makasi formosa

2015/5/31 / Peronika Sihombing / makasi formosa / Indonesia 印尼 / tidak ada

Makasih Formosa…
Panggil saja aku  Nika. Aku adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Kami ditinggal ayah ketika adik ku yang paling bungsu masih bayi. Meski tidak pernah mengecap kemewahan, kehidupan masa kecilku sangat bahagia dan penuh mimpi. Aku dikenal sebagai anak yang cukup pintar, karena dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi beberapa instansi swasta dan pemerintah bersedia memberikan beasiswa untukku..
Agustus, 2013 saya mecoba keuntungan untuk mendapatkan beasiswa  di salah satu universitas pendidikan di Taiwan. Bukan hal yang mudah bagi ku untuk berangkat  ke negeri Formosa ini. Selain keuangan ku yang tidak mencukupi, saat itu aku masih sedang menjalani program pendidikan profesi guru (PPG)di kota ku, Medan. Awal September 2013, aku memberanikan diri untuk mengirimkan surat lamaran ke universitas itu dan melampirkan beberapa dokumen untuk dipertimbangkan. Pada akhirnya, Desember 2013 aku diterima dan dinyatakan  lulus dengan beasiswa penuh program magister jurusan pendidikan sains.
Petualanganku akan dimulai Februari 2014, itu artinya aku punya waktu dua bulan untuk mempersiapkan mental dan fisik  menghadapi dunia baru, dunia dengan budaya dan Bahasa yang berbeda. Bahagia terpancar di wajah ku, akan tetapi rasa gugup, cemas, takut bercampur aduk menjadi satu. Aku begitu khwatir bagaimana aku akan mendapatkan teman disana.  Tiga minngu sebelum hari keberangkatan ku, aku mendapatkan e- mail dari seoraang gadis Taiwan bernama Jasmine, dia adalah volunteer yang diutus pihak kampus untuk mahasiswa asing sepertiku. Jasmine berpesan bahwa dia siap menolong ku kapan pun aku butuh, membuat rasa kwatirku sirna seketika.Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk mengakrabkan diri satu sama lain, jasmine adalah gadis yang ramah dandan tidak pernah keberatan menjawab pertanyaan polos ku, seperti apakah bagaimana mendapatkan beras, bagaimana jika ingin bepergian, berapa biaya hidup sebulan, apakah perlu bawa, selimut, dsbg, .Terkadang aku tidak tau diri dengan menginbox-nya jam satu malam. Meski aaku tidak berharap pesan ku dibalas saat itu juga tetapi kenyataanya aku selalu mendapatkan balasan kurang  dari satu jam.

Februari 16, 2014 aku menginjakkan kaki di Taiwan. Setelah mendapatkan kamar asrama yang sangat nyaman, hal pertama yang ingin kulakukan adalah bertemu Jasmine. Melalui face book messenger aku mengabari Jasmine kalau aku sudah tiba dan ingin bertemu dengannya. Malamnya, Jasmine mengunjungiku. Sperti yang kuduga, dia seorang gadis yang sangta cantik dengan senyuman nya yang  manis dan bersahabat. Dia membawakan aku  semangkok besar bubur kacang merah dan kue ketan. Dia mengaku sudah mempersiapkan itu sejak siang dan berharap aku menyukainya. Tentu saja aku sangat bahagia dan tidak lupa berterimakasih kepadanya. Jasmine pamit ketika malam sudah agak larut, dia berkata bahwa aku tidak perlu segan menghubunginya jika aku butuh sesuatu. Itulah awal persahabatan kami dimulai.

Sebulan di Taiwan keuangan ku semakin menipis. Aku berusaha mendapatkan pekerjaan part time disini  tetapi kendala Bahasa membuatku tidak bisa berharap banayak karena aku hanya bisa komunikasi dalam Bahasa iggris. Iseng-iseng aku menanyakan apakah ada kemungkinan aku mendapatkan pekerjaan part time di jurusan ku. Ming Tien salah satu pegawai  bagian administrasi menawariku untuk menjadi Teaching Assistant. Tentu saja aku tidak menolak. Aku berpikir bahwa sebenarnya aku tidak layak untuk pekerjaan itu,  mereka hanya berniat menolong ku. Meski berusaha yang terbaik, beberapa kali aku juga membuat kesalahan, tetapi mereka selalu mengapresiasi pekerjaan ku dan mendorong ku untuk terus semangat.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Sudah lebih dari satu tahun aku tinggal di Negara ini. Aku mendapatkan banyak teman baru, juga keluarga baru. Aku merasa bukan seperti orang asing, aku seperti berada dirumah sendiri.  
Liburan winter 2015, oleh seorang teman, aku diperkenalkan dengan Amy yang punya usaha art glass tidak jauh dari kampus ku. Aku sangat beruntung, amy menawariku bekerja part time di galeri nya kurang lebih delapan jam perminngu. Seperti Taiwanese pada umumnya, Amy begitu baik dan ramah. Dia memperlakukan bukan sebagai bawahan. Bahkan berulang kali dia menanyakan apakah aku nyaman dan menikmati pekerjaan ku. Bebereapa kali dia juga memujiku seorang pekerja keras dan cepat belajar, meskipun aku menganggap bahwa kapasitas ku sangat tidak memungkinkan untuk pujian itu. Tidak jarang dia membekali ku dengan beberapa makanan kering untuk di bawa pulang, bahkan ketika aku berusaha meyakinkan nya bahwa aku masih punya beberapa makanan sisa pemberiannya minggu sebelumnya. Amy, yang pernah study di Amerika mengaku bahwa dia pernah pada posisi ku. Aku  begitu berterimakasih kepadanya meskipun disisi lain perlakuan nya membuat ku semakin menyeganinya.

Banyak hal yang ku dapatkan disini. Ketulusan, persahabatan , dan cinta membuat ku terkagum dan lupa bahwa aku hanyalah orang asing. Perlakuan teman- teman Taiwanese dan orang –orang local membuatku belajar bagaimana seharusnya memperlakukan orang asing suatu hari nanti. Bukan hanya aku saja diperlakukan demikian, banyak mahasiswa asing berpendapat sama dengan ku. Di asrama aku tinggal di gedung yang sama dengan lima mahasiswa Taiwan. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk mengakrabkan diri satu sama lain. Pada waktu tertentu kamu saling bertukar makanan dan bercerita tentang budaya kami masing- masing. Ada suatu keunikan tersendiri ketika aku mengingat moment itu. Budaya ku dengan makanan khasnya yang pada umunya pedas membuatku berpikir bahwa mereka kurang suka makanan yang aku tawarkan. Itu cukup beralasan karena aku pernah mengalami hal yang sama. Pernah suatu ketika aku menunggu bus sekolah. Aku merasa lapar dan memutuskan untuk memesan  ayam goreng dari Macdonal. Sengaja aku memesannya ‘’ very spicy’’ karena aku memang menyukai rasa pedas, meskipun menurut ku itu bahkan tidak ada pedasnya sama sekali.Ketika asyik menunggu bus seorang gadis Taiwan meinta berbagi meja dengan ku. Kami berkenalan, dia seorang mahasiswa seni, dia memiliki lesung pipi yang membuatnya begitu manis ketika tersenyum . Untuk mengakrabkan diri aku menawarkan ayam goreng yang memang masih ada beberapa potong. Dia berterimakasih dan pada akhirnya mencobanya. Tidak kurang dua menit dia mengibas- ngibas wajanya dengan telapak tangan dan berteriak’ oh my God it so spicy’. Aku  terkejut dan kulihat matanya basah dan wajanya memerah. Buru – buru aku menyodorkan botol minum didekat ku. Aku merasa bersalah dan berkali kali minta maaf. Dia tertawa dan mengatakan bahwa itu bukan salah ku. Pada akhirnya, pengalaman ini membuat ku ekstra hati hati untuk menawarkan makanan bagi teman teman Taiwan khususnya roommate ku.
  Suatu hari nanti, aku akan meninggalkan Negara ini dan kembali ke negeri ku. Mungkin bagi beberapa orang, tinggal sebagai orang asing bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi untuk waktu kurang lebih dua tahun .Namun bagiku, itu terlalu singkat.  Aku menikmati study dan pekerjaan ku. Aku diperlakukan bukan seperti orang asing. Mungkin aku tidak bisa melakukan hal baik bagi mereka saat ini, tetapi aku berjanji aku akan memperlakukan orang asing lainnya sama seperti yang mereka perbuat terhadap ku, bahkan mungkin lebih.