Rona Kehidupan

2015/3/11 / Arini / Rona Kehidupan / Indonesia 印尼 / Tidak Ada

Itulah kehidupan, disaat kita harus diuji dengan berbagai masalah. Dihadapkan pada suatu pilihan. Ada kalanya sesuatu hal yang kita cela, tapi mendatangkan kebaikan. Dan sesuatu hal yang kita suka, tapi mendatangkan petaka. Sesulit dan seberat apapun masalah. Kita harus bersikap optimis, dan sabar menghadapi. Selalu yakin akan ada hikmah di balik musibah.

Mini, sahabat karibku yang aku kenal semasa di penampungan. Sosok wanita berparas cantik, berkulit kuning langsat, dan murah senyum.
Meski kami berasal dari daerah yang berbeda. Aku dan Mini cepat akrab, layaknya sudah kenal sebelumnya. Seiring dengan keakraban kami, Mini suka bercerita padaku tentang keluarga dan rumah tangganya.

Mini yang masih kelihatan belia, ternyata sudah memiliki dua orang putra yang masih kecil-kecil. Menurut Mini, dia berasal dari keluarga tak mampu, dan menikah dengan laki-laki berkecukupan di  kampungnya. Suami  Mini tergolong sosok yang ringan tangan. Hanya mengandalkan harta orang tuanya. Tapi Mini tetap mempertahankan rumah tangganya demi kedua buah hatinya. Mini yang berasal dari keluarga miskin tak berharga di mata mertuanya. Inilah cerita Mini hingga muncul niatan untuk bekerja ke luar negeri. Meski berat hati meninggalkan kedua anaknya yang masih sangat butuh kasih sayangnya. Tapi ini adalah pilihan terbaik buat Mini. Dan suaminya juga mengizinkan.

Bekerja di pabrik, itulah keinginan Mini sejak awal. Akan tetapi, lantaran tidak memiliki biaya cukup. Kini Mini mendaftar di sektor rumah tangga dan perawat orang tua. Nasip baik ternyata berpihak pada Mini. Dua bulan di penampungan, dia mendapat tawaran bekerja di home industri, tetapi dengan job perawat orang tua. Mimik bahagia terpancar di wajah Mini sahabatku. Aku juga ikut bahagia melihatnya. Meski nasibku sendiri belum jelas. Mini yang awalnya rajin beribadah, kita dia tambah rajin salat tahajud dan puasa Senin-Kamis.

Hari Minggu pagi yang cerah. Secerah wajah para penghuni penampungan, yang menikmati hari bebas dari penatnya belajar. Aku menghampiri Mini yang sejak tadi duduk di bawah pohon jambu dekat dapur penampungan. Mini yang sibuk dengan ponselnya, kaget dengan kedatanganku.

“Ih, yang lagi senang,“ ledekku pada Mini.
“Senang apanya, telepon dari tadi tak ada yang angkat,“ sahut Mini dengan wajah cemberut.
“Sabar sedikit donk, mungkin jaringannya susah,“ jawabku menghibur.
“Yah, begitulah suamiku, yang tak pernah mengerti perasaanku,“ sahut Mini sambil meneteskan butir bening di pipinya. Aku yang awalnya ingin mengajaknya bercanda  juga ikut bersedih. Dengan hati-hati aku mengajak Mini untuk beranjak dari tempat duduknya. Mini yang masih kelihatan sedih berjalan membelakangiku.

……………………………

Waktu berjalan begitu cepatnya. Hingga Mini harus berangkat ke Taiwan. Antara sedih dan bahagia menyelimuti hati kami. Sedih dimana kami, tak bisa bercanda bersama lagi. Bahagia dimana keingingan sahabatku akhirnya  terwujud juga. Menjelang perpisahan kupeluk erat tubuh Mini. Isak tangis mewarnai perpisahan kami.

“Hati-hati ya Min, semoga sukses menyertaimu,“ bisikku pada Mini sedih.
“Terima kasih doanya An, moga kamu cepat menyusulku,“ sahut Mini diiringi dengan isak tangis.
“Jangan lupa berdoa, dan ingat tujuan awal,“ pesanku pada Mini. Mini mengangguk dan menciumku. Kulepaskan pelukannya. Kupandang sosok Mini yang tegar, dengan menyeret sebuah koper dan  lambaian tangannya hingga tak terlihat dari pandanganku. “ Ya Allah, lindungilah sahabatku,“ doaku dalam hati.

Hari berganti, waktupun berlalu. Sudah satu bulan hari-hariku tanpa Mini. Hingga hari keberangkatanku tiba. Tapi aku belum mendapat kabar dari Mini. Apa mungkin dia tak boleh menggunakan ponsel? Ada apa dengan sahabatku? Semoga dia baik-baik saja, gumamku dalam hati.

Seperti biasa, sehabis belajar. Kurebahkan tubuh lelahku di ranjang, sambil menunggu antrian mandi. Tiba-tiba ponselku berdering, tanda pesan masuk.  Segera ku buka pesan tersebut.
“Ana, apa kabar? Maaf, baru bisa kasih kabar. Kutunggu kau di Taiwan.“  By Mini.
Aku bahagia sekali, ternyata sahabatku baik-baik saja. Segera kubalas pesannya. Aku katakan bahwa aku minggu depan menyusul.

Akhirnya hari keberangkatanku tiba. Rasa takut, sedih , bahagia, bercampur menjadi satu. Enam jam perjalanan dalam pesawat, aku tak bisa memejamkan mata. Hingga sampailah aku di negeri nan elok berjuluk Formosa.

Aku sangat bersyukur, majikanku sangat baik. Pasien yang aku jaga juga tak terlalu merepotkan. Tak lupa aku mengabari Mini sahabatku, bahwa aku sudah sampai di Taiwan. Mini sangat senang mendengarnya, ternyata tempat kami bekerja masih dalam satu wilayah.

………………………………

Tak terasa enam bulan begitu cepat berlalu. Majikanku menawariku untuk berlibur. Dalam hati aku sangat senang. Bahkan Mini juga sering mengajakku bertemu. Tapi aku menolak tawaran majikanku, dengan alasan tak tahu jalan.
Majikanku yang baik hati bersedia mengantarku. Segera aku telepon Mini, bahwa aku Minggu depan libur. Mini kegirangan mendengarnya. Setelah hampir delapan bulan kita tak berjumpa.

Di pagi yang cerah, diiringi dengan angin sepoi masih terasa dingin. Aku berangkat berlibur yang pertama kalinya. Diantar oleh majikanku hingga tempat tujuan. Setelah  majikanku pergi, segera kutelepon Mini. Ternyata Mini sudah dalam perjalanan menuju kemari. Sambil menunggu Mini, aku duduk di halte sambil menikmati keindahan kota.

Setelah menunggu beberapa menit, aku lihat cewek sexy memakai rok mini, kaos putih berbalut rompi, dengan rambut merah kekuning-kuningan, melambaikan tangan ke arahku. Aku tetap diam termangu. Hatiku bertanya-tanya mungkinkah dia Mini sahabatku? Setelah cewek itu semakin mendekat, tak salah lagi ternyata dia Mini. Mini seraya merangkulku. Aku yang tak percaya dengan perubahan Mini masih tetap bengong.

“An, kenapa sich, memandangku seperti itu?“ tanya Mini padaku.
“Apa betul kamu Mini?“ jawabku pura-pura lupa.
“ Ya iya lah, jangan-jangan kamu mimpi An,“ sahut  Mini sambil mencubit pipi kiriku.
“Kamu bukan Mini yang dulu lagi,“ kataku sambil memandang dandanan sexy Mini.
“Ya sudah lah, tak usah heran kayak gitu,“ jawab Mini sambil menggandengku menuju warung Indo yang ada di seberang sana.

Setelah sampai di warung Indo, Mini memesan makanan favoritku. Sambil menikmati bakso super pedas kami berdua ngobrol dengan gembira. Tiba-tiba ponsel Mini berdering. Mini segera mengangkatnya.

“Hello sayang, cepat kesini ya, kutunggu di tempat biasa,“ itu kata-kata yang diucapkan oleh  Mini.
Cowok apa cewek nanti yang bakal  datang,“  gumamku dalam hati.
“Telepon dari mana Min?“ tanyaku pada Mini.
“Temanku An,“ jawab Mini santai.

Tiba-tiba dari belakangku muncul, seorang cowok berpenampilan rapi.

“Hai, sudah lama nunggu ya?“ tanya cowok itu kepada kami.
“Belum kok sayang,“ sahut Mini sambil berdiri mencium cowok itu. Mataku langsung terbelalak melihat adegan tersebut. Kenapa  Mini begitu cepat berubah? Pikirku dalam hati.

Mini segera memperkenalkanku dengan cowok tadi. Mas Arman, panggilan Mini pada si cowok. Setelah kami ngobrol agak lama, Mini dan Mas Arman mengajakku ke lantai atas.
Sebuah ruangan yang tak begitu besar, lampu remang-remang dan suara gemuruh musik. Dengan bau khas minuman keras. Dan beberapa cowok dan cewek sedang berjoget ria. Aku yang masih asing dengan tempat tersebut, mengambil tempat duduk di pojok. Sedangkan Mini dan Mas Arman, membaur berjoget ria bersama teman-temanya. Mini yang aku kenal dulu sudah berubah total.


Waktu sudah menunjuk tengah hari. Setelah puas berjoget ria mereka mengajakku pergi dan berfoto bersama. Kemudian aku berpamitan pada Mini untuk pulang. Tak enak sama majikan, libur pertama kali pulang terlalu sore, jelasku pada Mini.

Seperti biasa, malam sebelum mata ini terpejam, aku membuka-buka ponsel. Tak lupa aku menelepon Mini.
Ingin kutanyakan pada Mini, siapa Mas Arman sebenarnya.
Sebelum aku bertanya, Mini sudah bercerita. Mas Arman adalah pacar Mini yang dikenal tiga bulan yang lalu. Menurut Mini, Mas Arman adalah duda beranak satu. Dan dia siap menikahi Mini apabila Mini bersedia bercerai dengan suaminya. Mendengar cerita Mini dadaku berdesir, tenggorokanku rasanya tercekat. Tak tahu harus mengucap apa aku pada Mini sahabatku. Aku lihat sekarang Mini cukup happy dan enjoy dengan dunia bebasnya. “Inikah tujuan Mini ingin kerja di pabrik, supaya dia hidup bebas?“  gumamku dalam hati.

……………………

Genap satu tahun sudah aku di negeri ini.Jatah libur tak pernah kuambil. Bertemu dengan Mini, juga tak pernah lagi. Tapi persahabatan kami tetap berjalan. Kami hanya berhubungan via telepon. Kadang bertegur sapa lewat face book, dan aplikasi internet lainnya. Kulihat Mini sekarang semakin berani. Memajang foto-foto mesranya bersama Mas Arman di status face booknya. Dan suami Mini sudah mengetahui hubungan Mini dengan Mas Arman. Sudah sering kali aku mengingatkan, tapi Mini terlajur terbuai cintanya Mas Arman.

Melihat tingkah laku Mini, awalnya suami Mini masih bersabar. Masih selalu memaafkan Mini. Suaminya sadar, bahwa Mini selama ini tak merasakan kebahagiaan hidup bersamanya. Akan tetapi suami Mini juga punya batas kesabaran. Tanpa berdebat, dia menceraikan Mini dengan bantuan seorang pengacara. Dan lepas dari tanggung jawab atas kedua anaknya. Kedua anak Mini diserahkan  pada ibunya Mini. Dan dia menikah dengan gadis desa tetangganya.

Menerima perlakuan seperti itu dari suaminya. Mini tak ada rasa sedih maupun berduka. Malah sebaliknya dia sangat gembira. Dalam arti, Mini mempunyai peluang untuk menikah dengan  Mas Arman tanpa meminta cerai dari suaminya.

Sudah hampir  seminggu, aku tak mendengar suara Mini.Inbokku cuma dibalas dengan  kata-kata singkat. Sedang sibuk katanya. Aku juga biasa saja, menanggapinya.

Di malam yang dingin, mataku susah terpejam. Kudengar ponsel yang aku taruh di bawah bantal berdering. Ternyata telepon dari Mini.
“Hello Min, apa kabar? Lama banget tak dengar  suara kamu,“ ucapku dengan nada santai.
“Kabar baik An,“  sahut Mini sambil mengisak.
“Mini, ada apa kamu?“  sahutku gugup.
“Mas Arman An, Mas Arman mengkhianatiku,“ tangis Mini terdengar keras.
“Mengkhianati gimana Min?“ jawabku kaget.
“Ya sudah An, aku butuh kamu, temui besuk Minggu, sahut Mini.
“Iya Min, aku akan ambil cuti, sabar ya Min,“ hiburku pada Mini.
“Terima kasih An, aku mau istirahat dulu,“ pamit Mini sambil menutup teleponnya.

Minggu pagi dengan cuaca mendung, semendung hatiku saat ini. Ku beranikan diri berlibur, tanpa diantar majikanku. Perasaanku kalut, khawatir akan keadaan Mini. Setelah naik bus kurang-lebih 30 menit, sampailah aku pada tempat tujuan, dimana aku pernah bertemu dengan Mini satu tahun yang lalu.

Ternyata Mini sudah menungguku disana. Melihat kedatanganku, Mini merangkulku dan menangis sejadinya.
“Ya Allah, ada apa dengan Mini?“ gumamku dalam hati.
Setelah tangis Mini reda, kuminta Mini bercerita. Menurut cerita Mini, Mas Arman selingkuh. Dan selingkuhannya kini sedang hamil. Dan yang pasti minta pertanggung jawaban Mas Arman.

Begitu berat cobaan yang harus diterima sahabatku. Aku hanya bisa berdoa dan menghiburnya. Aku sangat bersyukur, sedikit demi sedikit, Mini sudah bisa bangkit dari keterpurukannya. Harapan Mini saat ini adalah kedua buah hatinya. Dan Mini sekarang sudah meninggalkan dunia gelamornya. Mini yang dulu suka berpakaian sexy, kini dengan berbalut jilbab terlihat semakin anggun. Aku sangat bahagia sekali. Setiap bulan Mini selalu mengajakku berlibur, untuk mencari kegiatan positif.

.........................

Hingga akhirnya kontrak kerja Mini habis, dan harus kembali ke tanah air. Mini tak ingin kembali ke Taiwan lagi. Dia akan menjaga dan merawat kedua buah hatinya. Dan membuka usaha kecil-kecilan dengan sisa tabungannya.

Satu bulan berada di Indonesia, tiba-tiba Mini mengabariku bahwa dia akan rujuk dengan suaminya. Wanita yang dinikahi suami Mini tempo hari, telah meninggal enam bulan yang lalu. Saat melahirkan anaknya. Awalnya Mini menolak, setelah dipikir-pikir mungkin ini jalan kehidupan Mini dan suaminya untuk menuju kebahagiaan sejati.

Hanya satu doaku, semoga sahabatku bahagia bersama kekuarga tercintanya. Meski nantinya aku tak mungkin bertemu dengannya lagi.

Tamat."