Mimpi Maryam '回不了家'

2015/3/28 / Jenny Ervina / Mimpi Maryam '回不了家' / Indonesia 印尼 / Tidak ada

Mimpi Maryam : 回不了家...


Di pematang sawah, kepada padi-padi yang ruku dan bertasbih pada semesta. Maryam  sudah mengisahkan  tentang takdirnya. Tentang sebuah mimpi yang akan membawanya ke suatu tempat yang jauh. Jauh. Jauh. Hingga pulang bukan lagi menjadi sebuah alasan untuk menumpahkan rasa rindu.
                               ~••~

""Abaaaaahhhh...."" Masih dengan seragam merah putih yang belum ia tanggalkan, Maryam kecil berlari menyusuri pematang sawah yang basah. Kaki-kakinya yang telanjang berlumur lumpur. Tangan mungilnya menjinjing bungkusan daun pisang berisi menu makan siang. Dengan girang, ia berlari menuju lelaki tua berpundak kokoh dan berkulit legam yang tengah menyiangi rumput liar yang tumbuh diantara padi-padi yang mulai menguning. Itulah benih-benih mutiara yang kelak akan menjadi tabungan masa depan Maryam. Kepada gadis kecil itu, segala harapan ia tumpahkan.

""Abaaahh....ayo makan. Hari ini Nenek masak ikan asin, sambal terasi sama lalapan."" Teriaknya sambil duduk berselonjor di bawah pohon rindang. Sibuk menggelar tikar dan membuka bungkusan daun pisang.
Sementara lelaki yang dipanggil dengan sebutan Abah buru-buru mengumpulkan gundukan rumput dan memanggulnya Ke tempat dimana Maryam dengan sergap membagi jatah makan untuk Abahnya. Selalu, selama hampir satu tahun ini, setelah sang ibu berpulang Ke rumahNya dan mengakhiri sakit yang tak berkesudahan dengan senyum kedamaian. Rutinitas mengantar nasi berpindah ke tangan Maryam. Satu-satunya  harta karun yang sang ibu wariskan pada laki-laki bermata sayu sebab terlalu lama menanggung rindu.

""Bah, kalau nanti Maryam sudah besar. Maryam ingin pergi Ke China. Maryam ingin keliling dunia."" Celoteh gadis kecil itu menggebu. Semangatnya, persis titisan sang ibu. Si Abah hanya tersenyum seraya menyuapkan nasi yang telah ia lumuri sambal terasi Ke dalam mulutnya. Secangkir kopi hitam dan sepotong ubi yang dimakannya tadi pagi tidak mampu bertahan lama mengganjal perut setelah hampir setengah hari bekerja.

""Jauh sekali pergi Ke China. Emang Maryam mau ngapain di sana?"" Kali ini si Abah menyantap lalapan dengan lahap. Kesederhanaan yang begitu nikmat meski harus bercampur dengan cucuran keringat.

""Tadi di sekolah, Bu Ani bilang gini Bah."" Lantas Maryam berdiri. Untuk kemudian duduk berseloroh di atas gundukan rumput sembari menyilangkan kaki. Maryam, gadis kampung berkulit cokelat berwajah manis itu, adalah murid kebanggaan di sekolahnya.

""Tuntutlah ilmu sampai Ke Negeri China."" Katanya menirukan kalimat yang baru didengarnya dari Ibu guru tadi pagi. Wajah manisnya terlihat lucu sekali.
                           ~••~
Si Abah, duda beranak satu yang menjadi  incaran banyak perawan tua di kampungnya lantaran sawahnya yang berlimpah warisan almarhumah sang istri mantan TKI Saudi itu. Saat ini tengah duduk tafakur di atas hamparan sajadah. Kedua tangannya ia tengadahkan. Bibirnya tak henti berkomat-kamit memanjatkan doa penuh pengharapan.
'Rabbanaa waj'alnaa muslimaini lama wa min dzurriyatinaa ummatan muslin aayam laka'
(Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang patuh tunduk padaMu dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami Umat yang tunduk patuh padaMu.)
Amin....
Lantas mengakhiri ritual doanya dengan mengusapkan kedua telapak tangan di permukaan wajahnya. Dan si Abah telah menyelesaikan tahajjudnya.
Sambil menunggu subuh tiba, lelaki itu menghampiri Maryam yang tengah terlelap di kamar sang Nenek. Sementara sang Nenek sendiri sibuk berkutat di dapur menyiapkan bakal sarapan dan bekal untuk cucu dan anaknya, sebelum keduanya berangkat Ke sekolah dan Ke sawah. Ya, Semenjak istrinya meninggal, Maryam lebih suka tidur bersama Nenek ketimbang harus tidur berdua di kamarnya.
""Bu Ani bilang bah, perempuan itu ga boleh tidur bareng laki-laki sebelum menikah""  katanya dulu.
Memandang gadis kecil itu, membuat hati si Abah terasa pilu. Bagaimana ia harus membesarkan dan mendidiknya tanpa seorang ibu? Sementara mimpi dan cita-citanya teramat tinggi. Sementara keinginan dan harapannya teramat luas. Dan tetiba matanya berembun. Seperti subuh yang berbalut kabut.
                            ~••~
Di pematang sawah, kepada padi-padi yang ruku dan bertasbih pada semesta. Tuhan menuntun langkah Maryam pada takdir yang telah dituliskanNya. Langkah yang akan akan membawanya Ke suatu tempat yang jauh. Jauh. Jauh. Hingga rasa rindu bukan lagi menjadi sebuah alasan untuk menariknya kembali ke masa lalu.
                        ~••~
""Abaaaaahhh...."" Bertahun-tahun sudah. Seragam merah putih itu kini berganti menjadi putih abu-abu. Seragam yang sebentar lagi akan ia tanggalkan. Sebab benih-benih mutiara yang sang Abah kumpulkan tidak cukup untuk membeli toga dan gelar sarjana.

""Abaaaaahhh.....ayo makan. Hari ini Maryam masak sayur asam, sambal teri sama lalapan."" Teriaknya sambil menggelar tikar di bawah pohon rindang. Rantang berisi bekal makan siang ia tata sedemikian rupa sambil menunggu laki-laki berpundak renta itu menyelesaikan tumpukan terakhir rumput liar yang dipangkasnya. Semenjak Nenek tiada, semua urusan dapur mutlak menjadi tanggung jawabnya.

""Bah, kalau Maryam lulus SMA nanti, boleh Maryam jadi TKW?"" Dengan sangat hati-hati Maryam mengeja kalimat yang ia lontarkan. Takut membuat Si Abah yang sedang lahap menyantap makan siangnya tetiba tersedak. Ah! Setelah dulu ia melepaskan sang Istri hijrah Ke Saudi lantas kembali membawa sakit yang berujung pada kematian. Haruskah ia merelakan pula anak perempuan semata wayangnya menjadi budak di Negeri orang? Dan tetiba lelaki berkulit legam itu terdiam. Wajahnya memerah menahan tangis. Betapa ia merasa tidak mampu menjadi pemimpin. Bahkan untuk sekedar menjaga satu-satunya amanah yang Tuhan titipkan.

""Kenapa harus menjadi TKW?"" Nadanya penuh kekhawatiran. Membuat lelaki itu sejenak menghentikan kunyahannya dan memandang Ke arah Maryam.

Perempuan yang terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya itu lantas berdiri. Duduk berseloroh di atas tumpukan jerami. Sambil
Menarik nafas dan melempar pandang Ke hamparan sawah yang luas, Ke atas Langit yang tak berbatas, Ke arah jejak sayap-sayap burung yang tak berbekas.  Ke bola mata sang Abah yang mulai merembas. Kemudian menunduk dalam diam. Mencari jawaban yang tepat agar sang Abah tidak merasa larut dalam kesedihan.

""Kalau Maryam nanti jadi TKW. Maryam bisa naik pesawat Bah, Maryam bisa keliling dunia."" Jawaban polos gadis kampung itu menjadi alasan. Sesederhana itu kah?

""Kalau Maryam nanti jadi TKW. Abah ga harus lagi pergi ke sawah. Kalau perlu, nanti Maryam menikah sama orang luar Negeri. Biar Abah juga bisa ikut tinggal bareng Maryam."" Candanya hambar sambil melemparkan daun-daun Ke arah sungai. Alirannya membawa daun-daun itu hanyut terbawa arus. Jauh. Semakin jauh. Timbul tenggelam. Lantas menghilang.
                          ~••~
Hening...
Si Abah larut dalam doa yang sama. Bertahun-tahun dalam setiap tahajjudnya. Doa pengharapan yang ia panjatkan untuk Maryam.
'Rabbanaa waj'alnaa muslimaini lama wa min dzurriyatinaa ummatan muslin aayam laka'
(Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang patuh tunduk padaMu dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami Umat yang tunduk patuh padaMu.)
Amin....
Lantas, sambil menunggu subuh luruh dalam rengkuhanNya. Lelaki itu akan diam-diam menyusup Ke dapur melewati kamar Maryam. Memastikan bahwa suara lirih dan syahdu itu adalah lantunan alqur'an yang Maryam lafadzkan. Ah! Ikhlaskah? Sementara satu-satunya harta yang teramat berharga hanyalah dia. Tapi seorang anak ibarat busur panah. Bidik, arahkan, lepaskan. Biarkan ia mencari tujuan yang menjadi sasaran.
                         ~••~
Tahun berganti. Maryam pergi. Si Abah pun hidup seorang diri. Negeri dongeng bernama Hongkong yang Maryam ceritakan dalam setiap surat yang ia kirimkan seolah membuat jarak tak lagi menjadi sebuah benteng pemisah bagi keduanya. Maryam tetap patuh pada apa yang dipetuahkan sang Abah. Maryam tetap berbakti meski hanya sekedar mengirimkan sisa jatah gaji setiap bulannya. Sehingga duda tua kesepian itu tidak lagi harus bersusah payah pergi Ke sawah. Sebab padi-padi itu kini sudah menjelma butir-butir mutiara. Maryam. Anaknya.

""Ada seorang Chinese mualaf meminta Maryam untuk jadi istrinya. Kami bertemu di setiap jum'at di Mesjid Islamic Centre Kowloon. Muhammad Al Rayhan. Beliau adalah guru mengaji bagi para TKI yang ingin belajar memperlancar bacaan Al-qurannya. Abah, restui..."" Pinta Maryam dalam suratnya. Yang di dalamnya juga terselip selembar tiket pesawat yang akan mengantarkannya menuju Negeri dongeng. Bertemu dengan Maryam.  Maka inilah tugas terakhir sang Abah sebagai orangtua. Lagi-lagi ia tergugu dalam tahajjudnya. Luruh dalam syukur yang tak terhingga.
Alhamdulilah...
                         ~••~
Mesjid agung Tsim Tsa Sui yang berdiri kokoh di sepanjang Nathan Road menjadi saksi sakral janji sehidup semati. Budaya, bahasa, negara.  bukan lagi menjadi penghalang jika cinta dan kehendakNya sudah bicara. Maryam luruh dalam tangis bahagia di pangkuan sang Abah. Ya, bahagia, sebab dia telah menunaikan mimpi yang dulu pernah ia kisahkan pada padi-padi di pematang sawah. Bahagia, sebab Tuhan telah mempertemukannya dengan orang-orang berhati mulia. Keluarga tempat ia bekerja, adalah juga keluarga yang membuatnya merasa utuh. Dan Muhammad Al Rayhan. Laki-laki sholeh yang Tuhan anugrahkan untuknya itu, adalah penyempurna kebahagiannya.
Dan, Abah,  kita tidak lagi harus pulang, kan...?


Kowloon Bay, 12 Juni 2014
~from Hongkong with a thousand story~