TIGA TERORIS MELARIKAN DIRI

2014-04-16 / Kuan Ami  / TIGA TERORIS MELARIKAN DIRI / Bahasa Indonesia /  Tidak ada


TIGA TERORIS MELARIKAN DIRI

Sejak ada kabar rencana kedatangan penulis-penulis senior dari Indonesia, teman-teman Forum Lingkar Pena Taiwan, semakin tak sabar lagi menunggu hari special yang dinanti-nanti.
Salah satu penulis senior yang telah menulis ratusan novel itu, sebelumnya pernah berkunjung ke Formosa bersama kru bilik sastra, Jakarta. Tapi sayang, kesempatan yang harusnya bisa kugunakan untuk menimba ilmu gratis itu, terlewatkan begitu saja. Lantaran kewajibanku sebagai pekerja tak bisa ditingalkan.

Kali ini kuatur waktu sejak awal mendengar kabar akan datang sastrawan, motivator, serta cerpenis pecinta warna ungu tersebut. Kupastikan pada tanggal 30 Maret 2014, bisa hadir dan bertemu mereka yang siap menabur benih ilmu literasinya.

Aku juga salah satu panitia penyelenggara serta ketua Forum Lingkar Pena Taiwan periode 2013-2014, yang berinteraksi langsung melalui e-mail dengan ketiga pemateri yang akan mengisi acara dengan mengusung tema “Semesta Menulis Taiwan”.
FLP Taiwan, berkoordinasi dengan Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan, FORMMIT. Kami menyusun dan menyiapkan segala keperluan, layaknya akan menggelar hajat. Mulai dari membuatkan undangan dan mengirimkan ke pemateri, guna memudahkan mencari sponsor di Indonesia. Mebuat proposal untuk diajukan ke KDEI guna meminta izin tempat, mengirimkan proposal ke beberapa media berbahasa Indonesia di Taiwan guna menjadikannya sebagai sponsor untuk turut mendukung acara-acara kepenulisan, meskipun sangat disayangkan, hasilnya nihil, karena tak ada satupun media yang bersedia menjadi sponsor dan diajak bekerja sama.
Memboking hotel, mengatur akomodasi, konsumsi, serta mempersiapkan tenaga untuk selalu siap menemani dan mendampingi tamu selama tiga hari berada di Formosa.

Satu diantara pemateri, beliau adalah penasehat FLP Pusat. Namanya sudah tak asing lagi di kalangan pecinta literasi, beliau adalah Pipiet Senja. Dua pemateri yang lain adalah Sastri Bakry, seniman yang juga Irjensus Kemendagri. Serta Fanny Jonathan Poyk, jurnalis handal yang sudah menahun berselancar di berbagai media ternama di Indonesia.

Senang bukan kepalang, saat aku, yang notabenya seorang pekerja rumah tangga, bisa bertemu dengan tamu dari kalangan sastrawati yang namanya sudah menggema melalui aksara. Ingin aku seperti mereka, tetapi mungkinkah?
Aku bukan tipe orang yang pesimis. Meski belum satupun karya yang bisa kubukukan, tetapi aku tidak pernah menyerah dan berhenti begitu saja untuk terus mempelajari bagaimana menjadi penulis. Aku bermimpi, kelak satu hari, bisa menjadi seperti mereka. Bisa keliling dunia karena kecintaannya pada aksara.


“Kuan Ami, apa yang harus saya persiapkan ketika di Taipei nanti?” Pertanyaan dari Sastri Bakry melalui e-mail.
Aku pun menjelaskan jika keadaan cuaca di Taiwan saat itu, masih dingin. Musim dingin belum berlalu, meski sebentar panas, sebentar hujan. Cuaca seperti ini sangat mempengaruhi daya tahan tubuh. Akan mudah terserang flu saat kaget dengan kondisi cuaca yang tak menentu. Aku menyarankan untuk menyiapkan jaket, bubuk jahe siap seduh, serta minyak kayu putih untuk berjaga-jaga.

Pipiet Senja, perempuan dengan tiga cucu, setiap hari bercengkrama di dalam grup What’sApp bersama beberapa anggota FLP Taiwan lainnya. Berbagi cerita yang selalu sambung menyambung. Terkadang bercerita tentang cucunya, atau saat beliau sedang transfusi darah.
Beliau adalah penderita talasemia. Seumur hidupnya harus menjalani transfusi darah secara berkala.
Tidak kesulitan bagiku memantau atau sekedar meminta informasi tentang persiapan yang semakin hari semakin dekat.
Hingga beliau meminta alamat hotel, saat hendak mendatangi kantor TETO untuk urusan Visa. Disana, akan ditanya perihal kedatangannya ke Taiwan untuk apa? Dimana beliau akan tinggal? Dan entah pertanyaan apa yang aku sendiri tak tahu.

“Apa? Alamat hotel?” tanyaku kaget. Bagaimana tidak kaget, kalau di sini aku belum menemukan hotel yang akan dijadikan tempat tinggal selama tiga hari bagi ketiga tamu.

“Sudahlah, yang penting kita punya alamat tinggal.” Lanjut Bunda Pipiet. Panggilan akrab Pipiet Senja. Memang, sepertinya beliau sedang terdesak sekali saat itu, dan harus segera mengisi formulir alamat sebagai kelengkapan. Alhasil, salah satu dari teman FLP, memberikan begitu saja, alamat di Taipei city, yang entah alamat siapa dan tempat apa.
Aman. Setidaknya satu berkas di TETO telah terselesaikan. Dan sepertinya urusan Visa mereka bertiga di Indonesia, tidak mengalami kesulitan.

Persiapan yang kurang matang dari panitia penyelenggara di Taiwan, membuat semua kalang kabut, bahkan urusan hotel, baru fix satu hari sebelum tamu datang. H-2 barulah panitia mulai serius. Dibentuklah inbox grup di FB. Dimana di dalamnya ada beberapa pengurus FLP Taiwan serta teman-teman FORMMIT.

Dari situlah, satu per satu dibicarakan. Mulai dari siapa yang akan menjemput kedatangan ketiga tamu di bandara. Kemana tamu akan diajak jalan di hari pertama. Karena acara bersama FLP Taiwan, baru berlangsung pada hari minggu, 30 Maret. Sementara ketiga tamu datang ke Taiwan sejak tanggal 28 Maret.

Alhamdulillah, selalu ada jalan di balik segala kesusahan. Bagaimana tidak susah, sebagian besar anggota FLP Taiwan adalah para pekerja rumah tangga yang sama sekali tidak punya kesempatan libur. Mereka hanya mengintip dunia melalui internet. Bercengkrama melalui aksara bersama teman lainnya, bahkan sebagian besar dari mereka, sama sekali belum pernah bertemu muka. Posisiku sendiri, meskipun sebagai ketua, berada jauh dari Ibu kota, tidak bisa mendampingi tamu selama tiga hari tiga malam.

Sang Pemberi Hidup adalah penentu scenario cerita, dimana mahluk-Nya hanya sebagai pelaku yang siap berperan di dalamnya.
Dari rapat darurat malam itu. Munculah dua nama yang sebelumnya tidak kukenal. Kedua teman dari FORMMIT itulah yang bersedia meluangkan waktu untuk menjemput tamu di bandara dan membawa ketiganya ke hotel yang kudapatkan mendadak, dengan bantuan teman yang bekerja sebagai editor media.

Malam pertama terlewati dengan mulus. Aku memantau ketiganya dari inbox grup, menanti setiap laporan yang masuk.
Dimana ketiga tamu itu berada, dan bagaimana keadaan mereka saat itu. Ternyata hari pertama mereka di Taiwan, beberapa tempat telah dikunjungi, seperti berkunjung ke Sun Yat Sen, Chiang Kai sek, dan terakhir dibawa ke kampus teman-teman mahasiswa dari FORMMIT, sebelum akhirnya diambil alih oleh satu teman dari FLP yang menjadi pengantin asing di Taiwan.
Ia membawa ke tiga perempuan tangguh itu mengenalkan kuliner serta suasana pasar malam khas Taiwan, Shilin Night Market.
Malam kedua, berakhir suka cita.
Rasanya ingin sekali aku berada di tengah-tengah mereka. Bertanya bagaiman kesannya selama tinggal di Taiwan. Mungkin, ketiga tamu itu juga merasa jika sambutan dan pelayanan kami di Taiwan ini kurang maksimal.
“Maafkan kami, Bunda-Bunda tersayang”.


“Mbak, besok siapa yang akan mendokumentasikan acara?” Tanya Mbak Lilik, salah satu panitia penyelenggara.

“Aduh! Belum ada. Tapi biasanya, teman-teman yang datang, akan mengabadikan moment saat acara.”

“Tapi mbak, ini acara besar. Sebaiknya kita juga punya documentasinya sendiri.”

Munculah nama yang akhirnya ditunjuk untuk mendokumentasikan acara esok harinya. Semua serba mendadak.
Memalukan sekali. Aku sebagai ketua benar-benar merasa gagal karena tidak bisa menghandle dan mengatur secara rapi.
Bahkan, dari dua teman yang kutunjuk untuk menjadi MC, sama sekali tidak punya gambaran, seperti apa dan bagaimana mereka berdua menjalankan perintahku.
Lagi-lagi, aku seperti menenangkan mereka, “Tenang saja, jangan tegang.”
Padahal aku juga bingung, tak bisa memejamkan mata lantaran terus memikirkan acara yang tidak mungkin ditunda, meskipun tidak ada persiapan dimana-mana.

Kereta pagi, pukul 06.00, membawaku meluncur dari pegunungan ke ibu kota. Hanya memakan waktu dua jam untuk sampai di gedung megah rumah para WNI di Taiwan dengan kereta cepat.
Gedung Twin Head, atau yang lebih dikenal dengan KDEI. Di sanalah acara workshop kepenulisan dan jurnalistik akan berlangsung.
Aku bergegas memencet tombol nomor 6 pada tiang yang berdiri tegak di depan pintu escalator.
Tidak sampai 3 menit, sampailah aku di lantai 6.
Belum ada satu pun pennampakan manusia. Bahkan pintu kaca masih terkunci. Kuamati keadaan di dalamnya. Berantakan sekali. Banyak kardus-kardus kosong dengan tumpukan tak beraturan, bekas gelas minuman terlihat berserakan di beberapa titik.

“Harusnya panitia penyelenggara sudah ada di sini.” Batinku. Kulirik jam tangan.
Detak jantungku semakin berpacu. Ruangan belum tertata, masih gulita.
Aku mencari nomor salah satu panitia di seleulerku, buru-buru kuhubungi teman yang waktu itu mengajukan izin tempat di KDEI.

“Mbak, saya sudah di KDEI. Tadi ke lantai 6. Pintu masih terkunci, sementara di sini belum ada siapa-siapa.”

“Acaranya bukan di lantai 6, Mbak. Tapi di lantai 2.” Terangnya.
Duuuuuh! Gusti. Sampai di hari H saja, aku masih belum tahu dimana acara akan berlangsung, dan semakin keder.
Lagi-lagi aku bingung.
Kupencet tombol di depan pintu escalator, menuju lantai 2. Lantai gedung dimana WNI melakukan segala urusan yang ada kaitannya dengan ketenaga kerjaan, seperti membuat pasport, memperpanjang, atau bertanya kepada pemerintahan Indonesia di Taiwan untuk urusan-urusan tertentu.

Ternyata sama saja. Pintu kaca masih terkunci, keadaan di dalam sana masih gelap.
Tak lama berselang, datangnya salah satu staf KDEI. Laki-laki berbadan tegap itu membukakan pintu kaca dan menyalakan lampu di dalam ruangan.

“Apa yang dibutuhkan untuk acara nanti, Mbak?” Tanya petugas KDEI dengan ramah.
Aku pun menjelaskan apa saja yang perlu disiapkan.

“Nanti ada teman yang bantu kan? Acaranya jam berapa?” tanyanya lagi.

“Ada, beberapa teman sudah di jalan menuju ke sini. Dan mereka nanti yang akan membantuku mengatur ruangan. Acara rencananya akan dimulai pukul 09.00.” Jawabku menerangkan.

Tak berselang lama, teman-teman FORMMIT datang, ada yang membawa perlengkapan dokumentasi, seperti camera dan video cam. Mbak Lilik, mengenalkanku pada dua laki-laki yang datang bersamanya.

“Mbak, kenalkan, Ini Hendra, dan Rudi. Mereka selalu menyimak diskusi kita di inbox grup. Dan mereka berdua yang akan membantu mengabadikan moment acara hari ini.” Tak henti-henti aku berucap terima kasih. Karena aku sadar, tanpa mereka, acara besar ini mungin tidak akan terlaksana dengan baik.

“Mbak, lain kali jika mau ada acara besar, persiapannya harus sejak awal. Kita harus susun dengan matang biar nggak kalang kabut dan repot sendiri.” Nasehat Mbak Lilik benar-benar menjadi satu pelajaran berharga bagiku.

Team panitia dadakan, meyulap ruangan menjadi sedemikian rupa, sehingga acara bisa segera digelar. Satu per satu teman-teman berdatangan dan menduduki kursi yang sudah disiapkan.

“Mbak, bawa computer kan? Kita memerlukan computer lho.” The last minute, Mbak Lilik memastikan kelengkapan.

“Ya Allah! Aku nggak bawa , Mbak.” Aku pun panik tak karuan.

“Buruan, Mbak. Minta tolong siapa yang masih di jalan, minta mereka bawa computer ke sini.” Perintahnya membuatku semakin tak terkendali.
Kutekan satu per satu nomor telpon teman-teman yang sekiranya bisa kuandalkan. Satu dari mereka, mengatakan sudah di lantai bawah, jadi tidak mungkin balik lagi hanya untuk mengambil computer, ada yang sedang dalam MRT menuju ke tempat acara.

Hanya satu teman lagi yang kuharap bisa menolong dan menyelamatkan rangkaian acara, yaitu Lya. Teman yang kutunjuk sebagai MC, sekaligus orang yang akan menjemput tamu-tamu dari hotel dan membawanya ke KDEI.

Celaka! Lya tidak bisa meluluskan permintaanku. Sementara aku sudah terlanjur memerintahkan Lya dan tamu, untuk segera menuju tempat acara. Karena waktu sudah telat satu jam dari waktu yang semula dijadwalkan.

Saat kepanikan mendera, satu dari sekian banyak teman yang sudah terlihat memenuhi ruangan, bersuara. Bak percikan cahaya di tengah gulita, Bak setetes embun di padang sahara. Dia mengatakan jika dia membawa leptop di tasnya, benar-benar seperti pertolongan yang datang dari malaikat.
“Terima kasih Ya Allah”

Sebagian dari teman yang hadir di ruangan, mengabadikan moment penting itu dengan berpose bersama beberapa teman yang sudah lebih dulu hadir. Sambil menunggu tamu yang ditunggu.

Ketiga tamu tiba, dan disambut penuh suka cita. Diiringi salam dan peluk dari semua.
Taufik dan Lya, kedua Pembawa Acara, membuka dan menjalankan tugasnya dari awal hingga akhir dengan sangat piawai. Pemateri pun mengisi acara dengan presentasi yang sudah disiapkan masing-masing. Di penghujung acara, foto bersama tak pernah ketinggalan.
Banyak buku-buku karya novelis, jurnalis, dan sastrawati itu digelar seperti bazar. Laris manis bak kacang goreng.
Meski dengan segala keterbatasan dan persiapan yang serba mendadak, acara hari itu terbilang sukses. Beberapa terlihat berpisah di depan gedung megah itu, ada pula yang berpisah di station MRT, dan beberapa diantara panitia penyelenggara, menemani tamu memilih pernak-pernik serta oleh-oleh khas Taiwan yang akan dibawa pulang ke Indo esok harinya. Kemudian membawanya ke sebuah resto vegetarian untuk makan malam bersama.

Kencang angin malam Taipei, menemani perjalanan hari ini. Di bawah temaram lampu jalan kota, aku berpisah dengan ketiga perempuan tangguh yang menamai dirinya sebagai teroris. Yach! Satu diantara mereka bertiga, memang suka meneror dimanapun, meneror siapa saja untuk menulis.
Meski usianya tak lagi muda, tetapi semangatnya terus membara.

Tibalah pada hari dimana ketiganya harus meninggalkan Formosa, pada ketiga dimana seharusnya satu diantara panitia menjemput dan mengantar mereka ke bandara, ternyata jejak ketiganya telah lenyap. Mengilang di bawah langit Taipei.
Aku dan beberapa teman lainnya sangat panik.
Ternyata, ketiga teroris itu melarikan diri.
Tak ada hal lain yang bisa kami lakukan di sini, selain menunggu. Menunggu hingga 5-6 jam ke depan. Rapalan doa terangkai untuk mereka, semoga mereka selamat sampai di Indonesia.