Cinta Yang Sederhana

2015/5/10 / Menur Lestari / Cinta Yang Sederhana / Indonesia 印尼 / Disyak Ayummy

CINTA YANG SEDERHANA

Oleh: Menur Lestari




Semarang, Februari 2013

Fajar menyingsing. Cahaya mentari menerobos ranting-ranting. Aku meletakkan keranjang berisi sayuran segar di sudut beranda. Seorang wanita tua keluar dari pintu utama.

""Nek, kemarin Pak Toni bilang, kalau hari ini ia akan datang,"" ujarku kepada Nenek Sila, ibu dari Ayahku.

""Mau apa dia?""

""Aku tidak tahu.""

""Apa mungkin ia mau menagih utang? Sedangkan saat ini aku belum mempunyai uang untuk membayar,"" ujar Nenek Sila.

Apa yang harus kulakukan, ketika roda penghidupan seperti berjalan di tempat? Upah suamiku sebagai buruh bangunan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tidak ada yang bisa kami berikan untuk membantu Nenek Sila melunasi utang.

""Nek, aku ingin bekerja keluar negeri,"" ucapku memecah keheningan.

Nenek Sila urung mengambil keranjang berisi sayuran itu. Ia memandangku dengan ekspresi wajah datar.

""Aku sungguh ingin bekerja keluar negeri, Nek.""

""Kenapa kamu harus keluar negeri? Apakah kamu takut kurang makan jika bekerja di daerah sini?"" Kata-katanya seolah menghakimi. ""Lihat anakmu! Berapa umurnya, sehingga kamu ingin meninggalkannya?""

Ia menunjuk Kalla, bocah lelaki berusia dua tahun yang sedang bermain tidak jauh dari kami.

""Aku ingin meringankan bebanmu. Juga untuk masa depan Kalla, supaya ia bisa mendapat pendidikan yang tinggi,"" jelasku pelan, tidak berani menatap matanya.

""Utang itu tanggung jawabku. Bukan suatu masalah untuk kalian!"" bentaknya.

""Nenek, aku ingin berusaha. Berdiam diri tidak akan mengubah keadaan."" Hanya alasan itu yang bisa kukatakan.

""Dimana perasaanmu sebagai seorang ibu, sehingga ingin meninggalkan anakmu sendirian?!"" Nada suaranya meninggi.

Aku terdiam. Suasana kembali hening.

""Kamu dan wanita itu sama saja,"" ujarnya ketus.

""Siapa?""

Nenek Sila tidak menggubris pertanyaanku. Ia bergegas meraih keranjang sayuran.

""Wanita siapa?"" tanyaku meminta jawaban darinya.

""Nia. Siapa lagi kalau bukan ia,"" katanya sambil membawa keranjang berisi sayuran itu masuk ke rumah.

Aku menghela napas panjang. Mencoba mengingat pertemuan pertamaku dengan wanita bernama Nia itu.

Saat itu aku berusia 8 tahun. Pada suatu siang saat matahari tertutup oleh mendung, ia sudah berdiri di depan pintu. Mata kami saling menatap. Wanita cantik itu tersenyum. ""Hai, gadis manis. Namamu Rani bukan?""

Aku menganggukan kepala. Matanya berkaca-kaca dan tangannya berusaha meraih tubuhku. Aku menghindar dengan berlari ke dalam. ""Nenek, ada seorang tamu!""

Wanita tua itu tergesa-gesa keluar, dan terkejut melihat kedatangan wanita itu. ""Kamu?!""

""Ran, ini adalah Tante Nia."" Nenek segera memperkenalkan tamunya. ""Ayo, kasih salam.""

Aku belum sempat mengulurkan tangan, ketika wanita itu memelukku sambil menangis terisak. Aku meronta karena bingung dan sedikit takut.

""Sudahlah, Nia. Biarkan Rani bermain di luar,"" kata Nenek. ""Pergilah, Ran.""

Setelah wanita itu melepaskan pelukannya, aku segera pergi dari hadapan mereka. Aku tahu Nenek tidak menyukai tamunya, walau tetap mempersilakan wanita itu masuk.

Satu jam kemudian.

Wanita itu pamit pulang. Aku duduk di samping nenek dan menatapnya dalam diam.

""Jaga diri baik-baik, Ran. Kamu harus patuh dan berbakti kepada Nenek."" katanya sambil mencium pipiku. ""Sekolah yang rajin, supaya kelak menjadi orang sukses.""

Mungkin ini yang dinamakan 'deja vu'. Jantungku berdebar saat mendengar suaranya, melihat senyumnya dan menatap matanya. Aku seakan mengenalnya jauh sebelum pertemuan ini. Namun aku tidak tahu kejadian itu kapan, di mana dan bagaimana?

Tante Nia melangkah pergi. Aku mengikutinya sampai ke halaman. Dari tempatku berdiri, kulihat ia berpapasan dengan tetanggaku namanya Tante Dewi. Sepertinya mereka saling mengenal.

""Kamu tahu siapa wanita itu, Ran?"" tanya Tante Dewi, saat melintas di depanku.

""Ya. Namanya Tante Nia.""

""Tante Nia? Wanita itu ibumu. Mengapa kau memanggilnya Tante?"" ujarnya sambil lalu.

Ibuku? Benarkah? Mengapa nenek tadi berbohong? Pertanyaan itu memenuhi benakku.

Aku ingin berteriak memanggil Tante Dewi untuk meminta penjelasan, tetapi suaraku seperti tertahan di kerongkongan. Sedangkan Tante Nia sudah menghilang di tikungan jalan.

Tuhan, kapan lagi aku bisa bertemu ibu?

Pandanganku terasa kabur oleh air mata. Mungkin ini adalah bentuk kesedihan, kekecewaan, atau ....

""Aaaa ....""

Lamunanku tersadar ketika mendengar tangisan Kalla. Aku segera menghampiri bocah lelaki itu. Lutut dan sikunya sedikit berdarah akibat terjatuh. Aku memeluknya dan mencium kedua pipinya. Mencoba untuk menenangkannya.

Matahari semakin terik. Aku membawa Kalla masuk ke rumah dan kututup pintu. Mungkin sesaat lagi penagih utang itu datang.


***


Taipei, April 2015

Pada suatu dini hari.

""Kriiing ...!! Kriing ...!!

Bel itu kembali berbunyi untuk kesekian kalinya. Aku menggeliat membuka mata dan melihat Lina berjalan keluar kamar. Pasti kakek ingin pergi ke toilet, batinku dan kembali menarik selimut untuk mencoba melanjutkan mimpi yang terpenggal.

Ini tahun kedua aku berada di Taiwan. Sebuah negara maju di bidang ekonomi, infrastruktur, dan kebudayaan. Aku dan Lina bekerja pada sebuah keluarga bermarga Han. Aku bertugas merawat seorang gadis berusia 10 tahun, penyandang Rett Sindrome, kami memanggil namanya Meimei. Sedangkan Lina, bertugas merawat Kakek berusia 91 tahun.

Setiap malam suara bel itu selalu berhasil membangunkan kami dari tidur lelap.

***

Keesokan hari.

Laju mobil yang membawaku berbelok memasuki pelataran parkir sebuah rumah sakit.

""Ran, kamu temani Meimei terapi. Aku pergi sebentar karena ada urusan dan akan kembali saat makan siang,"" kata Nyonya.

""Baik, Nyonya.""

Aku menuntun Meimei menyusuri lorong rumah sakit. Orang-orang duduk menunggu giliran periksa di depan ruangan para dokter ahli. Para perawat juga terlihat bergerak cekatan menangani pasien, sebuah tugas mulia dalam rutinitas yang padat. Aku dan Meimei berjalan melewati beberapa lorong untuk sampai di ruang terapi. Kedatangan kami disambut oleh seorang ahli terapi bernama Nona Mery.

Hari ini seperti hari kemarin. Bedanya peserta yang mengikuti terapi hari ini tidak banyak. Sehingga Meimei bisa belajar dengan tenang. Nona Mery memulai terapi fisik dengan melatih Meimei melompat di atas matras. Lalu menaiki tangga, latihan keseimbangan, dan berjalan di atas treadmill sesuai kecepatan yang ditentukan. Setelah istirahat, terapi dilanjutkan dengan latihan menyusun balok dan permainan stiker.

Kata Nyonya, Meimei terlahir normal seperti bayi pada umumnya. Ia mulai terlihat mengalami gangguan kemunduran dalam perkembangan saat berusia 18 bulan. Dan ketika berusia 5 tahun Meimei tidak mampu lagi berkomunikasi maupun menggerakkan kedua tangannya. Ia tidak bisa menyentuh, menggapai, dan mengangkat sesuatu dengan sengaja. Gadis itu hanya mengembangkan gerakan memainkan jemari tangannya, seperti sedang memeras, dan mencuci.

""Hari ini Meimei kelihatan bersemangat. Untuk melatih gerakan kakinya, harus sering mengajaknya berjalan,"" kata Nona Mery seusai terapi.

""Terima kasih, Nona Mery,"" ucapku sambil sedikit membungkukkan badan. Aku menuntun Meimei menuju ruang tunggu.

""Meimei, ayo minum.""

Botol air minum kuletakkan di kedua tangannya, lalu memandu ke mulutnya. Aku berusaha supaya Meimei terbiasa menggerakkan kedua tangannya. Gadis kecil itu menatapku, lalu tersenyum. Kuhapus keringat di dahinya.

Aku tahu, Meimei adalah seorang gadis yang kuat dan tegar di balik semua kekurangannya itu. Ia tidak pernah merajuk apalagi menangis, kecuali benar-benar merasa tertekan. Dalam diam, Meimei suka menonton berita tentang prakiraan cuaca, mendengarkan musik instrumental, dan tertarik melihat peta. Mungkin ia tidak sepenuhnya paham tentang apa yang dilihat atau didengar. Namun senyumnya seakan menunjukkan kepada kami bahwa bahagia itu sederhana.

Tidak berapa lama kemudian Nyonya datang. Sementara ia menyiapkan makanan yang dibawa, aku mengajak Meimei ke kamar kecil. Kami akan berada di rumah sakit ini hingga sore hari. Karena nanti jam 14.00 , Meimei masih harus mengikuti terapi bahasa dan wicara.

***

Pagi hari berikutnya di musim semi. Dari kaca jendela dapur, aku melihat kupu-kupu beterbangan di antara tanaman bunga asoka, aster, dan lavender. Rumah dengan bangunan dua lantai yang berdiri di jalan HuaiDe ini memang mempunyai halaman depan dan samping yang cukup luas untuk ukuran rumah perkotaan seperti Taipei. Beraneka ragam tanaman bunga tumbuh subur di antara dekorasi taman yang tertata cantik.

Aku membawa mangkuk berisi bubur ayam ke ruang keluarga dan meletakkannya di atas meja. Meimei duduk di sofa menonton film 'Barney' kesukaannya. Dengan penuh kasih Nyonya mulai menyuapi gadis kecil itu. Meimei tidak bisa mengunyah dengan baik. Setiap makanan yang masuk ke mulutnya hanya dikulum sebentar lalu ditelan. Sesekali Nyonya mengelap sisa bubur yang menetes di dagunya.

""Ran, hari ini aku yang akan mengantar Meimei, karena nanti malam ada jadwal terapi akupuntur. Kamu di rumah saja,"" kata Tuan.

""Baik, Tuan.""

Setengah jam kemudian, suara deru mobil terdengar meninggalkan halaman. Aku dan Lina mulai membagi tugas untuk membereskan rumah. Kami mengerti kewajiban masing-masing. Sehingga tidak ada perasaan iri di antara kami, untuk hal pekerjaan maupun lainnya.

""Tiitt ....Tiitt! Tiitt .... Tiitt!""

Aku sedang menyapu kamar majikan, saat telepon seluler yang terletak di dinding dapur berbunyi. Nomor sambungan telepon seluler itu khusus untuk aku dan Lina. Bunyi nada sambungnya juga berbeda dari telepon utama. Di dalam kontrak kerja, kami dilarang membawa ponsel. Sebagai kompensasi, Nyonya memberi kami 500 NTD setiap bulan untuk membeli kartu telepon.

""Ran, ada telepon untukmu."" Tiba-tiba Lina sudah berdiri di depan pintu kamar, tangannya mengacungkan gagang telepon.

""Halo, assalamu'alaikum,"" kataku sambil berjalan ke dapur. Aku bisa leluasa berbicara di tempat ini.

""Wa'alaikum salam. Rani bukan?"" Suara suamiku, terdengar ragu.

""Ya ....""

""Ran, seseorang ingin berbicara denganmu.""

Aku mendengar samar-samar percakapan di seberang.

""Halo, Rani?"" Suara wanita. Jangan-jangan ....

""Ya, kamu siapa?""

""Aku Nia. Ibumu.""

Deg!

""Ibuku?"" Jantungku berdebar.

""Ya, Ran. Aku ibu kandungmu.""

Tanganku gemetar. Telepon seluler ini hampir terjatuh dari genggaman.

""Ibu sangat merindukan kamu, Ran.""

Aku terpaku.

""Ran ... Rani?"" Suara wanita itu terdengar cemas.

""Benarkah kamu adalah ibuku? Tetapi mengapa selama puluhan tahun aku hidup sendirian tanpa kasih sayangmu,"" ucapku dalam tangis.

""Ibu minta maaf, Ran. Selama ini pergi meninggalkanmu.""

Apakah dengan satu kata maaf bisa menghapus kesedihanku selama puluhan tahun? Tapi kata-kata itu tidak keluar dari mulutku. Aku menutup sambungan telepon. Tidak ingin mendengar suara wanita itu. Jujur aku takut bila ucapanku akan semakin menyakitinya.

""Ran, ada apa?"" Lina tiba-tiba muncul di pintu dapur. Ia menatapku cemas. ""Mengapa menangis? Apakah keluargamu ada yang sakit?""

Aku menggelengkan kepala. ""Maafkan aku, Lin. Nanti saja aku bercerita padamu.""

Lina maklum dan tidak bertanya lagi. Ia pergi setelah mengambil segelas air minum untuk kakek.

Saat makan siang, kami bertiga makan bersama dalam satu meja. Aku tahu Kakek memandang penuh tanya. Mungkin karena mataku kelihatan sembap.

""Kenapa, Ran? Apakah kamu sakit?"" tanya Kakek.

""Rani kangen keluarga di Indonesia, Kek,"" jawab Lina, berusaha menutupi keadaanku.

""Oo .... Bukankah kamu bisa menelepon, Ran? Tanya kabar keluargamu di sana. Nanti aku beri kalian uang untuk membeli kartu telepon,"" ujar kakek.

""Wah, terima kasih, Kek,"" seru Lina girang.

""Terima kasih, Kek,"" jawabku pelan.

""Sudahlah, ayo makan. Jangan bersedih lagi,"" ucap kakek. Aku mengangguk dan meneruskan makan siang, walaupun tidak ada selera.

Jam menunjukkan pukul 20.00 waktu Taiwan. Malam ini Meimei tidur lebih awal. Sepertinya terapi akupuntur telah membuat tubuhnya nyaman. Di ruang keluarga tampak Lina sedang memijat kaki kakek.

Setelah membereskan dapur dari bekas makan malam, aku naik ke lantai dua. Sesampainya di kamar, aku segera merebahkan tubuh untuk melepas penat setelah seharian bekerja.

""Ran, ibumu menderita mioma edenomiosis. Harus segera dioperasi, tetapi terbentur masalah biaya."" Terngiang kata-kata suamiku saat telepon tadi.

Mungkin karena sakit itu ia ingat aku. Sedangkan saat aku sakit, ia entah di mana? Sejak kecil aku sendirian, tanpa pilihan. Ayah juga lebih memilih tinggal bersama anak dan istri keduanya.

""Sejak orangtuamu bercerai, dan saat itu kamu berusia dua tahun. Ibumu pergi, ia memintaku untuk merawatmu,"" cerita Nenek kala itu.

Terkadang ingin bertanya kepada Nenek Sila, mengapa aku berbeda dari anak-anak lainnya? Mengapa mereka bisa tertawa dan bercanda di pelukan ayah ibunya? Sedangkan aku tidak.

Mengapa anak-anak selalu harus menjadi korban perceraian orangtuanya? Apakah kebahagiaan mereka lebih penting, dibandingkan kebahagiaan anak-anaknya?

Namun keberanian itu tidak pernah ada. Aku memilih diam, dan menyimpan kesedihan ini sendiri. Tidak ada tempat berbagi. Perasaan ini tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di hatiku hanya ada satu keinginan seperti anak-anak lainnya, yaitu mempunyai orangtua yang bersatu. Ah, tiba-tiba pikiranku teringat Kalla.

Tuhan, mungkinkah bocah laki-laki itu merasakan seperti yang aku rasakan?

Aku kembali ingat kenangan ketika sore hari di bulan Maret 2013 itu. Saat itu Kalla sedang bermain sendirian, dan aku mengendap-endap membawa koper pergi dari rumah. Menuju tempat penampungan tenaga kerja untuk proses tujuan ke Taiwan.

Aku tidak sempat berpikir tentang apa yang terjadi setelah Kalla menyadari aku tidak ada? Kalla mungkin akan segera mencariku di ruang tamu, dapur, kamar tidur, toilet, teras depan, samping rumah atau bahkan belakang rumah.

Kalla pasti sedih, kecewa, bingung dan merasa kehilangan dalam diamnya. Bocah lelaki itu mungkin terlelap karena kelelahan dalam tangisnya. Nenek sila dan suamiku mungkin hanya bisa memandang Kalla dengan rasa iba, tapi tak mampu membawaku kembali ke hadapannya. Mungkin ....

Dan aku telah pergi. Membulatkan tekad  untuk bekerja keluar negeri. Tidak bisa lagi menenangkan Kalla, menggendong, memeluk, mencium, menyuapi makan, dan meninabobokan. Mungkin Kalla akan selalu menunggu aku kembali di hadapannya. Aku yakin sampai kini ia pasti masih terus menunggu. Ya, sama seperti aku. Menunggu kehadiran seorang ibu. Tangisku semakin tidak terbendung.

Aku bergegas membasuh muka, dan mengambil air wudhu. Dalam sujud yang panjang, dengan berurai airmata aku mengadu kepada Sang Pencipta memohon ampunan, dan petunjuk jalan terang.

Tiba-tiba dari luar terdengar gelegar bunyi petasan menggema berturut-turut memecah kesunyian. Suara yang mengingatkan aku akan suasana pada malam Idul Fitri di kampung. Saat itu aku sendirian mendengar gelegar petasan di antara alunan suara takbir berkumandang. Dan kini, Kalla juga harus merasakan hal yang sama. Setiap Hari Raya tanpa kehadiran seorang ibu.

Tuhan, hanya Engkau yang Maha mengetahui segala sesuatu.

***

Minggu terakhir di bulan April. Majikan sekeluarga menghabiskan liburan di T'ung Hsiao Marine Life Park & Bathing Beach yang terletak di daerah Miaoli County. Selain suasana pantai, di sini kami bisa melihat berbagai jenis burung khas Taiwan, tanaman mangrove, area hutan yang indah dan danau buatan.

Namun semua pemandangan indah itu tidak bisa mengurangi gundah di hatiku. Saat ini aku sedang bingung darimana harus mendapatkan uang dua puluh lima juta rupiah untuk biaya operasi ibu. Gaji yang selama ini aku kirimkan ke kampung sebagian sudah digunakan untuk melunasi utang kepada Pak Toni, dan sisanya untuk modal usaha suamiku.

""Bagaimana kalau pinjam pada Nyonya, Ran,"" usul Lina.

""Aku tidak berani, Lin.""

Aku menuntun Meimei di antara hamparan rumput hijau. Tuan dan Nyonya menemani Kakek beristirahat di pondok wisata yang sengaja disewakan untuk para wisatawan bersantai.

""Maafkan aku, Ran. Di saat seperti ini tidak bisa membantumu,"" kata Lina.

""Aku juga tidak ingin merepotkan kamu, Lin,"" jawabku tulus. Aku mengerti posisi Lina sebagai orangtua tunggal bagi kedua anaknya. Beban berat dipikul pundaknya sebagai tulang punggung keluarga.

""Meimei ....""

Aku dan Lina serentak menoleh ke arah asal suara itu. Nyonya terlihat berjalan mendekat. Ia menatapku penuh tanda tanya. ""Ran, ada apa? Kenapa wajahmu murung.""

""Ibunya harus menjalani operasi, Nyonya,"" jelas Lina.

""Benarkah, Ran?"" selidik Nyonya.

Aku mengangguk. Secara singkat aku menceritakan semuanya dan Nyonya mendengarkan dengan seksama.

""Apakah kamu membenci ibumu, Ran?""

Aku menggelengkan kepala. ""Tidak, Nyonya.""

""Berarti kamu sudah memaafkannya?""

""Iya, nyonya.""

""Sikapmu benar, Ran. Tidak ada orang yang bisa mengubah kenyataan. Akan tetapi belum terlambat untuk mengubah sikap."" Nyonya menghela napas sejenak.

""Aku pernah merasakan hal yang sama. Rett sindrome adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, tetapi terus bersedih tidak akan mengubah apapun. Impianku sederhana, aku ingin Meimei sehat dan bahagia. Aku berusaha agar Meimei seperti anak-anak yang lain. Walaupun aku belum bisa memberikan yang terbaik,"" kata Nyonya sambil mengelus rambut putri tunggalnya.

Meimei memandang wajah mamanya. Tangannya berusaha menyentuh wajah Nyonya, seakan ingin berkata; ""Ma, jangan bersedih. Aku akan baik-baik saja.""

Memang sebagian besar orangtua pasti ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Aku, Lina dan para pekerja migran lainnya juga ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga di tanah air.

""Ran, aku bisa meminjamkan beberapa bulan uang gajimu terlebih dulu untuk biaya operasi itu. Kalau kamu mau."" Tiba-tiba Nyonya menawarkan.

""Benarkah Nyonya? Terima kasih atas kebaikanmu."" Rasa haru membuat suaraku bergetar. ""Terima kasih, Nyonya.""

Nyonya menepuk pundakku lalu mengajak kami beranjak meninggalkan tempat ini.

***

Dua minggu kemudian.

""Ran, operasi pengangkatan rahim dan mioma edenomiosis tadi berjalan lancar. Sekarang ibumu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, tapi belum bisa di ajak bicara karena masih dalam pengaruh obat bius. Hari ini Nenek Pia juga datang dan menemani ibumu di sana. Kamu jangan khawatir. Kami di sini akan merawatnya."" Ucapan suamiku bagaikan sebuah oasis yang menyejukkan hatiku.

Perasaanku menjadi lega. Aku bersyukur karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk berbakti kepada orangtua. Ternyata bila kita bisa menerima kenyataan dengan sabar dan penuh rasa ikhlas, maka kehidupan ini akan lebih bermakna.

Saat ini aku mempunyai impian yaitu ingin berusaha mandiri, berkumpul kembali dengan keluarga di Indonesia, untuk membagikan cinta sederhana yang aku punya.

Ada satu lagi keinginan, aku ingin memeluk wanita yang selama ini aku rindukan kehadirannya dan berkata,"" Aku mencintaimu, Ibu.""

Semoga masih ada kesempatan, karena aku pun tidak pernah tahu kapan harus pergi meninggalkan dunia.


Tamat.

Taipei, 10 Mei 2015



Catatan:

*deja vu: artinya pernah melihat atau merasakan. Suatu pengalaman yang dirasakan dan seakan pernah terjadi sebelumnya.

*rett sindrome: adalah gangguan genetika yang mengakibatkan adanya gangguan perkembangan otak. Gejalanya bervariasi pada setiap anak. Penyandang rett sindrome memerlukan bantuan orang lain seumur hidupnya, untuk melakukan tugas-tugas rutin seperti makan, mandi, berjalan, dsb.

*mioma adenomiosis: adalah salah satu jenis mioma atau tumor jinak. Karena adenomiosis dan rahim sangat sulit dipisahkan, sehingga biasanya operasi pengangkatan dilakukan pada keduanya.