Mutiara Perantauan

2015-3-13 / Cintya / Mutiara Perantauan / Indonesia 印尼 / Yuhalini


Mutiara Perantauan

Satu jam dalam perputaran waktu yang dinamakan sehari adalah potongan waktu yang paling kunikmati di mana sejenak aku bisa berpisah dengan segala aktivitas harianku yang membosankan, menguras tenaga, pikiran dan mengasah kata sabar agar semakin tajam.
Ama yang selalu berprasangka buruk atas segala hal yang kulakukan membuatku enggan untuk bertahan lebih lama di negara ini tapi jika aku tak bertahan lantas ke mana aku harus pergi? Pulang? Sepertinya kata itu juga tak menyelesaikan masalah jika pulang hanya akan membuat batinku tersiksa. Di sini maupun di sana sama saja aku tetap akan menderita tapi mungkin menderita di sini lebih baik karena sesakit apapun hatiku di sini orang yang menyakitiku bukan orang yang —jika aku balik menyakitinya tak menimbulkan dosa—.
Cinta tak direstui mungkin sudah menjadi polemik dalam kisah cinta, perbedaan status sosial menjadi halangan dalam merajut kasih di mana untuk masyarakat Indonesia bobot merupakan hal ternilai dan aku bisa apa jika orang tua sudah mengatakan tidak.
Semilir angin Sungai Thamsui menerpa wajahku menghembuskan dingin yang membuatku menggigil —10⁰—  Tentu saja! Siapa yang mau keluar di cuaca sedingin ini jika bukan orang yang pikirannya sedang bermasalah sepertiku namun meski demikian aku belum berniat meninggalkan Sungai Thamsui yang melewati Kota Guandu ini karena melihat dunia luar seperti ini sangat menenteramkan sekaligus menyesakkan, sesak jika ingat waktuku hanya satu jam. Pandanganku berputar mencari objek lainnya yang lebih menarik. Pandanganku jatuh kepada pasangan yang sedang berjalan ke arahku. Aku tersenyum miris ada perasaan iri di hati alangkah bahagianya pasangan itu yang dapat bersama di negara orang, bergandengan mesra dan tak ada rindu yang terselubung di hati. Pandanganku masih mengarah ke arah mereka entah kenapa ada rasa tertarik untuk memperhatikan mereka berdua karena sepertinya cinta membuat dunia terasa milik berdua yang lain kontrak. Mereka sejak tadi sama sekali tak menyadari dengan keberadaanku yang terus memperhatikannya. Tak sadar atau memang mengabaikan. Entahlah!
Pria itu memegang tangan si perempuan lantas mengucap sesuatu yang tak dapat kudengar, perempuan itu mengangguk lantas terdapat adegan yang harus disensor. Aku memalingkan wajah setelah beberapa menit aku melihat mereka kembali ternyata si pria meninggalkan perempuan itu seorang diri di tengah angin berderu  membawa kabut tebal ternyata cinta juga membawa kabut tebal yang dapat membuatku raib dari penglihatan mereka. Di tempat umum pun mereka masih melakukan adegan seperti itu. Perempuan itu berjalan ke arahku ketika matanya bertemu tatap denganku Ia tampak terkejut mungkin baru menyadari bahwa sejak tadi ada orang di sekitarnya. Perempuan itu mengulum senyum untuk menutupi rasa malunya. Aku tersenyum lantas berpura-pura tak peduli dengan menatap arah lain. Perempuan itu berjalan cepat meninggalkan tempat ini. Aku menghela nafas panjang dan ini juga sudah waktunya aku untuk kembali ke tempat yang sebenarnya aku tak ingin kembali tapi apa boleh buat kontrak kerja mengikatku mau tidak mau aku harus kembali.
***
""Kau dari mana saja!"" teriakan nyaring Ama menyambut saat aku melangkah masuk ke dalam apartemen.
""Dari pasar."" Jawabku santai.
""Luàn pǎo!"" pekik Ama.
Dahiku berkerut tak mengerti dengan maksud Ama.
""Kau pasti keluyuran bersama pria lain awas saja pasti nanti akan aku laporkan kau ke Agency!"" ancam Ama.
""Lapor saja! Aku sama sekali tidak takut."" Tantangku.
Ancaman sekedar ancaman yang tak pernah membuahkan fakta karena sampai sekarang Ama juga tak pernah melaporkanku kepada Agency sekalipun dilaporkan dan Agency menyalahkanku aku tak akan memikirkannya. Kerja di sini jika apa-apa masuk di pikiran niscaya jauh-jauh hari sebelum kau pulang ke Indonesia kau akan terlebih dahulu booking tiket masuk rumah sakit jiwa di Solo.
“Suàn le ... Suàn le ...,"" ucap Ama yang mulai melembut. ""Nanti malam masakan aku dàn huā tāng."" Lanjut Ama lantas melangkah pergi meninggalkanku.
Aku berjalan ke dapur sembari menggerutu. Memang ada yang betah tinggal bersama perempuan tua yang selalu berpikiran picik seperti itu malam jika Ia terbangun dan menyadari tidak ada orang di sampingnya maka pikiran negatif akan timbul entah aku kabur, mengambil sesuatu dari rumahnya atau prasangka buruk lainnya dan yang paling membuatku tak habis pikir tentang ketakutan dengan adanya maling. Jendela balkon lupa dikunci marahnya Ama sampai menggetarkan apartemen takut ada maling masuk, aku sampai heran dengan pikiran ajaib Ama siapa maling yang mau bersusah payah memanjat  balkon apartemen di lantai 15? Lantas kurir pengiriman barang sampai beratus kali Ama mengingatkan jika ada yang mengetok pintu harus dilihat terlebih dahulu di lubang pintu tapi jika masalahnya sudah di telepon dan penelepon sudah ada dibalik pintu apakah masih perlu mengintip di lubang pintu?
""Dok ... dok ...!"" suara pisau yang beradu dengan talenan. Saat ini aku sedang memotong daging ayam yang baru saja kubeli di pasar sengaja kukeraskan agar emosiku yang sudah sampai ubun-ubun dapat sedikit berkurang. Jika saja sabar dapat dijual mungkin aku sudah kaya raya.
Namaku Diandra seperti yang sudah kujelaskan aku menjadi TKI di Taiwan karena sakit hati gara-gara cinta tak direstui terdengar cengeng memang tapi saat itu yang terpikirkan jika orang yang kucintai tak dapat kumiliki maka orang tuaku pun juga tak dapat memilikiku yang berhak memilikiku adalah diriku sendiri dengan berpikiran seperti itu aku nekat mendaftar sebagai TKW ke Taiwan tapi malangnya aku mendapatkan hukuman atas kelakuanku yang menentang orang tua di sini aku menjaga Ama yang yang mempunyai otak picik berhati culas tapi ada kalanya aku membangkang ucapan Ama atau terkadang balik membentak jika masalahnya sudah sangat keterlaluan. Sabar memang tak ada batasnya tapi jumlah setan di dunia ini juga tak ada batasnya yang setia mengipas-ngipas percikan api di dalam hati akan semakin berkobar.
Jam 4 sore sampai jam 5 merupakan waktu yang selalu kutunggu. Dalam sejam ini Ama membiarkanku pergi ke luar meski tetap saja dibayangi dengan segala tuduhan setelah pulang nanti pasti Ama berpikir jika aku terlalu lama di luar aku bisa saja membentuk sindikat untuk merampok rumahnya.
***
Hari ini cuaca sedikit bersahabat. Matahari tersenyum melihat makhluk di bumi. Kutelusuri jalan mengarah Guandu Park National biasanya jika hari libur pasti akan banyak orang di sini tepat di sebuah bangku kulihat seorang perempuan tengah duduk melamun. Wajahnya sendu beberapa kali Ia terlihat mengusap pipinya. Semakin mendekat semakin jelas bahwa perempuan itu perempuan kemarin yang kulihat bersama pacarnya tapi kenapa hari ini dia menangis bukankah dia kemarin masih terlihat bahagia. Aku semakin penasaran tapi apa baik terlalu ikut campur urusan orang lain dan kelihatannya perempuan itu pendiam jadi pasti takkan mudah mengajaknya berbicara. Pantaskah jika aku tiba-tiba menyapa dan menanyakan ada masalah apa Mbak? Pasti tak pantas aku harus mencari ide dan syukurlah baterai otakku sedang full.
Aku berjalan ke arah perempuan itu sembari berpura-pura menelepon seseorang.
""Hallo ... Hallo ...,"" ucapku ketika tepat berada di depan perempuan itu. ""Yah mati pasti pulsanya habis."" Lanjutku sembari melirik perempuan itu. Perempuan itu tampaknya tak peduli dengan aksiku ini.
""Maaf Mbak mau tanya orang jualan pulsa di sini di mana ya? Soalnya saya baru di Taiwan."" Ucapku pada perempuan itu. Ternyata ada untungnya juga selama ini Ama melarangku keluar karena semua orang pasti percaya jika kukatakan aku masih baru.
Perempuan itu menunjuk arah yang mengarah ke taman dan di sana memang ada penjual pulsa yang sudah menjadi langgananku.
""Terima kasih, Mbak. Namaku Diandra nama Mbak siapa?"" tanyaku.
""Sinta."" Jawab perempuan itu.
""Mbak Sinta Indonya mana?"" tanyaku mulai sok akrab.
""Aku luar Jawa."" Jawab Mbak Sinta.
Selanjutnya aku mulai bertanya tentang sudah berapa lama dia di Taiwan ternyata Ia sebentar lagi akan pulang ke Indonesia.
""O iya Mbak Sinta sudah berkeluarga belum? Ah pasti bisa belum bisa sudah, pria yang kemarin aku lihat bersama Mbak bisa pacar atau suami Mbak."" Ucapku seperti kereta api tanpa rem.
Mbak Sinta menoleh menatapku dengan pandangan tak suka.
""Maaf Mbak aku terlalu banyak bicara ya,"" ucapku sembari memasang muka bersalah.
Raut wajah Mbak Sinta berubah datar kembali lantas menatap jalanan di depannya. ""Aku sudah menikah dan mempunyai anak."" Jawab Mbak Sinta.
""Oh berarti pria kemarin itu suami Mbak pantas Mbak lemas seperti ini pasti Mbak sedih ya meninggalkan suami Mbak di Taiwan mengingat cinta kalian seperti tak dapat dipisahkan oleh langit dan bumi."" Ucapku sembari tersenyum.
Mbak Sinta menarik sebelah sudut bibirnya sembari mendengus geli. ""Hah ... cinta! Kata cinta terdengar menjijikkan."" Ucap Mbak Sinta yang membuatku melongo kaget.
""Kok menjijikkan Mbak?"" tanyaku dengan mata melotot.
""Cinta dalam hubungan yang salah, cinta atau nafsu bahkan aku sendiri sudah tak dapat membedakannya."" Ucap Mbak Sinta yang semakin membuatku tak mengerti.
""Maksudnya apa sih Mbak?"" tanyaku.
Mbak Sinta menatapku tajam mungkin dalam pikirannya aku ini adalah orang yang paling sok tahu sedunia tapi dirinya sudah mau membuka mulut jika tak diteruskan aku akan semakin penasaran.
""Jika tak ingin bercerita tak apa Mbak, aku pergi beli pulsa saja,"" ucapku hampir beranjak dari bangku.
""Pria itu bukan suamiku,"" ucap Mbak Sinta pelan namun begitu jelas di telingaku.
Pantatku yang tadinya terangkat kembali kuletakkan di atas bangku.
""Suamiku di rumah bersama kedua anakku."" Lanjut Mbak Sinta.
Aku diam tak memotong ucapan Mbak Sinta karena biasanya jika seseorang sudah mulai bercerita maka cerita akan terus mengalir jadi diam dan dengarkan.
""Pria itu pria yang kutemui di Taiwan seorang duda. Dia memberikan perhatian yang tak pernah kudapat dari suamiku sendiri. Pria yang berstatus suamiku itu hanya ingat kepadaku saat Ia membutuhkan uang dan uang,"" ucap Mbak Sinta. Ucapannya terdengar penuh dengan emosi. ""Jika aku tak membanting tulang di sini pasti pria itu sudah di makan lintah darat."" Lanjut Mbak Sinta.
""Suami Mbak mempunyai hutang?"" tanyaku hati-hati.
""Di sana maupun di sini sama saja aku yang membanting tulang, uang dihamburkan untuk modal usaha yang katanya akan maju tapi hasilnya hanya hutang kian menumpuk."" Jawab Mbak Sinta. Suaranya sudah mulai serak.
""Suami Mbak memang tidak bekerja?"" tanyaku.
""Kerjanya dia hanya makan tidur makan tidur.""
""Jika sudah tahu seperti itu kenapa Mbak menikahi ya?"" tanyaku semakin tidak paham kenapa jika sudah tahu pria malas seperti itu kenapa masih dinikahi.
""Karena aku mencintainya dulu dia masih bekerja meski penghasilannya tak seberapa tapi aku pikir jika sudah berkeluarga nantinya dia akan giat bekerja tapi entahlah setelah menikah dia malah semakin malas dan tanpa sepengetahuanku dia mendaftarkanku sebagai TKW awalnya aku tak mau, aku tak mau meninggalkan anak-anak yang masih kecil tapi dia terus membujukku katanya untuk kebahagiaan keluarga dan akhirnya aku berangkat ke negara ini.""
Dadaku terasa sesak mendengar cerita Mbak Sinta seperti menelan bongkahan es batu yang langsung membuat otak berdenyut.
""Dan aku berkenalan dengan pria itu, pria yang selalu tersenyum menawarkan perhatian di saat hatiku tergoncang hebat memikirkan suami seperti itu."" Ucap Mbak Sinta.
""Tapi Mbak tahukan ini semua salah dan tak pantas terjadi."" Ucapku.
""Logika terkadang kalah oleh hawa nafsu yang sudah menguasai diri. Aku tahu kadang aku berpikir aku tak ada bedanya dengan pelacur memberikan dia kepuasan dan setelah itu dia membantuku mengirim uang kepada keluargaku tapi aku juga butuh semua ini memikirkan suami yang kerjanya hanya merongrong hidupku membuatku frustasi dan aku butuh pelarian."" Pekik Mbak Sinta air matanya mulai mengalir.
""Kenapa Mbak tidak bercerai saja dengan suami Mbak lantas pergi bersama pria itu membawa anak-anak Mbak atau jangan-jangan ...,"" aku memicingkan mata. ""Pria itu hanya menganggap Mbak sebagai pelampiasan nafsu sementara di Taiwan."" Lanjutku.
Kilatan api amarah tampak jelas di mata Mbak Sinta pasti Ia tersinggung dengan ucapanku.
""Mungkin."" Gumamnya lirih. Dia tak menyentakku atau mungkin Ia sendiri juga membenarkan ucapanku. ""Aku masih berharap suamiku berubah setelah aku pulang dari Taiwan dengan adanya uang sikapnya bisa berubah menjadi lembut."" Ucap Mbak Sinta.
""Dan terus-terusan membiarkan suami Mbak ongkang-ongkang kaki di rumah sementara Mbak yang membanting tulang ..."" Sahutku.
""Masalah dalam rumah tangga tak semudah pembicaraan kita ini. Apa kau sudah berkeluarga?"" tanya Mbak Sinta.
Aku menggeleng.
""Bagus jangan pernah salah dalam memilih suami kau belum terlambat cari pria yang benar-benar bertanggung jawab biarkan orang menilai kau mata duitan karena faktanya materi sangat penting untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia menikah hanya membawa nama cinta juga tak seimbang karena jika kau sudah masuk ke dalam pernikahan hal yang terlihat mudah akan sangat sulit untuk diputuskan karena ada banyak hal yang dipertaruhkan di dalamnya apalagi jika sudah ada anak,"" Ucap Mbak Sinta lantas bangkit. ""Terima kasih sudah menemaniku di saat aku tak tahu harus berbagi.""
Mbak Sinta melangkah pergi meninggalkanku sendiri yang termenung memikirkan ucapannya ""jangan salah memilih suami"".
""Kau mau menikah dengan pria itu pria yang hanya bisa genjrang-genjreng gitar sana sini, nantinya kau mau makan apa? Kau mau beralih fungsi dia yang menyuci di rumah dan kau yang bermandi keringat."" Teriakan Ibu masih terekam jelas di ingatanku.
""Diandra yakin setelah menikah Anton akan berubah, dia akan bekerja keras mencari nafkah untuk istrinya."" Jawabku.
""Tak mungkin pria itu berubah! Sampai kapanpun Ibu tak akan merestui kau menikah dengan pria itu!""
Mataku sudah mengalir anak sungai yang deras alasan yang sama dengan alasan yang digunakan Mbak Sinta untuk menikahi suaminya berharap setelah menikah dia akan bekerja keras menghidupi anak istrinya dan hanya dengan cinta bahtera rumah tangga bisa kokoh.
Jika aku membangkang ucapan Ibu apakah aku akan bernasib dengan Mbak Sinta membanting tulang sampai luar negeri sedang suami di rumah hanya ongkang kaki menunggu kiriman dan akhirnya harus dilema terjerat cinta terlarang. Apakah Tuhan mempertemukan aku dengan Mbak Sinta untuk menamparku dengan kenyataan bahwa aku bisa berakhir seperti itu jika menentang ibuku sendiri. Ibu yang sebenarnya sangat menyayangiku sampai tak rela melihat anak perempuannya disakiti pria lain tapi sampai sekarang aku masih menaruh kesal kepada Ibu yang seharusnya saat ini kupeluk dan kucium.
Aku menangis sesenggukan karena aku telah menemukan mutiara perantauan bukan mutiara mengkilap yang biasa diburu penyelam di kedalaman samudra tapi mutiara perantauan yang dapat kugunakan sebagai pembelajaran hidup yang kutemukan dalam kisah hidup Mbak Sinta. Saat kau bertemu dengan banyak orang dalam perjalanan hidupmu berbagi pengalaman hidup yang dapat kau ambil sisi positif sebagai pelajaran hidup dan sisi negatif sebagai alarm tanda pengingat ketika kau melangkah. Mutiara yang lebih berharga dari mutiara yang dapat di nilai dengan kisaran uang karena mutiara ini dapat dibawa sampai mati dalam bekal untukmu membangun bahtera rumah tangga nantinya. Kisah orang lain dapat menjadi cerminan bagimu dalam menentukan langkah di masa depan agar tak bernasib sama. Mbak Sinta semoga Tuhan segera melepaskan Mbak dari hubungan terlarang itu dan juga membebaskan Mbak dari suami yang hanya memerah hasil keringat Mbak. Terima kasih atas pengalaman hidupnya yang sangat berharga.