AKU, TUAN DAN NYONYA :Ketika Takdir Cinta Memilih



2014-04-20 / Justto Lasoo AKU, TUAN DAN NYONYA :Ketika Takdir Cinta Memilih / Bahasa Indonesia / Tidak ada


"

AKU, TUAN DAN NYONYA
: Ketika Takdir Cinta Memilih
Oleh: Justto Lasoo
**

Ini adalah hari terakhir, hari di mana aku harus memutuskan sesuatu yang nantinya akan menentukan masa depanku. Hari di mana aku harus bersimpuh pada takdir, memasrahkan sepenuhnya kepada kehendak yang kuasa.
Hari ini adalah satu hari, di mana aku harus memutuskan satu hal terbesar untuk kehidupanku selanjutnya. 


Perasaan gundah menyusup ke jauh ke dalam relung hatiku, mengaduk-aduk seluruh perasaan, bahkan, sepertinya pakaian-pakaian yang tengah kukemas pun ikut merasakan kegundahanku ini.
Hari ini adalah terakhir aku di sini, besok aku sudah harus pulang ke tanah air karena masa kontrakku telah selesai. Rasanya sungguh berat untuk keluar dari rumah yang selama 3 tahun ini telah menampung semua suka dan dukaku. Ada perasaan yang berat menahan kepulanganku esok hari.
Rumah ini, dan seluruh isinya, telah benar-benar menyatu dalam diri dan jiwaku.
**

“Ana, hari ini aku pulang cepat, jadi kamu tidak usah masak.” Suara tuan membuyarkan semua lamunanku. Aku segera menoleh dan menganggukkan kepala. Tuan berdiri tepat di tengah-tengah pintu kamarku, pakaiannya sudah rapi, sudah bersiap untuk berangkat ke pabrik. 
Aku masih memandangi punggung tuan yang berlalu ke ruang depan. Tuan, seorang suami yang begitu sempurna di mataku. Bahkan, dua tahun terakhir ini aku selalu membayangkan jika menikah nanti, aku ingin mempunyai suami seperti sosok tuan. Seorang suami yang penuh tanggung jawab, dan mencintai istrinya dengan sepenuh hati. 


Bel di pintu depan membuatku bangkit dari mengemasi baju-bajuku. Aku baru ingat, pagi ini ada perawat baru yang akan menggantikan aku.

Senyum merekah dari seorang wanita paruh baya menyambutku begitu daun pintu terbuka. 
“Selamat pagi, kenalkan, saya Wen.” Sapa wanita itu mendahuluiku. Aku membalas senyumnya, kemudian menyuruhnya masuk.
Tiga hari yang lalu, tuan dan nyonya sudah memberitahuku perihal kedatangan nona Wen, jadi, sedikit banyak aku sudah tahu tentangnya. Nona Wen adalah asalnya dari Tiongkok.
Tugasku hari ini hanya membimbing nona Wen melakukan tugasnya, memberitahukan apa saja yang harus dia lakukan untuk nyonya. Termasuk memberitahunya jadwal tidur siang nyonya, jadwal makan, minum obat, olahraga dan lain-lainnya. Besok, dia baru akan memulai merawat nyonya secara penuh.


Hampir pukul satu tengah hari, ketika aku akhirnya selesai mengajari nona Wen mengenai tugas-tugasnya, bertepatan dengan kepulangan tuan dari pabrik.
Setelah sedikit bercakap-cakap dengan tuan, nona Wen akhirnya pamit. Tuan mengajakku untuk makan siang terlebih dahulu. Seperti kebiasaannya, tuan selalu membeli makanan kalau pulang cepat. 
Bau yang khas menyeruak dari dalam bungkusan yang kubuka. Benar saja, daging-daging tusuk berwarna coklat kehitaman itu langsung membuat liurku meleleh. Sate! Entah dari mana tuan membelinya. Sebenarnya ini bukan yang pertama tuan berbuat baik padaku mengenai makanan, tapi untuk makanan khas Indonesia, ini baru yang pertama kali tuan bawakan pulang untuk makan siangku. Mungkin tuan berpikir harus menyenangkanku, karena besok aku sudah pulang.
Aku makan dengan lahap, sesekali kulirik tuan yang duduk tepat di depanku. Ujung bibirnya tersenyum tertahan, mungkin sebenarnya dia ingin tertawa melihatku. Hah, apa peduliku? Ini adalah sate pertamaku dalam tiga tahun. Jadi, aku nikmati saja. Peduli apa dengan tawa tuan!


Nyonya bangun dari tidur siangnya saat aku telah selesai membereskan dapur. Aku segera membantunya untuk duduk bersandar di ranjang, lalu menyuapinya pepaya masak kesukaannya.

“Ana, bagaimana pendapatmu tentang nona Wen?” Nyonya bertanya kepadaku tanpa berhenti mengunyah pepaya. 

“Sepertinya dia baik dan rajin, Nyonya. Semoga Tuan tidak salah pilih orang, “ jawabku sambil membersihkan dagu nyonya yang belepotan air pepaya menggunakan tisu.

“Semoga saja begitu.” Nyonya menggelengkan kepala saat tanganku kembali hendak menyuapkan sepotong pepaya. “Apakah kamu sudah punya jawaban untuk pembicaraan kita?” Lanjut nyonya. Matanya yang sayu menusuk ulu hatiku. Dia wanita baik. Dia istri yang hebat. Aku selalu kagum dengan nyonya.
Ah, nanti malam? Tiba-tiba saja aku seperti tengah berdiri di tengah lintasan balap, di mana, seratus meter di hadapan ada puluhan mobil berkecepatan tinggi melaju kearahku. Aku gamang. Aku gemetar mendengar pertanyaan dari nyonya.

“Saya siapkan air untuk mandi, ya? Sepertinya sore ini suhu akan turun.” Aku segera bangkit dari tepi ranjang tanpa menunggu jawaban dari nyonya. 
“Iya. Malam ini kamu harus memberi jawaban...” Ujar nyonya sebelum aku menutup pintu kamar mandi.

**
Merantau jauh hingga ke Taiwan, sungguh tidak pernah kubayangkan sama sekali. Dahulu, angan-anganku selalu dipenuhi oleh cita-citaku untuk menjadi ahli kimia. Tapi itu dulu, saat semua yang ada di keluargaku masih baik-baik saja.
Dulu, keluargaku, walaupun tidak kaya raya tapi termasuk keluarga yang berada. Papa memiliki usaha batik yang terbilang sukses di kota Solo. Semua kebutuhan kami sekeluarga tercukupi. 

Awalnya, keluarga kami baik-baik saja, hingga ketika akhirnya datang bencana yang meluluh-lantakkan kehidupan kami sekeluarga. Usaha Papa jatuh bangkrut. Papa ditipu oleh adik kandungnya sendiri. Semua harta keluarga kami disita oleh pihak bank.
Saat itu kami sekeluarga benar-benar berada di titik paling bawah. Aku yang baru setahun kuliah di Universitas idamanku, terpaksa harus droup out. 
Mama kalah oleh keadaan, beliau memutuskan untuk meninggalkan aku dan papa. Mereka bercerai.
Sejak kejadian itu, kesehatan papa terus menurun. Hingga akhirnya, suatu hari di bulan Desember, papa pergi menemui Sang Pencipta akibat penyakit gagal jantung.


Kemudian, angin bulan Mei, tiga tahun yang lalu, menerbangkanku ke Taiwan. Bukan tanpa pemikiran, aku cukup lama memikirkan penawaran seorang kenalan untuk mencoba peruntungan di Taiwan. Aku berharap agar bisa meneruskan kuliahku sekembali dari Taiwan nantinya. Lagi pula, pergi jauh untuk sementara waktu rasanya akan bisa membantuku untuk melupakan semua nestapa yang kualami.

Hampir dua bulan di PJTKI, sebelum akhirnya aku mendapat kesempatan untuk terbang ke Taiwan. Aku mendapat majikan bermarga Chen. 
Tuan Chen, majikanku, adalah seorang pebisnis yang sukses di usianya yang baru menginjak tiga puluh lima tahun. Tugasku adalah merawat nyonya, istri tuan Chen, yang lumpuh akibat kecelakaan mobil, enam bulan sebelum kedatanganku.
Tahun pertama merawat nyonya, sungguh merupakan masa-masa tersulit dalam hidupku, selain saat keluargaku mendapat cobaan tentunya. Setiap hari, aku harus bersabar dengan tingkat emosi dan kejiwaan nyonya yang masih labil pasca kecelakaan. 
Seringkali, jika emosinya meningkat, nyonya akan memakiku sepanjang hari.
Satu-satunya yang bisa membuatkku bertahan hanya sikap tuan. Tuan begitu pengertian dengan posisiku. Dia selalu bisa membesarkan hatiku, selalu berharap agar aku bisa bertahan dan membantunya memulihkan kondisi mental istrinya.


Semakin hari, berkat kegigihan dan kasih sayang tuan, kondisi nyonya semakin membaik. Emosinya sudah semakin terkontrol. Dia juga sudah bisa menerima kenyataan bahwa anak yang dikandungnya telah meninggal saat kecelakaan tragis itu terjadi.
Kadang aku jadi membayangkan, jika aku yang berada di posisi nyonya, apakah aku bisa sekuat nyonya atau tidak? Pastinya akan sulit sekali menerima kenyataan itu. Kenyataan harus kehilangan bayi dalam kandungan, dua kaki, dan juga tangan yang tidak bisa lagi difungsikan secara maksimal lagi dalam waktu bersamaan. 
Nyonya adalah wanita yang hebat. Dia bisa melewati semua itu. Begitu juga tuan, dia adalah suami yang luar biasa hebat, dia adalah ruh ke-dua di dalam diri nyonya. Tuan adalah energi bagi nyonya.
Tuan tidak pernah mengeluh akan keadaan nyonya. Dia selalu ada untuk nyonya. Bahkan tuan tidak pernah mengeluh dengan kenyataan bahwa nyonya sudah tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri lagi, termasuk memberinya keturunan. Tuan tetap menghujani nyonya dengan cinta dan kasih sayang. Tuan ada adalah dewa cinta yang gagah.

**
Aku terduduk menunduk di lantai, di samping kursi roda nyonya, sedang tuan duduk di kursi persis di samping nyonya.
Aku masih menggenggam erat tangan nyonya yang lemas. Aku masih tidak percaya dengan keputusan yang baru saja kubuat. Aku masih belum yakin, kalau aku baru saja berkata ‘iya’ akan permintaan dan harapan dari nyonya. 
Aku seperti tengah bermimpi. Bermimpi tentang masa depan. Bermimpi tentang cahaya warna-warni yang tiba-tiba mengitari hidupku.

“Ana, terima kasih. Aku percaya, kamu adalah orang yang paling tepat. Selama tiga tahun ini, aku sudah banyak tahu dan kenal seperti apa kamu, dan aku yakin dengan semua ini. Aku tidak salah memilihmu, Ana. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih, entah apa yang aku bisa lakukan untuk membalas semua kebaikanmu ini.” Suara nyonya bergetar, air mata membasahi wajahnya yang tirus.
Aku tak kuasa menahan tangisku. Kupeluk erat tubuh nyonya yang kurus. Tubuh seorang wanita yang berhati mulia, tubuh seorang istri yang sempurna. 

Kami berdua larut dalam isak. Dari samping, tuan mendekap tubuh nyonya. Kulihat matanya memerah. Kurasakan hangat menjalar di punggung tanganku. Tangan tuan menggenggam tanganku erat. Aku semakin terisak. Aku tidak tahu harus berkata apa untuk semua kejadian malam ini.

“Ana, terima kasih untuk semua pengorbanan yang akan kamu lakukan untuk kami berdua. Semoga kamu tidak akan pernah menyesal dengan keputusan ini. Terima kasih, Ana...” Kalimat tuan terputus, kulihat bibirnya bergetar hebat. Embun bening menggantung di telaga matanya yang tajam.
Aku benar-benar kehabisan kata. 

**
Aku memeluk tubuh nyonya erat sekali. Sedih rasanya harus meninggalkan orang yang telah kuanggap sebagai kakak itu. Berat sekali meninggalkannya. 
Tuhan, jika dulu aku hampir mengurungkan niat untuk berangkat ke Taiwan, sekarang, aku benar-benar tidak ingin meninggalkan Taiwan. Meninggalkan nyonya, meninggalkan tuan. Meninggalkan dua orang yang telah menjadikanku sebagai bagian dari hidup mereka, dua orang yang telah membuatku bangkit dari keterpurukan. 

“Kamu hati-hati, ya. Kabari kami begitu kamu sampai di Indonesia. jaga kesehatanmu selama di sana.” Kata-kata nyonya semakin membuatku tersedu. Air mataku membasahi pundak nyonya. 
Dengan didorong nona Wen, nyonya mengantarku sampai naik ke mobil tuan. Aku melambaikan tangan dengan air mata yang masih membasahi pipiku. 
Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari jiwaku, saat mobil yang dikemudikan tuan keluar dari halaman rumah. Sebagian dari jiwaku masih berada di sana, di dalam rumah, bersama nyonya.
**

“Pakai jaketmu.” Ujar tuan memecah kesunyian. Aku tidak berani memandangnya. Sejak semalam, setelah kami bertiga berbicara, aku menjadi canggung di hadapan tuan. Ada perasaan aneh setiap kali aku menatap matanya.

“Ana, sekali terima kasih atas semuanya. Aku minta maaf, karena kamu telah mengorbankan masa depanmu untuk kami berdua.” Aku masih tidak menjawab perkataan tuan, sekedar menoleh pun belum aku lakukan.

“Tuhan, ini kah jalan yang Kau janjikan padaku selama ini? Inikah takdir yag telah Kau siapkan untukku? 
Tuhan, jika ini memang yang terbaik bagiku, dan juga mereka, maka jaga aku untuk terus bisa menjaga amanah ini. Jaga aku, Tuhan.” Ucapku dalam hati.

“Ana, apakah kamu menyesal dengan keputusanmu? Kamu belum terlambat untuk merubahnya...” Suara tuan membangunkanku dari lamunan. Aku segera menggelengkan kepala. 

“Saya tidak menyesal, Tuan. Tuan tidak perlu berterima kasih dan meminta maaf. Saya yang seharusnya berterima kasih pada Tuan dan Nyonya, karena, dari kalian berdua saya kembali menemukan hidup. Sudah sepantasnya, kalau saya juga memberikan hal yang sama untuk kalian. Dan saya melakukan semuanya dengan ikhlas.” Untuk pertama kalinya, sepanjangan perjalanan ini, aku menatap wajah tuan. Pagi ini, wajah tuan terlihat lebih tampan. 


Tuan, seorang pria tampan yang sukses. Wanita mana yang tidak ingin menjadikannya sebagai pasangan hidup? Termasuk juga wanita-wanita yang dibawa oleh mamanya. Wanita-wanita yang oleh mamanya disodorkan ke tuan, untuk mengantikan posisi nyonya dalam kehidupannya. Tapi tuan tidak pernah goyah, bahkan tuan rela diasingkan oleh keluarganya karena usahanya mempertahankan nyonya.
Sedangkan aku? Hanya orang asing yang datang sebagai seorang pembantu, bertugas melayani segala kebutuhan istrinya yang sakit. Maka, aku tidak pernah punya mimpi seperti wanita-wanita lain di sekitar tuan. Mimpi itu terlalu lancang bagiku.
Tapi, ketika takdir sudah berbicara, manusia bisa apa? Termasuk ketika cinta telah menjatuhkan pilihannya kepadaku, aku pun tidak bisa menolak. 


“Tanggal 17 bulan depan, aku akan datang, pastikan semua dokumen dan persyaratan dari pemerintahmu sudah siap. Aku juga sudah menyewa agensi untuk memudahkan urusan kita.” Tuan memandangku lama. Aku mengangguk. Aku tersipu.
Aku terlonjak ketika tiba-tiba tangan tuan meraih tanganku dan menggenggamnya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Tuan tersenyum kepadaku.

“Terima kasih, Ana, untuk semuanya.” Senyum tuan berganti dengan linangan air mata. Tubuhnya bergetar hebat. Aku pun hanya bisa menangis. Menangis untuk karunia Tuhan yang begitu indah ini.



Sepanjang sisa perjalanan ke Bandara, tuan tidak melepaskan genggamannya. Mulut kami tidak berkata apa-apa lagi, tapi hati dan aliran darah yangterhubung melalui jari-jari kami saling bercerita, saling berbisik tentang cinta. Cinta yang telah dipersatukan oleh seorang wanita luar biasa, nyonya. Cinta yang telah diamanahkan oleh nyonya kepadaku. Cinta yang akan melengkapi keluarga tuan. Cinta yang akan mempersatukan kami bertiga di rumah yang penuh cahaya. Cinta yang telah memilih kami bertiga untuk bersatu dan saling melengkapi.

“Tuhan, terima kasih untuk takdir cinta yang begitu indah ini.”

~the end~
"