2015/4/20 / E R M A / KEHADIRANKU DI KELUARGA YEK WANG ING / Indonesia 印尼 / Erin Cipta
KEHADIRANKU DI KELUARGA YEK WANG ING
OLEH : E R M A
Tidak dapat kupungkiri jika disini, di rumah kakek yang memiliki nama lengkap Yek Wang Ing atau kerap disapa Yek Lause aku menemukan kebahagiaan yang selama ini belum pernah kurasakan di rumah. Maret 2014 lalu aku tiba di Taiwan dengan bermodal tekad dan niat. Namun sesungguhnya niatku bukan untuk mencari uang, tapi aku ingin bertemu dengan ibu kandungku. Sekian lama aku hampir tidak pernah melihatnya lantaran kesibukan beliau berkelana kesana-kemari untuk bekerja mulai dari Riau, Singapura, Hongkong, dan sekarang di Taiwan. Sedangkan Ayahku sejak dulu sampai saat ini mengadu nasib di negeri Jiran Malaysia.
Orang bilang kehidupanku begitu bahagia, tapi coba bayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang anak yang tumbuh tanpa pengawasan orang tua secara langsung. Sebagai anak, aku ingin mereka berperan sebagai orang tua yang selalu ada buatku, memberi kasih sayang yang bukan berarti materi. Terkadang aku menangis dan iri melihat kawan-kawanku setiap hari bisa berkumpul mesra, bercanda gembira bersama bapak atau ibunya. Itu tidak sekali atau dua kali, aku sering merindukan betapa indahnya jika hari-hariku penuh warna bisa berkumpul dengan mereka.
Namun demikian aku tidak menyalahkan kedua orang tuaku, malah aku sangat berterimakasih kepada keduanya karena dengan begitu aku bisa lebih mandiri. Aku juga bukan gadis cengeng yang selalu merengek pada mereka minta ditemani. Bukan hal baru lagi jika masalah perekonomianlah yang menjadi penyebabnya, maka dari itu aku memaklumi dan mengambil hikmah dari itu semua. Nenek yang selama ini merawatku, itupun tak lama karena beliau tutup usia akibat penyakit diabetes yang selama ini dia derita. Kepergian nenek tak membuat ayah dan ibuku kembali pulang dan tinggal. Mereka malah menitipkan aku kepada budhe selama beberapa tahun semenjak aku SD hingga kelas tiga SMP.
Aku kurang tau kenapa orang tuaku jarang pulang, banyak berita simpang siur diantara keduanya. Mereka memiliki konflik yang dari dulu tidak pernah kumengerti. Hingga kemudian hari perceraian itu terjadi. Anak mana yang ingin orang tuanya berpisah? Pasti tidak ada bukan.
Mungkin aku bodoh tidak bisa menjadi malaikat kecil untuk mempersatukan mereka kembali.
Singkat cerita, aku memutuskan untuk keluar negeri setelah lulus SMK beberapa tahun lalu. Aku berpikir jika menjadi TKW mungkin aku bisa merasakan keindahan yang tak pernah kudapat dirumah. Seperti kasih sayang dari keluarga contohnya. Ayahku sempat tidak mengijinkan, tapi aku berusaha meyakinkannya agar beliau setuju. Selang beberapa minggu kemudian beliau pun mengijinkan.
****
Dan disinilah kebahagiaanku terlahir, di negeri Formosa yang memang baru pertama kali ini aku menginjakkan kaki. Maret tanggal 19 pagi aku sudah tiba di Taiwan dengan job menjaga kakek di daerah Hualien. Setelah melalui proses medikal dan lain sebagainya aku di antar agen menuju lokasi. Aku berharap apa yang ku inginkan bisa terwujud.
Entah berapa lama pantatku duduk di kursi mobil yang sedikit ambles kududuki, kini kendaraan roda empat itu berhenti tepat didepan rumah berpintu merah. Aku segera turun dan menyeret koper hitamku, juga tak ketinggalan ku gendong tas ransel warna putih hijau itu. Aku berjalan mengikuti penerjemah dan didepan pintu sudah berdiri sosok perempuan jangkung dengan balutan kaos putih dan jaket merah dilengkapi celana hitam semata kaki. Wajahnya keriput namun masih terlihat cantik dan kalem, indra penglihatannya dihiasi kaca oval melingkar dengan gagang putih keemasan yang diselipkan di kedua telinganya. Bibirnya tipis tersenyum manis, rambutnya sedikit beruban.
“Ama ni hao?“ sapaku sambil tersenyum dan tanganku dengan spontan mengajaknya bersalaman. Dia menyalamiku sambil tersenyum dan mempersilahkan aku dan penerjemah masuk ke rumah. Kulirik sebentar pekarangan rumahnya tidak begitu besar, tapi banyak tanaman bunga yang penuh dengan daun yang telah berguguran. Saat memasuki ruang tamu, aku dipertemukan dengan kakek yang dari tadi sepertinya sudah menunggu kedatanganku. Dia berumur 94 tahun tapi masih sehat, dan penerjemah bilang aku disini hanya berdua dengan kakek.
“Ima (nama panggilanku), kamu disini tinggal berdua dengan Akong. Tugas kamu menyiapkan sarapan, menemani olah raga di pagi hari, memasak, dan bersih-bersih rumah. Sedangkan Nyonya ini, dia adalah anak pertamanya yang tinggal tak jauh dari sini“ kata penerjemah.
“Haaa??? Anaknya mas? Lha tadi dia kupanggil dengan sebutan Ama“ kataku .
“Tidak apa-apa. Ada yang perlu kamu tanyakan?“ tanyanya.
“Ada, menyiapkan sarapannya itu setelah atau sebelum olah raga? Boleh sholat apa tidak?“ kataku.
“Kamu menyiapkan sarapan setelah olah raga. Mengenai ibadah, bisa kan kalau lima waktu dijadikan satu?“ katanya.
“Tapi...“ jawabku terputus.
“Sudah ya, tidak ada masalahkan? Yakinlah, semua pasti akan baik-baik saja dengan bergulirnya waktu. Kerja yang rajin, Mas pamit dulu. Sampai jumpa“ katanya mengakhiri pembicaraan dan minta ijin pulang kepada pemilik rumah.
Setelah penerjemahku pergi, aku diantar menuju kamar di lantai dua. Mereka memberiku tempat tidur yang nyaman serta almari kecil. Ada jendela yang terbuka lebar menghadap pepohonan, serta ada buku-buku tertata rapi di berbagai sudut ruangan. Kamarku bersebelahan dengan kamar kakek. Di lantai dua ini hanya ada tiga kamar dan satu toilet, kamar satunya akan ditempati anak laki-laki akong saat lebaran Cina tiba. Anak terakhir kakek tinggal di Taipe bersama istri dan ketiga buah hatinya. Setelah itu nyonya dan kakek mengajakku turun menuju dapur. Lantas aku disuguhi segelas susu dan roti isi sayur. Selesai makan aku minta ijin untuk menyapu halaman depan.
Seiring waktu berputar, kutelateni pekerjaanku dengan santai. Aku tidak terlalu sibuk meladeni kakek karena beliau masih bisa menjalani aktivitasnya sendiri. Hingga tak terasa siang dan malam berganti begitu cepat hingga mengantarkanku pada bulan ke-enam, dimana saat itu rumah akong tengah diperbaiki. Maklum, bangunan tua pasti ada yang perlu dibenahi. Berhubung tidak memungkinkan untuk dihuni, kita pun pindah ke rumah nyonya.
Kupersiapkan berbagai perlengkapan serta peralatan kakek terutama obat. Lantas kami meninggalkan rumah selama satu minggu. Nyonya mempunyai dua anak laki-laki yang bernama Lee Shin dan Lee Reen, entah apa maknanya dan bagaimana ejaan sesungguhnya yang jelas seperti itu saat telingaku menangkap butiran suara dari mulut nyonya ketika beliau memperkenalkan beberapa waktu lalu. Di rumah mereka ini aku bagaikan anak, cucu, dan adik perempuan.
Dirumah susun tiga itu kami sering bercanda, bercerita, belajar, dan bermain. Aku ingat saat kita berlima duduk di kursi meja makan dan menikmati sajian makan malam, ada candaan yang selalu membuatku tersenyum. Kejailanku terhadap semua orang yang dekat denganku tidak membuatku surut untuk tetap jail pada keluarga majikan.
“Kak, kakak...“ panggilku ke Kak Lee Reen. Dia adalah kakak yang humoris dan baik.
“Iya, kenapa?“ jawabnya. Lalu aku diam sepuluh menit, kemudian memanggilnya lagi.
“Kak...“ kataku.
“Hemmmm apa???“ jawabnya sambil mengunyah makanan. Dan aku diam lebih lama lagi.
Melihat tingkahku seperti itu, nyonya dan kakek saling melirik lantas melanjutkan makan. Suasana tetap tenang dan santai.
“Kak Lee Reen... “ panggilku lagi.
“Hemmmm.. Apa.. Apa.. Apa“ jawabnya sedikit jengkel.
“Kamu sangat cantik !!“ jawabku singkat.
Suasana menjadi hening, mereka saling memandang.
“Hahahahahahaha“ akhirnya mereka tertawa semua.
Maklum, saat itu aku tidak tau bahasa mandarinnya ganteng itu apa. Aku suka ngerjain dia karena biasanya aku juga dikerjain.
“Ima, masa laki-laki dibilang cantik? Hahaha“ kata Nyonya.
“Maaf Nyonya, saya tidak tau bagaimana ngomongnya“ jawabku sambil senyum.
Kulihat kakak kedua masih mengembangkan senyumnya sambil menikmati sup ayam sebagai penutup makan malam. Selesai menjamu perut, aku segera membersihkan meja lalu mencuci mangkok dan kawan-kawannya. Lalu aku pamit ke kamar sebentar untuk menjalankan ibadah. Usai melaksanakan tugas pribadi, aku menuju ruang tamu dan ikut berkumpul di tengah-tengah kehangatan keluarga mereka. Kutenteng gitar akustik untuk menghibur akong. Aku membelinya beberapa bulan silam. Dari dulu aku suka bermain gitar meski tidak terlalu bagus sih sebenarnya, tapi sejak dibangku SMP aku sudah jatuh cinta dengan alat musik berbody seksi itu.
“Selamat malam semua, maaf sebelumnya saya mau menghibur kalian dengan bermain gitar hehehe“ kataku terkekeh.
“Hahahaha“ tawa Nyonya lepas.
“Akong, lagu ini spesial untukmu“ kataku sambil tertawa dan langsung memainkan alat musik berwarna ungu kehitaman itu.
“Akong kamu sangat baik...
Kamu harus sehat...
Jangan lupa minum obat...
Jangan sampai terlambat...“
Itulah sedikit nyanyian dari lagu mandarin yang berjudul ‘Yue Liang Dai Biao Wo De Xin‘ yang ku ubah lirik awalnya. Aku menyanyikannya juga memakai bahasa Indonesia agar nadanya pas. Keadaan seperti inilah yang membuatku betah karena senyuman mereka tiada redup dan selalu terpancar indah disetiap sudut hatiku. Selesai menyanyi aku mengingatkan akong untuk minum obat, meskipun dia tidak sakit tapi setiap hari harus minum obat. Setelah itu kami menyudahi obrolan malam dan menuju kamar masing-masing untuk beristirahat. Kecerian keluarga ini membuat waktu terasa amat singkat. Dan besok aku dan akong sudah bisa kembali pulang.
Suatu ketika ada raut wajah penasaran dari nyonya saat kita tengah berkumpul pada acara ulang tahun akong. Dan dari situlah mereka tau kenapa aku bekerja disini. Pertanyaan demi pertanyaan mereka ajukan bak polisi sedang mengintrogasi.
“Kenapa kamu mau bekerja disini? Bukankah seharusnya kamu melanjutkan sekolah“ tanya Nyonya.
“Saya ingin bekerja Nyonya“ jawabku bohong.
“Tidak mungkin, Saya tidak percaya jika tujuanmu kesini tidak ada maksud tertentu. Kamu pernah bilang bahwa Ibumu juga ada di Taiwan. Coba jawab yang jujur“ katanya serius.
Aku juga tidak bisa selamanya berbohong, daripada aku menanggung beban rahasia mungkin saat inilah waktu yang tepat untuk bicara sejujurnya.
“Sebenarnya saya ingin bertemu Ibu, saya sudah lama tidak memeluknya. Sejak kecil hingga sekarang, saya jarang bertemu bahkan hampir tidak pernah. Dulu saya masih kecil tidak mungkin bisa mencarinya. Sekarang saya bukan anak kecil lagi, dengan modal nekat karena rindu kasih sayang seorang Ibu, saya memberanikan diri bekerja disini. Dengan begitu, saya berharap bisa memeluk dan menciumnya di negara ini“ jelasku.
“Di daerah mana Ibumu bekerja?“ tanyanya.
“Ibu bekerja di Hsincu menjaga Ama yang sudah lumpuh“ jawabku.
“Apa dia pernah diberi waktu libur?“ tanya Akong.
“Tidak, Ibu sangat sibuk sekali“ kataku.
“Ya sudah tidak apa-apa. Semoga kalian bisa bertemu entah itu kapan. Sekarang kamu harus tetap semangat, harus kuat menjalani kehidupan dan yang paling penting jaga kesehatanmu“ lanjut Nyonya.
“Baik Nyonya, terimakasih“ jawabku.
********
Musim semi kembali kunikmati setelah empat musim berlalu, aku disibukkan dengan dedaunan yang berjatuhan. Di seberang jalan tepat berhadapan dengan rumah, ada beberapa pohon menjulang tinggi dan rimbun. Di bawahnya terdapat tumbuhan semak-semak yang begitu lebat. Pekarangan tersebut bukan milik akong, melainkan milik orang lain. Setiap pagi dan sore aku menyapu bersih daun-daun yang telah terkapar kering di jalanan tersebut. Tidak memakan waktu lama untuk membersihkannya, cukup satu jam saja. Enam puluh menit berlalu kusunggingkan senyumku untuk tumbuhan kokoh itu lalu aku melanjutkan aktivitas rumah lainnya.
Kulihat akong masih sibuk membaca koran di kursi gabus sambil memakai kacamata yang gagangnya sedikit diturunkan. Dia begitu konsentrasi pada bacaannya. Tak lama telpon rumah berdering, aku bergegas mengangkatnya namun sudah kedahuluan akong. Percakapan mereka tidak terlalu panjang, lalu telpon tersebut kembali di tutup. Aku mendengar akong menghela napas, lalu memanggilku yang saat itu tengah sibuk membersihkan toilet.
“Ima...“ panggil Akong.
“Iya, ada apa?“ tanyaku dan menemuinya.
“Besok kita pergi ke rumah Bibi di Hsinchu“ jawab Akong.
“Ada acara apa?“ tanyaku lagi.
“Tidak ada. Ye Su Lan (nama Nyonya) mengajak kita menyambangi rumah Bibi, karena sudah lama kita tidak berjumpa“ jelas Akong.
Andai saja disana nanti bisa bertemu ibuku. Tapi mana mungkin, Hsinchu kan tidak sesempit daun kelor. Ah, aku terlalu banyak menghayal. Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan akong dan kembali menyelesaikan pekerjaanku.
Pagi pun datang, aku dan akong sudah di jemput nyonya dan anak pertamanya untuk mengantarkan ke stasiun. Lima belas menit kemudian kita telah sampai. Tiket kereta juga sudah kukantongi. Transportasi menyerupai bentuk ular itu tiba dan kami yang tadinya menunggu bergegas masuk mencari tempat duduk, aku duduk dengan akong sedangkan majikanku mendapat kursi tepat dibelakang kami. Ini kedua kalinya aku naik kereta api.
Pemandangan yang dulu kulihat tetap sama, begitu sejuk dan indah. Kereta api dengan tujuan Hualien-Taipe ini melaju sedang, mataku tetap saja melihat keluar kaca jendela. Aku ingin melihat laut di kejauhan sana yang indah menghampar luas, biru airnya, banyak burung berterbangan diatasnya. Begitulah gambaran laut tersebut yang dulu pernah kulihat saat pertama kali aku melewatinya untuk menempuh perjalanan dari Taipe-Hualien.
Kata teman-temanku yang sudah lama bekerja disini, negara Taiwan bagian timur itu sangat indah tempat wisatanya.
Memang betul, dulu aku pernah di ajak majikanku dan akong ke tempat wisata seperti danau buatan. Itu sangat indah sekali, di sekelilingnya terdapat pohon berjajar, lalu ada bunga-bunga yang harum semerbak berbagai aroma dan warna. Burung-burung saling bersahutan menyapa setiap orang yang singgah dan menikmati birunya air danau yang begitu tenang. Dan juga ada sungai yang tak jauh dari danau tersebut. Airnya jernih, banyak bebatuan, ada angsa putih dan hitam yang berenang. Pokoknya cantik sekali dan memang pantas untuk dikunjungi bagi yang belum pernah liburan kesini. Mungkin di daerah lain banyak tempat-tempat wisata yang bagus dan lebih indah. Tapi tidak ada salahnya jika sekali-kali liburan ke Hualien. Meskipun daerah ini jauh dari Ibukota tapi perjalanan menuju kesini cukup menyenangkan untuk memanjakan mata.
Sambil melamun kesana-kemari tak kusangka ternyata kereta api telah sampai di stasiun Taipe. Kata majikanku sebelum kita ke Hsinchu, mereka mau mampir dulu ke rumah Tuan Ye Su Cong. Dia adalah anak kedua akong yang tinggal tak jauh dari gedung 101 itu. Namun ternyata yang punya rumah tidak ada, mereka sekeluarga sedang liburan. Apa boleh buat kecuali melanjutkan perjalanan menuju rumah bibi dengan mengendarai taxi. Di dalam mobil itu mataku terbius akan bangunan di Taipe yang begitu tinggi, kokoh, berbagai rupa dan bentuk. Dan aku senang sekali bisa menghirup udara Ibukota Taiwan.
Kini kendaraan berwarna kuning itu memasuki wilayah yang amat sejuk. Jalan nya lurus sedikit berkelok, kanan-kiri banyak pepohonan yang daunnya hijau lebat seperti daerah pegunungan. Tak lama kemudian mobil beroda empat itu berhenti di depan rumah berpagar besi. Lantas kami pun turun, dan aku mengangkat beberapa kardus buah untuk oleh-oleh. Mereka memasuki pekarangan rumah yang terlihat bersih, rapi, banyak tanaman bunga mawar.
“Hallo.....“ sapa Nyonya kepada pemilik rumah.
“Heiiiii... Apa kabar? Yeye terlihat sangat tampan sekali hahaha“ canda Bibi.
“Baik, kita semua baik-baik saja. Sudah lama ya kita tidak bertemu“ jawab Akong.
“Iya, eh.... Ini siapa?“ tanya Bibi pada Nyonya.
“Dia yang menjaga Papa, namanya Ima“ jelas Nyonya.
“Hallo Ima, apa kabar?“ sapa Bibi.
“Baik Bi“ kataku sambil mengembangkan senyum.
“Kamu dari Indonesia kan?“ tanya Bibi.
“Iya“ jawabku.
“Wah, sama kalau begitu. Saya punya pembantu yang merawat Ibu saya. Dia juga dari Indonesia. Kamu boleh bertemu dengannya, sekarang dia ada di dapur“ kata Bibi.
“Baik, terimakasih“ jawabku semangat.
Aku kegirangan mendengarnya, jarang-jarang disaat seperti ini bisa bertemu teman satu kampung halaman. Setelah bibi menunjukkan dimana dapur nya, aku segera menemui perempuan yang berasal dari Indonesia itu. Langkahku terhenti tepat di samping kulkas yang tingginya hampir sepadan dengan pintu saat melihat sosok wanita yang berdiri membelakangiku. Tubuhnya tidak kurus juga tidak gemuk, rambutnya bergelombang terikat, baju lengan panjang bermotif bunga membalut kulit putihnya. Celana panjang abu-abu yang sedikit oblong membuatnya terlihat ke ibuan. Tangannya sibuk memotong sayur, kepalanya fokus pada dedaunan hijau segar itu.
“Hallo... Apa kabar Mbak? Dari Indonesia ya?“ sapaku.
Dia perlahan membalikkan badan dan menatapku. Aku kaget bukan main melihat siapa dia sesungguhnya. Jantungku berdegup tidak beraturan.
“Anakku......“ kata perempuan itu.
Aku masih saja melongo antara yakin dan tidak.
“Anakku... Benarkah kau Anakku.. Ima“ katanya lagi.
“Ibuuuuu......“ aku berlari memeluk tubuhnya.
Kupeluk seerat mungkin, aku tidak ingin melepasnya. Ya Alloh, ini benar-benar anugerah terindah. Aku tidak menyangka bisa bertemu ibuku disini. Dia menciumku tiada henti, dibelainya rambut hitamku, pipiku, mataku, lalu dipeluknya lagi. Aku menangis haru, ibuku terisak, peluh kita menyatu. Angin sepoi seakan bersahabat hempasannya menyapu kulit pelan, hatiku terasa nyaman. Cukup lama kita berpelukan, dan aku diajak menemui bibi dan majikan serta akong di ruang tamu.
“Nyonya, lihatlah siapa gadis ini sesungguhnya“ kata Ibuku pada Bibi.
“Teman sekampungmu kan?“ tanya Bibi.
“Bukan. Dia adalah anak saya“ jawab Ibu sambil menangis bahagia.
“Yang benar???“ tanya mereka bersamaan.
“Iya, dia anak saya. Sudah lama kita tidak bertemu karena kesibukan saya mencari uang. Terimakasih Nyonya sudah mempertemukan kami. Saya tidak menyangka, terimakasih Nyonya ....terimakasih“ lanjut Ibu.
Lama mengobrol dengan keluarga majikan, akhirnya akong dan nyonya mengajakku pamit. Bibi juga memberi ijin pada ibu untuk menemuiku sebulan sekali. Alhamdulilah, hatiku senang sekali bak bunga-bunga bermekaran di berbagai taman. Langit pun mendadak indah terlukis sang pelangi, matahari tersenyum cerah, awan hitam pun berubah menjadi putih kembali. Aku pamit pada ibu, kecupan rindu mendarat begitu saja di kening dan pipiku. Lambaian tangan tak henti-henti menghilang dari bayanganku. Sebuah taxi telah membawa kami menuju stasiun Taipe.
Sesampainya di dalam kereta api, kita bertiga mendapat tempat duduk yang agak terpisah. Kali ini nyonya duduk bersebelahan dengan akong, sedangkan posisiku jauh di belakang mereka. Kugunakan kesendirianku untuk tidur beberapa menit kedepan. Meski mataku terpejam namun aku tidak bisa sepenuhnya pergi ke alam mimpi. Di otakku masih terbayang sosok perempuan yang telah melahirkanku. Wajahnya masih tetap ayu, namun sedikit keriput. Maklum usianya telah memasuki kepala empat.
“Ibu, kalau saja kamu tidak begini mungkin aku juga tidak semandiri ini“ gumamku dalam mimpi.
Perlahan mataku seperti terbuka lagi, aku kaget setengah mati melihat seseorang yang duduk disampingku.
“Ibu, kenapa kamu ada disini? Ibu, jawab Bu. Jangan diam saja“ kataku tiada henti.
Aku melihat Ibu sedang duduk memangku tas, berbaju coklat dan bercelana hitam. Dia hanya tersenyum memandangku, lalu memelukku. Aku pun juga memeluknya, namun saat tanganku telah menjamah tubuhnya aku terjatuh ke lantai.
“Gludaaaakkkkk !!!!!???!!!!!“ aku pun terjatuh.
“Nona, kamu tidak apa-apa? Nona, bangun Nona“ tiba-tiba seorang perempuan menepuk-nepuk pipiku. Aku pun segera bangun.
“Lho, kok aku jatuh? Ibuku mana, kok hilang. Tadi kan kita berpelukan?“ tanyaku bingung tidak karuan.
“Hahahaha.. Bukannya tadi Nona tidur?“ kata perempuan itu sambil tertawa.
“Walaaaahhh, sangking rindunya sampai terbawa mimpi. Ini sudah sampai mana Nyonya?“ tanyaku.
“Sebentar lagi mau sampai di stasiun Hualien“ jawabnya.
“Waduh... Harus siap-siap nih. Terimakasih ya Nyonya sudah membangunkan saya“ kataku dan berlalu menuju pintu depan sekaligus menemui akong dan majikanku.
Tak lama, kereta pun berhenti dan kami berhamburan keluar. Rasanya hari ini begitu capek apalagi gara-gara mimpi indah tadi, badanku terasa pegal semua. Tidak menunggu lama, kendaraan beroda empat milik nyonya telah tiba untuk menjemput kami. Ternyata yang menjemput anak nyonya yang kedua.
Saat mobil telah sampai rumah, aku segera keluar dan membukakan pintu. Akong menyuruhku membeli nasi kotak lantas kita makan bersama. Kebiasaan akong kalau selesai makan pasti bercerita entah itu humor atau cerita masa lalunya. Kala itu dia bercerita yang membuat perutku sampai mulas. Akong bercerita tentang pangeran yang sedang naik kuda untuk mencari gadis kerdil yang akan di peristri. Tiba-tiba dia bangkit dari kursi dan kedua tangannya disilangkan kemudian akong meloncat-loncat layaknya sedang menunggangi kuda. Mulutnya tidak bisa diam dan tetap tertawa sambil cerita.
“Ahahahaha.. Akong hahahaha gigimu mau copot. Hahahaha“ tawaku.
Dari tadi aku sudah menahan tawa dan akhirnya tawaku meledak saat gigi akong benar-benar mau lepas. Dia memang begitu kalau bercerita panjang lebar kali tinggi, gigi palsunya seakan ingin keluar dengan sendirinya. Lansia berambut putih itu juga tertawa terbahak-bahak dan melepas giginya.
“Haaiiiiyaaaa, gigi ini membuatku tidak nyaman“ katanya sambil melepas gigi tersebut.
“Akong, kamu lebih ganteng jika tidak memakai gigi palsu“ kataku.
“Sejak dulu aku memang sudah tampan. Kalau aku tidak memakai gigi ini nanti aku terlihat sudah tua“ katanya.
“Hahaha bukannya sekarang sudah tua?“ candaku.
“Belum, aku ini masih muda sebenarnya. Tapi tidak tau kenapa alis dan rambutku ini tiba-tiba memutih dengan sendirinya“ jawabnya.
Aku tidak bisa meneruskan percakapan dengannya karena perutku sedikit kaku dibuatnya.
“Oiya, besok kita ke Klenteng. Jangan lupa ya siapkan buah dan biskuit serta minuman kotak“ kata Akong melanjutkan.
“Baik“ jawabku.
****
Burung pun berkicau membangunkanku pertanda jika hari telah berganti, aku segera merapikan kamarku dan pergi cuci muka. Lalu kita pergi ke taman untuk olahraga. Usai menggerakkan badan aku dan akong pulang lalu sarapan roti isi coklat ditambah segelas susu hangat.
Tepat pukul sembilan pagi, nyonya dan kedua anaknya menjemput kami. Perjalanan lumayan jauh, dan akhirnya kita sampai juga di halaman luas yang ditumbuhi rumput hijau itu.
Klenteng bertingkat enam itu berada tepat dibawah kaki gunung, disampingnya ada air mancur, juga ada kolam kecil yang di dalamnya terdapat ikan hias dengan berbagai rupa. Ada patung Dewi Kwan Yin di tengah-tengah kolam ikan. Setelah aku membantu membawa kebutuhan sembahyang, aku menunggu mereka sambil melihat-lihat suasana sekitar.
Aku melihat disamping lift ada bunga yang berjajar rapi di dalam pot besar. Otakku seperti mendapatkan ide untuk menghibur akong dengan kekonyolanku. Aku berjalan ke arah bunga-bunga tersebut lalu ku amati satu demi satu. Ternyata tangkainya diikat, kugeser sedikit kakiku untuk melihat bunga lainnya. Alhasil ada yang terlepas dari ikatan pita merah lalu aku mengambil satu tangkai. Aku tidak tau itu bunga apa tapi warnanya begitu menggoda, merah merona dan harum.
Semua orang juga sibuk dengan sendirinya jadi tidak ada yang tau kalau aku mengambil bunga tadi. Ya semoga saja bunga tersebut tidak bermasalah dan aman. Tak lama kemudian, kakak kedua menghampiriku disusul nyonya, akong, dan kakak pertama. Mereka mengajak keluar menuju air mancur yang bersebelahan dengan kolam ikan tadi. Ditempat itulah, aku menjalankan aksi dengan sekuntum kembang berwarna berani. Saat akong sudah duduk di dekat kolam tiba-tiba aku yang tadinya berdiri dihadapannya segera jongkok. Tanganku kutaruh dibelakang lalu kuserahkan bunga itu pada akong seperti muda-mudi sedang mengungkapkan cinta pada pasangannya.
“Akong, mau kah kamu menerima bunga ini?“ tanyaku serius sambil melirik nyonya dan kedua anaknya.
Aku bisa menebak wajah mereka yang tengah menahan tawa. Kemudian aku menatap akong lagi. Dia tidak menjawab pertanyaanku, tapi bunganya langsung diambil lalu dicium.
“Yessssssss. Hahahahaha... Aku berhasil... Nyonya, aku berhasil, Kak... Berhasil Kak. Akong menerima bungaku“ kataku girang supaya Kakek terhibur.
“Hahahaha kamu ini bandel“ sahut Nyonya.
“Bunganya harum, tapi hidungku gatal seperti mau bersin“ lanjut Akong.
“Hahahaha“ kita tertawa bersama mendengarnya.
“Tapi kan harum“ kataku.
“Iya terimakasih Ima, kamu selalu membuatku tertawa. Saya jadi teringat saat pertama kali jatuh cinta pada Almarhum Ama. Senang sekali rasanya“ kata Akong.
Lantas, kita pun foto bersama untuk kenang-kenangan.
Ada disaat kita merasa sedih dan senang, seperti saat ini yang kualami. Banyak cobaan yang datang, namun Tuhan tidak akan menguji kita diluar batas kemampuan. Sama halnya saat aku sudah bersusah payah untuk bertemu dengan ibuku dan kini kebahagiaan serta keinginanku terkabul. Malah lebih dari yang kuharapkan. Disini aku mendapat kasih sayang dari orang lain seperti akong contohnya. Dia selalu tersenyum meski raganya tidak sekuat dulu. Selalu berpikir positif tentang semua hal yang belum tentu semuanya baik. Aku banyak belajar dari orang tua ini. Aku bersyukur dan sangat berterimakasih sudah dipertemukan dengan orang yang memiliki kelembutan hati. Keluarga Yek Wang Ing selamanya akan kukenang sampai kapanpun, selalu kurindukan saat aku sudah tak lagi bekerja disini.
Taiwan adalah negara perdana yang memberiku banyak pengalaman dan berbagai kisah kasih. Pertemuanku dengan ibu telah membuat hatiku tenang. Aku hanya berharap semoga akong tetap diberi kesehatan dan perlindungan agar selalu ceria menikmati masa tuanya. Nyonyaku yang cantik, aku ingin dia selalu tersenyum. Dan kedua kakak yang ganteng, aku sangat senang menjadi adik kalian. Sekali lagi terimakasih atas kasih sayang yang kalian berikan. Aku sayang kalian.
Selesai.
Hualien, 20 April 2015