Cerpen- Perjuangan Srikandi

2014-04-17 / 娜娜 / Cerpen- Perjuangan Srikandi / Bahasa Indonesia / Tidak Ada

Perjuangan Srikandi

Matanya melotot tajam, hampir tak percaya. Menyadari bahwa yang di depan matanya adalah sebuah kotak dengan ukuran 1,3×2 meter persegi.

"Ini bukanlah sebuah kamar," bisiknya dalam hati. Dia mencoba menata nafasnya yang masih berdetak tak teratur. Di belakangnya, nyonya masih berdiri menunggunya penuh sabar.

"Sebaiknya, kamu lap dulu lantai kamarmu. Karena lama tidak terpakai." Srikandi mengiyakan, sambil membalas senyuman seramah mungkin. Kemudian nyonya membawakan selimut, bantal sekaligus kasur busa tipis untuknya. Sesekali, ditariknya nafas dalam-dalam. Ada rasa lega, malam ini dia akan tidur dengan nyaman. Sejak beberapa bulan di PJTKI, merasakan sengsaranya dengan gigitan nyamuk dan kutu. Antrian panjang saat mendapat jatah makan, atau saat mandi. Kedatangannya di negeri Formosa adalah suatu kelegaan. Apalagi, di sepanjang perjalanan yang menyambutnya, gedung-gedung menjulang di angkasa. Kota yang bersih dan orang-orangnya yang ramah. Ingin sesegera mungkin mengenal keluarga majikannya. Segera bekerja melunasi hutangnya pada rentenir di kampung. Dan tentu, sesulit apapun mampu beradaptasi dengan lingkungan ini.

"Pingin makan mie ayam, Bu. Pasti enak yah siang-siang begini."

"Memang di Taiwan nggak ada mie ayam, Nduk?"

"Ada, Bu. Tapi warungnya jauh sekali ..," suaranya mendadak tertekan di tenggorokan. Rasanya sakit sekali. Tapi dia tak ingin membuat ibunya sedih. Cukup berat beban ibunya yang hanya pekerja sawah. Begitu tegar wanita itu sudah membesarkannya, menyekolahkannya. Seorang ibu yang ditinggal merantau oleh suaminya tanpa kembali. Yah, ayah Srikandi bagai lenyap tertelan bumi, tak ada kabar sama sekali. Sekarang waktunya berperang bagi Srikandi, untuk mewujudkan cita-cita ibunya. Memiliki warung kecil yang akan memberi rejeki untuk masa depan generasinya. Melihat wanita itu tersenyum adalah sebuah kebahagiaan yang ingin dia wujudkan. Kembali Srikandi menghela nafas berat. Di pandanginya semangkuk nasi yang sudah dituangi sop tulang ayam. Di atasnya ada sedikit sayur dan sambal. Juga gelas biru yang diwariskan pembantu sebelumnya. Srikandi tak kuat untuk bicara banyak dengan ibunya. Dia berpamit dan meletakkan ponselnya di meja. Bersebelahan dengan jatah makannya siang itu.

"Kamu boleh keluar kalau mau jajan." Tapi jangan lama-lama yah. Nanti Tuan bisa marah." Perhatian nyonya selalu membuat hatinya tenang. Bagaimanapun, dia sangat baik.

"Tuhan, cukupkanlah aku. Berilah selalu rasa syukur atas semua karuniaMu." Srikandi tak mau mengatai bahwa majikannya sangat pelit. Toh, setiap hari masih diberi jatah makan tiga kali. Istirahat yang cukup. Bahkan diberinya ponsel dan diperbolehkan jalan-jalan. Hanya saja, dia sering memperhitungkan gajinya. Saat melihat slip gaji bulan pertamanya hanya NTD. 2.989 dia kembali menelan ludah. Bagaimana dia akan jajan? Meskipun nyonya selalu menawarkan jasa hutang sebelum dia mendapatkan gaji. Srikandi memilih lapar. Mungkin jatah makannya terlalu sedikit atau perut Srikandi saja yang minta diisi banyak. Dia merebahkan raganya yang gelisah. Pikirannya kembali ke masa-masa sulit sebelum dia menginjak tanah Formosa. Betapa sulitnya hidup di negeri sendiri, Indonesia tercinta. Dia coba memejamkan mata, berpikir agar menemukan solusi memerangi keadaan ini.

"Yah, aku Srikandi. Pasti akan ada jalan untuk memenangkan perjuanganku. Demi Ibu, demi masa depanku, anak-anakku kelak." Malam itu, Srikandi bermimpi sangat indah. Melihat ibunya sibuk melayani tamu di warung kecilnya. Anak-anak bermain di pelataran. Sayup terdengar mereka menyanyikan sebuah lagu "Ibu", karya penyanyi legendaris Iwan Fals.


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah

Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas . . .
Ibu . . . ibu . . .

Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu do'a-do'a baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas . . .
Ibu . . . ibu . . .

Tit ... tit ... tit ...
Suara dan getar ponsel itu membangunkannya.

"Nduk, pak Jalal datang lagi nagih. Katanya hutang kita sudah terlalu lama." Hatinya berdetak hebat membaca SMS dari ibunya. Dihitungnya kembali sudah berapa lama dia meninggalkan rumah. Hampir terhitung lima bulan. Sedangkan datang di Taiwan bekerja belum lengkap sebulan. Dalam kurun waktu sekitar empat bulan menunggu di PJTKI. Dengan arti dia harus membayar 20% bunga ×5 bulan. Srikandi hanya berharap, cepatlah berlalu sebulan itu. Agar dapat segera dia terima gajinya.

"Sabar, Bu. Sri akan segera kirim yah. Gaji bulan ini sedikit, tapi lumayan buat menyicil, Bu." Hanya itu yang mampu ditulisnya. Srikandi tak ingin mengeluh. Apapun yang dijalaninya di negeri Formosa.

*
Siang itu begitu panas. Padahal baru terhitung musim semi. Srikandi membaca sebuah pengumuman di salah satu blog. Tentang penghargaan karya sastra bagi migran. Tiba-tiba ada rasa girang di hatinya. Ada begitu besar harapan ketika melihat nominal hadiahnya. Begitu pun keinginan kuat untuk menuliskan semua keluh kesahnya.

"Ini jalan Tuhan yang membuka pintu usaha bagiku. Setidaknya mempertemukanku dengan orang-orang yang mengerti keadaanku, membaca kisahku. Bahwasanya, tidak semua buruh migran sangat beruntung. Tidak pula, kami menyerah dalam kurun waktu bertahun-tahun. Sebelum kami kembali membawa sebuah kemenangan."

Dengan cekatan segera ditulisnya ratusan kata yang hendak segera dikirim melalui internet. Kepada mereka yang sedia mendengar cerita buruh migran, dan juga memberi penghargaan tak ternilai tingginya.


Foot note

1. Srikandi : tokoh wayang - wanita pemanah-pemberani- salah satu istri Arjuna

2.Nduk : panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa- nak


Taipei, 17-04-2014