Belajar Dari Nurul, Dan Uang 1 NT Dolar

2015/5/12  / Erdiah / Belajar Dari Nurul, Dan Uang 1 NT Dolar / Indonesia 印尼 / tidak ada

Hal unik dan tak terduga, terjadi pagi ini. Saat bertemu di taman seperti biasa, Nurul tiba-tiba menyerahkan kepadaku sebuah botol air mineral. Isinya bukanlah air, melainkan uang pecahan 1 New Taiwan Dolar. Jumlahnya cukup banyak, hampir penuh hingga mencapai leher botol.

Dahiku berkerut saat menerimanya. Kupandangi botol berukuran sedang itu dengan alis terangkat. Lalu kutatap wajah Nurul, berharap mendapat penjelasan. Namun dia hanya tersenyum tanpa memberi jawaban apapun.

""Ama, zao an!"" Bukannya menjawab kebingunganku, Nurul justru menyapa Ama -- nenek yang kurawat. Ama membalas dengan mengangguk-anggukkan kepala sambil melambaikan tangan, karena Ama memang sulit bicara akibat penyakit stroke yang ia derita.

Aku mencoba bersabar menahan rasa penasaran. Kutunggu hingga Nurul selesai mengatur posisi kursi roda Akong -- kakek yang dia rawat -- menjajari kursi roda Ama, kemudian menguncinya supaya aman. Dia lantas duduk di atas rumput di sampingku.

""Jadi, maksudnya apa nih, ngasih aku botol penuh uang receh?!"" Tanyaku dengan segera, tak sabar ingin dengar penjelasannya.

""Itu buat nyumbang, lah, Mbak. Jumlahnya pas 500 NT Dolar. 'Kan aku udah bilang semalam, masak lupa sih ya?""

Aku memutar otak mencoba mengingat-ingat.

Oooh... aku baru ingat sekarang. Semalam, memang Nurul mengirimiku pesan singkat, bertanya, ""Mbak, kalau aku mau nyumbang tapi cuma  500 Dolar, apa boleh?""

Aku waktu itu tersenyum membaca SMS-nya. Segera kujawab, ""Tentu saja boleh! Jangankan 500, 1 Dolar pun kami terima, Rul!"" Jawabku lewat SMS pula.

Tak kusangka, uang 500 yang dijanjikan itu, dia serahkan dalam bentuk pecahan 1 NTD semuanya. Hahaha dasar Nurul... ada-ada saja ulahnya.

""Mbak Lina, maaf, aku nggak bermaksud ngerjain kamu. Aku ngasih uang recehan, karena memang baru itu yang aku mampu. Mbak tahu sendiri 'kan, aku ini baru ...,""

"" ...kamu baru 3 bulan bekerja, aku paham kok."" Tukasku cepat, memotong kalimatnya. ""Nggak perlu minta maaf, Rul. Justru aku bangga sama kamu. Dengan segala keterbatasan yang ada, kamu tetap semangat menyisihkan uang, berbagi dengan sesama. Terima kasih, aku justru belajar banyak darimu."" Nurul tersipu mendengar kata-kataku.

Kukocok-kocok botol pemberiannya. Suara khas uang recehan yang beradu, terdengar riang di telingaku. Sambil tersenyum geli, kutatap wajah Nurul yang lucu. Wajahnya manis dengan mata bulat dan lesung pipit. Dia orang yang menyenangkan. Maka, meskipun baru 3 bulan berkenalan, aku sudah cukup dekat dengannya. Setiap pagi kami bertemu di taman ini. Aku membawa Ama, sementara dia membawa Akong. Kami berdua bekerja merawat orang jompo di Taiwan.






Saat baru kenal, Nurul sudah mulai mengamati kebiasaanku. Setiap hari, setelah mengajak Ama jalan-jalan untuk melenturkan persendian, aku selalu duduk di dekat kursi roda Ama, di atas rumput taman yang hijau segar. Koran kugelar, lalu mulai aku menumpahkan tumpukan amplop bermacam warna dari dalam kantong plastik.

Mungkin kegiatan harianku itu menggelitik batin Nurul, rasa penasarannya timbul. Hingga suatu hari, dia menanyakannya padaku.

""Wah, tiap hari selalu dapat hong bao dari majikan, ya, Mbak?"" Tanyanya sembari bergurau. Aku tertawa mendengarnya.

Amplop-amplop itu mulai kubuka satu per satu. Semua isinya adalah uang dengan jumlah beragam, pengirim dan alamatnya pun berbeda-beda. Aku mulai menghitung dengan teliti. Jumlah uang serta nama pengirim, kucatat rapi di dalam sebuah dokumen khusus.

Sepanjang kegiatanku, Nurul tak lepas memperhatikan. Setelah semua selesai terhitung dan tercatat, aku berpaling padanya sambil tersenyum.

""Yang jelas, ini bukan hong bao dari majikan, Rul, hehehe...."" Kataku sambil terkekeh.
""Semua uang ini adalah sumbangan para donatur, yang umumnya adalah Buruh Migran Indonesia dari segenap penjuru Taiwan. Dana yang terkumpul, nantinya disetorkan ke rekening GSC pusat. Selanjutnya, disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Posisiku di sini cuma perantara saja.""

Nurul menopang dagu sambil mengernyitkan alis. ""Aku kok nggak paham sama penjelasanmu, sih Mbak. Maksudnya gimana, terangkan yang jelas dong!""

Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan penjelasanku. ""Oke, jadi begini..., aku adalah salah satu anggota pengurus GSC (Gerakan Sedekah Cilacap) -- sebuah organisasi nonprofit, yang menerima sumbangan dana dari seluruh BMI di Taiwan, untuk disumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan.""

""Kenapa pula dinamakan Gerakan Sedekah Cilacap?! Karena, gerakan ini muncul dari keresahan para BMI asal Kota Cilacap. Mereka melihat banyak masyarakat di sana hidup di bawah garis kemiskinan. Para BMI pun umumnya berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi lemah, hingga merantau jauh ke luar negeri untuk memperbaiki taraf hidup. Kini, setelah mampu memiliki penghasilan yang layak, mereka pun merasa tergugah hatinya, berempati melihat kemiskinan di sekitar tempat tinggal mereka, dan ingin membantu mengentaskannya. Maka dibentuklah GSC.
Begitulah, sekelumit tentang gerakan sedekah ini, Rul!""

Nurul kala itu menyimak penjelasanku dengan perhatian penuh sambil sesekali mengangguk-angguk.

Dua bulan berlalu sejak aku mengisahkan tentang GSC kepada Nurul, dan hari ini dia menyerahkan sebotol penuh koin 1 NTD. Aku bersyukur sekali, ternyata ceritaku bisa menggugah rasa kepedulian sosial di hati Nurul.


*****


Malam hari di atas tempat tidur, sambil berbaring aku memikirkan Nurul dan botol koin 1 NTD pemberiannya. Aku bukan tak tahu dengan keadaan keuangannya yang masih sulit. Baru 3 bulan bekerja, artinya gaji masih dipotong oleh Agensi, untuk membayar biaya kedatangannya di Taiwan ini. Setelah dipotong, sisa uang yang tak seberapa itu harus dia kirim ke kampung untuk membantu orangtuanya yang terlilit hutang. Belum lagi, majikannya tidak memberi jatah sarapan, sehingga dia harus membeli sendiri.

Dengan segala keterbatasannya itu, dia masih mau menyisihkan uangnya untuk disumbangkan. Mungkin, semua receh itu dia kumpulkan dari uang kembalian membeli sarapan...?

Sambil memeluk botol koin dari Nurul, ingatanku melayang pada guci keramik di samping lemari pakaian, di dekat pintu kamarku. Bukankah aku juga sering belanja ini-itu, lalu melempar uang receh sisa kembalian ke dalam guci, dan melupakannya begitu saja. Recehan-recehan itu aku abaikan, karena berat membawanya ke mana-mana. Lebih praktis uang kertas, ringan dan nilainya besar.

Pikirku, untuk apa recehan kecil sekedar 1 NT Dolar?!

Aku kontan menepuk jidatku sendiri. Ide untuk meng-copy apa yang dilakukan Nurul segera menyala di kepala. Buru-buru aku bangkit dari kasur, menuju meja kecil di dekat pintu kamar. Guci putih bercorak ukiran khas Cina berwarna biru, duduk manis di atas meja kecil di samping lemari. Bertebaran koin-koin 1 NTD di dalamnya. Beberapa bahkan ada pecahan 5 dan 10 Dolar, tapi tak banyak, karena aku biasa memburunya bila tanggal tua saat sudah kehabisan uang jajan.

Senyumku lebar melihat ke dalam guci. Tentu isinya tidak sedikit. Aku geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa aku mengabaikan koin-koin ini selama lebih dari 2 tahun?!

Kulirik jam dinding sudah menunjuk angka 11.25 malam. Sudah cukup larut, tapi aku putuskan untuk menghitung uang-uang itu sekarang juga. Bila kembali berbaring pun, aku pasti tak bisa tidur karena terus memikirkannya.

Satu jam berikutnya, kuhabiskan untuk menghitung uang dan memasukkannya ke dalam botol kosong -- mirip dengan botol pemberian Nurul, hanya ukurannya lebih besar.

Dua botol air mineral ukuran besar pun, sukses tersandar manis di sudut jendela kamar. Masing-masingnya penuh berisi koin pecahan 1 Dolar, dan sedikit koin 5 dan 10 Dolar. Aku tak bisa berhenti meringis, girang benar perasaanku pagi ini. Tak sabar ingin segera memamerkannya pada Nurul.


*****



Sejak kupamerkan kumpulan koin dalam botol yang meniru idenya, sejak hari itu Nurul tidak pernah absen menemaniku. Setiap pagi, dia sudah duduk menunggu aku dan Ama di taman, di mana kami rutin berolah-raga pagi. Seperti biasanya, aku akan menghitung uang dan mencatat. Sambil menghitung, aku berbagi cerita kepada Nurul...,

... tentang para lansia dan kaum dhuafa di Cilacap, yang hidup dalam keadaan serba kekurangan. Mereka tinggal di dalam gubuk reot, sebatang kara, tak ada yang datang membantu mereka.
Lalu, aku ceritakan senyum kecil yang berhasil kami letakkan di wajah mereka. Saat tim relawan GSC datang untuk membangun rumah dari semen dan batu bata, menggantikan gubuk reot mereka, dan memberi sedikit uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

GSC juga membangun tempat ibadah dan taman belajar untuk anak-anak. Juga membeli mobil ambulance yang memudahkan warga miskin pergi berobat, tak perlu pusing lagi mencari alat transportasi saat sakit, 100 persen GRATIS! Tidak dipungut biaya.

Tak hanya menyantuni warga miskin di Cilacap, GSC juga aktif membantu kawan-kawan seperjuangan -- para BMI di Formosa, yang mendapat cobaan sakit atau kecelakaan kerja. Semaksimal mungkin, GSC memberi dukungan baik moril maupun materiil untuk meringankan beban mereka.

Masih banyak sepak terjang GSC, yang kuceritakan dengan penuh semangat kepada Nurul. Singkatnya, GSC hadir untuk WNI yang membutuhkan uluran tangan, baik di Indonesia maupun di Taiwan.

Ibarat pohon, GSC telah tumbuh dengan pesat. Bukan hanya berkembang dan berbuah saja, namun juga mampu menumbuhkan tunas-tunas kebaikan baru. Terbukti, yang awalnya hanya ada di Taiwan, kini GSC telah tersebar di hampir seluruh negara tempatan BMI. Sebut saja Hong Kong, Korea, Jepang, Singapura, misalnya.

Dengan memanfaatkan media sosial Facebook, GSC membuat sebuah grup sebagai sarana informasi dan motivasi. Siapa saja bisa mengaksesnya untuk mencari tahu segala kegiatan GSC.

Cukup dengan mengetik 'GSC TAIWAN BERSATU' untuk wilayah Taiwan, atau 'GSC HONGKONG BERSATU' untuk wilayah Hong Kong dst, pengguna Facebook sudah bisa menemukan postingan-postingan kegiatan GSC. Mulai dari laporan dana yang masuk, ke mana saja dana disalurkan, dan  lain sebagainya, termasuk kata-kata pendobrak semangat yang selalu digelorakan oleh para 'provokator' sedekah.

""Jangan dulu beranggapan miring mendengar kata 'provokator', Rul. Istilah itu dipakai, karena para relawan GSC yang sangat berapi-api dalam mengobarkan semangat bersedekah, layaknya seorang provokator.""

Sambil bercerita, semangatku ikut terpantik karena mengenang semua yang telah kulewati selama menjadi relawan GSC. Saat kutatap wajah Nurul, kulihat ada nyala juga di sana, di balik matanya yang berkaca-kaca.


*****


Bulan demi bulan berlalu begitu cepat. Nurul kini sudah bisa menyumbang dengan uang kertas yang nilainya besar. Namun, seolah telah menjadi ciri khas, dia tidak pula berhenti mengumpulkan koin 1 Dolar di dalam botol.

""Kebetulan, hari ini aku mau ke Kantor Pos, untuk menyetorkan uang sumbangan ke rekening GSC, termasuk uang darimu ini, Rul."" Kataku sambil mengguncang botol isi koin dari Nurul. Bunyi khas uang receh yang beradu, terdengar renyah di telingaku.

Nurul mengangguk, tersenyum bahagia. ""Semoga, uangnya bermanfaat untuk kaum dhuafa, dan semua orang yang sedang membutuhkan, ya, Mbak,"" katanya. Aku mengangguk, mengaminkan doanya.

Tapi bagiku, ada hal yang lebih indah dari sekedar uang yang bermanfaat itu. Hal terbaik, yang terjadi ketika orang-orang pernah bersentuhan dengan GSC. Entah hanya pernah mendengar ceritanya saja seperti Nurul, telah menjadi anggota dan relawan yang sudah lebih dalam mengenal GSC sepertiku, ataupun orang-orang yang pernah secara langsung terbantu dengan keberadaan gerakan sedekah ini seperti para kaum dhuafa. Entah mengapa, semangat kebaikan dan gairah berbagi muncul pula di dalam hati-hati kami. Nurul, aku, dan mereka, menjadi terinspirasi untuk melakukan kebaikan serupa kepada sesama. Layaknya virus, yang terus menyebar, menularkan semangat kebaikan yang menakjubkan.

Virus GSC telah tertanam di hati kami. Semoga pula, semangat ini mampu menyebar ke kota-kota lain di Indonesia, hingga ke seluruh pelosok Nusantara, bukan hanya di Cilacap saja. Amiiin.

""Woy! Kok malah ngelamun, tuh uangnya keburu dipatok ayam!"" Teriakan Nurul yang tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. Suaranya yang keras maksimal, sangat berhasil membuat telingaku berdenging.

Tak ayal, sandal jepitku pun melayang, tepat mengenai kepalanya. Pletakkk!
Hahaha... aku pun tertawa puas. Sementara, Nurul meringis pura-pura kesakitan, sambil mengusap-usap kepalanya.





Ukuran cinta bagi setiap orang memang berbeda-beda. Bagiku, cinta Nurul kepada kaum dhuafa seperti sebuah pepatah; 'sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit'.
Uang 1 NT Dolar yang ia kumpulkan mungkin nampak kecil. Namun jika dilakukan setiap hari, jangan heran bila jumlahnya bisa sangat membanggakan.

Hal yang sepele pun, BISA menjadi hal berharga karena dikerjakan terus-menerus. Sedikit demi sedikit, namun istiqomah, lestari, dan berkelanjutan.

Aku dan Nurul sudah bergerak. Lewat aksi nyata, mengumpulkan uang recehan di dalam botol bekas air mineral.
Bagaimana dengan KAMU?!



Selesai
Taiwan, 09052015