Roda Kehidupan

2015/4/13 / Kuan Ami / Roda Kehidupan / Indonesia 印尼 / Tidak ada

RODA KEHIDUPAN

Oleh: Kuan Ami

 Orang tua mana yang sanggup saat harus berpisah dengan anak dan keluarga, apalagi sangat jauh dan dalam jangka waktu yang lama. Tentunya, tak satupun ada dan sanggup. Kecuali karena satu alasan yang sangat kuat, atau himpitan ekonomi yang semakin mencekik leher hingga sulit bernapas dan bertahan hidup di negeri sendiri.
Merantau ke luar negeri, adalah salah satu cara yang ditempuh perempuan-perempuan Indonesia yang mengalami nasib serupa denganku, ketika jalan keluar lain dirasa tak lagi ada.


 Kesan pertama meninggalkan belahan jiwa dan keluarga, tak bisa diungkapkan dengan kata. Saat itu, separuh jiwaku seperti hilang. Lebih sakit dibandingkan ketika aku didzolimi hingga bercerai dengan suamiku.
 Lelaki itu, sangat tak pantas untuk kupanggil sebagai suami, karena semenjak kami menikah ia tak pernah memberi nafkah. Bahkan ketika anak pertama kami lahir, dia justru pergi bersama wanita lain.
Tapi itu adalah masa lalu. Masa lalu yang pahit dan nyaris membuatku buta mata dan hati. Aku hampir saja bunuh diri kala itu, tapi jerit tangis bayi yang tak lain adalah darah dagingku, terngiang-ngiang di telinga seperti tak rela aku pergi meninggalkannya, membuatku urung melakukan perbuatan yang dibenci Allah.


 Namaku Rasti,  perempuan yang kini bisa bangkit dan berdiri tegap di atas kedua kakiku sendiri, setelah dua kali menjalani kontak sebagai pekerja rumah tangga di Formosa. Tahun ini adalah tahun kelima aku berada di negeri empat musim yang mayoritas penduduknya beragama Budha.

Pergi meninggalkan anakku, Bima, yang waktu itu usianya masih belum genap setahun.
Meski berat, tapi niatan pergi meninggalkan Bima, semata demi masa depannya. Siapa sangka, ketika kontrak pertamaku selesai dan kembali ke Indonesia, Bima tidak mau memanggilku ‘Ibu’, bahkan aku terkesan asing di matanya.
Bima lebih dekat dengan neneknya. Karena memang sedari kecil, Bima kutitipkan pada ibu.
Mungkin inilah resiko terberat yang harus kuterima. Tidak bisa mendampingi anak sendiri, hingga dia merasa sangat asing dengan ibu kandungnya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali pergi merantau lagi.


 Meski rasa sedih menyeruak, tapi aku tak khawatir. Bima akan mengerti ketika kelak ia besar nanti. Alasanku pergi meninggalkannya, bukan karena aku tak sayang, tetapi semua demi kebaikan dan masa depan dia sendiri. Lagi pula orang yang bersama Bima adalah neneknya, yang mampu mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang melebihi aku, Ibunya.


****

 Di wilayah pesisir laut Taiwan bagian timur aku bekerja. Udara sejuk dan hamparan laut di hadapan mata yang menemani keseharian, membuatku sadar bahwa luasnya dunia masih menyisihkan keindahan lain untuk kunikmati.

 Mendapat majikan yang baik dan pengertian, membuatku lupa akan beratnya rutinitas harian. Bagaimana tidak, aku bekerja merawat Akong  yang tuna netra, membantu semua keperluannya, mengurusi rumah berlantai tiga, dan harus menjaga villa yang biasanya banyak dikunjungi tamu.
 Seberapa pun beratnya, setiap kali teringat Bima, semangatku kian membara. Aku tak pernah merasa lelah, apalagi mengeluh. Cucuran keringatku adalah pencipta bahagia keluarga di Indonesia.


 ***


“Ati, besok pagi saya ke luar kota. Tolong besok kamu kasihkan ini ke tamu yang akan menginap di villa kita. Namanya Bibi Lung.” Pesan majikan seraya memberikan bungkusan kecil padaku.

“Baik, Tuan” jawabku patuh.



 Burung-burung berdendang riang menyambut pagi, lebih awal dari datangnya matahari. Biasanya, sepagi itu aku bisa sangat dekat dengan mereka yang sepertinya tengah menungguku untuk menyapa, di kabel-kabel listrik depan jendela kamarku, mereka saling bersahutan menyapa satu sama lain dan menghiburku dengan merdu suara yang mereka dendangkan.


 Kukerjakan rutinitas harian dengan terlebih dahulu mengurusi semua keperluan Akong. Menuntun dan membantunya ke kamar mandi, hingga selesai sarapan.

 Ketika berniat membersihkan lantai bawah, tak kulihat lagi mobil majikan di garasi. Entah pukul berapa beliau pergi.
 Tugasku hari ini adalah menunggu tamu yang akan datang ke villa, dan menyampaikan bungkusan yang diperintahkan Tuan Wang, majikanku.


Tiba-tiba nyaring suara telephone berbunyi.

“Halo, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”

“Oh, saya mencari Tuan Wang.”

“Maaf, Tuan Wang sedang pergi ke luar kota.”

“Saya Lung Cheng Yin. Hari ini mau meningap di villa Tuan kamu. Beberapa hari lalu saya sudah membuat janji. Dan pukul satu siang ini, saya akan tiba di sana.” ucap perempuan dengan nada serak yang bisa kuterka usianya tak muda lagi.

“Baiklah, Nyonya. Tuan sudah berpesan jika Nyonya Lung akan datang. Bahkan menyampaikan titipan pada saya.” jawabku menjelaskan.

“OK! Sampai ketemu nanti siang.”


 Setelah memberi Akong makan siang, beliau istirahat. Aku pun bisa sedikit bernapas lega. Di waktu seperti inilah biasanya aku merebahkan sejenak badan yang kian lelah, atau sekedar menyandarkan kepalaku pada sofa tua di pojok kamar berukuran 3x4 meter.


Baru lima menit merebahkan badan, bunyi klason mobil terdengar begitu kencang, aku pun beranjak. Kulongok dari jendela kamar, sebuah mobil sedan berwarna hitam, berhenti di pelataran villa.
“Pasti itu Bibi Lung.” Batinku.
Aku pun menyambar kunci villa di atas meja, dan mengambil langkah seribu berlari menuju villa di bagian bawah. Posisi villa memang berada di pinggir jalan raya, sedangkan rumah yang kutempati bersama majikan, letaknya lebih tinggi. Kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya, akan terlihat dari kamarku, termasuk siapapun yang memasuki pelataran villa.

 “Selamat siang, Nyonya Lung.”

“Jangan panggil saya Nyonya. Panggil saja Bibi Lung.”
Beliau melempar seulas senyum yang ramah, sudah bisa kupastikan orangnya baik.

“Nai-Nai, semua barang sudah saya keluarkan dari bagasi.” ucap perempuan yang warna kulitnya seperti warna kulitku, hanya saja sedikit lebih terang. Rambutnya pirang sebahu, bajunya rapi membungkus badannya yang berisi. Kupandangi dengan tatapan sedikit heran dan penuh tanda tanya.
Siapa dia?

“Kenalkan, ini Nana. Dia juga sama seperti kamu. Bekerja di sini.”
Aku pun mendekat.

“Rasti”

“Nana”
Kami pun bersalaman

“Mbak dari Indonesia?” tanyaku terbata. Sesekali melirik ujung kaki sampai rambutnya yang sangat modis. Kukunya panjang-panjang dengan cat berwarna merah menyala. Rambutnya lurus berwarna coklat, sudah bisa dipastikan dia sering menyambangi salon kecantikan dan menjalani sederet perawatan.
Kebiasaan serta gaya hidup seseorang akan sangat mudah berubah, apalagi di Taiwan, yang menawarkan segala perawatan kecantikan dengan praktis dan modern.

“Iya, Mbak, sama. Saya dari Indo juga. Mbak baru yang di sini?” tanyanya.

“Setahun lebih, Mbak.”

“Oh, pantesan jarang lihat.”

""Memang Mbak sering ke villa ini?” selidikku

“Hmm... sudah agak lama juga sich. Karena Nai-nai lebih sering ke tempat lain.”

“Ehm... Ati, Majikan kamu bukannya menitipkan barang untukku?” Tiba-tiba obrolan kami dipotong Bibi Lung.

“Oh, Iya. Ma...Maaf. Sebentar saya ke atas dan ambil barangnya.” Aku berlari mengambil barang titipan Tuan, setelah terlebih dulu memberikan kunci villa yang akan ditempati Bibi Lung.

“Iya. Setelah itu kalian teruskan ngobrolnya.”
“Nana, bawa barang-barangnya masuk dulu. Ini kuncinya!” Perintah Bibi Lung sopan.
Nana pun mendorong dua koper kecil serta menenteng tas plastik ke dalam villa, sementara aku berlari ke atas mengambil titipan Tuan, untuk kuserahkan pada Bibi Lung.
 Setelah kuserahkan, Bibi Lung meninggalkan kami berdua, aku dan perempuan bernama Nana, melanjutkan obrolan di bawah pohon pinus depan villa.

“Mbak kerjanya di daerah mana?”

“Aku di Kaohsiung. Tapi hampir semua wilayah Taiwan kujelajahi.”

“Wah, enak banget Mbak. Bisa kemana-mana dengan bebas.”

“Ya, begitulah. Nai-nai suka bepergian, dan aku harus mengikuti kemanapun beliau pergi.”

“Kenapa keluarganya bisa ambil pekerja, Mbak? Padahal kan Bibi Lung masih bisa melakukan aktifitasnya sendiri?” tanyaku ingin tahu.

“Hm... sebenarnya dulu saya juga merawat Ye-ye, suami Nai-nai.Tapi beliau meninggal setelah operasi jantungnya gagal. Dan semenjak itu, aku hanya bekerja mengurus rumah dan mengikuti kemanapun Nai-nai pergi.”

“Oooh... Jadi sekarang Mbak cuma tinggal berdua dengan Nai-nai?”

“Nggak. Masih ada satu anaknya lagi yang belum lama ini menikah. Tapi mereka juga sering pergi ke luar kota. Sama seperti Ibunya. Maklumlah, orang kaya di Taiwan kan nggak tahu mau dikemanakan uangnya, kalau bukan untuk senang-senang kesana kemari.”

“Waaah... senang banget jadi Mbak. Bisa bebas kemana-mana.”

“Ada nggak enaknya juga. Nai-nai suka menyuruhku bantu-bantu bekerja di rumah teman-temannya saat berkumpul di rumah teman satu ke teman yang lain. Sekarang yang kamu lihat mungkin aku enak bisa bebas.
Tapi?
Ach... sudahlah.”
 Tiba-tiba pikirannya menerawang jauh, entah apa yang ada di bayangannya.

 Aku pun pamitan untuk kembali meneruskan pekerjaanku. Tanpa terasa, obrolan dengan Mbak Nana cukup lama, hingga kurasa sudah waktunya  Akong untuk bangun, dan memberi beliau jus buah.
 Kami pun saling bertukar nomor ponsel sebelum berpisah.


***


 Seminggu terlewati sudah. Bibi Lung dan Mbak Nana meninggalkan villa setelah menempatinya dan menghabiskan sepekan waktunya untuk keliling menikmati wisata di wilayahTaitung.

“Terima kasih, Ati. Sudah banyak membantu kami selama di sini. Kami akan sering datang lagi.” Ucap Bibi Lung sebelum berpisah. Dari sorot mata, gaya bicara, dan cara memeperlakukanku, sungguh sangat memanusiakan sesama. Hampir tak ada celah antara pekerja dan majikan.

“Ambil lah ini.” Bibi Lung menyodorkan Hong pao kepadaku. Meski aku sudah berusaha menolak, tetapi akhirnya kuterima setelah dipaksa.
Bibi Lung benar-benar baik. Pantas saja Mbak Nana sudah dianggap seperti keluarganya.


***

 Kondisi Mbak Nana, sempat membuatku iri. Iri akan keberuntungannya mendapatkan majikan yang sangat baik dan bisa mengajak kemanapun beliau pergi.
Majikanku juga baik, bedanya, aku bagai katak dalam tempurung. Tak pernah pergi kemana-mana.
Indahnya gedung pencakar langit 101, piramid Diamond Taichung, megahnya kuil-kuil, hanya bisa kulihat dan kuketahui dari tabloid berbahasa Indonesia di Taiwan yang kudapatkan dengan berlangganan setiap bulan.


Aku pun tak punya teman, hanya sesekali saja iseng berkenalan melalui SMS dengan teman-teman sebangsa, yang kebetulan nomor ponselnya terpapang di halaman majalah, dan kuberanikan mengirim SMS pun, ketika kutahu mereka berasal dari daerah yang sama denganku di Indonesia sana.

Terkadang SMSku dibalas dan obrolan berkelanjutan, terkadang ada yang hanya membiarkan pesan tak penting dariku.
Sesekali, aku pun mengirim pesan untuk Mbak Nana, sekedar bertanya kabar. Tetapi, mungkin karena asyiknya Mbak Nana keliling Taiwan, atau mungkin sibuk dengan rutinitasnya, pesanku dibalas setelah beberapa jam.

 Membaca berita dari saentero Taiwan, aku termasuk sangat beruntung. Gaji dibayar rutin setiap bulan, tidak pernah telat. Makan dan istirahat terpenuhi, serta tidak pernah mendapatkan kekerasan fisik ataupun pelecehan seksual.
Meski aku tinggal serumah hanya dengan majikan yang seorang laki-laki setengah baya dan belum menikah, tetapi beliau sangat sopan.

 Di luar sana banyak sekali teman-teman seperjuangan yang nasibnya kurang beruntung. Ada saja setiap bulannya kabar menyedihkan dari mereka, pahlawan devisa, yang diperlakukan tidak adil, bekerja tidak sesuai dengan kontrak kerja, mendapatkan pelecehan seksual serta kekerasan, tak jarang berujung maut dan pulang tinggal nama.



 Halaman demi halaman, kusisir satu per satu. Tiba-tiba mataku terbelalak pada satu sosok perempuan yang tengah berbaring lemah di Kaohsiung Veterans General Hospital.
Kakinya diikat perban tebal, wajahya nyaris tidak terlihat karena balutan perban, bagian mulut dan hidungnya diselang, alat-alat medis disamping kiri kanannya.

“Kaouhsiung Veteran General Hospital ,28 Desember 2014.
Seorang Buruh Migran Indonesia, Nana Mariana (31) asal Magetan, mengalami kecelakaan saat sedang membersihkan kaca jendela.
Nana terjatuh saat hendak menangkap kain yang ia gunakan untuk mengelap kaca, yang tiba-tiba tertiup angin kencang. Ia mencoba berpegangan pada bingkai jendela, namun karena bingkai jendela rapuh, ia pun terjun bebas dari lantai 5 apartemen yang beralamatkan di Jl. Mintju 1 No. 88 lantai 5 San Min District, Kaohsiung.  Kejadian tersebut tertangkap jelas oleh rekaman CCTV yang ada di lokasi kejadian.

Majikan Nana, Lung Cheng Yin (78) dinyatakan bersalah dalam hal ini. Tuduhan mempekerjakan Nana di luar job pun, menjadi alasan yang sangat kuat. Kecelakaan terjadi bukan di alamat rumah Nana seharusnya bekerja, tetapi di alamat rumah yang menurut pengakuan Ny. Lung adalah rumah kerabatnya.

Saat ini, Nana masih dalam keadaan koma di ruang ICU. Ia mengalami patah tulang punggung dan pendarahan otak.
Menurut penjelasan Mr. Jhon, selaku kepala agency, pihak keluarganya akan segera didatangkan dari Indonesia, mengingat kondisi Nana sangat parah. Bahkan pihak Dokter di Rumah Sakit pun mengatakan jika harapan Nana untuk hidup, tinggal menunggu keajaiban.”

Bruuuk!
Majalah yang baru saja kubaca, terjatuh tiba-tiba. Seluruh persendianku seperti meleleh. Dan tanpa terasa, air mataku menetes.
Komunikasiku dengan Mbak Nana, sebulan terakhir waktu dia mengabarkan sedang berlibur ke Penghu bersama Bibi Lung.
Mbak Nana, perempuan yang kukenal sangat beruntung itu, kini mendapat musibah di luar dugaan. Bibi Lung, orang yang ramah, baik, dan sopan itu pun, tak luput dari dakwaan bersalah dan terjerat hukum yang berlaku di Taiwan, karena dinyatakan telah mempekerjakan pembantunya di luar job.

Musibah besar yang menimpa Nana, menyadarkanku, bahwa roda kehidupan benar-benar berputar.
Aku yang dulu pernah terpuruk dan merasa sebagai satu-satunya orang yang paling teraniaya dan menderita, kini bisa mengubah pahit menjadi manis, meski harus terlunta-lunta.
Dan ternyata masih ada banyak  cerita kehidupan anak manusia yang jauh lebih tragis, menyedihkan, bahkan membuatku nyaris tak mampu percaya sepenuhnya. Tapi itulah kehidupan, apapun bisa terjadi tanpa dinyana.

Seberuntung apapun manusia, musibah bisa datang pada siapa saja, dan kapan saja. Tuhanlah sutradara dan pengatur kehidupan yang sebenar-benarnya.

 “Tuhan....
Sampaikan doaku untuk Nana, kuatkan dan sembuhkan dia, Tuhan. Tak ada Kuasa lain melebihi KuasaMu. Kalau pun Nana harus Kau ambil, tempatkanlah dia pada tempat terlapang disisiMu.”


----------------------------------------HUALIEN, 17022014----------------------------------------------

Foot Note:

Nai-Nai= Nenek dalam bahasa Mandarin
Ye-Ye/ Akong= Kakek dalam bahasa Mandarin
SMS= Pesan Singkat melalui ponsel
Hong Pao= Amplop merah yang biasanya berisi uang.


Kisah ini fiksi. Jika ada kesamaan nama dan kejadian, hanya kebetulan semata.
Terinspirasi dari banyaknya musibah/ kejadian TKI saat dipekerjakan di luar job oleh majikannya.
Sebaik apapun majikan memperlakukan pekerja, saat terjadi musibah atau kecelakaan di luar job yang sebenarnya, majikan tak bisa lepas dari jerat hukum yang berlaku.
Senantiasa mensyukuri nikmat yang kita punya, seperti apapun bentuknya.