Istana Lintah 2

2015/4/13 / Marina Herlambang / Istana Lintah 2 / Indonesia 印尼 / Kwek Lina & En Lin

ISTANA LINTAH 2

Aku memandangi kertas putih berbentuk segi empat yang berada di mejaku. Sudah bisa dipastikan Raja Lintah yang mengirimnya untukku. “Kamu harus ingat, rumus Matematika yang kau pelajari dari sekolah tidak berlaku di sini. Kau boleh salah menjumblahkan, boleh salah mengalikan, boleh salah mengurangi, tapi kau tidak boleh salah membagi” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku yang masih menatap punggungnya yang menghilang di  balik pintu.
Hidup memang lelucon, takdir mempertemukanku dengan Raja Lintah yang benci pada dirinya sendiri. dan yang lebih tak kumengerti kenapa aku dengan rela menyerahkan diriku begitu saja pada Raja Lintah yang satu ini. Banyak hal yang aku perdebatkan dengan dia sebelumnya. “Kenapa kau tega memotong upah mereka, padahal kau jelas tahu aturan yang sebenarnya” Raja Lintah hanya menatapku, namun tak sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. “Ikut aku, kau akan mengerti” Dengan paksa tangannya menyeretku, membawaku pada labirin yang mempertemukanku dengan para Anjing berdasi atau manusia berkepala babi. “Aku ingin tahu sejauh mana kau masih bisa bertahan sebagai manusia” Perlu kalian ketahui tugasku hanyalah membagikan kertas-kertas segi empat dengan berbagai isi di dalamnya. Aku akan sangat senang hati jika yang menerima amplop-amplop itu adalah para gelandangan atau para korban bencana alam. Namun aku harus membagikan amplop-amplop itu pada Anjing berdasi. “Ingat jangan sampai salah bagi!” Tak hentinya dia mengingatkan kalau aku harus benar-benar jeli melihat berapa bintang di pundaknya, merek dasi yang dipakainya, berapa banyak jumlah bodyguard yang mereka bawa, karena mereka mendapatkan jatahnya masing-masing. “Sekarang kau paham kenapa aku mengambil sebagian upah mereka, Anjing-anjing itu harus diberi makan” Itu membuatku sadar bahwa masih ada tempat yang lebih menyeramkan ketimbang Istana Lintah. “Jika mereka tidak diberi makan maka upah yang hanya separuh itu pun kau tidak akan bisa mendapatkannya. Dan akan lebih banyak lagi manusia yang tidak bisa mengubah nasibnya, Istana ini akan dihancurkan jika tidak memberi upeti pada mereka”.


****
Ini adalah bulan januari dimana suhu di kota ini berkisar enam sampai delapan derajat celcius. Taipe selalu lebih dingin dari kota-kota lain di Taiwan. Aku menutup mulut dan hidungku dengan masker kemudian memasukan tanganku pada saku jaket setelah membenahi syal yang melilit leherku. “ Lian pulanglah ke Indonesia Om butuh bantuanmu sekarang” Akhirnya setelah kuliahku selesai , aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Meski terasa berat karena Taiwan sudah seperti kampung halamanku sendiri, segala sesuatu di sini lebih teratur dan tertib. Apa boleh buat perjanjianku dengan Om sudah disepakati, Aku harus membantu usahanya, aku menyebut usahanya dengan sebutan  Istana Lintah.  Aku sempat memikirkannya berulang-ulang, aku tidak pernah membayangkan kalau aku adalah bagian dari Istana Lintah, paman saya adalah menteri di Istana Lintah, anggap saja begitu, Raja Lintah mendirikan kerajaan baru karena itu mereka butuh saya. “Kau harus bisa mendidik mereka supaya mereka menjadi buruh yang berkualitas” Dahiku mengernyit, sejak kapan Raja Lintah perduli dengan kualitas? Bukannya yang dia perdulikan hanyalah uang. “Apa kau tidak merasa malu ketika ada orang yang menyebutkan bahwa orang-orang dari Istana ini semuanya adalah orang-orang bodoh!” Selama aku berada di Formosa memang kebanyakan orang-orang luar menganggap buruh dari Istana kami paling rendah dibanding Istana-istana lain. Raja Lintah terus mendiktekan tugas-tugas yang harus aku kerjakan dengan suara lantang. Aku sempat berfikir kalau dia menyimpan microphone di tenggorokannya. Ada beberapa hal yang sama dalam pemikirannya, lambat laun aku mulai paham dengan apa yang dia kerjakan. “Kau tahu bagaimana mereka bisa merubah nasibnya kalau kemampuan mereka tidak berubah, kau pikir ada orang yang mau memberi upah tanpa dia mendapatkan hasil dari para pekerjanya” Raja Lintah memberiku fasilitas yang mewah, tempat tinggal setara dengan hotel bintang lima, para dayang yang selalu siap melayaniku, mungkin dia puas dengan hasil kerjaku “Kau tidak akan mendapatkan fasilitas seperti ini kalau kau tidak mempunyai kualitas dalam kerjamu” Ada hal yang menarik perhatianku Raja Lintah yang satu ini selalu memperhatikan kebutuhan para pekerjanya


****
Sorot matanya merah, aku mencium bau alkohol dari tubuhnya, kulit hitam terpanggang matahari, perut buncit seperti ibu-ibu yang sedang mengandung enam bulan, “Anjing!” Makiku dalam hati, mereka adalah Anjing,  Anjing berdasi tak ubahnya seperti anjing kampung yang suka makan tai. Mungkin Raja Lintah lupa memberi upeti pada mereka, banyak orang bilang, ketika lapar seekor Anjing akan berubah menjadi buas dan menggigit siapa saja yang mereka temui.
“Angkut semua orang yang ada di sini!!”
“Maaf ada apa ini pak?”
“Tempat ini tidak memiliki ijin, telpon atasanmu dia pasti tahu apa yang harus dia lakukan”
“Boleh saya lihat surat tugas bapak?” Ucapku dengan nada tenang. “Kamu itu tidak tahu siapa saya!” Ingin sekali melemparkan sepatu ke arah kepalanya yang terlihat mengeluarkan tanduk dalam imajinasiku, namun demi menjaga Istana ini aku harus bersikap seanggun mungkin, bahkan ketika aku harus berhadapan dengan anjing kampung kudisan sekalipun. “Justru karena saya tidak tahu, boleh lihat kartu pengenalnya pak?” Ucapku sambil tersenyum, dengan jengkel dia memberikan selembar kartu, seketika aku dengan sigap memasukan kartu itu ke mesin scan yang terletak di sebelah meja kerjaku. Tanpa kuduga dengan gerakan tangan yang cepat Anjing itu merampas kembali kartu yang sudah kumasukan ke dalam scaner “Apa-apaan ini, jangan main-main, untuk apa kamu mengcopy tanda pengenal saya?” Ternyata dia takut juga, sudah bisa di pastikan dia adalah oknum jendral yang hanya bisa memeras uang rakyat. “Dasar manusia berkepala babi!” Lagi-lagi aku mengumpat dalam hati. Dengan satu isyarat dia memerintah anak buahnya untuk meninggalkan kantorku. “Saya tunggu di luar, dalam sepuluh menit kau harus menghubungi atasanmu” Ucapnya seraya membanting pintu.


****
“Lian pakai dulu uang simpananmu, berikan ke mereka nanti Om pulang om ganti”
“Aku tidak sudi Om, untuk apa memberi uang ke mereka, harusnya mereka itu melindungi, bukan memeras!”
“Lian..., kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, bahaya Lian, sudah kasih saja uangnya”
“Aku tidak mau Om, Om suruh saja bagian administrasi yang memberikannya, aku muak melihat wajah mereka!” Kumatikan handphoneku tanpa mengangkatnya lagi walau pun beberapa kali Om menelponku. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi diantara mnereka, negosiasi antara Omku dan para Anjing berdasi.
Setelah beberapa bulan Om mengirimku untuk kembali ke Taiwan. “Lian Om tahu kau sangat mencintai pekerjaanmu untuk mendidik mereka, tapi demi keselamatanmu, kembalilah ke Taiwan” Aku berhenti menyuapkan makanan ke mulutku, aku menatap lekat wajah Om. “Demi Tuhan Lian kau akan lebih aman di sana, Om akan merasa bersalah kepada kedua orang tuamu jika sampai terjadi sesuatu padamu karena Intana Ini, Raja Lintah akan menyiapkan pekerjaan baru untukmu di Taiwan”.


****
“Mbak, kok ngelamun, hayo lagi ngelamunin pacar ya?” Bahuku menjingkat “Embak ngagetin aja, mau kirim uang berapa mbak?” Aku tidak menjawab pertanyaannya. Akhirnya aku kembali ke Taipe, dan aku sadar tidak selamanya tempat lahir kita adalah kampung halaman. Di sini aku lebih bisa hidup dengan tenang tanpa harus mengurusi amplop dan bersinggungan dengan para Anjing berdasi. Di sini aku membuka sebuah toko untuk keperluan warga dari Istana Lintah yang bekerja di Taiwan. Tentu saja itu tak lepas dari Raja Lintah, ya Raja Lintah yang menjadi pendamping hidupku sekarang.