Sang Pejuang

2015/5/20  / Kusma Willrockyou / Sang Pejuang / Indonesia 印尼 / Tidak Ada

Sang Pejuang

Ketika usia ku lima tahun, ayah dipanggil oleh sang Pencipta. Saat-saat berkabung kala itu, masih samar-samar berkelibat dalam ruang ingatan dibenak ku. Walaupun dulu tiada aku pahami arti kesedihan ibu, kakak, dan para kerabat, karena aku hanyalah anak kecil yang seyogyanya gemar dan asyik bermain dengan para teman sebaya. Aku adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara, dimana usia kami hanya terpaut dua hingga tiga tahun berselang. Selepas kepergian ayah, tentulah ibu ku menyandang status janda yang pastinya sebuah predikat yang sedikit tabu dan getir ditelinga.

Ibu adalah penjual ikan ecerean di pasar, setiap hari beliau kerjakan tanpa rasa lelah dan kata menyerah. Ketika fajar menyingsing, ibu berjalan menyusuri sungai atau rawa di desa untuk mencari kulakan (red; barang dagangan) dengan membeli ikan pada pemancing dan penjala ikan, itu pun harus saling berebut dengan para penjual ikan lainnya, dan ibu sering mengalah karena modal yang dikantongnya tidak cukup untuk bersaing harga yang ditawarkan. Kemudian beliau membawa barang dagangan ke pasar yang jaraknya lumayan jauh yaitu sekitar dua jam perjalanan, dan ibu baru pulang ke rumah ketika matahari mulai berlari membenamkan diri ke ujung barat.

Ibu adalah seorang yang polos dan sederhana, ketika Ia bercerita tentang barang dagangannya, apabila modal sudah kembali maka hanya mengambil untung secukupnya saja, tak perlu banyak-banyak, sudah ada untung ibu sudah sangat senang, katanya. Saat hari panas atau hujan adalah hari-hari yang berat baginya, belum lagi bila sepi pembeli yang akan membawanya pada kerugian. Beban hidup yang begitu berat ibu tanggung seorang diri, bahkan beberapa kali beliau mengalami kecelakaan, pernah jatuh dari mobil dan pernah pula tertabrak mobil yang membuatnya koma beberapa hari lamanya, namun ibu tetaplah semangat dan tak putus asa untuk terus mencari nafkah.

Kala musim berganti musim, dan musim kemarau tiba mengisi jadwal musim tahunan, entahlah apa yang ada dalam benak ibu saat itu. Mungkin bersedih, tapi Ia tak boleh bersedih. Mungkin marah, tapi Ia tak boleh marah. Mungkin lelah, tapi Ia tak boleh lelah. Betapa tidak, semua sungai dan rawa-rawa yang ada di desa kering, kehidupan ikan-ikan yang sepertinya tiada pernah habis oleh si pemancing dan penjala menjadi lenyap bagai musnah tak berjejak. Ketika kemarau melanda, ibu yang tak patah akal dan tak patah semangat itu akan berjalan berkeliling desa, mencari-cari, melihat-lihat adakah barang yang dapat Ia jadikan dagangan. Dan benarlah, ibu adalah wanita hebat, dari sayuran, buah hingga bumbu-bumbu bisa dijadikan kulakan. Aku dan kakaku hanya bisa membantunya mengikat-ikat sayuran dan menatanya sebagai barang dagangan.

Kehidupan yang serba kekurangan dengan kebutuhan yang begitu beragam merupakan beban yang sangat berat untuk ibu, karena ketujuh anaknya yang masih di bawah umur yang semestinya mendapat perhatian lebih akan tumbuh kembang dan pendidikannya tapi hanya bisa bergantung dari penghasilan dagang yang tidak seberapa. Sehingga acapkali rasa lapar menghiasi perut kami sekeluarga.

Semangatnya bak para pahlawan pejuang nusantara, ya,, sudah barang tentu begitu! ibu adalah pejuang keluarga kami, tak perduli dalam kondisi apapun, dan seberapa susahnya kehidupan kami beliau selalu bertanggung jawab atas nafas-nafas anaknya. Berkat pengorbanan dan perjuangan ibu membesarkan kami bertujuh, Alhamdulillah, semua kakakku berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan hanya aku seorang yang mampu menyelesaikan pendidikan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Harapan ibu agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan pun terwujud, maka aku selalu menyebut beliau sebagai “SUPER MAMA”.

Saat aku menyelesaikan pendididkan SMA, banyak teman-teman ku berlomba untuk mendaftarkan diri ke universitas idamannya dan ingin meraih apa yang dicita-citakan. Kala itu, aku hanya mampu merenung dan berfikir bahwa aku hanyalah anak dari seorang janda penjual ikan eceran yang tubuhnya pun semakin menua. Walaupun setinggi langit harapan dan cita-citaku, namun hanya dapat aku simpan dalam hati, kendati demikian aku bertekad untuk mewujudkan apa yang ada dalam hatiku itu.

Bergejolak hatiku saat harus melihat ibu selalu berjualan ikan, hati ini rasanya teriris jikalau terus-menerus terpuruk dalam keadaan yang seperti itu, ingin rasanya aku melarang ibu, ingin rasanya aku merubah hidup dan mengejar mimpiku. Namun, apa yang bisa aku lakukan saat itu, tanpa pengalaman kerja sekalipun. Tekad hati semakin bulat, akhirnya aku putuskan dengan memberanikan diri untuk menjadi calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri dengan negara tujuan Singapura.

Empat bulan lamanya aku berada di PJTKI atau penampungan. Di sanalah pertama kalinya aku mengenal dunia luar, sungguh pengalaman yang tak terlupakan, karena berbagai suku yang ada di tanah nusantara ini aku jumpai, perbedaan bahasa dan kebiasaan yang harus aku ikuti untuk beradaptasi. Dalam penampungan yang sangat terisolasi dengan dunia luar itu, kami semua dilatih untuk menjadi seorang pembantu yang katanya profesional. Cacian dan makian sering dilontarkan oleh pembimbing kepada kami manakala sedikit kesalahan terjadi, katanya untuk melatih mental kami. Makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi pun menjadi jatah kami sehari-hari, Keluhan bahkan tangisan sering terjadi dipagi  hari, karena kami hanya mendapat jatah makan bubur nasi hambar. Bubur nasi itu sangat sulit untuk ditelan, namun jika kami tidak menghabiskan jatah sarapan, maka akan mendapat hukuman, sehingga kami terpaksa menghabiskan.

Setibanya aku di Singapura, seperti berada di alam mimpi, semua terasa asing dan jauh berbeda dengan tanah airku. Alam khayalan ku mulai melayang, menerawang, menimang-nimang dan bersedu sedan bercengkerama dalam batin. Alangkah indah pemandangan kota itu, semua terlihat bersih dan rapi, andai saja dikemudian hari aku menjadi seorang yang memegang kekuasaan dinegeriku, kelak akan aku sulap desa dan tanah airku agar menjadi serupa dengan Negara Singapura yang menawan hati.

Teriakan agency, sontak membuyarkan dunia khayalanku. Kami di diatur kesana kemari, ada pula yang mendapat tendangan dan pukulan karena lambannya berjalan serta bentakan-bentakan dengan suara lantang yang sangat tidak memanusiakan kami. Setelah menyelesaikan prosedur penempatan seperti medikal, kemudian mengantar kami hingga ke tempat majikan masing-masing.

Aku mendapat majikan yang masih muda dengan satu anak kecil. Sepertinya tidak susah, tetapi itu semua tidak sama dengan yang disangkakan. Kerjaan harus dikerjakan sesuai jadwal jam, hari, tanggal semua harus tepat. Setiap hari, pukul 2.00 dini hari, aku baru menyelesaikan pekerjaanku, belum lagi omelan-omelan yang harus aku terima, bahkan kadang aku tidak tahu untuk kesalahan yang mana omelan yang dilontarkan padaku. Hingga akhirnya dalam waktu 3 bulan, aku di pulangkan ke agency.

Selang dua minggu kemudian, aku mendapat majikan baru menjaga anak hiperaktif atau anak yang sangat lincah dan pecicilan. Namun musibah kembali menyapaku, anak asuhku terjatuh, kemudian majikan pun memulangkan aku ke agency. Aku merasa jalan hidup ku saat itu sungguh berat hingga membuat aku depresi, karena tekanan bathin yang amat mengguncang mental, perasaan hati dan pikiranku begitu bergumul pilu, terasa begitu menderitanya mencari uang, disitulah aku sering berfikir, sungguh beratnya beban yang ibu ku rasakan selama ini, membesarkan tujuh anak seorang diri, sungguh malu diri ini jika saja tidak bisa membahagiakan orang yang amat kucintai.

Berpindah pada majikan ketiga, untuk kali ini yang kuharapkan semuanya akan baik. Benarlah, pekerjaan yang ringan dan anak gadisnya sangat cocok dan begitu senang denganku, mungkin karena usia kami sebaya. Akan tetapi, tidak untuk majikan perempuan yang galak bak singa yang kelaparan. Meskipun demikian, aku berusaha bertahan hingga hampir dua tahun, karena terjadi salah paham, majikan ingin memulangkanku dan ketika dia menyadari kekhilafannya, namun aku terlanjur memutuskan pulang ke Indonesia.

Hasil yang aku dapat hanya cukup untuk membantu kesulitan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, niat melanjutkan kuliah masih terkubur dalam hatiku. Beberapa bulan kemudian, aku mendengar bahwa gaji untuk TKW di Negara Taiwan sangat tinggi, untuk itu hati dan tekadku mulai terusik untuk segera mendaftarkan diri dan secepatnya bekerja agar dapat memiliki tabungan untuk melanjutkan pendidikan.

Selang berapa bulan kemudian, masuklah aku dalam PJTKI tujuan Taiwan, dalam penampungan kali ini aku sudah tidak merasa asing lagi, karena memiliki pengalaman sebelumnya, hanya perlu beradaptasi dengan peraturan-peraturan yang sedikit berbeda. Pelatihan kerja dan belajar bahasa sangat diutamakan, mungkin karena usiaku yang masih muda, sehingga aku mudah berkonsentrasi untuk menerima pembelajaran. Banyak di sukai guru dan teman-teman bahkan pegawai kantor adalah suatu keberuntungan buatku. Akan tetapi, keberuntungan tak semua berpihak padaku, berkali-kali aku mendapatakan job, namun berkali-kali pula aku di cancel. Sebagai orang yang beriman, maka aku percaya bahwa itu belum menjadi nasibku.

Berbulan-bulan aku menunggu dalam penampungan, hingga suatu malam aku terpeleset di tangga dan membuat kakiku pincang berhari-hari, namun setelah seorang nenek tua memijat perutku, dalam hitungan menit kakiku sembuh, rada sedikit aneh, kabarnya dua hari kemudian nenek itu meninggal. Sepertinya cobaan masih menjadi list dalam kehidupanku, tiba-tiba aku jatuh sakit, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter katanya sakit tipes yang membuat aku harus pulang untuk penyembuhan. Selama dua minggu, kesehatanku membaik dan kembali ke penampungan, tapi anehnya sehari di penampungan aku jatuh sakit lagi, berobat ke beberapa dokter pun tak kunjung sembuh, terpaksa harus izin pulang kembali dan menyembuhkan secara total.

Tekad dan harapanku untuk bekerja ke Taiwan tak pernah surut. Setelah kurasa kesehatanku  membaik akupun segera kembali ke penampungan. Rupanya hari demi hari yang telah aku lalui sudah berubah menjadi tahun. Ya,, sudah setahun lebih aku menunggu di penampungan namun belum juga mendapatkan job. Lagi-lagi musibah menimpaku, kaki ku tersiram air panas, sebesar telapak tangan dengan luka melepuh dan membuat kakiku pincang lagi. Rasa yang begitu sakit dan perih, tapi aku selalu mencoba sabar dan tegar, aku percaya bahwa ada hikmah dibalik semua cobaan ini.

Setelah kakiku sembuh, aku mendapatkan job lagi, kalau tidak salah job itu adalah job yang keenam kalinya setelah lima kali di cancel, serasa harapanku ke Taiwan segera menjadi nyata, dengan serangkaian proses pemberangkatan, dan jadwal penerbangan pun telah ditetapkan. Sesuatu yang tak disangka terjadi, semua berkas biodata asli hilang, dan tidak dapat mengikuti proses pengambilan visa, job pun terpaksa di cancel kembali. Betapa sedihnya aku, karena ada orang yang tega mencuri seluruh berkas biodataku.

Meskipun begitu lama menunggu dan sebagai satu-satunya TKW terlama dalam penampungan, tapi tiada kata menyerah dalam kamus hidupku. Banyak TKW baru menanyakan perihal lamanya keberadaanku di penampungan, sebagai jawaban singkat adalah mungkin karena nasib belum berpihak padaku, walau sebenarnya rasa sedih selalu menyelimuti hatiku. Aku bersama pegawai kantor tak henti-hentinya mencari akal untuk mendapatkan dokumen-dokumenku, yang akhirnya Tuhan perlihatkan jalan itu, dengan berkas fotocopy yang pernah digunakan dalam pembuatan paspor, ternyata mampu meloloskan aku hingga akhirnya membawaku terbang menuju Taiwan. Suatu kenyataan yang unik dan istimewa yang Tuhan tentukan untuk ku bahwa aku terbang ke Taiwan pada tanggal tujuh, bulan tujuh, job yang ke tujuh dan aku adalah anak ke tujuh.

Alhamdulillah, aku mendapatkan majikan yang sangat baik. Mereka menganggapku seperti anggota keluarganya sendiri dan kehangatan kekeluargaan itu selalu ditebar setiap hari. Pekerjaanku menjaga seorang nenek dan pekerjaan rumah. Rasa syukur ini selalu aku panjatkan pada Tuhan yang telah membalas kebaikan atas penantian panjang di penampungan dulu. Hari-hari melakukan aktifitas pekerjaanku serasa tiada beban. Waktu luang di malam hari aku manfaatkan untuk belajar bahasa dan menulis karya seni, kemudian aku kirimkan ke redaksi-redaksi majalah di Taiwan, dan beberapa diantaranya lolos dan di muat. Hal itu aku lakukan karena aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu kosong dan ingin selalu menambah wawasan.

Begitu gigihnya aku bekerja agar aku bisa memiliki tabungan dan menjadi seorang yang  membahagiakan ibu dan keluarga serta demi semua yang aku cita-citakan. tapi rupanya Tuhan begitu menyayangiku dengan segala cobaannya. Aku menjadi seorang yang sakit-sakitan, walaupun demikian, majikan selalu memberikan perhatian dan berbaik hati dengan membawaku berobat.

Setelah dua tahun, aku mendengar bahwa Universitas Terbuka Indonesia akan dibuka di Taiwan, itu merupakan kesempatan emas bagiku karena aku dapat melanjutkan pendidikan disela-sela waktu kerja, untuk itu aku persiapkan diri agar dapat bergabung secepatnya. Lagi-lagi aku jatuh sakit, badan lemah serasa tak bertulang, anehnya dari sekian dokter spesialis tak ada satupun yang dapat mendiagnosa penyakitku, padahal ini Negara Taiwan yang pastinya peralatan medisnya jauh lebih baik dan lengkap dibandingkan Indonesia.

Sakit parah selama empat bulan yang membuat aku selalu keluar masuk Rumah Sakit, dan selama itu aku tidak memberitahu perihal sakitku pada keluarga, agar tidak membuat khawatir tentang keadaanku. Dukungan dan kebaikan majikan yang membuat rasa optimis untuk bertahan dan berjuang melawan penyakit yang tak kunjung sembuh. Akan tetapi, dalam hati terbesit sebuah pikiran mengandai-andai. Andai saja Tuhan esok atau lusa mengambil nyawaku, maka tiadalah kesempatan bagiku membalas kebaikan dan kasih sayang ibu terhadapku.

Tiba-tiba muncul niat hati memberangkatkan ibu ke Tanah Suci untuk beribadah umroh. Begitu mantap dan langsung aku sampaikan pada ibu dan keluarga. Tetapi ibu merasa kaget dan takut, maklum saja karena kami orang desa dengan kehidupan yang sederhana, sehingga bak mimpi di siang bolong. Meski tak terencana tapi mungkin semua ini sudah menjadi panggilan dari sang Ilahi Rabbi. Setelah serangkaian proses dan persiapan, akhirnya ibu dapat melaksanakan ibadah umroh yang berjalan dengan cepat dan lancar. Bersama itu pula aku mendaftarkan diri menjadi mahasiswi di Universitas Terbuka.

Berangsur-angsur kesehatan tubuh ku membaik, walaupun tidak sembuh secara total dan masih bisa kambuh namun aku tak ingin berhenti dengan semua perjuangan ku ini. Setiap hari aku melakukan rutinitas pekerjaan ku dan kala malam tiba maka kugunakan untuk belajar. Walaupun hari-hari aku lalui terasa berat, tapi tak mengurangi tekad dan semangatku.

Akhirnya aku dapat menyelesaikan kontrak tiga tahun dan harus pulang ke tanah air. Kembalilah ke tengah-tengah keluarga yang tercinta, kehidupan desa yang masih sangat renta dengan sinyal-sinyal internet membuatku kesusahan untuk melakukan tugas kuliah, namun aku putuskan untuk tetap melanjutkannya.

Beberapa bulan kemudian majikan memintaku kembali bekerja ke Taiwan dan akhirnya aku harus masuk ke dalam penampungan lagi untuk melakukan serangkaian proses. Saat itu tibalah waktu ujian akhir semester, tak ada satu pun pegawai kantor yang percaya bahwa seorang TKW dapat melanjutkan pendidikan kala menjadi pembantu, bahkan aku tak mendapat izin untuk mengikuti ujian dan justru mendapat kata-kata yang meremehkan. Meski demikian, aku tak berhenti untuk mencari akal yang akhirnya membawa aku kepada Big Boss dengan serangkaian alasan aku utarakan agar aku dapat mengikuti ujian, dan tak dinyana justru dia merasa bangga dengan kerja kerasku.

Di tengah ramainya kehidupan ibukota aku mencari lokasi ujian, walaupun rumit dan sulit tak membuat keningku berkernyit. Paginya waktu ujian membuat aku harus mencari penginapan, namun naas tak satupun penginapan setempat yang dapat menampungku. Ketika aku merasa lelah berjalan, sekumpulan supir bajaj menyapaku dan setelah kuceritakan perihal kesusahanku, salah satu dari mereka menawariku untuk menginap di rumahnya. Alhamdulilah, rupanya Tuhan memberi pertolongan dengan mengirimkan supir bajaj yang baik.

Proses demi proses yang telah aku lalui, akhirnya membawaku kembali ke negeri Taiwan. Sambutan hangat majikanku membuat ku semakin bahagia ditengah rasa lelah melakukan aktifitas pekerjaan. Namun lagi-lagi sakit menyapa tubuhku, dan semakin membuat tubuhku rapuh. Dari infeksi lambung, polip atau daging tumbuh, maag kronis hingga lever menjadi vonis dokter. Kesedihan hatiku akan keadaan fisik itu mungkin tak lagi tertutupi, tetapi perjuanganku tak ingin aku akhiri dengan menyerah.

Cobaan hidup adalah pembelajaran dan pengalaman. Meskipun berteman sakit, bekerja dan belajar tetap menjadi prioritas bagiku. Bukan aku tak sayang tubuh mungil ku, tetapi lebih kepada jiwa sang pejuang yang akan mempertahankan perjuangannya hingga titik akhir. Berbagai pengobatan aku lalui, dari medis hingga alternatif. Dari satu tempat ke tempat lain, keyakinan dan semangat ku tetap utuh, bahwa Tuhan tak akan membiarkan hambanya yang senantiasa berusaha. Dan benarlah mukjizat itu datang, sakitku pun terobati. Rasa syukur yang mendalam selalu aku ucapkan, dan kini aku hanya menanti buah manis dari perjuangan yang aku lakukan selama ini, pekerjaan yang telah mendekati garis finish dan pendidikan yang tinggal menunggu masa wisuda, Alhamdulilah.