Tionghoa Meraih Asa

2015/4/21 / Janitra Chandra / Tionghoa Meraih Asa / Indonesia 印尼 / Tidak Ada

Judul    :  Tionghoa Meraih Asa
Penulis :  Janitra Chandra
Menjadi salah satu keturunan masyarakat Tionghoa bukanlah impianku atau keinginanku sejak embrio usia semalam dalam kandungan mama, menjadi bagian dari komunitas minoritas di masyarakat Jawa yang untungnya mulai bisa menerima keberadaan kami, karena Akong yang menikah dengan pribumi setempat jadi kami tidaklah sulit untuk membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan mereka dengan senang hati mau membantu jika kami sedang mengadakan acara hajatan tertentu karena Emak yang memang asli orang Jawa.
Berawal dari toko kelontong yang dikelola emak dan usaha pengepul barang bekas yang dirintis akong dan papaku sebagai anak tertua, darah dan tradisi Tionghoa yang suka bekerja keras dan ulet menjadikan usaha ini semakin hari semakin maju dan mulai besar. Namun semua tidaklah selancar itu, roda kehidupan tidak selamanya terus diatas, harus berputar sesuai dengan waktunya, dari yang diatas kemudian akan berbalik arah menjadi alas, dari yang punya menjadi hilang, dari yang tinggi menjadi rendah. Itulah kehidupan, berat namun tidak ada pilihana lain selain harus dijalani.
Kondisi yang sangat berbeda memaksaku harus berjuang mandiri keluar dari rumah yang mengungkungku dengan segala kelebihan materi sejak aku kecil, aku semakin dewasa dan tidak mungkin terus bergantung pada Papa dan keluarga terus menerus, budaya para remaja Tionghoa di daerahku yang suka mandiri, belajar dan merantau pun tertular kepadaku dan saudara tua ku, mencoba bertahan hidup dengan bekerja seadanya tanpa terbersit dalam hati untuk menjalani hidup sebagai bagian dari Buruh Migran, aku tetap hidup dalam mimpi sebagai pekerja ditanah air, sampai suatu hari aku merasa apa yang kuhasilkan selama ini sangat jauh dari cukup, melirik kanan kiri dari kisah teman-teman seperjuangan sewaktu kelas menengah yang sukses dirantau orang, membuat hati pun diam-diam merasa iri dan ingin merasakan sukses yang sama. Terlebih rasa ingin menjadikan masa berjaya keluarga yang sudah lalu semakin menguat, walaupun aku perempuan tidak ada salahnya kalau mempunyai angan seperti itu. Bukankah sekarang sudah masanya era millennium dimana ada kesetaraan gender laki-laki dan perempuan yang disuarakan oleh Kartini, tidak hanya monopoli laki-laki sebagai tulang punggung keluarga ataupun pemimpin, bahkan diluar negeri banyak wanita yang mengajukan diri untuk menjadi kandidat presiden di Negara maju dan berkembang, kalau hanya untuk menjadi salah satu dari pahlawan devisa Negara kenapa tidak?
“Kenapa harus jadi TKW?Tidak malu dengan ijazah mu? Tidak ada pekerjaan lain apa, kamu keturunan Cina masak mau jadi TKW, apa kata orang-orang nanti?”, ujar Shufu, adik kedua papa.
Aku hanya terdiam tanpa menjawab, didalam hati hanya meracau kesal, apakah shufu tidak tahu kalau diluar sana banyak keturunan Indo Cina yang jadi TKW? sementara papa nampak sibuk dengan rokok kreteknya, “Keluarga kita tidak ada yang bekerja seperti itu, pikirkan lagi”, ucap Shufu tegas lalu bergegas pergi,
Papa yang terkenal demokratis walaupun tidak mengecap bangku kuliah seperti shufu – shufu yang lain hanya tersenyum bijak,
“ Keturunan Cina atau bukan, kamu lahir dan besar di Jawa, makan dari hasil keringat dari kuli Jawa yang membantu keluarga kita, turuti kata hatimu, papa tidak pernah mendengarkan perkataan orang lain kalau itu hanya akan membuatmu hidup dan kelak harus mati dalam rasa penasaran, jalani apa yang kau mau selama itu bisa kau pertanggung jawabkan”, Pesan dari papa yang selalu kuingat, sosok yang selalu kuhormati dalam hidupku.
Berbekal restu dari papa, tanpa kata menusuk rasa aku nekat menjejak tanah Singapura untuk pertama kalinya sebagai awal dari petualangan sebagai pahlawan devisa, melangkahkan kaki di pelabuhan Harbour Front setelah menyebrang dari pelabuhan Batam Centre di kepulauan Batam, disambut pemeriksaan dari pihak imigrasi setempat yang tidak ramah karena aku memegang passport Indonesia sangatlah menyakitkan, ditambah ketika mereka mengetahui aku bisa berbahasa Inggris, bentakan itu pun semakin menjadi. Hati sungguh sakit dan malu, apa salahnya seorang warga Indonesia bisa berbahasa Inggris, kami pun sekolah dan mengerti baca tulis, hatiku sungguh meradang. Akhirnya setelah menemukan fotocopy visa kerja dari koper pakaianku yang digeledah  dan menginetrogasiku seperti seorang kriminal, mereka melepasku dari ruang interogasi, aku berusaha  untuk menemukan lokasi lobi depan, ternyata semuanya belum berakhir sampai disitu. Saat menunggu kendaraan jemputan yang aku tidak tahu siapa yang akan menjemputku, mau telepon pun tidak tahu harus menelpon kemana dan kepada siapa, hati hanya kuhibur bahwa sebentar lagi penjemputku pasti datang. Seorang petugas imigrasi wanita berwajah khas warga India menghampiriku, menanyakan beberapa pertanyaan, akhirnya petugas itu membawaku ke lobi depan, sesampai disana aku sungguh terkejut, tidak hanya aku.. tetapi beberapa WNI pun sudah ada disana, berjejer dengan stiker khusus ditempel didada, menjadi pemandangan beberapa orang yang berlalu lalang sambil berbisik satu sama lain. Seperti pesakitan yang dijadikan tontonan, ya Tuhan … seperti inikah rupa perlakuan kepada pahlawan devisa yang mencari sesuap rezeki dinegeri orang? Mereka tersenyum menyambutku, dengan ramah menanyakan nama dan dari mana aku berasal, cerita sendu dan pilu pun mengalir dari mereka, untuk membunuh waktu menunggu penjemput dari agen. Tiga orang diantara mereka ternyata bergabung pada agen yang sama, jadi malam itu kami ber empat tidur di bilik sempit milik penjemput dari agen, makan malam berupa 3 bungkus mi instan berlimpah kuah tanpa tambahan lauk pauk menjadi pengisi perut kosong kami, dua diantara kami hanya menangis dalam diam, berusaha menelan dengan susah payah.
“Jangan menangis, dimakan apa yang ada, berdoalah semoga semua ini awal yang baik untuk kita mendapatkan majikan yang pengertian”, ucap salah satu diantara kami.
Gadis dari tanah Sumatera itu hanya mengangguk, menahan sedu dan lelehan air mata yang terlanjur menganak dipelupuk mata.
 Awal yang sungguh sengsara, namun sudah sampai dinegara tujuan mau bilang bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain kecuali harus berjuang dengan keadaan, berjuang melawan nasib. Hari-hari sebagai penata laksana pun aku lalui di sebuah keluarga India yang bisa menerimaku dengan tangan terbuka, menjadikanku sebagai bagian dari keluarga mereka, memastikan kalau aku tidak pernah terlambat menerima gaji dan menjamin makanan yang diberikan. Diawal mula aku mulai bekerja di keluarga ini bagian yang tersulit adalah adaptasi dengan lingkungan baru dinegara asing walaupun masih serumpun, perbedaan disegala aspek sosial, budaya dan bahasa bukanlah hal yang mudah untuk ditaklukkan. Kadang seringkali terjadi selisih faham dan pandangan, namun pelan-pelan semua itu bisa diatasi. Walaupun dua tahun kulalui tanpa libur setiap minggu tapi aku cukup bahagia, banyak ilmu dan keterampilan yang kuarih selama menjadi penata laksana di negara Singapura, sampai tiba dua tahun masa kontrak sebagai pembantu mereka pun sudah habis, aku memutuskan umtuk pulang dan tidak memperpanjang kontrak lagi, karena sahabatku yang telah bekerja di Taiwan terlebih dahulu sudah mendapatkan majikan untukku. Aku ingin mencoba peruntungan dinegara lain selain Singapura. Selama aku masih muda dan masih kuat untuk bekerja, tidak ada salahnya bukan berusaha sesuai yang kita mampu.
“Kuharap ini terakhir kalinya kamu pergi merantau, ingatlah usiamu sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga,”, pesan papa menjelang keberangkatanku ke Formosa.
“Pasti pa, aku pasti kembali untuk menjaga dan menemanimu di usia senjamu”,
Papa kembali harus membiarkanku mulai bergelut dengan kerasnya hidup, berjuang meraih angan dan mimpi walaupun hanya lewat peran sebagai buruh migran di negara orang.
Boleh dibilang kali ini awal pergi ke Formosa tidak seperti pengalaman pertama waktu pergi ke Singapura, mungkin karena sudah ada sedikit pengalaman.

Bangunan villa empat tingkat menyambut kedatanganku di negeri Formosa, diselimuti hawa dingin penghujung bulan Oktober yang mulai memasuki musim dingin seluruh tubuhku mulai mengigil kedinginan, terbiasa dengan musim tropis di Indonesia sejenak membuatku kewalahan dengan terjangan musim dingin di negeri ini. Belum lagi kendala bahasa yang kualami ketika harus berkomunikasi dengan sesama pekerja yang mayoritas adalah suku aborigin di Taiwan, dan akan bertambah menyiksa pikiranku saat harus melayani rombongan tamu yang datang dari daratan China, seperti Beijing, Shanghai dan beberapa tempat lain, karena dialek mandarin yang sedikit berbeda dari Taiwan.
 Bantuan jaket tebal dari sahabat tercinta kuanggap sebagai dewi penolong, atau tidak jarang kue dan beberapa makanan yang dibawa agen menjadi pengisi waktu kosong dimalam hari. Villa ini jauh dari mana-mana, hanya lingkaran gunung dan jalanan yang sepi, rumah penduduk ada hanya saja jarang dan aku juga tidak pernah keluar dari lingkup villa.
“Nanti sore kamu bantu-bantu dibawah ya, ada pekerja yang mengundurkan diri”, ujar manager villa, aku hanya mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut kepadanya.
Tiba waktu yang dimaksud, salah seorang pegawai yang juga teman baikku dan akrab denganku mengajakku turun ketempat yang dimaksud oleh manager villa, deretan kandang terbuat dari batu bata tersusun asal, dilengkapi dengan pagar besi dan diselingi kawat berduri menebarkan aroma bau kotoran tidak sedap, perempuan suku Amei itu memberiku tongkat penggaruk untuk membersihkan kandang babi hutan yang jadi peliharaan di villa ini. Agak sedikit ragu aku mulai menaiki pagar besi pembatas kandang, dua ekor babi hutan didalam mulai berlari menepi mendengus, dalam hati aku hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa-apa denganku, aku hanya ingin pulang dalam keadaan selamat dan bernyawa, tidak lebih. Itulah awal kumulai hari-hari sepiku di Taiwan yang sangat berbanding terbalik dari Singapura, beberapa kawan dekat menyarankan untuk melapor ke 1955 yang merupakan lembaga konseling bagi tenaga kerja asing yang bermasalah dengan pekerjaan atau majikan di Taiwan. Namun jiwa bukan pemilih-milih kerja terlebih dahulu merajai pikiranku, terlebih majikan sangat baik. Sahabatku sejak kami masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan terlebih dahulu merantau ke Taiwan pun menguatkan hatiku.
“Ingat kita merantau kesini untuk apa, jauhkan sifat nona cina manjamu dan bekerjalah, kamu pasti bisa, bangun kembali kejayaan keluargamu yang sudah hilang ditelan masa’, ucapnya dipertemuan kami saat kunjungannya ke villa untuk yang pertama dan terakhir, peluk erat sahabat semasa Sekolah Dasar menjadi pengobat rindu setelah berapa tahun tidak pernah bersua, tubuhnya yang kecil namun tangguh dan perkasa karena harus menggembala puluhan ekor sapi sejenak membuatku malu akan sikapku,karena apa yang kukerjakan belumlah seberapa jika dibandingkan dengan kerja kerasnya, karena beberapa bulan kemudian aku harus kehilangan sosok tangguh dan kuat itu untuk selamanya, pesan terakhir seorang sahabat sejati yang selalu menjadi pelipur lara dikala sepi, menjadi penguat dan penyemangat saat aku mulai jatuh dalam titik jenuh dan digoda rasa coba-coba ingin pulang ke tanah air, menemani sosok pejuang senja yang mulai merapuh dimakan usia.

Tinggal satu tahun lagi maka semua ini akan berakhir, perjalanan seorang gadis Tionghoa yang mengadu nasib sebagai pahlawan devisa di negeri Formosa, tidak ada beda dia Jawa atau Tionghoa karena ketika nasib mulai berbicara dia tidak mengenal suku, bangsa dan kasta. Hanya tekad dari dalam hati yang akan menjadikan kita pemenang di pergulatan kerasnya dunia.
Taipei 16 Mei 2015