CINCIN BUAT EMAK

2014-04-19 / Ika Doank  / CINCIN BUAT EMAK / Bahasa Indonesia /  Tidak ada


CINCIN BUAT EMAK

By. Ika Doank


Penyesalan itu benar-benar telah meluluh-lantakkan perasaanku. Seperti layaknya virus, dari hari kehari rasa sesal itu semakin menyebar dan menggerogoti bagian-bagian sendi-sendi kehidupanku. Dan akibat dari semua itu, kini aku menjelma menjadi sosok 'pribadi lain' yang aku tau, bukan diriku! Yah, aku yang biasanya ceria mendadak berubah jadi sensitif bukan main. Apalagi ketika agency menelepon dan mengabariku kalau jadwal kepulanganku untuk cuti pulang ketanah air diundur beberapa hari lagi dengan berbagai alasan, emosiku semakin tak terkendali.

"Nimen pu se suo..hou thien wo khe yi hue chi inni ma..??" kataku setengah berteriak. Tapi tetap saja agency bilang bahwa kepulanganku harus ditunda beberapa hari lagi. Rasa marah dan kecewa menyeruak dalam dada. Aku menangis sejadi-jadinya. Thai-thai yang melihatku menangis lantas mendekat & merangkul pundakku.

"Hau-lah...pu yau tangsin..ni te mama pu hue ceyang.." ucap majikan perempuanku itu sembari mengelus pundakku. Mata wanita cantik berumur 50-an tahun itu ikut berkaca-kaca kala melihatku menangis. Sementara Ama yang sudah aku rawat selama 5 tahun lebih, dan biasanya suka cerewet, hanya menatapku kebingungan.

Malam itu majikanku membiarkanku istirahat lebih awal. Sementara Ama sudah mendengkur sedari jam delapan malam. Ketika baru masuk kamar, HP disaku celanaku bergetar. Ternyata ada pesan line dari adikku Fitri.

"Mbak Sari, Emak sekarang masuk UGD. Tadi siang baik-baik saja, tapi setelah minum obat sore tadi, jantungnya tiba-tiba melemah dan Emak tak sadarkan diri.." begitu bunyi pesan singkat tersebut. Dadaku tiba-tiba berdegup kencang. Tanpa terasa airmataku meleleh. Ya Allah, sadarkan Emakku!

Kudekap sebuah kotak kecil keemasan yang kubeli beberapa hari yang lalu. Airmataku menetes membasahi permukaannya. Ya, sengaja kubeli sebuah cincin emas polos seperti permintaan Emak beberapa bulan yang lalu, ketika kami bercanda ditelepon. Entah mengapa Emak yang tidak pernah meminta apa-apa dariku, tiba-tiba memintaku untuk membelikannya sebuah cincin sebagai kenang-kenangan kalau aku pulang kampung. Bagiku, Emak adalah satu-satunya wanita tangguh yang kukenal dan pernah ada didunia ini. Yang begitu baik dan tak pernah mengenal dendam kepada siapapun, termasuk kepadaku..anak yang pernah durhaka. Mengingat semua itu membuat perasaanku perih. Maafkan aku, Mak! Maafkan aku karena pernah membencimu.

Ya, dulu aku berfikir bahwa Emak-lah sumber dari semua kesusahan yang kami alami. Kalau saja saat itu Emak tidak merantau ke Saudi, mungkin bapak tidak akan pernah selingkuh dengan wanita lain. Dan tidak akan pernah terjadi perceraian antara Emak dan Bapakku. Karena kenyataannya, setelah Emak merantau ke Saudi, kehidupan kami bukannya tambah baik, tapi tambah mengenaskan. Aku dan adik-adikku hidupnya semakin terlantar. Sepulang sekolah, aku yang saat itu masih kelas tiga SMP harus memasak buat adik-adikku. Dan bapak sama sekali tidak mau peduli pada kehidupan kami. Bapak lebih asyik bersama wanita barunya daripada menemani kami, anak-anaknya. Atau kalau tidak, bapak lebih suka semalaman nongkrong diwarung kopi sambil main kartu, dan pagi baru pulang. Lalu seharian tidur. Begitu terus tiap hari. Selama Emak diluar negeri bapak tidak pernah mau bekerja. Duit kiriman Emak digunakan untuk foya-foya. Dan ditahun kedua Emak di Saudi, akhirnya bapak menikah lagi, tanpa sepengetahuan Emak.

Aku frustasi. Masa remajaku terenggut oleh keadaan. Aku bahkan minder untuk bergaul dengan teman-teman sebayaku. Takut kalau-kalau mereka bakal menertawakanku, atau melecehkanku karena buruknya kehidupan kami saat itu. Aku tumbuh menjadi gadis yang dingin dan tertutup akibat deraan hidup yang kualami. Hatiku kadang teriris melihat kedua adikku bercanda seolah tanpa beban. Ya Robbi..mereka masih terlalu polos untuk menerima semua kenyataan pahit ini, jeritku dalam hati.

Ketika Emak pulang dari Saudi, aku tak mau mengajaknya bicara. Aku masih merasa Emaklah penyebab hancurnya keluarga kecil kami. Aku tau Emak sangat sedih dengan sikapku. Tapi aku tak peduli. Aku muak dengan kehidupanku sendiri. Benci dengan semua yang terjadi padaku. Aku bahkan pernah menyalahkan nasib yang tak pernah adil pada keluarga kami. Keluarga yang sebenarnya amat kucintai.

Setelah SMA aku menjadi makin brutal. Sering melawan Emak. Dan aku juga bergaul dengan anak-anak nakal dijalanan. Nongkrong rame-rame hingga lupa waktu. Mereka teman-temanku, sama sepertiku, anak-anak yang frustasi juga. Bolos sekolah sudah jadi hal yang biasa bagiku. Pihak sekolah sering memberikan surat peringatan padaku, tapi surat itu tak pernah sampai pada Emakku karena aku memang selalu menyembunyikannya. Kalaupun pihak sekolah mau mengeluarkanku, bodo amat! Toh sekarangpun aku sudah tidak punya masa depan lagi, pikirku saat itu. Aku tak pernah berfikir bagaimana Emak pontang panting bekerja untuk membiayai makan dan sekolah kami bertiga. Dari sebuah toko kecil yang emak bangun dari uang sisa simpanan waktu bekerja di Saudi itulah yang Emak gunakan untuk membiayai hidup kami. Itupun masih kurang. Dan disela-sela kesibukannya mengurus toko, Emak membuat kripik singkong yang hasilnya untuk tambahan biaya kami sehari-hari.

Kadang aku melihat wajah Emak begitu lelah dan letih. Tubuhnya makin tua dan kurus. Tapi aku tak peduli. Keegoisan masih menguasaiku saat itu. Entah terbuat dari apa hatiku hingga aku bisa berbuat begitu pada Emakku sendiri. Wanita yang telah membesarkan dan mengukir jiwa ragaku.

Hingga suatu hari, aku lupa menaruh surat peringatan dari sekolah dan akhirnya Emak menemukannya. Emak marah bukan main. Belum pernah selama hidupku aku melihat Emak semarah itu. Selama ini aku mengenal Emak sebagai sesosok wanita yang sabar, tegar dan selalu tersenyum dalam menghadapi hidup, meski sepahit apapun. Melihat kemarahan Emak, aku bukannya sadar, tapi malah melawannya dengan kata-kata yang tak kalah sengit pula.

"Seharusnya Emak tau, aku begini juga gara-gara Emak!!" kataku dengan suara tinggi.

Emak terdiam. Dari sudut matanya keluar kristal-kristal bening. Ya, Emak menangis! Tapi aku tak peduli. Aku melanjutkan kata-kataku dengan nada tinggi dan meledak-ledak. Aku merasa, aku harus menumpahkan uneg-unegku saat itu juga setelah sekian lama aku mendiamkan Emakku.

"Seandainya dulu Emak tidak pergi ke Saudi, mungkin kehidupan kita tidak akan seperti ini, Mak! Dan bapak juga tidak akan pernah meninggalkan kita!"

Emak masih saja terdiam. Tapi airmatanya semakin deras mengalir dipipinya yang keriput.

"Emaklah penyebab dari semua ini. Aku benci semua ini, Mak!! Aku benciiii...!!!"

Plaaaakkk...!!!

Tiba-tiba sebuah tamparan mendarat dipipiku. Aku tersentak kaget. Muka Emak memerah menahan amarah. Lalu dengan tangis yang sudah pecah, aku berlari dan terus berlari. Tak kuhiraukan orang-orang dijalan yang menatapku dengan aneh. Hingga kurasakan sesuatu benda berat menghantam tubuhku. Aku terjatuh. Kurasakan sakit yang teramat sangat dipunggung dan kakiku. Juga seluruh badanku. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi. Ketika aku membuka mata, orang yang pertama kali aku lihat adalah Emak. Emak terkantuk-kantuk disebuah kursi panjang, disamping tempatku berbaring.

Ketika Emak melihatku bangun, sontak Emak bangun dan berdiri.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, Nak! Terima kasih, Gusti. Ya Allah, anakku sudah sadar...!!!" tak henti-hentinya Emak mengucap syukur. Emak memelukku erat. Matanya sembab karena tangis.

Aku baru sadar, ternyata aku sudah dua hari tidak sadarkan diri. Sebuah sepeda motor menabrakku ketika aku berlari dijalanan ketika Emak habis menamparku. Dokter mengatakan ada benturan dikepalaku. Dahiku dijahit beberapa jahitan karena luka robek. Kaki kiriku juga digift karena ada salah satu tulang kakiku yang retak. Aku terpaksa opname di rumah sakit selama seminggu. Dan selama itu, dengan sabarnya Emak menungguiku, meski aku tak pernah mengajaknya bicara. Malam ketika aku terlelap tidur, kadang aku mendengar suara isak tangis. Setelah aku membuka mata, ternyata Emak yang menangis.

Entah ada malaikat mana yang membisikiku, tiba-tiba aku tersadar. Ya Allah..ternyata selama ini aku telah berbuat banyak dosa pada Emakku. Emak yang telah melahirkan dan membesarkanku. Seperti ada kekuatan yang mendorongku, aku bangkit dari tidur. Kupeluk Emak erat-erat. Sejenak Emak terkaget-kaget melihat sikapku. Tapi itu cuma sebentar. Dan kami berdua sama-sama menangis.

"Maafkan aku, Mak. Maafkan anakmu.." kataku berulang-ulang. Emak mencium rambutku dan mengelusnya dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang yang tulus dari seorang ibu untuk anaknya.

Sejak saat itu, aku semakin menyayangi Emak. Aku tidak mau lagi 'kehilangan' Emak seperti sebelumnya. Aku semakin menyadari bahwa Emak sangat menyayangi kami, anak-anaknya. Tapi sayangnya, sejak itu Emak sering sakit-sakitan. Mungkin itu terjadi akibat dari deraan hidup yang dialaminya, setelah perceraiannya dengan bapak. Toko kecil tempat bersandar kehidupan kamipun sudah terjual untuk membiayai biaya opname waktu aku di rumah sakit. Hingga akhirnya aku meminta izin pada Emak untuk bekerja diluar negeri, demi membantu perbaikan nasib keluarga kecil kami. Awalnya Emak menentang keinginanku untuk merantau ke luar negeri. Tapi setelah aku bujuk terus, dan kenyataan memang mengharuskan aku untuk membantu kehidupan keluarga, dengan berat hati akhirnya Emak memberiku restu.

Kini, 5 tahun sudah aku berada di negeri Formosa ini. Alhamdulillah..akhirnya jerih payahku tidak sia-sia. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa mengubah kehidupan keluargaku menjadi lebih layak. Sebuah rumah kecil nan asri kini sudah berdiri kokoh menggantikan bangunan rumah lama kami yang telah usang, yang kini ditinggali Emak beserta kedua adikku. Tapi disela-sela kebahagiaanku, tiba-tiba aku harus menelan kenyataan pahit ketika aku mendapat kabar bahwa Emak masuk rumah sakit karena kanker yang sudah mendekati stadium 3. Aku memutuskan untuk cuti pulang kerumah beberapa minggu untuk menengok keadaan Emak. Tapi seminggu kemudian, adikku mengabariku kalau sakit Emak semakin parah dan dokterpun sudah angkat tangan dengan penyakitnya. Astaghfirullahal adziim..

Akhirnya hari yang kutunggu datang juga. Aku benar-benar telah menginjakkan kaki ditanah air untuk menengok keadaan Emak. Mas Yono, salah seorang sepupuku yang menjemput kedatanganku dibandara, terlihat kusut. Disampingnya ada mbak Tari, istrinya dengan penampilan tak kalah kusut juga, dan mata yang sedikit membengkak. Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Kupeluk mbak Tari yang menyambutku dengan tangis, sementara Mas Yono memasukkan koper bawaanku ke mobil.

"Ayo kita jalan, Dek. Emakmu menunggumu.." kata mbak Tari seraya menggandeng tanganku masuk ke mobil. Aku berusaha meyakinkan perasaanku dan bertanya ke mereka, apakah Enak baik-baik saja. Mbak Tari hanya tersenyum, senyum yang terlihat sangat dipaksakan.

"Emakmu baik-baik saja. Ayolah..kita cepat pulang. Kalau tidak, nanti kita kena macet",

Sepanjang perjalanan aku gelisah. Aku merasa ada apa-apa dengan Emakku. Perjalanan selama 4 jam menuju rumahku itu terasa lama sekali. Kegelisahanku akhirnya terjawab juga. Begitu mobil yang kami tumpangi menuju gang menuju rumahku, aku melihat banyak orang berduyun-duyun memakai pakaian hitam yang menuju kesebuah rumah yang sangat aku kenal. Ya, rumahku! Ketika mobil berhenti, aku histeris seketika. Orang-orang yang hadir, sontak pada menoleh kearahku. Kudekap erat-erat kotak cincin yang selama perjalanan ada ditanganku.

"Mak, ini aku bawakan cincin pesananmu. Kenapa Emak meninggalkanku tanpa menunggu kedatanganku lebih dulu, Mak? Kenapa..?? ucapku seolah tanpa suara.

Tiba-tiba tubuhku lemas, mataku berkunang-kunang dan aku tak sadarkan diri. ***

The End


Taipei, 19 April 2014