2015/5/9 / Setyana. S / Annua, Begitulah Mereka Memanggilku / Indonesia 印尼 / Sindy. S
Bismilahirohmanirohim,
Annua, Begitulah Mereka Memanggilku !
By : Setyana. S
There is no failure except in no longer trying. ˷Elbert Hubbard˷
Pernah mengalami sebuah kegagalan mungkin kita sedang bergelut dengan namanya kenyataan, tergantung kita membekali hati dengan terus berjuang untuk menang atau menyerah pada kegagalan. Dan aku memilih untuk terus berjuang karena waktu masih memberiku kesempatan. Seperti kata Elbert Hubbard, tidak ada kegagalan kecuali tanpa mencoba lebih lama. Akhirnya, aku putuskan untuk kembali menyapa Taiwan dengan segala mimpi dan harapanku.
*****
Taiwan, masihkah kau seperti 2 bulan yang lalu kala aku berpamit pulang untuk menjenguk Indonesiaku sejenak. Aroma musim dingin di bulan Maret masih tercium pekat setelah menginjakkan kaki sampai di Bandara, Taoyuan. Dengan koper ungu dan tas laptop yang ku jaga dengan sangat hati-hati melewati kerumunan pasar yang sangat ramai bersama suster muda yang menjemputku untuk mengantarkanku menuju panti jompo tempat kerja yang baru.
Sesampainya di panti, lemparan senyum ramah para karyawan lain mulai menyamankan kehadiranku untuk kali pertama ini dengan tetap mengenakan hijab. Suasana yang penuh kekeluargaan mulai terpencar di segala sudut. Terlihat ada beberapa orang Indonesia dan Vietnam yang menyapaku. Setelah perkenalan dengan beberapa karyawan dan egency juga belum sampai, akhirnya aku diajak ke asrama wanita untuk beres-beres kamar oleh Shu Lin cie-cie.
“Anna, sementara kamu tidur dengan Ai ya, karena kamar sebelah sudah penuh.” Penjelasan Shu Lin cie cie sembari membantu membawa sebagian barang-barangku.
“Iya cie, terima kasih.” Jawabku dengan sesumbing senyumku.
Tak berapa lama egentcy datang dan kita berdiskusi sebentar untuk mengurus dokumen. Setelah selesai, ada seorang suster cantik yang mengajakku berkeliling setiap lantai untuk berkenalan dengan karyawan lain dan sekaligus memberi pengarahan tugas apa saja sebagai nurshing home itu. Alhamdulilah, tak ada yang complain mengenai hijab yang aku kenangan. Dan akhirnya aku tetap berhijab dalam bekerja.
*****
Hari pertama kerja, memang sedikit tegang. Apalagi menangani pasien secara langsung membuatku canggung dalam memulai bekerja. Jam 8 pagi mulai kerja sampai jam 8 malam harus berkutat dengan pasien sekitar belasan orang yang jenis penyakitnya berbeda-beda benar-benar membuatku gagap. Namun karena aku baru pertama mengawali kerja, ada teman se-Indonesia yang mengajariku bagaimana merawat pasien. Dari yang tensi darah, memberi makan, memberi susu, tepuk punggung, ganti popok, turun ranjang, balik badan, selalu perhatikan kondisi dan kebersihan pasien serta masih banyak kerjaan lainnya. Tak ku sangka sebelumnya ternyata secapek ini untuk bekerja sebagai nurshing home.
12 jam telah berlalu serasa kedua kaki dan tanganku seperti kaku membeku. Seharian seluruh raga dipaksa sigap dan cepat untuk menangani pasien dalam jumlah banyak. Apalagi omelan dari suster dan keluarga pasien yang super menyayat kuping sering terlontar apabila mengetahui kesalahan yang tak sengaja ku perbuat. Dulu merawat 1 pasien saja pusingnya bikin gila, ini menangani puluhan pasien seakan meledak isi kepalaku.
Pekerjaan baru ini bukan sembarangan bekerja namun harus teliti dan sangat hati-hati karena ini menyangkut nyawa seseorang. Penuh tanggung jawab, kesabaran ekstra dan hati yang penuh kasih sayang untuk merawat pasien-pasien. Mungkin karena baru jadi terkesan berat dan belum terbiasa. Aku yakin dengan perlahan aku akan menikmati pekerjaan sesuai dengan impianku untuk tak ingin gagal lagi.
Semakin hari kesibukan di panti semakin ku nikmati. Dengan mulai berteman dengan pasien-pasienku. Dan juga suster yaitu orang Taiwan asli. Selain bekerja ternyata aku juga bisa sekalian belajar mengenai kesehatan. Mulai dari mengenali beberapa penyakit, melakukan CPR terhadap pasien yang darurat, serta tahu beberapa cara menghadapi pasien yang terkena demam, darah tinggi, gula darah tinggi, gula darah rendah dan berbagai hal yang bermanfaat lainnya. Karena setiap minggunya diadakan sekolah 1 jam oleh ketua suster untuk memperdalam ilmu medis. Dan lagi aku dapat jatah libur sebulan 4-5 hari sebulan. Kesempatan untuk melanjutkan kuliahku semester 3 di Open Univercity terbuka lebar.
“Ama, Akong selamat pagi, sudah sarapankah?” Sapaan manjaku kepada pasien saat akan memulai kerja.
“Annua, selamat pagi juga. Aku sudah kenyang. Kamu sarapan apa?” Begitulah pasien memanggilku dengan sebutan Annua. Karena Anna dalam bahasa Thai artinya sama dengan istilah Annua. Aku sangat senang ketika mereka memanggilku Annua, karena orang lain seperti suster dan keluarga pasien bisa tertawa ketika ada pasien memanggilku dengan sebutan Annua.
*****
Setelah beberapa bulan kemudian kesibukan di panti bertambah rumit karena ada beberapa anak Indonesia pulang ke tanah air. Yang biasanya masa kerja rata-rata hanya 12 jam berubah menjadi 14 jam - 18 jam perhari. Ditambah telah memasuki semester 3 dan aku juga sudah mendapatkan ijin dari kepala suster boleh sambil sekolah. Harus benar-benar bisa mengatur waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas.
Serasa terkuras semua tenaga bila setiap hari lembur antara 4-6 jam. Pukul 10.00 malam baru bisa bernafas lega terbebas dari pekerjaanku. Sesampainya di asrama bila membaca buku atau mengerjakan tugas kuliah mataku sering aku oleskan balsem atau minyak kayu putih agar bisa melek dan tak mengantuk sampai jam 12 malam bahkan sampai jam 1 pagi. Namun tak jarang aku malah tertidur pulas di atas bantalan buku tebalku saking capeknya. Sering aku bawa beberapa buku waktu bekerja, ku baca bila waktu istirahat untuk mempercepat pemahaman. Karena takutnya malam sering ketiduran jadinya tidak bisa belajar.
Terlebih minggu-minggu ini tidak ada libur. Mungkin hanya sekali dalam sebulan. Benar-benar capek yang luar biasa. Pernah suatu hari suster kepala mencariku untuk lembur dari jam 2 pagi sampai jam 8 malam untuk menggantikan teman kerjaku yang sedang sakit. Dengan berat hati aku menyetujuinya saja. Dan akhirnya pukul 1.30 pagi aku bangun untuk bergegas meninggalkan tempat tidur yang sulit aku tinggalkan. Mata yang masih sembab karena hanya tidur beberapa jam saja namun karena kewajiban harus aku kerjakan.
Sesampainya di tempat kerja :
“Mbak Cindy, ngantuk mbak!” keluhku pada teman kerja yang sudah kuanggap seperti kakaku sendiri.
“Semangat yah dek, kalau masih ngantuk tuh ada sumpit untuk mengganjal matanya.” Begitulah Mbak Cindy mengejekku ketika ia bertugas shif malam untuk mengusir kantukku.
******
Dengan banyaknya waktu lemburan kini pasien-pasienku juga mulai rewel. Karena pasien kebanyakan adalah para lansia, banyak diantaranya yang mengidap penyakit Dementia. Bisa disebut sebagai penyakit penurunan fungsional yang disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak. Gejalanya seperti pikun, gampang marah. Seperti kebanyakan pasien seperti itu. Sudah dikasih makan tapi katanya belum. Sudah minum obat katanya belum. Terus bila daya emosional pasien meningkat bisa sampai melukaiku seperti mencakar dan memukul.
Selain Dementia ada lagi jenis penyakit yang di derita pasien yaitu Parkinson. Sebuah penyakit degenerative syarat dengan gejala yang paling sering dijumpai adalah kesulitan untuk memulai pergerakan dan kekakuan otot dan bisa dibilang lumpuh dan tidak bisa bicara. Dan setiap harinya aku harus membopong pasien untuk turun ranjang – naik ranjang didudukkan di kursi roda agar kelumpuhan bisa diperlambat. Apabila dibiarkan terus tertidur di ranjang akan semakin kaku tubuh pasien. Berat badan pasien banyak yang melebihi berat badanku, membuat pinggangku terasa sakit saat mempobongnya.
Masih banyak lagi beberapa jenis penyakit yang banyak diderita pasien seperti Diabetes Melitus, CNS Infection, Pneumornia, COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease), Sepsis, Ischemic stroke, Bed Sore, Bilateral otitis, Asthma, Hydrocephaius, dll. Salah satu keuntungan bekerja sebagai nurshing home ialah mendapatkan ilmu medis tanpa sekolah untuk mengetahui beberapa jenis penyakit, gejala dan penanggulangannya yang sangat bermanfaat di kemudian hari.
******
Hari berlalu sekencang hembusan angin senja bulan Juni ini. Kesibukan yang menghayutkan waktu terasa begitu cepat. Hingga terjadi suatu kejadian yang paling aku ingat sepanjang masa. Tepatnya setelah memberikan minum susu kepada pasien yang memakai selang di hidung. Tiba-tiba perutku terasa sakit yang tak biasa. Bukan datang bulan, tapi mengapa perutku begitu sakit sekali. Rasanya perutku seperti ditusuk-tusuk. Sempat ku tahan sejenak untuk membersihkan peralatan minum susu pasien, kemudian aku langsung pergi ke kamar mandi.
Masih kurasakan sakit di perutku yang semakin menjadi. Keringat dingin mulai bercucuran. Perasaan khawatir terus membayang. Kedua tanganku terus mengusap perut yang kesakitan.
“Apa yang sedang terjadi padaku ya Allah.” Dengan daya yang semakin melemah.
Karena posisiku masih duduk di klosed, perlahan aku mulai berdiri untuk segera memberitahu ke suster. Namun, sakit yang luar biasa dan tak bisa ku tahan akhirnya aku terjatuh di dalam toilet. Tubuhku melemah masih dengan kesakitan di perutku. Aku coba memanggil temanku dan suster namun suaraku tak cukup untuk berteriak kencang.
“Cie-cie, cie-cie, cie-cie.” Aku terus berusaha memanggil teman kerjaku, mungkin ia tak mendengar.
Dengan mengesot di lantai kuraih pintu toilet dengan menggedornya. Terus menggedor pintu supaya ada yang datang menolongku. Akhirnya tak berapa lama datanglah Acin teman kerjaku orang Vietnam dengan raut yang shock dia melihatku terduduk di lantai toilet. Lalu dia memanggil suster untuk memberitahu apa yang terjadi denganku. Dengan cepat Acin dan suster membopongku keluar dari toilet.
“Apa yang terjadi padamu, Ann!” Tanya si suster dengan raut sangat khawatir.
“Perutku sakit sekali.” Semakin pucat dan lemas tubuhku
.
Bergegas suster langsung memeriksa perutku dan menelpon sopir panti untuk mengantarku pergi ke rumah sakit. Karena suster takut bila terjadi apa-apa denganku.
Sopir pun datang dan membawaku berobat ke Hong Ren Hospital. Sesampainya di rumah sakit aku menjalani beberapa pemeriksaan seperti pengambilan darah, pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan sinar X rontgen. Setelah selesai dan menunggu hasil labnya, dokter memanggilku. Dokter yang ramah mempersilahkan aku duduk di dekatnya dan bertanya apa yang terjadi padaku.
“Kamu bisa berbicara bahasa Inggris?” Tanya dokter dengan menulis di secarik kertas.
“Bisa dok, tapi tidak begitu bagus.” Jawabku singkat.
Dengan menyodorkan secarik kertas yang ia tulis, dokter memberitahuku bahwa perkiraan penyakit ini yang mungkin aku derita. Dengan perasaan campur aduk, takut dan khawatir ku beranikan membaca tulisan dokter.
“Appendecitis”
“Apa itu Appendecitis?” Dengan kepasrahan yang sulit aku terima, hatiku tertunduk diam. Entah, aku tak tahu harus berkata apa.
Dengan mendengarkan pengarahan dokter, akhirnya aku disuruh dokter untuk dirujuk ke rumah sakit besar di Sancong Hospital. Sepanjang perjalanan meninggalkan Hong Ren Hospital ternyata alampun ikut menangis. Hujan turun menambah keheningan pada kaca mobil yang melukis sebuah isyarat. Sambil mencari tahu arti dari Appendecitis lewat aplikasi google di handphoneku. Akhirnya ketemu. Appendisitis adalah peradangan mendadak atau pembengkakan usus buntu. Yang gejalanya sama dengan yang aku alami merasakan sakit nyeri tajam dimulai pada perut bagian tengah di sekitar pusar dan menjalar ke daerah kanan di bawah perut.
Bukannya aku takut mati, karena semua mahkluk hidup semua pasti akan mati.Namun malah bayangan kedua orangtuaku yang memenuhi pikirkan.
“Cobaan apalagi ya Allah yang Engkau berikan untukku, ketika aku belum bisa membuat bahagia kedua orangtuaku. “ Sempat menetes air bening dari kelopak mataku.
Sesampainya di Sancong Hospital aku masih melalakukan berbagai pemeriksaan seperti di Hong Ren Hospital. Parahnya jarum infuse harus bersarang di tangan kiriku. Setiap tetes air yang masuk ke tubuhku, seperti tusukan jarum melukai tanganku. Dokter yang menangani belum memberikan keterangan lebih lanjut. Aku mulai tak nyaman dengan keadaan ini. Ingin rasanya aku lepas selang infuse dari tanganku dan secepatnya pergi dari sini.
Jam dinding menunjukkan pukul 11.00 malam. Baterai handphoneku mulai lowbet dan aku berusaha mencari dokter untuk minta ijin pulang. Karena aku hanya sendirian di rumah sakit dan tak ada yang mendampingi, sopir pulang kembali ke panti. Mungkin nanti sesampainya di panti ada suster yang merawatku. Setelah dokter meminta nomer telepon untuk berdiskusi dengan suster di panti, akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan kondisi perutku yang sudah mendingan dengan minum beberapa resep obat dari dokter.
*****
Keesokan harinya egentcy datang mengantarkanku berobat ke Shin Kong Hospital untuk pemeriksaan lebih lanjut. Karena di sana biaya berobat lebih murah. Lagi-lagi aku harus melakukan beberapa pemeriksaan seperti di rumah sakit sebelumnya dan infuse juga kembali menancap di tanganku. Kemudian ada dokter yang sangat ramah yang menangani penyakitku. Dia bertanya kepadaku mengenai penyakitku. Dalam perbincangan kita, dokter menyarankanku untuk operasi.
“Dok, jika saya melakukan operasi apa ada efek samping terhadap tubuh saya. Saya takut karena saya belum menikah dan belum punya anak.” Kecemasan yang luar biasa memperkeruh dilema kepasrahanku.
“Efek sampinya hanya berpengaruh terhadap wanita dengan perbandingan 1000 : 10 wanita saja. Percayalah, saya akan melakukan yang terbaik untukmu.” Sambil menepuk pundak kananku, dokter mencoba memberi semangat dan keyakinan.
Tak lama kemudian dokter memberitahuku untuk melakukan satu tes X-Ray Rontgen lagi untuk melengkapi data yang kurang lengkap. Memang harus menunggu lama untuk mengantri mendapat giliran untuk melakukan rongsen. Aku tertidur di ranjang sambil memandang selang infuse yang terus menetes ke dalam syaraf tubuhku. Sesekali aku pergi ke kamar mandi dengan menggunakan kursi roda. Tubuhku melemas tak berdaya.
Setelah menunggu lama akhirnya datanglah seorang karyawan rumah sakit yang membawaku menuju ke ruangan X- ray rontgen untuk melakukan pemeriksaan. Sesampainya di ruangan, kecemasanku bertambah besar setelah melihat betapa besarnya peralatan medis yang canggih. Aku disuruh tidur di tempat yang disediakan oleh dokter. Tiba-tiba tubuhku perlahan masuk ke dalam X-ray rontgen. Selang beberapa menit proses pemeriksaan selesai dan aku kembali diantar ke kamar pasien.
Dengan senyum yang sangat ramah dokter tadi menghampiriku di dalam kamar. Seperti sebuah keajaiban yang mengilhami hidupku, dokter memberitahu untuk tidak jadi dilakukan operasi karena hasil lab menyebutkan bahwa hanya terjadi luka pada ususku dan infeksi air kencing bukan penyakit radang usus. Seketika aku menangis bahagia dihadapan dokter.
“Ya Allah, terima kasih atas keajaiban untukku.”
Dokter menjelaskan bahwa terdapat luka pada usus dikarenakan terlalu
menahan mengangkat beban berat serta infeksi air kencing disebabkan kurangnya menerapkan hidup sehat seperti kurang minum air putih dan menunda kencing bila terasa ingin kencing. Dokter juga bilang dengan minum resep obat darinya dan perbanyak minum air putih serta istirahat yang cukup kondisiku segera pulih. Dan aku juga menceritakan kepada dokter mengenai pekerjaanku yang menyebabkan aku sakit.
*****
Beberapa hari kemudian setelah sembuh akhirnya aku kembali bekerja. Kepala suster menyuruhku kerja shif malam supaya tidak merasakan kecapekan. Meskipun perutku sudah tak lagi sakit, namun ketakutan masih menghantui. Aku selalu berpikir dengan pekerjaan yang seperti ini mungkin bisa terulang kembali kejadian seperti kemarin. Lagi-lagi perasaan trauma ini mulai menekan pikiranku.
Sempat berpikir bagaimana dengan kondisiku kedepannya bila terus-terusan melakukan pekerjaan berat. Apakah aku harus pindah dan mencari pekerjaan lain yang tak begitu berat. Namun, kontak kerjaku belum habis masa potongan. Tak terasa air mataku mulai mengalir lewat sudut-sudutnya.
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan untuk terus berjuang meraih mimpi dan membahagiakan orang tuaku. Aku lelah.” Dini hari di mana pasien terlelap dalam tidurnya, sedang aku malah berteriak kepada semesta.
Tak sadar ada satu pasien yang mengamatiku. Secepat tanganku mulai menghapus basahan air mata yang sempat keluar.
“Annua, kamu kenapa menangis, cepatlah beristirahat.” Pasienku yang sering aku panggil Ape ternyata belum tidur malah memperhatikanku sejak tadi.
“Aku tidak apa-apa, Ape. Hanya kecapekan saja.” Jawabku sambil merapikan selimut Ape yang berantakan.
Namun, sepertinya Ape tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Pandangannya menatapku penuh curiga.
“Annua, sudahlah jangan bersedih. Kamu harus tetap semangat.” Seketika tangisku tumpah tak tertahankan. Dini hari yang hening menjadi semakin mencekam. Seakan kesedihan yang mendalam tak mampu aku sembunyikan. Di hadapan Ape aku menangis tersedu. Kemudian Ape mulai bercerita kepadaku.
“Annua, jika aku boleh memilih mati sekarang, aku ingin lebih baik mati saja. Daripada bertahan hidup penuh dengan kesakitan yang luar biasa. Dan lagi kasihan istriku yang harus bekerja keras dari pagi sampai jam 2 malam untuk membiayai semua pengobatan dan biaya hidup bersama anakku yang masih sekolah. Namun aku harus bertahan hidup demi anakku yang sangat membutuhkanku. Anakku sangat mengharapkan aku bisa segera sembuh. Jika aku menyerah begitu saja pada penyakitku, itu artinya aku tak pernah menyayangi istri dan anakku. Aku harap kamu mengerti, Ann.” Sekejab tangisku tumpah dan ku peluk tubuh lemah Ape, dalam linangan air mata dan kelegaan atas sebuah kesadaran.
Sebuah kenyataan pahit yang tak seberapa besarnya dengan apa yang terjadi padaku. Seperti tamparan lembut untuk menyadarkanku. Bahwa memang kita harus berjuang demi orang yang kita cintai, karena perjuangan itulah yang menandakan betapa besarnya rasa cinta terhadap orang yang kita cintai seperti kedua orangtuaku.
******
Setelah perbincangan dengan Ape yaitu pasien yang menderita penyakit komplikasi Jantung dan Diabetes serta harus melakukan cuci darah rutin seminggu 3 X rasanya malu terhadap diriku sendiri. Ape saja yang sakit namun terus semangat untuk bertahan hidup, sedang aku yang masih muda mudah menyerah dan sering mengeluh. Namun setelah mendengar cerita dari Ape membuat nyala api semangat mulai berkobar di hatiku. Aku harus terus berjuang demi mimpi dan kedua orangtuaku. Anggap saja apa yang telah terjadi sebagai batu loncatan untuk mencapai kesuksesan.
Seharusnya aku berterima kasih telah datang ke Taiwan. Semua kesempatan yang aku dapatkan seperti boleh berhijab dalam bekerja dan boleh melanjutkan sekolah itu lebih dari keberuntungan yang tak setiap orang mempunyai kesempatan seperti ini selama bekerja di Taiwan. Serta mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman medis/kesehatan yang bisa berguna di masa mendatang, bisa berkenalan dengan banyak pasien yang menyenangkan meskipun terkadang sangat menjengkelkan namun mereka sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri rasanya aku hidup bersama keluarga besar penuh kasih sayang. Dengan penyakitku yang semakin membaik aku ingin lebih menjaga kesehatan dan mengatur pola makan. Aku memilih bertahan di sini dan melanjutkan pekerjaanku sebagai nurshing home. Merawat pasien-pasienku dan melanjutkan kuliah. Semoga nanti jika kembali ke tanah air bukan hanya uang yang ku bawa pulang, melainkan ucapan “CUMLADE” dari teman-teman yang menungguku di Indonesia.
******
Keesokan harinya, aku bertemu dengan Ai dapur. Sudah hampir seminggu ia tak bertemu denganku.
“Annua, li uga ho bo?” Ai sering berbicara bahasa Thai denganku. Yang artinya ia bertanya apakah aku sudah baikkan.
“U, Ai wa bo annua.” Ai malah tertawa riang mendengar candaanku yang mengatakan bahwa aku tidak apa-apa. Karena aku menyebut nama panggilanku sendiri dalam bahasa Thai.
Sepenggal kisah perjalan hidup.
Tamat.
Taipei, 9 Mei 2015
Note : Untuk mbak-mbak dan mas-mas yang bekerja di Taiwan harap menjaga kesehatan dengan pola hidup yang sehat. Dengan pekerjaan yang banyak menguras tenaga atau kurang istirahat perbanyaklah minum air putih atur pola makan. Karena sehat itu nikmat Tuhan yang tak bernominal. Pasien saja kita rawat dengan sepenuh hati, masak tubuh kita tidak. Good Luck