Nyanyian Kakek yang luar biasa

2015/5/9 / Enda Asnia / Nyanyian Kakek yang luar biasa / Indonesia 印尼 / Tidak ada

Nyanyian Kakek yang luar biasa

Oleh: Enda Asnia

Pagi, dengan suasana langit yang muram, namun berhiaskan kicauan burung yang riang. Ah! Nyanyiannya tetap merdu meski berirama rintik hujan.
Aku yang masih dan selalu terbelenggu rutinitas harian. Menyapu, mengepel dengan setumpuk cucian yang menunggu dapat sentuhan. Belum lagi, bau pesing ompol Kakek tadi malam.
Ehem! Lengkap sudah hariku yang buram.
Ada juga, teriakan Tuan dan Nyonya yang meminta sarapan harus siap jam 7 pagi, titik tidak pakai koma. Ditambah si putri yang manja itu. Ah! lengkap dan lengkap sudah.
Tapi pesing pun jadi wangi jika ingat gajian ... hehe, begitu pun omelan majikan seperti nyanyian dangdut lumayan buat hiburan.

Aku ingat juga heran, ketika melihat video yang sering bermunculan di beranda fasebookku, beberapa hari yang lalu.
Apa kata mereka? Kerja di luar negeri enak, gaji jutaan, bisa liburan tiap bulan, tiap hari facebookan, internetan sepuasnya.
Coba, kalau mereka berada di posisiku kala itu.
Atau mungkin mereka beruntung mendapat majikan bersayap malaikat yang entah.

Ada juga yang dengan lantang, menghancurkan barang-barang elektronik yang mahal. Sayang sunguh sayang, karena mungkin gajiku satu bulan tidak mampu untuk membelinya. Mbok ya dikasih ke aku saja, untuk menggantikan hape jadulku yang hampir inalillah ini. Lumayan kan, hitung-hitung irit, biar gajiku tetap bisa masuk tabungan tiap bulan. Mengharap gitu ... hehe.
Disitu kadang saya merasa sedih. Uppss!

“Siaucie, ayolah kita ke taman jalan-jalan!” teriak Kakek yang mungkin mulai bosan menungguku menjemur baju di belakang, sambil menggerutu sendirian.

“Siaucie!” Panggilan Kakek kembali menggelegar.

Ah! Kakekku yang genit ini. Sudah 2 tahun lebih merawatnya tetap saja tidak hafal juga memanggil namaku. Selalu Siaucie, salah satu panggilan nona dalam bahasa Taiwan. Tapi entah kenapa, jika ditanyakan tentang nominal uang dia tidak pernah lupa. Hem!

Mengajak Kakek jalan-jalan setelah sarapan adalah salah satu rutinitas harianku. Kakek suka melihat udara luar. Apalagi jika berpapasan dengan nona cantik. Wow ... matanya menjadi lebih lebar.
Seperti pagi ini  ketika kami dalam perjalanan pulang dari taman.
Kebetulan ada seorang perempuan berjalan di depan kami. Memakai kaos ketat tanpa lengan dengan celana jeans yang hanya menutupi sebagian pahanya, sangat seksi. Memang cuaca pagi ini sangat panas. Jadi tidak heran jika banyak warga Taiwan yang berpakaian mini.

“Wuahhhh! Perempuan ini cantik sekali!” guman Kakek tiba-tiba dengan bahasa medok tayinya.

Untung si perempuan tidak mendengar. Aku hanya tersenyum dan salut dengan penglihatan Kakek yang luar biasa ini. Padahal dia sudah berumur 95 tahun, hanya tidak bisa berjalan karena kakinya mulai menyusut dan sedikit pikun. Mungkin juga karena umur, jadi kemanapun pergi hanya mengandalkan kursi roda. Hebat sekali bukan.

Apalagi ketika tengah malam. Disaat dia mulai kumat, begitu lihainya dia mengubah kamar tidur kami menjadi semacam KTV. Lalu dengan PeDenya berdendang ria tanpa dosa. Bagai penyanyi rock yang kena Flu, dengan volume yang mentok alias full. Bayangkan saja betapa sungguh sangat luar biasa dan menakjubkan. Lantas, diriku hanyalah sebagai penonton dengan muka yang paling cemberut sedunia. Sungguh sangat menyebalkan.

“Siaucie! aku lapar, dari tadi pagi belum makan,” pintanya dengan mimik mengenaskan. Padahal saat itu jam dinding sudah menunjukkan pukul 02:30 dini hari.

Inilah bagian kebiasaan buruk yang lebih menyebalkan, setelah acara menyanyinya selesai. Lalu, aku yang memang baterainya sudah ngedrop, melangkah dengan hati dongkol. Menyiapkan makan malam untuknya. Karena jika tidak, bakalan bergadang semalam suntuk aku dibuatnya. Setelah makan Kakek akan tidur pulas sampai besok pagi.

***

Bicara tentang Kakekku yang luar biasa ini, pernah suatu hari mengerjaiku habis-habisan. Memang sudah jadi kebiasaannya, tidur siang dari jam 1 sampai jam 4 sore.
Seperti biasa tepat jam 4 sore, aku setia membangunkan dan membawanya ke taman untuk kedua kalinya. Tapi hari ini ada kejanggalan, sudah kubangunkan berkali-kali, dia tak menyahut. Begitu pula ketika kugerak-gerakan badannya, tetap saja membisu.

Aku benar-benar gugup, pingsankah kakek atau jangan-jangan ...? Ahh! tidak mungkin. Dia masih bernafas pun detak jantungnya masih ada, batinku.

Bingung dan takut terjadi apa-apa dengan kakek membuat pikiranku semakin kalut. Segera kusambar gagang telepon untuk menghubungi  majikanku dan menjelaskan apa yang terjadi dengan Kakek, serta meminta mereka segera pulang.
Aku yang menunggu majikan  dengan khawatir apalagi Kakek tetap diam dan tak bergerak.

“Bagaimana dengan keadaan Kakek?” tanya Tuan dan Nyonya setelah datang lalu segera masuk kamar dan melihat Kakek.

“Tidak panas,” katanya lagi setelah menyentuh dahi Kakek.
Lalu dia memanggil Kakek beserta menggerakkan tubuhnya pun tetap nihil.

Aku yang dari tadi berlinangan air mata kembali mendekat dan memanggil-manggil nama Kakek, sembari menunggu mobil ambulans yang telah ditelepon Tuan datang.

Namun apa yang terjadi, tiba-tiba Kakek membuka mata dan ... “Hushhh!!! Jangan berisik gangu saja orang tidur, pergiii sana!” bentaknya dengan nada ketus. Kami hanya melonggo dibuatnya.

Reflek aku memeluknya dengan tangis kelegaan.
Aku tidak peduli meski mulut Kakek menggerutu tidak karuan. Walaupun kadang dia begitu menyebalkan, dengan ulahnya yang hampir tiap hari membuatku kelabakan. Ternyata jauh dari lubuk hati, aku mencintainya seperti Kakekku sendiri. Begitu pula kicauannya adalah nyanyian hiburan yang paling riang, ketika aku berada pada titik kejemuan.

“Sudah, Acen, tidak ada apa-apa. Kakek baik-baik saja. Dengarlah, Kakek bilang kamu sedang menggodanya, nanti dilaporkan pada Nenek,” kata Nyonya yang dari tadi menepuk-nepuk punggungku.

Kontan saja kami tertawa, karena Nenek telah lama tiada.
Kakek terlihat tersenyum menang melihatku tampak kuyu setelah menangis tadi. Mungkin dia puas karena telah berhasil mengerjai kami.

Namun di balik kejahilan Kakek. Dia sangat penyanyang dan selalu mengobarkan semangat ketika aku rapuh dan hampir menyerah. Seperti ketika aku baru beberapa bulan bekerja di rumah ini. Aku yang memang baru pertama kali bekerja di Taiwan. Semua serba sulit, apalagi masalah bahasa yang tentu belum begitu menguasai menjadi kendala besar. Kakeklah penuntun dan pengajar yang baik untukku. Apalagi dengan tekanan majikan yang belum sepenuhnya percaya padaku. Sering uring-uringan dan menuduhku yang bukan-bukan.

Pernah suatu pagi dihari minggu, ketika aku baru pulang dari taman membawa Kakek jalan-jalan.
Majikan perempuan atau Nyonya menyambutku dengan muka masam.

“Acen, kamu kan yang mengambil anting yang aku simpan di dalam laci kemarin?” Tanya Nyonya dengan sinis.

Tentu saja aku sangat kaget dan juga tersinggung dengan pertanyaan itu. Aku hanya mengelengkan kepala.

“Siapa lagi yang bisa mencuri di rumah ini kecuali kamu?”

“Sungguh, Nyonya, saya tidak mengambilnya.”

“Jangan bohong, kamu sudah jual yaa? Dan uangnya kamu kirim untuk keluargamu di Indonesia, bukan?”

Ini bukan menuduh tapi memfitnah.

“Kalau tidak percaya geledah saja barang-barangku!” Kataku sembari berjalan menuju kamar. Tapi sungguh, aku kecewa ketika mendapati barang-barangku sudah acak-acakan.
Ternyata Nyonyaku sudah terlebih dahulu menggeledah semua barangku, sebelum bertanya padaku. Sangat tidak sopan.

“Apa anda menemukan barang anda di kamar saya, Nyonya?” Tanyaku setelah keluar kamar.

“Orang kamu sudah jual, bagaimana bisa aku menemukannya di sini!” jawabnya ketus.

Tuduhan ini sangat tidak adil untukku. Selama ini aku selalu bersabar dengan perlakuan Nyonya yang semena-mena padaku. Seperti ketika dia memarahiku karena baju yang sudah aku setrika kurang rapi dan tanpa belas kasihan menginjak-injaknya, lalu menyuruhku mencucinya lagi dengan tangan. Meski perih aku masih bisa sabar kala itu. Tapi kali ini aku benar-benar tidak terima harga diriku direndahkan dengan tuduhan yang tanpa bukti.

“Nyonya, saya memang mencari uang , tapi saya ingin mendapatkan uang dengan kerja keras, bukan mencuri seperti yang Nyonya tudahkan!” kataku dengan lantang.

“Ehhh, kamu sudah mulai berani membantah, yaa!” gertak Nyonya sembari mengangkat tangan hendak menamparku, namun tercegah oleh Tuan.

“Saya tidak membantah, Nyonya, saya hanya membela diri karena memang saya tidak pernah mencuri barang anda,” kataku tak kalah kerasnya, lalu aku masuk kamar dan menangis.

Aku tidak peduli jika aku harus dipulangkan. Karena aku memang tidak bersalah.
Samar-samar aku dengar mereka bertengkar. Meski tidak jelas tapi aku yakin Kakek dan Tuan membelaku, dengan perginya Nyonya ke kamar dan membanting pintu.
Tidak begitu lama Kakek masuk kamar dengan didorong oleh Tuan.
Kakek dengan segala keterbatasannya, selalu menjadi pembela untukku.

“Siaucie, jangan sedih, aku percaya bukan kamu yang mengambilnya,” hibur Kakek.

“Saya sudah sangat lelah, ingin pulang saja, Kek,” pintaku sambil membenahi pakaianku yang berantakan.

“Kalau kamu pulang siapa yang menjaga Kakek? Sudah, Acen, jangan diambil hati mungkin Nyonya sedang emosi. Sabar yaa, biar aku bicara denganya nanti,” kata Tuan sembari keluar kamar.
Aku hanya diam, sedang Kakek menatapku dengan iba.

Hingga keesokan harinya ketika Nyonya pulang kerja.

“Acen ini untukmu, kemarin memang aku yang salah, maafkan aku,” kata Nyonya sembari menyodorkan bingkisan padaku yang ternyata berisi baju.

“Anting itu, ternyata tertinggal di toko tempat aku membelinya. Saat itu aku buru-buru ada urusan penting di kantor. Hingga aku lupa membawa barang yang sudah aku beli. Untung pemilik toko sudah kenal baik denganku.” kata Nyonya menjelaskan.

Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Inilah untuk pertama kali Nyonya tersenyum ramah padaku.

“Baik-baik jaga Kakek, dia sangat membutuhkanmu,“ katanya seraya menepuk pundakku. Setelah kuucapkan terima kasih.

Sejak itu sikap Nyonya benar-benar berubah. Pekerjaan rumah yang dulu hampir seluruhnya dibebankan padaku, sebisa mungkin dia mulai melakukan sendiri. Kadang masih membantuku memasak pula. Nyonya juga melarangku menyiapkan kebutuhan putrinya yang sangat manja menurutku. Karena sudah kelas SMA apa-apa harus aku bantu menyiapkanya. Sampai mengikat tali sepatu pun menyuruhku kala itu.

Nyonya juga sering memberiku hadiah, bahkan aku diizinkan untuk menggunakan telepon seluler, yang dulu dilarang keras untuk menggunakannya.
Hinga sekarang, ketika usia kerjaku hampir mendekati finis kontrak. Tetap tidak berubah malah menjadi semakin baik dan telah mengangapku bagaian dari keluarga mereka sendiri.

“Ini cucu baru Ayah, yang datang dari indonesia,” Begitulah jawaban Tuan dan Nyonya ketika ada yang bertanya tentang diriku. Satu hal yang selalu membuatku terharu.

Tapi sungguh, bukan hadiah berharga atau hungpau setebal kamus bahasa indonesia di hari raya imlek, yang kami pinta. Hanya sebatas pengertian juga bagaimana mereka mengganggap kami ada, adalah yang paling utama.
Tentu saja gaji yang lancar setiap bulan bukan yang tersendat-sendat ... Hehe.

***

“Acen, 4 bulan lagi kontrakmu habis. Apakah kamu bersedia kembali untuk merawat Kakek?” Tanya Tuan malam ini ketika selesai menyantap makan malam.

Aku terdiam sesaat sebelum menjawabnya.

“Mungkin tidak, Tuan,”

“Kenapa?” Tanya Nyonya.

“Karena Ibu ingin saya menikah setelah pulang nanti,”

“Menikah! Kamu kan masih muda, usiamu baru 25 tahun.” Tanya Nyonya nampak sedikit kaget.

“Mungkin jika di Taiwan usia saya tergolong muda, tapi tidak untuk di Indonesia. Apalagi di kampung saya,” jawabku menjelaskan.

“Begitu yaa, berbeda sekali dengan Taiwan yang usia 40 tahun belum menikah, bahkan banyak orang Taiwan malah tidak ingin menikah. Kalaupun menikah ada yang memilih untuk tidak memiliki anak,” kata Nyonya.

“Memang kenapa, Nyonya?”

“Karena biaya hidup sangat mahal, apalagi harus ditambah biaya pendidikan anak-anak,”

“Lantas, bagaimana nanti ketika mereka sudah tua?” tanyaku lagi.

“Entahlah, mungkin mereka memilih untuk tinggal di panti jompo,” jawab Nyonya.

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ketika diusia senja. Saat tubuh yang dulu kuat menjadi rapuh dan renta. Tanpa ada satupun anggota keluarga yang menemani kita. Hanya ada sepi, sungguh menyedihkan.

Tapi memang begitulah penduduk Taiwan dalam menilai hidup. Dimana mencari dan mengumpulkan uang adalah yang paling utama.
Sangat Jauh berbeda dengan mitos di kampungku. Jika anak gadis yang sudah berumur 25 tahun ke atas dan belum juga menikah. Akan disebut perawan tua yang tidak laku, mengenaskan.
Karena itulah Ayah dan Ibuku tidak mengizinkan aku untuk menambah kontrak kerja. Mereka bersikeras menyuruhku untuk pulang dan menikah.

Andai saja Ayah Ibuku melihat senetron Cinta Suci Zhahrana. Mungkin mereka bisa berubah pikiran. Tapi sayangnya aku bukan Zhahrana yang memiliki gelar sarjana yang juga seorang Dosen.
Aku hanyalah seorang perawat manula yang merangkap menjadi penata laksana rumah tangga di negara maju Taiwan ini.
Tapi sunguh aku tidak ingin seperti Zahrana yang harus kehilangan Bapaknya sebelum menikah.

Maka dari itu aku harus pulang untuk mewujudkan permintaan orang tuaku. Meski majikanku bersedia menambah gajiku. Tapi dengan halus aku menolaknya.
Karena aku tahu letak kebahagiaan orang tua bukan karena harta yang berlimpah saja.
Aku yakin keinginan mereka adalah yang terbaik untukku. Tidak ada orang tua yang rela anaknya dicela.


***

Sudah beberapa malam ini kebiasaan Kakek mulai agak berubah. Jika dulu hampir tiap malam digunakan untuk bergadang. Kini tidak lagi, sudah beberapa hari ini kamar terasa sepi. Begitupun ketika keluar jalan-jalan tidak ada raut riang di wajahnya.
Ketika aku mencoba mengajaknya bercanda Kakek juga tidak merespon dengan senang.
Padahal Kakek tidak dalam keadaan sakit.

Hari ini adalah hari ulang tahun Kakek. Semua anak-anak Kakek beserta keluarga besar berkumpul untuk merayakanya.
Hari ini juga adalah hari terakhir aku bekerja disini, di rumah keluarga Chen.
Tapi aku tetap tak melihat raut bahagia diwajah Kakek. Sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Hingga sebelum meniup lilin, dia mengatakan sebuah kalimat yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

“Aku sedih, aku tidak ingin Acen pulang,” kata Kakek menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Acen, Kakek menyebutnya dengan sangat jelas. inilah untuk pertama kalinya Kakek memanggil namaku.
Hatiku trenyuh, hingga tak kuasa menahan tangis. Aku memeluknya dengan terisak.

***
“Acen, ini hadiah untuk kamu dan Ibumu, terimalah” kata Nyonya sembari menyodorkan sebuah kotak munggil berwarna merah.

Aku menerima dan membukanya. Aku terbelalak, segera menutup dan menyerahkan pada nyonya kembali yang saat itu sedang duduk di tepi ranjang Kakek.

“Hadiah ini terlalu mahal, Nyonya, saya tidak bisa menerimanya.”

“Terimalah, Acen, ini tidak sebanding dengan kerja kerasmu selama ini menjaga Kakek,”

“Tapi ... Nyonya.”

“Atau kamu belum memaafkan kegalakanku ketika kamu baru datang dulu?” Tanya Nyonya.

“Ternyata kamu masih ingat juga?” tambah Tuan yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu.

“Sungguh, saya sudah melupakannya.”

“Jadi terimalah, Maafkan keluarga kami yang mungkin banyak salah padamu, terutama aku,” kata Nyonya sambil menyerahkan kembali  kotak merah yang berisikan 2 buah kalung emas itu.

“Titip salam untuk orang tuamu, setibamu di Indonesia nanti. Kami pasti akan merindukanmu, Acen.” kata Nyonya memelukku erat.

“Berpelukan lama sekali, separti lesbi saja!” suara Kakek yang menggelegar mengagetkan kami.

“Kamu cemburu yaa, Kek, sini biar aku peluk,” kataku sembari hendak merangkulnya.

“Aaaaa! tidak mau nanti Nenekmu marah,” Teriak Kakek.

Tawa Kami pun pecah.
Sebuah percandaan yang akan selalu kuingat dan tak akan pernah sedikit pun untuk aku lupakan.

***

Deru kereta api akan mengingatkanku pada rumah mungil yang penuh cinta ini. Suatu hari aku pasti akan merindukanya.
Kakek tua dengan semua kejahilannya.


Tamat
Changhua Erl Suei