pikirkan tentangku. Seolah pandanganya terus tertuju padaku, yang membuatku jadi serba salah dan salah tingkah. Mungkinkah karena dandanan serta cara berpakaianku yang menurut dia aneh? Kulihat dia berjalan menuju ke arahku.

""Apa kamu berasal dari Indonesia?"" tanyanya padaku.

""Iya, Tuan,"" jawabku singkat. Sesaat dia hanya diam tak melanjutkan pertanyaan.

""Apa, ini, Ama yang kamu rawat?"" tanyanya.

""Iya,"" jawabku singkat.

Matahari masih bersinar dengan hangatnya, meski ada semilir angin yang sedikit membawa aroma dingin di taman itu. Teman-temanku yang lain masih dengan asyiknya menikmati nasi urap dan ikan asin.

""Xiao Jie, aku juga ingin mengambil orang yang seperti kalian. Tapi, aku tidak tahu caranya,"" jelas Tuan itu. Tidak tahu kenapa, saat dia berkata begitu senyumku tiba-tiba saja merekah.

""Oh, begitu."" Lalu aku menjelaskan sejauh yang aku tahu. Selembar kartu nama agency aku berikan padanya.

""Emmm, ngomong-ngomong Tuan ingin mengambil jasa pembantu seperti kami, untuk merawat siapa? Orangtua Tuankah?"" tanyaku. Aku lihat, sesaat dia terdiam sebentar.

""Bukan, untuk merawat anakku,"" jawabnya.

""Anak Tuan?!"" jawabku kaget.

""Iya. Sebenarnya bukan ingin kujadikan sebagai pembantu, melainkan untuk menjadi menantuku."" Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja bibirku merasa kelu untuk berbincang lagi.

""Mungkin, andai engkau bersedia?"" tanyanya.

""Maaf Tuan, aku sudah bersuami dan memiliki seorang anak. Aku sangat mencintai mereka. Meski sekarang aku jauh dari mereka, namun hatiku tetap untuk mereka."" Tanpa ragu ucapan itu langsung aku lontarkan padanya.

""Ooh, maaf kalau begitu. Andai engkau memiliki teman yang sepertimu, bolehlah engkau kenalkan padaku,"" jelasnya.

""Tapi Tuan, bagaimana mungkin aku lakukan itu. Sedangkan, aku sama sekali belum pernah bertemu dengan anak Tuan?"" ungkapku. Tuan itu mengambil sebatang handpone dalam saku celananya. Aku lihat teman-teman sudah selesei. Saat Tuan itu ngobrol di handponenya, aku membawa Ama untuk duduk berkumpul bersama mereka. Aku pun larut asyik mengobrol dengan mereka. Suasana hari itu sangat ramai. Karena, kebetulan taman itu dekat dengan sebuah 'miao' besar yang saat itu lagi mengadakan acara. Jadi, musiknya sampai terdengar di taman itu.

Dari kejauhan, datanglah seorang lelaki muda tampan berkacamata.

""Xiao Jie, inilah anakku yang aku katakan padamu tadi."" Ternyata lelaki tampan berkacamata itu adalah anak Tuan itu.

""Wewww, Mbak, ganteng juga,"" ucap Imas sambil mencubit pantatku.

""Ni hao?"" sapaku padanya. Namun ada hal yang aneh, saat aku sapa, dia seolah tidak merespon dengan baik. Seolah tidak paham dengan apa yang aku katakan.

""Maaf, dia adalah anakku yang pertama. Dia memang ada gangguan dalam berbicara.""

""Dari kecil dia sudah begitu.""

""Usianya sekarang, 29 tahun. Besar harapanku, jika dia mendapatkan seorang istri yang mencintai dia apa adanya,"" jelasnya.

""Setiap orangtua pasti berharap yang terbaik untuk kebahagiaan anaknya, Tuan. Jia Yiu!"" ucapku.

Tit tit!! Suara handponeku.

""Lho, nada deringnya sudah ganti ya Mbak? Bukannya dulu penggila dangdut versi Jawa, hehe..."" ucap Etik sedikit cengengesan.

""Hehe, iya, maaf ya aku pulang dulu. Itu, majikanku barusan telepon. Sekarang sedang menunggu kami di rumah."" Aku bergegas membawa Ama untuk pulang.

Sebuah pemandangan yang asri dan hijau. Aneka macam tanaman sayur dan bunga-bunga warna-warni di sekitaran jalan yang kami lalui. Kupasang headseat di telingaku perlahan aku mendorong kursi roda Ama sembari mengingat-ingat apa yang diucapkan Tuan di taman tadi. Dia berbeda dengan orang-orang Taiwan sebelumnya yang ketika melihatku sedang memakai jilbab. Dia bilang, jilbab itu sangat cantik jika dipakai seorang wanita. Bukan hanya itu saja, dia juga bilang, jilbab juga terlihat lebih anggun dan sopan. Ketika aku bertanya, ""Apakah dia sempat berpikir ketika melihat orang muslim memakai jilbab itu adalah seorang teroris?"" Dia menjawab, ""Sama sekali, tidak.""

""Tak kenal makanya tak sayang."" Meski hanya di saat aku sedang keluar dari rumah menggunakan jilbabku, namun selama aku berada di sini, jika ada orang yang bertanya ketika aku sedang memakai jilbab. Aku hanya perlu menjelaskanya dengan baik-baik pada mereka sejauh yang kupahami. Insya Allah mereka akan paham dan mengerti. Hmmm, meski demikian masih saja ada Akong atau Ama yang menganggap jilbab itu merupakan topi unik yang bisa melindungi panas dan dingin. 
*******

Waktu terus bergulir. Tanpa terasa tinggal menunggu beberapa bulan lagi untuk menyeleseikan sisa dari 3 tahun kontrak kerjaku di tempat ini. Rasa rindu yang menggebu hingga ingin cepat pulang itu, pasti masihlah ada di hati ini. Bagaimanapun aku hanyalah manusia biasa yang juga sebagai seorang istri dan juga seorang ibu bagi buah hatiku. Dengan dukungan orang-orang yang mengasihi dan menyayangiku dengan tulus dan ikhlas. Aku berharap dengan tubuhku yang 'ringkih' ini bisa melaluinya dengan tanpa halangan.

The End

Taoyuan, 3 Maret 2015