Ketika Ibu Pergi ...

2015/5/25 / 莉莉 / Ketika Ibu Pergi ... / Indonesia 印尼 / FLP Taiwan

Ibuku adalah wanita dengan sejuta kebahagiaan. Tidak pernah dibukanya pintu hati untuk sebuah kesedihan. Meski luka pernah menyayat hatinya, namun semua luka itu telah dikuncinya dengan rapat. Ibu tidak pernah berhenti menciptakan kebahagiaan di dalam kehidupanku dan orang-orang di sekitarnya.

Ibuku adalah wanita biasa, tidak secantik wanita tetangga. Ibu adalah penduduk asli Taiwan. Kulit ibu sawo matang, tidak seperti kebanyakan wanita Taiwan yang berkulit putih. Matanya tidak tidak sipit, hidungnya mancung, rambutnya panjang terurai.

“Masukan sebagian uang jajanmu ke kotak itu! Kelak uangmu akan kembali lebih banyak!” Ibu selalu bisa membujukku mengisi kotak amal yang diletakkan di toko sarapan depan rumah.

Setiap perintah Ibu adalah magnet yang menarik semua hal yang ada di sekelilingnya untuk mendekat. Kadang aku sengaja menggoda Ibu dengan menolak melaksanakan perintahnya. Kemudian Ibu akan mencubitku, lalu mengelus rambut kepalaku.

“Jangan habiskan waktumu untuk hal-hal yang tidak berguna, termasuk bergaul dengan orang-orang yang tidak tahu tata krama, mengerti!” Ibu sedikit berbicara keras ketika aku pulang terlalu larut.

“Tapi Bu…” Jawabku ragu.

“Percayalah, apa yang Ibu perintahkan tidak akan membuatmu rugi!” Kalimat itu juga yang selalu Ibu bilang setiap kali aku menolaknya.

Ibu wanita berhati mulia. Kata maaf selalu Ibu berikan untuk semua orang yang menyakitinya, namun senyum akan terus mengembang di bibirnya. Aku tahu kadang ada orang yang menertawakannya dan Ibu hanya diam, meski kadang aku lihat ada amarah yang tertahan. Dan akulah yang akhirnya tersulut emosi menanggapi orang-orang yang menertawakan Ibu.

“Apa bedanya kamu dengan mereka? jika kamu membalas mereka!” Ibu menepuk pundakku pelan, lalu tersenyum. Itu yang Ibu lakukan setiap kali aku ingin membalas ejekan mereka tentang kebaikan Ibu yang dianggap pura-pura.

Ibuku juga tidak memaksaku mengikuti semua keinginannya, kecuali itu benar-benar perintah.  Ibuku membebaskanku melakukan semua yang aku suka. Bahkan, Ibu tidak pernah melarangku menghabiskan separuh uang jajan untuk membeli buku.

“Lakukan yang kamu mau, selama itu di jalan yang benar. Ibu tahu kamu bisa membedakan…..”  Setiap kata yang keluar dari mulut Ibu  selalu masuk lalu terkunci rapat di memori otakku, tidak pernah keluar dan selalu kuingat.

Merawat dan membesarkanku sendiri itu bukan pekerjaan mudah. Aku bukan lahir tanpa ayah. Ayahku bekerja di Indonesia. Tidak pasti kapan ayah mengunjungi kami. Paling cepat enam bulan sekali. Jadi semua tentangku Ibu yang mengurus. Aku tahu kelelahan ibu, namun Ibu adalah wanita tertangguh yang pernah aku punya. Ibu tidak pernah mengeluh.

“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” Kalimat menyakitkan yang pernah aku dengar. Kalimat itu dilontarkan nenek kepada Ibu.

“Bu, apakah menikah itu seperti bermain layang-layang? Ketika kita mengulur benang terlalu panjang lalu kita merasa lelah, kita akan melepasnya?” Ibu tersenyum menjawab pertanyaan nenek.

“Bagi Ma, Sejauh apapun kita mengulur benang, kita harus mempertahankannya jangan sampai benang itu putus lalu kita kehilangan layang-layang kita.” Aku ikut tersenyum dari balik pintu, meski aku tidak sepenuhnya paham arti kalimat yang Ibu ucapkan.
Setidaknya aku menangkap penolakan dari apa yang ditawarkan nenek kepada ibu. Ayah memang jauh, namun bukan berarti ayah sudah tidak ada. Tuhan menguji kesetiaan Ibu, aku percaya itu. Dan Ibu berhasil melewati ujian itu.



Senja itu Ibu memintaku mengantarkannya ke Bitan. Biasanya Ibu tidak pernah memintaku. Tapi aku tidak berniat menolaknya. Aku turuti permintaannya. Tidak ada salahnya pergi ke Bitan di waktu senja. Romantis. Andai aku sudah menemukan wanita seperti Ibu.

“Ibu ingin berbicara padamu di sini.”  Aku mengikuti langkah ibu menyusuri jalan di sepanjang pinggir sungai.

Rumah kami dekat dengan Bitan, namun aku jarang ke sini. Berbeda dengan Ibu. Ibu suka menghabiskan waktu senja di sini. Dan hari ini entah mendapat bisikan dari malaikat mana Ibu mengajakku ke sini. Menjadi tanda tanya besar di kepalaku.

Beberapa perahu bebek berpenghuni dikayuh kesana-kemari. Air sungai sudah nampak menguning, pantulan dari bias senja sore ini. Burung-burung asyik terbang ke sana kemari. Angin berhembus tidak terlalu kencang. Sejuk. Ibu lebih banyak diam, sesekali menatapku.

“Kamu tahu wujud kasih sayang Tuhan?” Ibu berhenti, lalu mengajakku duduk di atas susunan kayu yang diletakkan di pinggir sungai.

“Selalu ada ibu, adalah wujud kasih sayang Tuhan untukku.” Pandanganku mengitari aliran sungai yang tenang.

“Cobaan juga termasuk kasih sayang-Nya.” Ibu menepuk pundakku.

“Cobaan?” Aku menoleh ke arah Ibu.

“Iya, itu kasih sayang Tuhan yang paling besar. Dari situ kita akan diuji untuk menjadi manusia yang jauh lebih sabar.”

“Tapi, jika cobaan untukku jauh dari Ibu, aku pasti tidak akan sanggup.” Aku memperjelas kalimatku dengan suara agak keras.

“Suatu saat kematian akan menjauhkan raga kita.” Ibu tersenyum. Ada getir yang tiba-tiba menyayat hatiku.

“Tapi tenanglah, hati kita akan tetap dekat.” Ibu kembali tersenyum.
Aku masih ragu menebak maksud kalimat Ibu. Namun tiba-tiba ada ketakutan yang muncul di benakku. Kematian… kata-kata itu terus mengikuti. Ada apa dengan kematian, benarkah kematian itu mendekati Ibu, atau justru aku. Aku memeluk Ibu erat.

“Kenapa kamu?” Ibu merenggangkan pelukanku.

“Aku takut.” Jawabku singkat.

“Apa yang kamu takutkan? Di dunia ini tidak ada yang perlu kamu takutkan, cukup satu yang harus kamu takuti. Tuhan.” Kini Ibu benar-benar melepas pelukanku.

“Senja sudah mulai beranjak, malam sebentar lagi menjemput. Kita harus pulang.” Ibu berdiri lalu menawarkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku tersenyum menerima uluran tangan Ibu.

Usiaku bukan anak-anak lagi, namun Ibu masih setia memperlakukanku seperti anak-anak. Padahal semua hal bisa aku kerjakan sendiri, namun apapun yang aku kerjakan Ibu selalu ada untuk membantu, meski sebenarnya aku tidak butuh bantuannya.

“Selama ibu masih sanggup, kenapa tidak untuk menemani hidup anak ibu yang tampan in?.” Selalu itu yang Ibu lontarkan jika aku menolak setiap bantuannya.

Ibuku adalah wanita yang kuat. Seminggu setelah senja itu tiba-tiba Ibu jatuh sakit. Tidak ada kesedihan yang terpancar dari wajah Ibu. Justru aku yang menunjukkan kesedihan itu. Dokter memvonis Ibu menderita penyakit hepatocellular carninoma(1). Dan vonis itu Ibu terima dengan senyum. Wanita mana yang bisa sekuat dan setegar itu.

Pertanyaan tanpa jawab kala senja di Bitan kini telah terjawab. Ibu mungkin sudah lama tahu tentang apa yang terjadi dengan tubuhnya. Tapi Ibu merahasiakan semuanya. Ibu menyimpannya sangat rapat. Seandainya Ibu tidak pingsan, entah sampai kapan ibu akan menyimpan rahasia ini sendirian.

“Ibu hanya tidak ingin membuatmu sedih, percayalah ibu baik-baik saja.” Ibu mencoba menghiburku.

Padahal sudah jelas, tubuh Ibu lemah tak berdaya. Sekarang Ibu hanya bisa berbaring di atas ranjang rumah sakit. Beberapa hari Ibu demam, nafsu makan Ibu hilang. Yang membuatku tidak berdaya melihatnya, kaki dan tangan Ibu semakin membengkak.

Ibu sudah terlalu lama menyembunyikan penyakitnya. Hingga sampai separah ini dan sepertinya Ibu juga menyembunyikan ini dari Ayah. Terbukti ketika aku menghubungi ayah, ayah begitu kaget. Ayah segera memesan tiket pulang ke Taiwan setelah ijin cuti dia dapat.

“Apa gunanya Ibu berbohong? Lihat  keadaan Ibu sekarang!” Suaraku sedikit keras.

“Demi kebaikan kalian.” Ibu mengelus punggung tanganku yang terletak di atas tubuhnya.

“Kebaikan apa?” Aku menatap Ibu tajam.

“Ibu tidak mau membuat kamu dan Ayah bersedih, Ibu tidak mau kalian menghentikan semua kebahagiaan kalian karena melihat keadaan Ibu.” Mata ibu redup. Ini pertama kalinya kulihat itu.

Selama ini Ibu tidak pernah mengeluh apapun. Ibu selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Menikmati hidup dengan kebahagiaan, meski semua akan berputar. Ibu terus berusaha menciptakan bahagia, namun akhirnya Ibu yang mengakhiri kebahagiaan itu.

Aku semakin tersiksa dengan keadaan Ibu. Semua makanan yang masuk ke tubuh Ibu harus dalam pengawasan dokter. Aku tidak diijinkan membawakan makanan dari luar. Teh , sirup dan sari buah menjadi makanan sehari-hari Ibu sejak dirawat di rumah sakit.

“Kamu jangan bersedih seperti itu. Ini bergizi, enak kok.” Ibu kembali menghiburku, ketika aku meneteskan airmata melihat makanan yang dihaluskan dan minuman-minuman itu masuk ke tubuh Ibu.

Aku tahu ibu tidak menyukainya. Tapi Ibu terus meyakinkanku jika dia baik-baik saja. Jika aku mampu, aku ingin berteriak padamu, Ibu. Aku ingin memarahimu, Ibu. Tapi apa aku sanggup seperti itu dengan keadaan Ibu seperti ini. Ibu sehat saja aku tak berani, apalagi Ibu dalam sakit separah ini.

Kini keadaan Ibu sudah memasuki fase precoma(2).  Warna kulit Ibu yang coklat, sekarang begitu tampak perubahannya. Kulit Ibu menguning, begitu juga matanya. Tetapi masih kulihat harapan dari sorot matanya.

“Ibu…” bisikku. Ibu terbangun, kemudian tersenyum melihatku.

“Ibu bahagia dengan takdir ini, ibu juga bahagia takdir mempercayakan kepada ibu seorang anak yang begitu baik.”  Mata Ibu terpejam sebentar.

“Jangan pernah menyesali apa yang terjadi, tetapi bersyukurlah sesuatu itu pernah terjadi. Dari situlah Tuhan akan semakin menyayangimu.” Kembali Ibu membuka mata.

“Jangan… “ Kalimat Ibu terpotong, Ibu terbatuk. Ada darah mengalir dari bibirnya. Semakin lama semakin banyak. Ibu pingsan.

“Ibu!” Teriakku panik.

Jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Artinya Ibu sudah hampir dua jam di ruang ICU. Kusandarkan tubuhku sebentar di tembok berwarna putih depan ruang ICU. Tidak berapa lama aku mondar-mandir melewati pintu ruangan di mana Ibu sedang diperiksa. Tidak ada ketenangan. Aku dalam gelisah.

“Keluarga Simama!” Suara perawat yang keluar dari ruangan membuatku terbangun dari duduk.

“Nyonya Simama ingin bertemu dengan anda, silakan masuk.” Perawat itu menyuruhku menemui ibu.

Tidak ada yang bisa menahan airmataku. Semua peralatan medis menempel di tubuh Ibu. Detak jantung Ibu sudah tidak beraturan. Semua terlihat di monitor dekat ranjangnya. Aku mendekat dengan ragu. Ketakutan menyergapku. Apakah Ibu akan segera pergi meninggalkanku.

“Ibu…” Bisikku.

Ibu membuka matanya, senyum masih Ibu simpulkan di bibirnya yang pucat. Senyum itu kekuatan Ibu. Senyum itu bukti nyata ketegaran dan keistimewaan Ibuku. Beberapa kali matanya berkedip. Ibu menatapku.

“Jangan lupakan Tuhan apapun yang terjadi, karena Tuhanlah yang membuat semua itu terjadi.” Suara Ibu melemah.

“Ibu akan baik-baik saja, Ibu pasti sembuh. Ibu dekat dengan Tuhan, aku yakin Tuhan akan memberi kesembuhan.” Aku genggam tangan Ibu yang mulai dingin.

“Jika Tuhan meminta Ibu kembali, itu juga karena Tuhan sayang sama Ibu, percayalah!” Ibu menarik napas panjang.

“Lepas ibu dengan senyum. Jangan biarkan airmata itu mengalir sia-sia. Ibu akan bahagia, jika kamu mau melepas kepergian ibu dengan senyummu, bukan dengan tangismu, Kuan.” Gerakan napas Ibu semakin memburunya.

“Ibu akan selalu bersamamu. Ibu selalu di hatimu.” Mata ibu terpejam.
 Ada senyum di bibirnya. Jarum penunjuk detak jantung ibu sudah berjalan datar. Tidak lagi berdetak. Ibu pergi dengan senyum.

“Pergilah, aku paham Ibu jauh lebih bahagia kembali kepada Tuhan, daripada terus merasakan sakit.” Aku mecoba menahan airmata yang sedari tadi ingin berlarian membasahi kelopak mataku.

“Selamat jalan Ibu.”



Senja masih menggantung di langit Xindian. Tidak ada yang berbeda dengan senja-senja sebelumnya. Air sungai pun masih tenang, penikmat senja di sepanjang sungai juga masih setia datang. Aku masih tetap di tempat ini, tempat terakhir Ibu mengajakku ke sini, sebelas tahun lalu. Duduk di atas papan kayu yang ditata rapi di pinggir sungai.

“Kakak.” Seseorang menepuk pundakku pelan. Aku menoleh.

Gadis Indonesia itu menghampiriku. Gadis yang usianya terpaut satu tahun denganku itu aku kenal beberapa waktu lalu di sebuah acara pekerja asing. Sejak itulah aku bercerita banyak hal padanya, termasuk tentang Ibu.

“Doa akan menyampaikan rindu kakak untuk Ibu.” Gadis itu duduk di sampingku.

“Tuhan akan selalu menjaga Ibu, kakak jangan khawatir.” Aku tersenyum mendengar kalimatnya.

“Ibu akan selalu ada di hati, Ibu tidak akan pernah meninggalkan kita.” Aku dan gadis itu berkata hal yang sama di waktu yang sama. Kami saling pandang lalu tertawa.

Awan hitam merangkak pelan. Gerimis mulai turun. Aku berdiri, mengulurkan tanganku untuk membantunya bangun. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya menyambut uluran tanganku.

“Berjanjilah untuk terus tersenyum, seperti pinta Ibu.” Gadis itu menyodorkan jari kelingkingnya. Aku menautkan jari kelingkingku padanya.

“Aku berjanji, adik tikus.” Aku tersenyum nakal.

“Kakak hantu jahat.” Gadis itu cemberut, lalu menonjok bahuku.

Kami tertawa, ada sesuatu yang kembali. Ibu di dalam gadis itu.

***

catatan :
1. Kanker hati
2. Masa menjelang terjadinya koma radang hati.


這個文章我寫給我朋友, 庭寬。
媽媽永遠在你的心中。