Dilema Kehidupan

2015/5/31 / Ika Doank / Dilema Kehidupan / Indonesia 印尼 / tidak ada

DILEMA KEHIDUPAN

By. Ika Doank

    Dihari ketiga kepindahanku bersama nenek dirumah barunya, aku sudah mulai kerasan dengan suasana lingkungan yang tentu saja baru untukku. Pun dengan nenek (ama), kulihat beliau juga nampak betah dirumah barunya itu. Sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota Taipei, daerah dengan latar belakang pegunungan yang sejuk nan asri yang berada diwilayah New Taipei City, tepatnya dikota kecil Sanxia. Bagi nenek, mungkin tempat itu bisa membuatnya bernostalgia dengan rumah lamanya yang ada di pegunungan Jing Ngua She, yang suasana pegunungannya memang sangat kental, tak jauh dari tempat wisata Jhiu Fen yang terkenal karena keunikan dan keindahan budayanya.

    Sepeninggal kakek (akong) setahun yang lalu, nenek diboyong oleh anak lelaki bungsunya yang ada di daerah Taipei. Sebelumnya kakek dan nenek hanya tinggal berdua dirumah tua mereka. Sejoli renta itu menolak untuk ikut dengan salah satu anaknya dengan alasan mereka lebih nyaman dan tentram tinggal ditempat lamanya. Hingga akhirnya kakek sakit-sakitan dan dokter mengharuskannya untuk opname dirumah sakit, baru mereka berdua mau tinggal dikota bersama anak cucu mereka. Tapi sayang, belum ada lima bulan akhirnya kakek meninggal karena penyakit tuanya.

    Gemerlap kota Taipei ternyata membuat si nenek yang sudah pikun merasa kurang nyaman. Apalagi kalau ingatannya terhadap kakek sedang muncul, maka dia akan marah-marah tanpa sebab dan meminta anak-anaknya untuk mengantarnya kembali ke daerah asalnya di Jing Ngua She. Perilaku nenek yang sering ngamuk-ngamuk tak karuan itu tak ayal membuat anak-anaknya kalang kabut. Maka dengan inisiatif dari semua anak-anaknya, si nenek kemudian dipindahkan ke salah satu apartemen anaknya yang ada di Sanxia. Mereka berfikir kalau nenek dipindahkan kesana akan membuat pikirannya sedikit tenang karena sama-sama berada didaerah pegunungan, dan ternyata memang benar. Kulihat nenek memang nampak lebih senang dan kerasan ditempat barunya itu.

    Aku sendiri baru datang sekitar setengah tahun yang lalu untuk bekerja dikeluarga majikanku yang bermarga Wu, menggantikan pembantu lama yang kabarnya hanya betah bekerja sekitar tiga bulan saja. Bahkan menurut salah seorang tetangga, dulunya ada juga pembantu yang hanya betah bekerja selama tiga minggu saja. Mungkin karena sifat nenek yang suka uring-uringan plus jarang tidur kalau malam yang membuat pembantu-pembantu lamanya itu tidak betah kerja mengurus nenek. Aku sendiri awalnya juga merasa kaget bekerja disitu. Siang hari full jalan kaki mendorong nenek dengan kursi rodanya, karena nenek tidak suka berada dirumah anaknya. Ingatannya selalu pada rumah lamanya, selalu ingin pulang. Maka dari itu, menantunya (istri dari anak lelaki bungsunya yang dari awal memang tidak suka dengan perangai nenek yang cenderung cerewet) menyuruhku untuk mengajak nenek jalan-jalan diluar kemanapun, disekitar rumah. Yang bikin geregetan, kalau kudorong keluar jalan-jalan, nenek seringkali tidur pulas diatas kursi roda. Jadi malamnya aku yang kelabakan sendiri karena dia tidak mau tidur dan semalaman ngomel-ngomel tak karuan. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai paham dengan sifat dan perilaku nenek dan terbiasa dengan tugas dan tanggung jawab merawat nenek yang sangat sulit dan butuh ekstra pengorbanan tenaga dan pikiran. Pikirku, mungkin ini memang sudah menjadi takdirku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin dalam bekerja selagi masih bisa. Dan Alhamdulillah..aku bisa melewatinya. Setidaknya bisa lebih baik dari pembantu-pembantunya terdahulu.

    Suatu sore, seperti biasanya aku mengajak nenek untuk berkeliling kampong dengan kursi rodanya. Sepanjang perjalanan, aku mengajaknya ngobrol. Aku tau betul, nenek yang aku jaga ini paling suka kalau disanjung. Jadi ketika keadaan pikiran nenek sedang ‘stabil’ seperti saat ini, tak sulit bagiku untuk merayunya dan membuatnya tersenyum lebar.

    Sesampainya diujung jalan, aku berhenti sejenak untuk sekedar melepas lelah. Kupilih bangku panjang yang ada dibawah pohon rindang yang banyak berjejer disekitar taman. Setelah mengunci kursi roda, kukeluarkan sebotol minuman dan snack yang sengaja kubawa dari rumah, lalu kuberikan kepada nenek.

    “Xie-xie ni (terima kasih)” ucap nenek dengan wajah berbinar.

    “Pu khe chi, Ama (sama-sama, Nek)” jawabku sambil tersenyum.

    Diusianya yang sudah menginjak 85 tahun, wajah nenek masih terlihat segar. Sisa-sisa kecantikannya semasa masih muda dulu masih terlihat jelas diwajahnya meskipun kulit mukanya sudah banyak yang menggelambir dan keriput dimakan usia. Tapi satu hal yang paling aku kagumi dari sosok nenek Wu ini. Cinta dan kesetiaan nenek terhadap almarhum kakek begitu besar. Itu aku ketahui dari cerita-cerita nenek kepadaku. Tiap kali bercerita tentang kakek yang sudah tiada, butir-butir bening selalu mengambang dipelupuk matanya. Bahkan dikala pikirannya sedang tidak labil, ingatan nenek hanya kepada almarhum kakek saja. Benar-benar salut aku dibuatnya.

   “Baru ya mbak disini?” tiba-tiba seseorang menegurku.

    Aku terkesiap. Seorang perempuan yang aku kira orang Taiwan yang tadi kulihat menyapu disekitar taman, menegurku dengan bahasa Indonesia dengan logat kental orang Jawa.

    “Aku orang Indo, Mbak” katanya lagi sambil membuka masker yang menutupi wajahnya.

   “Oooooo…i..iya, Mbak. Aku baru pindahan kesini” kataku tak mampu menutupi keterkejutanku.

    “Kerja yang baik-baik ya, Mbak. Jangan kayak aku. Diperantauan itu nyari duit susah, apalagi jauh dari keluarga..”

    Aku hanya menatapnya bengong, tak paham dengan arah pembicaraannya.

    “Mbaknya petugas kebersihan disini?” tanyaku yang masih tak dapat menyembunyikan keherananku.

    Wanita itu hanya mengangguk, lalu cepat-cepat memakai masker untuk menutupi wajahnya yang kuperkirakan usianya sekitar 35 tahunan.

    “Udah dulu ya, mau ngelanjutin kerja dulu..” ucapnya seraya berlalu. Meninggalkan berjuta-juta pertanyaan yang mengganjal dibatok kepalaku.
    Ah, siapa wanita itu? Kalau dia TKW seperti kebanyakan, kenapa kerjanya mesti jadi petugas kebersihan? Pengantin asingkah dia? Kalau benar iya, kenapa tidak seperti pengantin-pengantin asing yang kutahu selama ini? Yang hidupnya serba enak dan berkecukupan? Dan pertanyaan-pertanyaan itu masih menghantuiku hingga beberapa waktu. Pertanyaan yang semestinya tak perlu aku pikirkan terlalu berlebihan. Tapi…

    Semenjak pertemuanku dengan mbak petugas kebersihan itu, aku tidak pernah menjumpainya lagi. Menurut beberapa teman dari Indonesia yang sering nongkrong ditaman sekitar sini, wanita itu sudah pindah kerja membersihkan taman sebelah yang letaknya lumayan jauh dari tempat majikanku sekarang. Tidak banyak yang tau siapa sebenarnya wanita itu, karena orangnya lumayan tertutup dan jarang bicara dengan mbak-mbak Indo maupun orang-orang disekitar taman ini. Keterangan yang kudapat mengenai wanita itu juga simpang siur. Ada yang mengatakan dia kaburan, ada juga yang bilang dia sebenarnya TKW biasa yang disuruh majikannya untuk menggantikan tugas majikan sebagai petugas kebersihan. Ya, sudahlah! Toch semua itu bukan urusanku. Konyol juga. Aku yang biasanya paling tidak suka mengurusi orang lain, kok mendadak jadi begini? Aneh deh! Mungkin ini hanya efek dari rasa penasaranku yang berlebihan saja.

    Seperti biasa, tiap hari aku menyusuri jalanan bersama nenek hingga tanpa terasa aku sudah begitu hafal dengan jalan-jalan yang sering kulewati. Mulai dari gang-gang kecil yang menuju flat-flat penduduk asli orang-orang Sanxia, sampai kawasan apartemen mewah yang dihuni oleh pendatang dari orang-orang luar daerah seakan sudah hafal diluar kepala. Maklum saja, nenek Wu yang aku jaga ini orangnya memang agak ‘lain’ dari nenek-nenek kebanyakan. Kalau lansia yang lain lebih suka bergerombol dan ngobrol dengan sesama lansia yang lain ditaman, nenekku ini sukanya justru menyendiri. Menyuruhku untuk mendorongnya kemanapun yang dia suka. Kadang aku merasa kesal dan capek sendiri. Tapi mau diapain lagi? Lagian dari awal aku juga sudah tau kalau perangai nenek Wu memang ‘aneh bin ajaib’. Jadi tidak ada untungnya kalau aku harus marah atau apa. Lagian kupikir-pikir, ada untungnya juga jalan kaki terus tiap hari. Aku bisa diet sukses tanpa harus repot minum obat yang mahal seperti yang dilakukan teman-temanku. Hehehe.

    Aku makin terbiasa dengan kehidupanku merawat nenek. Tak peduli siang ataupun malam, selagi nenek meminta keluar rumah, akupun mengajaknya keluar jalan-jalan. Itupun atas mandat anak-anak nenek yang memang sudah tau perilaku nenek kayak apa.

    Saat itu hari sudah menunjukkan pukul 19.30 malam ketika aku membawa nenek keluar jalan-jalan. Aku sengaja memilih bangku panjang dekat taman yang menghadap ke Careffour yang banyak lalu lalang orang supaya nenek tenang dan tidak memintaku untuk jalan terus. Tak lupa kusiapkan sekeping roti kering, dan kuberikan ke nenek. Dengan begini aku bisa sedikit nyantai dan istirahat. Tapi baru beberapa menit kami dudk disitu, aku melihat kegaduhan tak jauh dari tempat kami duduk. Seorang wanita nampak menangis seperti memohon kepada si pria, tapi sang prianya dengan wajah penuh kemarahan langsung ngeloyor pergi. Tapi dengan segera sang wanita menahannya. Tak ayal mereka adu mulut ditengah keramaian orang-orang yang berlalu lalang. Yang pada akhirnya, sang pria mendaratkan sebuah pukulan ke muka wanita yang tadi menangis. Orang-orangpun terperanjat melihat adegan kekerasan itu. Tapi sang pria yang kemungkinan besar suami wanita tersebut, dengan segera pergi menuju taksi yang sedari tadi diparkir disisi jalan, lalu menyetirnya dengan kecepatan tinggi.

    Ketika kulihat sosok perempuan yang tadi cekcok itu, aku terperanjat bukan main. Astaghfirullahal ‘adzim! Bukankah itu si mbak petugas kebersihan yang aku jumpai ditaman kala itu. Ya, wajah dan potongan rambutnya aku masih ingat betul. Tapi kenapa bisa sampai cekcok dengan orang tadi? Siapa sebenarnya lelaki yang tadi bertengkar dengannya? Apakah dia..??

    Dengan segera aku mendekatinya,

    “Mbak..??” sapaku agak ragu-ragu. Wanita itu nampak terkesiap, lalu dengan segera menghapus air mata yang meleleh dipipinya, “Kalau ngga salah, Mbak yang kala itu ketemu sama aku ditaman kan? Ingat tidak?” tanyaku meyakinkan. Wanita itu memandangku dengan seksama. Lalu mengangguk. Air matanya semakin deras mengalir. Aku begitu iba melihatnya. Untuk mengalihkan perhatian orang-orang sekitar, aku segera mengajaknya menyingkir dari tempat itu dan mencari tempat yang agak lengang supaya tidak memancing perhatian orang.

    “Kenapa bisa seperti itu tadi, Mbak? Dan…lelaki itu tadi siapa?” tanyaku hati-hati setelah kulihat wanita itu agak tenang.

    “Dia suamiku..” katanya lirih. Air matanya kembali menggenang.

    “Ooooo…”
 
 “Aku tak pernah menyangka kalau akhirnya nasibku seperti ini..” wanita itu kembali menangis.

  “Yang sabar ya, Mbak..” aku menepuk-nepuk pundaknya supaya dia tenang. “Mbaknya..??”

    “Panggil saja aku Wati” katanya.

    “Oiya sudah, mending mbak Wati sekarang pulang aja. Ngga enak diliat orang. Ini nomor saya, Mbak. Kalau ada apa-apa..atau mbak Wati butuh bantuan, atau sekedar mau curhat, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi saya ya. Sebentar lagi juga nenek harus segera pulang. Sudah malam” kataku seraya menyodorkan 10 digit angka yang ada dihp, yang dengan cepat disimpan dimemori hpnya.

    Mbak Wati hanya mengangguk lesu, sebelum akhirnya kami berpisah.


    Dan seperti yang aku duga sebelumnya, ternyata mbak Wati benar-benar menghubungiku. Dalam hitungan hari saja, kami sudah mulai akrab. Mbak Wati banyak bercerita mengenai rumah tangganya. Menurut ceritanya, dulu dia juga TKW seperti kebanyakan, yang datang ke Taiwan untuk merawat lansia. Tapi seiring berjalannya waktu, dipenghujung kontrak keduanya di negeri Formosa ini, dia berkenalan dengan seorang pria Taiwan yang berprofesi sebagai sopir taksi. Si sopir taksi yang merupakan seorang duda, melamarnya dan mau memperistrinya. Setelah melalui pertimbangan yang matang, mbak Wati yang juga seorang janda, ahkirnya memutuskan untuk menerima pinangan sang sopir taksi. Setelah pulang kontrak yang kedua, mbak Wati kembali lagi ke Taiwan, tapi kepergiannya yang ketiga kalinya itu bukan sebagai TKW lagi, melainkan sebagai pengantin asing. Ditahun pertama pernikahannya, semua berjalan seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Tapi menginjak tahun kedua, tepatnya setelah mbak Wati melahirkan anak pertamanya dengan suaminya yang orang Taiwan itu, kelakuan asli  suaminya yang temperamental mulai kelihatan. Suaminya mulai jarang memberi uang belanja kebutuhan sehari-hari. Bahkan untuk membeli susu anaknya saja mbak Wati harus rela banting tulang dengan bekerja bersih-bersih rumah orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Bukan itu saja, mbak Wati yang sibuk kerja part time juga masih harus mengurus ibu mertuanya yang sudah pikun dan renta, tanpa diberi uang sepersenpun oleh suaminya. Untung saja tiga bulan yang lalu ada tetangga yang merasa iba dengan kehidupan mbak Wati dan menawarinya untuk bekerja sebagai petugas kebersihan. Paling tidak dia punya penghasilan tetap, meskipun tidak seberapa. Lama kelamaan mbk Wati mulai mencium gelagat buruk suaminya. Benar saja. Ternyata selama ini suaminya sering menghabiskan uangnya dari bekerja sebagai sopir untuk berfoya-foya dengan para wanita nakal. Bahkan belakangan suaminya itu dengan terang-terangan membawa wanita-wanitanya itu pulang ke rumah. Itulah yang menjadi penyebab pertengkaran antara mbak Wati dan suaminya malam itu.

    Aku tak habis fikir dengan semua yang terjadi. Ya Allah, begitu susahkah hidup ini? Sebagai teman sesama orang Indonesia, aku merasa sangat prihatin dengan kejadian yang menimpa mbak Wati. Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk menolongnya?

    Dua bulan setelahnya peristiwa itu, mbak Wati sudah jarang menghubungiku lagi. Aku pikir, mungkin mbak Wati sudah berbaikan dengan suaminya. Kalau hal itu terjadi, syukurlah. Aku ikut senang tentunya.

    Malam itu nenek tidur lebih awal. Mungkin karena kecapekan setelah seharian ngamuk-ngamuk tak karuan. Maklum saja, kalau penyakit ‘pikunnya’ lagi kumat, dia selalu memanggil-manggil nama kakek dan memintaku untuk mengantarnya pulang kerumah lamanya di Jing Ngua She. Hah! Benar-benar sangat melelahkan.

    Entah mengapa meski nenek sudah tertidur aku tetap tidak bisa memejamkan mataku. Biasanya kalau nenek tidur, aku akan cepat-cepat ikut tidur. Semua demi kesehatanku sendiri karena bisa dibayangkan betapa sulitnya merawat nenek Wu. Untuk menghilangkan jenuh, aku menyalakan TV. Kupencet chanel yang menayangkan khusus acara berita-berita. Mataku sebenarnya sedari tadi sudah mengantuk tapi tak bisa terpejam. Aku kaget ketika tiba-tiba ada berita tentang seorang WNI yang membunuh suaminya gara-gara perselingkuhan. Dan ketika aku melihat siapa wanita yang diborgol yang ada di TV, aku terperanjanjat bukan main. Astaghfirullahal adziim..!! Bukankah itu mbak Wati? Ya, mataku tak salah melihat. Itu memang mbak Wati yang dalam beritanya dikabarkan telah membunuh suaminya dengan pisau ketika suaminya tertidur dirumah dalam keadaan mabuk.

    Dengan spontan aku mengambil hp yang ada disaku. Aku baca pesan terakhir yang dikirim mbak wati sebulan yang lalu..

   “….dan kalaupun ada apa-apa denganku, itu hanya karena aku ingin membela diri. Demi Allah aku bukan orang jahat…aku bukan orang jahat…”

    Aku menghela nafas panjang. Maafkan aku, Mbak Wati. Aku tak bisa menolongmu. Hanya doa yang bisa aku panjatkan, semoga kau baik-baik saja. Ya, Allah..Engkau Maha Segalanya. Mudahkanlah segala urusan mbak Wati dalam menghadapi dilemanya. Amin.

--- TAMAT---

NB: Semua tokoh yang ada didalam cerita hanya fiktif belaka.

Taipei, 31 Mei 2015

Ika Doank