Pelangi di Langit Taiwan

2015/5/20  / Siti Maghfiroh / Pelangi di Langit Taiwan / Indonesia 印尼 / tidak ada

Pelangi Di Langit Taiwan
Oleh: Siti Maghfiroh

Aku terlahir dipertengahan tahun 1987, saat musim  penghujan mulai membusukan bibit bawang merah dipersawahan milik ayahku. Musim itu mematahkan asa para petani, bibit-bibit bawang mereka busuk, ya busuk tak berguna lagi.
Siang menjelang sore, saat ayahku sibuk membersihkan rumput-rumput kecil yang mulai menggangu  pohon bawang, tiba-tiba dari ujung sawah, lelaki yang mulai terlihat tua memangil-mangil ayahku memberi kabar bahwa istrinya segera melahirkan. Ayahku sekejap langsung berdiri menoleh kearah sumber suara, tak menunggu lama, ayahku segera menghampiri lelaki yang sudah penuh keriput diwajahnya. Iya, dia adalah kakek tersayangku. Segera mereka berdua berjalan pulang dengan hati penuh cemas.
Sesampainya ayahku didepan pintu, suasana rumah penuh senyum, penuh tawa; aku terlahir degan membawa tangis yang keras. Ayah menghela nafas, nafas kelegaan dan kegembiraan.
“Anakku laki-laki apa perempuan buu”. Tanya ayah pada Bidan Desa? Sembari ayah menghampiri ibu yang masih terbaring penuh letih, penuh lelah. Ayahku duduk tepat disebelah kanan ibuku, mencium keningnya penuh sayang.
“Anak bapak perempuan pak”. Jawab bidan itu sambil tangannya sibuk merapikan alat-alat keperluan persalinan.
Aku bisa bayangkan betapa gembiranya kedua orang tuaku melihat kehadiranku ditengah keluarga mereka, mungkin senyum, tawa dan gembira serta bersyukur penuh suka cita.
Aku masih terduduk dikursi ruang tamu untuk mendengarkan ayah berkisah tentang hari kelahiranku. Tiba-tiba wajah ibu bergelayut dipelupuk mata, air mata tak terbendung, tumpah membasahi pipi. Iya, aku teringat ibuku, rindu keteduhan wajahnya yang kini tinggal bayang. Tapi aku tak bisa lagi merasakan kehangatan dekapan dan pelukan ibu, karna ia telah lebih dulu dipangil oleh Sang Khaliq.
Saat pipi penuh linangan air mata, ayah mendekat sambil mengusap-usap rambutku dan berucap.
“Tak usah bersedih. Ibumu sudah lebih bahagia, yang harus kamu lakukan adalah mendoakan ibu”. Aku mengangguk sambil menyeka airmata yang masih tersisa. Aku dekap erat-erat tubuh ayah, “Maaf kan segala salah dan khilafku ayah”. Ayah masih terus membelai rambutku “Sudahlah, tidak ada yang perlu dimaafkan lagi. Sekarang kamu harus tegar, harus kuat”.
Selepas magrib menjelang isya. Aku masih terduduk ditempat shalatku, seluruh rasa bersalah itu hadir, hadir untuk mengakui di hadapan Allah atas ketidak taatanku pada ibu dan ayahku. Yang entah sampai kapan rasa bersalah itu akan hilang yang jelas sejak ibu meninggalkan kami, rasa bersalah itu lebih sering hadir dalam benakku. “Astaqfirullah hal adhim”, sebutku lirih sembari menutupi wajah dengan kedua telapak tanganku.
Dua tahun lalu sebelum ibu meninggalkan kami. Aku pernah memaksakan diri untuk segera menikah walau ibu dan ayahku melarang atas dasar pendidikan. Namun aku sama sekali tidak menghiraukannya, aku dibutakan oleh rasa cinta, cinta yang buta.
Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terlanjur, ijab kabul sudah kami lakukan. Aku disunting oleh laki-laki yang aku kenal sejak aku duduk dibangku SMA. Ia baik juga taat beribadah. Kami jalani kehidupan baru ini dengan penuh kasih sayang hingga usia pernikahanku dengan Roni sudah masuk tahun ke dua. Selama itu pula rumah tangga kami hapir tidak pernah ada masalah. Saling menyayangi, saling mengasihi, saling mengerti dan saling menerima segala kekurangan masing-masing. Itu lah komitmen kita berdua sebelum kami menikah dua tahun yang lalu. Kini kami telah dikaruniai seorang putri nan cantik dan cerdas sebagai penyempurna kebahagiaan kami.
Suamiku bekerja sebagai karyawan kontrak disebuah perusahaan swasta di Surabaya, gajinya pas-pasan bahkan terkadang penuh kekurangan. Namun aku berusaha menjadi istri yang luar biasa, yang selalu mensyukuri hasil jerih payah seorang suami, menerima apapun pemberiannya dari hasil yang halal. Aku lihat Roni benar-benar mencintai dan menyayangi aku dan anakku. Setiap kali tidur, Roni selalu menggengam tanganku, dan saat ia bangun pagi, ia selalu mencium pipi dan keningku. Sebelum akhirnya kami shalat subuh berjamaah.
Selama itu pula Roni tidak pernah menyakiti perasaanku melalui masakan yang kurang ia sukai, ataupun kopi yang kurang manis, ia tak pernah marah.
""Dia (Muhammad) tidak pernah mencela suatu makanan, jika dia suka ia makan, dan jika dia benci dia meninggalkannya"". (HR. Bukhari Muslim)
Barang kali itulah alasan Roni untuk tidak pernah marah atas makanan dan minuman yang aku hidangkan.
Setiap kali suamiku hendak berangkat bekerja, aku selalu menyediakan makan pagi dan secangkir kopi untuknya. Dan saat Roni berpamitan untuk berangkat bekerja, aku selalu mencium tangan suamiku  dan dibalas dengan kecupan hangat di kening. Begitulah setiap pagi yang kami lakukan selama bertahun-tahun. Aku sebagai seorang istri tidak pernah menuntut sesuatu yang berlebihan dari seorang suami, aku selalu mensyukuri dan berterimakasih atas pemberian suami meskipun sebenarnya jauh dari kata cukup.
Suamiku sering datang kepada pemilik kontrakan untuk menyampaikan; “Maaf pak, bu, saya belum bisa membayar kontrakan hari ini, mungkin minggu depan”. Kata itu hanya dibalas dengan senyum kecut: “Ya sudah tidak apa-apa, tapi pasti ya minggu depan”.
Satu tahun tiga bulan Roni bekerja sebagai karyawan di perusahaan, selama itu pula ia bekerja dengan sangat baik dan tidak ada catatan merah atas kinerja Roni di perusahaan itu, namun tiga bulan kedepan kontraknya akan segera habis. Roni menyadari betul bahwa kerjanya harus dibatasi oleh waktu.
Sebelum kontrak kerjanya benar-benar habis, Roni mencoba menjumpai atasannya dengan maksut memperpanjang kontrak kerjanya. ‘Jika saya harus berhenti bekerja, anak dan istri tidak akan mendapatkan makan dan membeli susu’. Gumam Roni dalam hati. Roni tidak ingin keluarganya bersedih dengan keadaan ia tidak memiliki pekerjaan, bagaimanapun caranya aku harus tetap bekerja. Apapun resiko yang harus ditangung oleh seorang suami, seorang ayah dalam mencari nafkah harus siap aku terima.
Hari itu, saat semua karyawan beristirahat, Roni mencoba menjumpai atasannya untuk mengajukan perpanjangan kontrak; atasannya tidak langsung memberikan jawaban, Roni harus menunggu tiga sampai empat hari kedepan. Akhirnya Roni melangkah keluar ruangan dengan perasaan was-was, kalau-kalau pengajuan perpanjangan kontraknya ditolak.
Sesampainya dirumah, Roni menceritakan apa yang sudah terjadi. Aku hanya mengganguk pelan, lalu membesarkan hati suamiku. ‘Klaupun permohonannya ditolak, Allah pasti masih memberikan riski pada kita ditempat yang lain. Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang selalu berusaha dan berdoa’. Roni mengusap-usap pelan rambut-ku dan menciumi pipiku.
Tiga hari yang dijanjikan atasannya telah tiba, berjalan berlahan menuju ruangan atasannya dengan penuh harap; ‘Mudah-mudahan permintaannya dikabulkan’. Doanya dalam batin. Sebelum ia masuk, tak lupa mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Ia-pun dipersilahkan masuk. Dengan hati penuh cemas ia duduk tepat didepan atasannya.
“Saya mau menanyakan surat pengajuan perpanjangkan kontrak yang kemarin pak”.
Atasannya tersenyum dan mengangguk-angguk pelang sambil mengelurkan map yang telah diambilnya dari laci mejanya. “Kami sudah mempertimbangkan semua, dan selama kurang lebih satu tahun setengah ini pak Roni memiliki kinerja yang baik, maka kami memutuskan mengangkat pak Roni menjadi karyawan tetap. Namun dari perusahaan memutuskan memutasikan pak Roni ke cabang perusahaan kami yang ada di Batam Selamat ya pak!!”. Atasannya mengulurkan tangan pada Roni dan menjabat erat.
“Klau bapak setuju, ini ada beberapa berkas yang perlu bapak tanda tangani”. Tambahnya sambil membuka map tersebut dan memutarnya di depan Roni.
Hati Roni penuh gembira, wajahnya berbunga-bunga, bibirnya dipenuhi senyum. Sesampainya dirumah ia langsung memelukku dan buah hati kami. Ia menyampaikan kegembiraanya karna ia diangkat sebagai karyawan tetap. “Alhamdulillah, Allah selalu memberi jalan riski untuk keluarga kecil kita. Allah akan selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang senantiasa berdo’a dan ikhtiar dengan penuh optimisme”. Jawab-ku dengan penuh rasa syukur.  
“Iya sayang, sungguh Allah telah mengabulkan doa kita”. Sebut Roni penuh kegembiraan.
Dipenghujung 2011
Segala kepedihan, kecewa, luka dan air mata berawal dari sini.

Hari saat pindah kerja telah ditentukan, Roni tingal menunggu beberapa jam saja menjelang keberangkatannya ke Batam. Suka dan duka aku rasakan saat itu, saat perekonomian mulai mapan malah justru suami harus bekerja diluar kota. Tapi apa boleh buat, ini demi masa depan kami dan buah hati kami. Akhirnya aku-pun mengantar keberangkatan Roni melalui bandara A. Yani semarang.
Setelah suami pergi ke Batam, aku dan putri kecilku memutuskan pulang kerumah ayahku dan meninggalkan kontrakan, meskipun masih tersisa setengah bulan lagi. Ayah menyambut baik kehadiran kami, memeluk putri kecilku dan mencium-ku.
 Tiga bulan sudah berlalu sejak pertama suamiku kerja ke Batam. Selama itu komunikasi selalu lancar dan tangungjawab sebagai seorang suami tidak ia tingalkan. Ia selalu mengirim uang untuk-ku dan anakku meskipun tidak terlalu banyak, tapi tetap aku syukuri. Namun memasuki bulan ke lima, mulai ada yang lain dari suamiku, ia jarang menghubungiku dan ketika aku yang menghubungi belum tentu ia mau mengangkat telponnya.
Meskipun demikian aku mencoba menenangkan hati untuk tidak berfikir negatif, aku tetap terus berusaha menghubungi suamiku walaupun hasilnya nihil. Bahkan terkadang nomor HP-nya tidak bisa aku hubungi. Aku tidak mau berfikir yang aneh-aneh, aku hanya berangapan bahwa ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Tepat dibulan ke enam, sudah tak ada lagi kiriman uang dari suamiku dan ia sudah tidak dapat lagi aku hubungi. Nomor handphone sudah tidak aktif lagi, disitulah perasan curiga menghantui disetiap langkahkku. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa mendapatkan kabar dari suamiku itu.
Sementara dua bulan terakhir, kebutuhanku dan anakku harus ayahku yang menangung walau sebenarnya perasaanku sama sekali tidak enak membebani ayahku sementara aku memiliki suami. Aku-pun mulai berfikir mencari cara untuk bisa mencari tahu keadaan suamiku.
Dengan keadaan yang seperti itu, aku tidak pernah putus untuk selalu mendoakan suami agar ia tetap baik-baik saja, dan berharap hubungan perkawinan kami akan tetap abadi. Setiap malam aku berusaha bermunajat kepada Tuhan agar suatu saat nanti aku dipertemukan kembali dengan suamiku, setidaknya mengetahui kabarnya.
Pagi selepas subuh, saat aku mulai merapikan rumah, handphone ku berdering suara pesan masuk terdengar. Ini sesuatu yang jarang terjadi, segera aku raih handphoneku aku buka dan aku baca dengan sek sama.
“Maaf, Roni sudah tidak pantas mendampingi perempuan yang tidak pernah hormat dengan suaminya seperti kamu”.
Aku terduduk lesu, seketika itu aku meneteskan air mata untuk kesekian kalinya. Tanpa berfikir panjang, dengan penuh tanda tanya aku-pun beranikan diri untuk membalas pesan singkat itu.
“Maaf, ini siapa?” tanyaku singkat.
“Aku Lina, istri mas Roni” jawabnya penuh percaya diri.
Aku masih terduduk dengan mata yang terus berkaca-kaca, lesu tanpa daya seolah kaki sebagai tumpuan tak bisa lagi menyanga tubuhku. Suamiku menikah lagi? Aku bergumam lirih penuh perih. Seperti tak percaya menerima kabar buruk itu, tapi nyatanya hatiku hancur, asaku sirna. Aku masih terus menangisi kenyataan yang tidak pernah aku sangka-sangka, tapi ini nyata tanpa terbantahkan. Hingga aku memutuskan hijrah ke Negeri gedung 101 itu, aku tidak pernah lagi berjumpa dan tak berharap berjumpa dengan lelaki pengecut itu.
Berbulan-bulan bahkan nyaris setahun aku harus menangung beban perih, luka dan kecewa. Dalam benak-ku masih selalu bertanya-tanya, Dosa apa? Salah apa? Hingga aku harus menangung beban derita ini. Pada hal sebelumnya kami tidak memiliki masalah apapun tapi kenapa mas Roni tega berbuat demikian?!. Aku bergumam penuh amarah, batinku menolak.
 Aku tidak memungkiri bahwa kabar mengejutkan itu telah menjadi penyebab kesedihanku berkepanjangan, namun meski demikian putri kecilku tetap menjadi harapan sebagai pelipur lara satu-satunya. Tiada mutiara yang lebih indah yang dapat aku pandang selain purnama di wajah putri kecilku yang memerah tersiram semburat mentari senja. Salsabila (putri kecilku) yang menjadi harapan cinta satu-satunya bagiku saat ini, tiada yang diharapkan dari putriku selain cinta dan kebersamaan hingga nanti.
Aku meyakini bahwa keterpisahan-ku dengan suamiku bukanlah ulah takdir, namun disebabkan oleh budak-budak nafsu dunia yang hanya menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan penderitaan yang lain, bahkan anak yang seharusnya dikasihi telah menjadi korban dari kerakusan nafsu.
Entah sudah berapa purnama berlalu, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan Roni. Aku seperti lautan kehilangan debur ombak yang memperindah hambaran biru nan luas. Sepi tak ada gelombang yang selalu membasahi bibir pantai yang indah. Sepi tanpa gemuruh canda, senyap bak malam tanpa bintang. Berkali-kali aku mencoba mencari tau keberadaan dan keadaan Roni lewat teman-teman dekatnya. Namun mereka memberikan jawaban yang sama; “Aku tidak tahu, sudah lama aku tidak pernah komunikasi dengannya”. Begitulah jawaban yang aku dapatkan.
Semua kenyataan itu telah menciptakan rasa perih yang merayap dilubuk hati-ku. Aku bergumam dalam hati ‘Hanya pertolongan Allah yang dapat membuatku bisa bertahan atas semua cobaan ini. Aku merasa nasib begitu buruk, matahari yang selama ini selalu mencerahkan hati, kini tak lagi bersinar dihadapanku. Hanya kegelapan, tinggal kelam.
Harapan bersama suami dalam membesarkan dan mendidik putriku kandas sudah. Tapi aku harus sanggup, harus kuat dan harus bisa membesarkan putri kecilku dengan seorang diri. Kini aku menyadari betul bahwa kemapapanan dalam pekerjaan sama sekali tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Kenyataanya, suami yang aku banga-bangakan kini menjadi racun dalam dada, racun yang membunuh seluruh rasaku terhadap suamiku.
Tongkat tempat aku bertumpu telah patah dan hilang, barang kali lenyap. Tak tahu kemana akan aku cari lagi, tapi kenyataannya memang tak bisa aku dapati lagi. Andai saja hati ini bukan Tuhan yang menciptakan mungkin sudah pecah dan hancur menjadi kepingan beling. Kini aku tak pernah lagi berharap untuk hidup bersama dengan lelaki pengkhianat itu dengan alasan apapun.
Tak ada yang pantas aku persalahkan dalam takdir ini, barang kali inilah teguran Tuhan yang dikususkan untukku atas kesalahanku terhadap kedua orang tuaku diwaktu yang lalu. Kini kenyataan pedih itu aku terima dengan kelapangan hati, mungkin Tuhan memang tidak menghendaki lagi atas kebersamaan-ku dengan suamiku. Tuhan mengusirnya dari kehidupanku bukan mengambilnya.
Satu tahun telah berlalu sejak kejadian menyakitkan itu. Aku selalu menguatkan hati, menerima kenyataan yang terjadi.
Roni memang pernah menjadi mata dan cahaya keindahan dari hati seorang perempuan yang kini sengsara. Ternyata cinta kepadanya telah menyalakan api dalam hatiku yang membakar, dan ia tidak pernah lagi memadamkan dengan air kebersamaan. Roni telah mengoyak hati dengan sangat kejam, namun barang kali ia tidak sadar dengan kekejamannya itu.
Aku berusaha menyembunyikan semua kenyataan, namun kesedihan ini menampakkan keadaan jiwaku yang hancur. Aku akan mengenang kenyataan ini hingga air mataku benar-benar mengering. Namun aku berharap ia tidak mengenangku sebagai seorang perempuan yang selalu mencintai tapi ia akan mengenangku sebagai seorang perempuan yang telah disakiti!.
Aku harap ia masih mengingatku sebagai seorang perempuan yang telah ia campakkan dalam ladang duri. Masih mengingatku sebagai seorang perempuan yang telah dipermainkan tanpa dimenangkan dengan penyatuan, bertarung tanpa lawan. Dan aku berharap semoga ia masih mengingatku sebagai seorang perempuan yang telah dihancurkan hatinya dan terkapar kemudian ditinggalkan begitu saja.
Hari terus berlalu, putri kecilku mulai beranjak besar dan kebutuhanku semakin meningkat, sementara aku tidak memiliki penghasilan apapun. Aku seolah mulai merasa tersudut.  Dan aku berdoa semoga aku sanggup menghidupi diri dan putri kecilku dengan hasil keringatku sendiri.
  Pukul empat sore, saat mega menyelubungi senja dan mentari pulang keperaduan, pelan menghujam ujung barat. Aku berlahan meninggalkan bangku depan rumah penuh kenangan itu dengan membawa putri kecilku. Sedangkan kesedihan tetap berpadu bersama langkah kaki.
Ayah ternyata telah mengamati aku dalam diam, aku masuk berlahan sembari menimang anaku seolah tidak terjadi apa-apa. Aku berjalan tepat didepan ayah, namun tanpa aku sangka ayah  memangilku pelan.
“Nabil” suara lelaki paruh baya itu memangil.
“Iya yah” jawabku singkat
“Sebenarnya ada apa dengan rumah tanggamu?”
Aku membalikkan badan dan berjalan mendekati ayah lalu duduk tepat didepannya. Ayah menatap dalam-dalam, menarik nafas berlahan;
“Apa yang telah membuatmu dirundung kesedihan? Kamu setiap hari terlihat lesu” tanya ayah serius.
Aku masih terdiam, menunduk sambil mengusap-usap rambut putriku sembari mencari-cari jawaban yang tepat untuk ayah.
Dengan suara terbata aku-pun menjawab; “Roni sudah menikah lagi yah!” ketika itu pula air mataku menetes kembali untuk kesekian kalinya. Hatiku kembali merasa hancur, perih dan kecewa.
“Roni menikah lagi?”  ayah menyambar kata-kata-ku. Ayah memandangiku tak percaya. Membanting tubuhnya kebelakang, di kursi yang ia duduki. Ruangan senyap sejenak. Diam tak ada yang berkata-kata.
“Iya Ayah, dia telah menikah lagi” jawabku lagi sambil menyeka air mata.
Ayah mengelengkan kepala pelan, seolah hendak menolak sebuah kenyataan yang telah terjadi putrinya.
“Apa ia tidak memberi tahu kamu lebih dulu kalau dia mau menikah” tanya ayah dengan nada terheran-heran.
“Tidak ayah, istri nya yang justru memberi tahu bahwa mereka sudah menikah”
Ayahku kembali menghela nafas, mungkin juga merasakan kesedihan sebagaimana aku rasakan. Ayah bangkit dan meraih putriku dan menciuminya sembari berucap ‘kamu tingal sama mbah yaaaa, jangan nakal’. Ayahku-pun berlalu bergi dengan membawa serta anakku. Sementara aku tetap duduk dibangku ruang tamu.
Satu minggu sejak aku berbicang dengan ayahku, aku-pun mulai berfikir. Apa sebaiknya aku meneruskan usaha ayam potong yang ditingalkan ibuku untuk memenuhi kebutuhanku?. Aku bertanya dalam batin.  Aku coba bertanya pada ayah tentang hal ini, tanpa berfikir panjang ayahku-pun mengizinkan aku berjualan di lapak yang ditingalkan ibu. Ayahku dengan penuh keihklasan memberikan aku modal untuk 10 kg ayam potong sebagai permulaan aku berjualan.
Pagi masih gelap, dengan penuh semangat aku bangun dan merapikan tempat tidur. Aku pandangi wajah putri kecilku yang tertidur pulas bertabur mimpi, mataku berkaca-kaca. Ah, aku tak mau menangis lagi, tak mau menangisi lelaki brengsek itu. Dia sudah tidak berguna lagi. Suara azdan subuh dari mushola ujung gang menyentuh telinggaku, suaranya merdu, melengking-nyaring. Aku beranjak pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu sebelum akhirnya aku tunai kan shalat subuh. Tentu aku tidak pernah meninggalkan doa untuk aku dan putri tercinta-ku.
Aku menyiapkan segala kebutuhan dan perlengkapan untuk berjualan pagi itu, sementara anak-ku aku titipkan pada ayahku untuk mengasuhnya selama aku berjualan. Ayah tidak keberatan , menerima hal itu penuh cinta.
Aku jalani aktifitas baru itu dengan penuh ikhlas dan semangat. Aku tak perduli orang akan berkata apa tentangku, tentang rumah tanggaku, karna kini yang ada dalam benaku adalah masa depanku bersama putri tercintaku. Begitulah aktifitas itu aku jalani hampir enam bulan lebih. Saat aku lelah, letih, senyum dan tawa putri tercintaku menjadi pelipurku, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk bekerja ke Taiwan meninggalkan putri kecilku yang sebenarnya masih sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. Tapi apa boleh buat, lagi-lagi demi masa depan kami berdua yang menjadi motivasi terkuat dalam mengambil keputusan untuk bekerja ke Negeri seberang.
Tepat di tangal 3 september 2013, aku yakinkan diri untuk terbang ke Taiwan dengan bermodalkan doa dan harapan. Berat terasa saat meninggalkan putri tercintaku, tapi tak apa lah karna ini semua demi kebahagiaan, demi masa depan.
Saat itu aku transit ke Negeri singa (singapore) selama 12 jam. Itu lah pertama kali aku mengijakkan kaki di Negeri nan jauh. Wajah putri-pun membayang, tapi aku coba menguatkan hati, memotivasi diri degan penuh optimisme. Setelah selama 12 jam aku transit, akhirnya aku berangat ke Taiwan dengan penuh semangat dan percaya diri. Jelang subuh, aku sudah menginjakkan kaki di Taiwan. Dari bandara aku menuju medical check up lalu ke depnaker untuk wawancara dan proses pembuatan identitas diri (ARC), setelah urusan selesai, aku ke kantor agency dan ditempatkan di asrama TKI sebelum akhirnya aku dijemput seorang perempuan paruh baya yang kini menjadi majikanku. Ia menjemputku penuh ramah, penuh senyum. Majikanku bermarga Zhan, ia seorang perempuan tanpa seorang suami, ia telah lama menjanda, suaminya telah lama meninggalkannya.
Majikanku tingal dengan ibunya yang mulai hari itu juga menjadi tangungjawabku untuk merawat seorang perempuan dengan usia telah cukup udzur, sekitar 90 tahun. Aku merawatnya dengan penuh kasih sayang seperti merawat ibuku sendiri. Sementara itu sang majikan cukup baik denganku dan menganggapku sebagai sodara.
Seminggu-sebulan, tak terasa kini telah hampir dua tahun aku meninggalkan putri tercintaku, meski terkadang rindu bergelayut aku harus tetap semangat. Aku kerjakan semua tangungjawabku untuk mengurusi ibu majikanku dari mulai mandi pagi hingga tidur malam hari. Belum lagi harus kontrol kerumah sakit dan terapi atas stroke yang pernah ia derita. Semua aku jalani dengan ikhlas dan senyum penuh semangat hingga nanti waktu memutuskan untuk aku kembali ke tanah airku dan berkumpul kembali bersama keluarga besarku dan putri tercintaku.
Inilah kisah perjalanan hidupku yang penuh warna, penuh cerita. Aku menyadari bahwa kegagalan yang aku alami akan berbuah manis pada akhirnya. Memang perjalanan rumah tangga seperti berlayar disamudra nan luas, terkadang gelombang kecil akan sanggup menghempas setiap saat, namun ada pula dengan gemuruh gelombang yang besar masih tetap bertahan mengarungi samudra hingga dermaga, tinggal bagaimana diri dalam mengendalikan hantaman dan dentuman gelombang yang menerpa.
Aku selalu ingat petuah bijak; bahwa orang yang hebat bukanlah orang yang selalu menang, akan tetapi orang hebat adalah orang yang selalu bangkit kala terjatuh.
Aku sendiri percaya bahwa Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa hidup selalu bahagia, tak pernah janjikan siang selalu terik dan tak pernah janjikan mendung selalu hujan. Yang jelas akan ada pelangi yang indah setelah hujan turun.
Di Negeri Taiwan ini-lah pelangi aku cari, pelangi aku dapatkan. Tanks to Allah.

Semoga bermanfaat;
Wasalam