CERPEN

2014-04-29 / Anik Sujiati / CERPEN / Indonesia 印尼 / tidak ada

Mengejar Mentari Di Batas Senja

Bila setumpuk kertas mudah terbakar oleh sulut nyala api, seumpama kesabaran sedemikian juga. Mudah hilang oleh panasnya masalah yang kita hadapi. Hidup seperti abu yang tak lagi berguna.

"Sabar" itulah kata yang tepat untuk sebuah penantian. Bagai bunga yang hampir layu, terguyur hujan dimusim kemarau. Ketika aku mendengar kabar dari Mem.
"Ani, ada job buat kamu!" aku yang ada didapur langsung berlari kedalam rumah.

Saat itu aku PLk di rumah Mem, dia adalah seorang dokter sekaligus pemilik PJTKI yang aku tempati.

Sudah sekian lama aku menunggu " kapan jobku datang?" hampir setengah purnama aku menanti dengan rasa bosan, namun tak kunjung juga aku dapatkan, bahkah ada beberapa teman seangkatkku yang sudah dipulangkan. Aku hampir menjamur di PT.

"Apa, Pak? jaga anak lumpuh dan juga ada perternakan babi?" kataku setengah tak percaya mendengar pak Ary dari sambungan telephon mengabariku.

Haruskah aku menolak job itu, sedang sudah terlalu lama aku menanti, bukan cuma aku, keluargaku pun pastinya mengharapkan aku cepat terbang ke negeri yang terkenal dengan puncak 101-nya itu.

Pasrah dan setengah terpaksa aku terima job itu agar segera bisa mencari uang untuk membeli susu anakku yang aku tingggalkan usianya belum genap setahun.

"Ani, mungkin bos kamu itu ada pelihara beberapa babi dirumahnya, maklum mayoritas penduduk taiwan makan daging babi." kata lause Frengky menenangkan aku melihat ada rasa cemas di pikiranku.

Jadwal penerbanganku sudah ditentukan, Dengan "bismilah" aku sudah duduk di kursi pesawat China Air Line yang akan membawaku sampai ke Negeri dimana aku gantungkan mimpiku disana.

"Ceke ni te kung cuo"( ini pekerjaan kamu). kata Bosku yang kira-kira usianya sudah berkepala lima itu.

"hah, benarkah Tuhan? dari disinilah rezeki akan aku peroleh" bisikku dalam hati melihat pekerjaanku.

Job yang aku tanda tangani menjaga Baby, namun nyatanya aku harus memelihara babi, yang bukan cuma puluhan. Menurut perhitungan matematikaku lebih dari puluhan ribu ekor babi.

"Pa, mei-mei cai nani? wo she pushe cauku mei-mei?" ( Pa, adik perempuan dimana? bukannya saya jaga adik perempuan?) tanyaku pada Papa. papa sebutanku untuk bosku.

"Ani, kalau kamu jaga mei-mei dan harus memelihara babi, kamu pasti capek." itulah kata Papa, padahal maksudku tanya demikian agar aku tidak kerja memeliha babi.

Yach, mungkin itulah kenyataan yang harus aku hadapi. Pasrah dan demi mendapatkan uang semua beban berat yang harus aku pikul itu aku rasa ringan. Meski tak sepantasnya tubuhku yang cuma berbobot 44 kg harus mengangkat barang dan mendorong barang melebihi batas berat badanku sendiri. Lebih berat tenaga kuli bangunan seorang pria yang bekerja di Indonesia.

"Inikah, realita yang harus aku hadapi. Tuhan berikanlah jalan ketika hambamu tak mampu lagi menjalankan semuanya ini." pintaku ditengah malam, saat aku tak mampu menahan sakit diseluruh tubuhku dan juga perutku.

Saat itu mau berontak maupun lapor ke konseling tak bisa, hidupku ditengah-tengah sawah, tetangga tak punya. Hp Juga tidak ada saat itu. Kemana Takdir akan membawaku, aku jalani. Biarlah mengalir seperti air. Karena ketidakberdayaanku dan ketidakmampuanku. Aku yang terlalu lugu dan belum pernah kerja, selain menginjakkan kaki di formosa ini.

Ternyata Tuhan yang lebih berkehendak, disaat aku benar sudah terasa lelah. Dia memperlihatkan kuasaNya. Nama job yang digunakan bosku untuk mengambilku yang tak lain cucunya meninggal.

Satu bulan di perternakan babi seperti setahun. Dari kesabaran itu beruah hasil. aku mendapatkan bonus dari bosku melebilihi gaji pertamaku yang saat itu 2000Nt .


Bulan pertama berlalu, lalu kemana lagi Tuhan menuntun langkah ini. Sedangkan, tak seorang pun yang aku kenal di Negeri yang mayoritas bermata sipit ini.


"Ujian apa lagi ini,,!" bisikku. Ketika mobil yang aku tumpangi berhenti di sebuah rumah berlantai lima.

Di rumah itu aku menjaga seorang nenek yang tidak berdaya, hanya matanya saja yang masih bisa memberi isyarat. Selain itu ada laupan, laupania yang juga fisiknya cacat, serta dua orang anaknya.

Aku harus bisa beradaptasi lagi, meskipun agak sulit. Lingkungan baru, orang baru, serta cara kerja juga baru. Untungnya meskipun aku baru kali ini menginjakan kaki di formosa kemampuan bahasaku tidak diragukan, meski membedakan antara 14 dan 40 belum bisa. Awalnya sulit dan aku tidak tahan. Namun, seiring berjalannya waktu aku mampu menyesuaikan diri di rumah baru ini.

"Ani, aku suka cara kerja kamu dan kamu pintar. Tapi,,,,,!"

"Tapi, apa nyonya?" tanyaku penasaran pada wanita setengah baya itu.

"Kamu disini cuma sementara, karena aku sudah ambil pembantu dari Indonesia." terangnya.

AKu terkejut, rasanya berat disaat aku sudah mulai beradaptasi disini, ternyata seperti ini. Air mataku tak mampu aku tahan, masih saja membasahi pipiku, Meskipun aku mencoba tegar. Nyonya memeluk tubuhku. Mungkin dia tahu apa yang sedang aku pikirkan dan aku rasakan.

Pagi itu ejensiku datang, kali ini dia bersama seseorang yang warna kulitnya sama denganku.

"Apakah dia yang akan menggantikan aku?" tanyakku dalam hati.

Belum sempat aku tanyakan. Ejensiku sudah menyuruhku untuk mengemasi barang-barangku.

Setelah barangku sudah siap semuanya. Aku berpamitan dengan Tuan dan Nyonya, Meskipun nenek tak berdaya, Aku pun juga berpamitan. Nenek yang hanya bisa mengedipkan matanya itu mungkin faham dengan apa yang aku katakan. Dari celah matanya keluar air mata.

Lima hari aku ada di tempat ejensi. malam itu pemilik kantor menghampiriku.
"Ani, besok pagi- pagi sekali kamu harus siap. Ada seseorang yang nantinya mengantarmu sampai bandara."

"Bandara,,,?" aku setengah heran.

"Apakah aKu mau dipulangkan?"

"Tidaklah, Bos baru kamu itu tempatnya jauh. Jadi harus naik pesawat." jelasnya

Semalaman aku tidak bisa tidur menunggu pagi dan memikiran omongan ejensiku semalam.

"Benarkah demikan, Tuhan? berharap aku tidak dipulangkan."

Lepas dari kandang babi aku harus masuk kandang macan, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan majikanku sekarang. Di pulau punghu, pulau kecil bagian taiwan. Disitu ternyata aku dapat majikan. Pekerjaanku menjaga nenek, Selain itu dirumah ada sepasang suami isti dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. rumahnya berlantai 5. Pagi setelah kerja rumah beres dan anak- anak sekolah aku harus ke toko miliknya yang ada dua tempat. setelah sore aku harus jualan cipai dan kawan-kawannya. Sampai larut malam, jam 02.00 baru semuanya beres dan bangun jam 04.30. Yang paling mengenaskan makan aku di jatah, pagi dua lembar roti tanpa susu, siang semangkuk nasi goreng dan malam sepiring mie goreng. Tenagaku diperas habis tapi kebutuhan yang ada dalam tubuh tidak di penuhi. Selain itu Nyonya juga main pukul dan suka mencubit.


"Yach" cuma tangis yang menemani. Seakan air mata ini telah mengering, karena terlalu banyak yang sudah mengalir.

Dua puluh hari aku bertahan di kandang macan itu. Berharap ada sebuah keajaiban datang. Entah angin apa yang membawa ejensiku datang menemuiku pagi itu. Segera kukemasi barang-barangku dan aku meminta ejensiku membawaku pergi dari tempat itu.

Di dalam mobil kuceritakan semuanya ke ejensi. Ternyata ejen pun sudah tahu, bukan cuma aku saja yang diperlakukan demikian. Sudah banyak gonta-ganti pembantu dan bahkan diantaranya memilih jalan kabur. Ejensi bilang aku yang terakhir bekerja di tempat itu, seterusnya majikan itu tidak di ijinkan nengambil pembantu lagi.

Berjalannya waktu aku bisa menyelesaikan kontrak kerjaku. Di majikan terakhir inilah aku banyak pelajaran. Singkat cerita aku pulang membawa hasil keringatku dengan kepuasan. Meskipun ada hambatan kerja di tempat itu, bagiku itu hal yang wajar.


Harapanku pulang ke Indonesia ingin bisa merawat anakku sendiri dan tak ingin lagi kembali ke Taiwan. Namun, kenyataan harus aku hadapi. Uang hasil jerih payahku yang sudah aku kirimkan nyaris bersih tak tersisa. Saat itu kesabaranku di uji. Bumi yang aku pijak seolah tak lagi mampu menopang kaki, terlalu kecewa dan sakit rasanya.

"Jika anda mau menerima kegagalan dan belajar darinya. Jika anda mau menganggap kegagalan merupakan karunia yang tersembunyi dan bangkit kembali. Maka anda memiliki potensi menggunakan salah satu sumber kekuatan paling hebat untuk maraih kesuksesan." kata joseph sugarman.

Dengan sisa kekuatan yang aku miliki, aku kumpulankan lagi semangatku untuk kembali bekeja ke Negeri Formosa.

Kontrak kerja yang kedua ini, aku menjaga kakek. Bosku baik, dan aku serumah sama kakek dan nenek. Namun, selain menjaga kakek aku harus menjaga nenek. Saat awal datang nenek masih kelihatan sehat tetapi didalam tubuhnya bersarang penyakit yang mematikan "Fei ai cen" atau dikenal tumur paru -paru.

Kakek pikun sedang nenek cerewetnya minta ampun. Malam nenek tidak tidur, paling tidur lima menit bangun minta ini dan itu. Kalau kakek tidur nenek bangun, hingga waktu istirahatku kurang. Rasanya aku tak tahan, tiap hari harus bolak-balik taoyen-taipei karena nenek harus terapi tiap hari. Pernah aku mengadu ke 1955, dan tidak membenarkan aku merawat dua pasien sekaligus. "Apakah mau di proses?" tanya mbak yang ada dalam hpku. Entah kenapa naluriku tak setega itu, meski aku capek aku mencoba bertahan.

******

"Nduk, gimana kabar kamu?" tanya ibukku dari via telephon.

"Baik, Bu. Ibu sakit apa sih ? paling kangen sama anak perempuannya, iya kan?" ledekku sembari menghiburnya.

"Nanti kalau aku pulang pasti sembuh." tambahku.

"Mikirin kamu, Nduk." terdengar suara ibu yang menahan rasa sakit.

Tersayat dadaku mendengar ibuku sedang terkena infeksi empedu dan mag kronis. Ingin rasanya aku bisa merawatnya, tetapi keadaannya seperti ini. Hanya doa yang mampu aku panjatkan untuk kesemuhan ibukku. Dan biarlah meski aku tak mampu menjaga ibukku sendiri, disini aku menjaga nenek seperti menjaga ibukku yang sedang sakit di Indonesia.

Dari cobaan demi cobaan pola pikirku pertambah dan dari itulah aku bisa berfikir lebih dewasa. Bukan cuma tambah materi tetapi juga tambah pelajaran, di Formosa inilah aku tahu bagaimana menghapus air mata.

*****

"Din, kamu ada uang tidak? aku butuh uang. Sekiranya punya kamu belum kepakai aku pakai dulu?" aku telephon dina sahabatku.

"An, aku tidak ada. Uangku perbulan buat ngridit rumah. Coba aku tanya Mbak Rus." jawabnya.

Akhirnya aku mendapat pinjaman dari Mbak Rus 5000 Nt.

"Nanti gantian, ya?"

"Ok, kalau ada pasti aku pinjamin."

Hari berganti hari genap sebulan aku bisa menggantikan uang Mbak Rus. Masih potong gaji rasanya susah banget ngumpulin uang.

Bulan berikutnya Mbak Rus butuh uang Nt 15000." Dari mana aku dapatkan uang itu?" Dia pernah menolongku, akhirnya dengan segala cara aku mencarikan uang untuk dia.

Antara aku, Dina, Mbak Rus semakin dekat sudah Seperti saudara sendiri. Kalau pun ada waktu kami sering bercanda melalui via telephon yang pada saat itu lagi heboh-hebohnya pararellan.

"An, kamu itu kok ya tahan jaga nenek yang super cerewet kayak gitu? job jaga kakek kok ya masih mau jaga nenek. Gaji nggak ditambahi lagi. Mendingan kabur aja. Kalau mau ini ada job jaga nenek mau nggak?" celoteh Mbak Rus padaku.

"Dijalanin saja, Mbak. Kalau suruh kabur nggak berani aku. Takut resiko." jawabku.

Bulan yang di sepakati tiba. Tapi tidak ada omongan mengenai pembayaran pinjaman. Malah Mbak Rus dan Dina membujukku untuk membayar rumah milik Mbak Rus. Entah pikiran apa yang membuat menyetujui kesepakatan itu. Dina sahabat baikku dan juga tetangga di kampungku. Awalnya aku ragu lama kelamaan aku mempercayainya. Bulan pertama aku mengirim uang sesuai kesepakatan . Tapi bulan kedua Mbak Rus memintaku mengirim uang Nt 50000. " Dari mana aku dapat uang sebanyak itu. Baru saja potongan gaji." pikirku.

Dengan setengah memaksa ia menyuruhku meminjam ke Bosku. Aku sendiri tak berani ambil resiko.

"An, kamu itu benar-benar malu-maluin teman." sms Dina.

"Din, maafin aku. Lebih baik jauhi Mbak Rus. Berapa pun uang yang sudah masuk iklaskan." balasku.

Dina menganggapku yang tidak bertanggung jawab. Dan dia menjauhiku. Semenjak saat itu mereka bagai di telan bumi. Aku lebih memikirkan pekerjaanku . Hampir setahun lamanya tak lagi ku dengar kabar sahabatku itu.

"Hai, An.Gimana kabar kamu?" sms Dina.

"Baik, Din." balasku

"Sekarang posisi kamu dimana?"
"An, Rasa aku terjebak di tengah-tengah. Mau mencebur aku takut, tapi aku dah terlanjur basah kuyup." jawaban Dina diiringi isak tangis.

"Aku tahu keadaanmu. Lebik baik jauhi dia. Kalau dia benar mengganggapku sahabat mestinya uang yang dah masuk di kembalikan sesuai perjanjian. Tapi nyatanya,,, ? itu aja cuma sedikit, kalau kamu?" ocehku mencoba menyadarkan sahabatku.

"Bentar lagi sudah hampir lunas. Nanti aku mau menyerahkan diri sekalian pulang bareng mengurus surat-surat sama dia."

"Terserah kamu,Din. Aku Sebagai teman cuma bisa
ngomongin. keputusan ada di tanggan kamu sendiri."

Waktu begitu cepat berlalu tak terasa setahun sudah aku berada di Formosa, begitu banyak rintangan yang aku hadapi. Bukan cuma dari dalam tapi juga dari luar.

*****

"Ani, wei semo ni mei yio chien?"(Ani, kenapa kamu tidak punya uang?) tanyya Nenek melihat buku tabunganku.

"Wo ci hui inni."(Aku kirim ke Indonesia.) jawabku bohong.

"Anda bisa memetik pelajaran dari pengalaman anda. Dan tidak dapat dikalahkan jika anda tetep bertahan hidup." Oprah Winfray.

Sejak saat itu aku mulai mengumpulkan gaJiku ke rekeningku sendiri, dan tidak banyak menghabiskan uang untuk hal yang tidak berguna. Aku ingin mengejar mimpiku. Tak ingin selamanya bekerja di Negeri orang. Mungkin sekarang aku bekerja untuk uang, tapi aku ingin nantinyya uang yang bekerja untukku.


"Lalu, usaha apa?"pikiranku melayang belum juga ku temukan jawabannya.

"Sabar" itulah kata yang selalu ku pegang dalam menjalani kehidupan.

"Sabar mesti subur" kata pepatah jawa.

Menjaga Kakek dan Nenek bukanlah hal yang mudah. Siang malam jarang tidur, kalau kerumah sakit membawa Nenek duduk di kursi roda dan tangan satunya aku memapah kakek. Belum lagi Nenek yang banyak bicara ini, itu. Namun aku tetap bertahan meski kondisi badanku juga sering ngedrop.

Tepatnya tanggal 11 Januari 2012 Nenek menghembuskan nafas terakhir. Di sela masa kritisnya ia selalu menyebut namaku dan bahkan tak mau aku tinggalkan. Sifat Nenek yang Seperti Harimau, dengan ketulusan dan kasih sayang aku mampu menaklukkannya.

Dua minggu acara pembakaran selesai, tepatnya hari raya imlek. Semua anak Nenek berkumpul.
"Ani, ceke kei ni!"( Ani, ini untukmu!) Anak Nenek memberimu sebuah amplop berwarna merah.

"Buka saja" Menantunya menambahi.

Kubuka berisi 12 lembar uang berwarna biru. Dan juga Menantu Nenek meberiku sebuah cincin emas.

"Ini cincin Nenek." kata menantu satunya.
Sebuah penghargaan yang luar biasa buatku, setiap kesabaran ada hikmah di balik semuanya. Mereka memberi semuanya itu untukku sebagai rasa terima kasih mereka padaku selama ini dengan sabar merawat Kakek dan Nenek.

*****

"An, aku bulan depan mau menyerahkan diri." kata Dina.

"Ya sudah, Hati - hati" jawabku.
Tengah malam Dina kembali menelphonku
"An, Nomer telephon Mbak Rus, tidak bisa di hubungi. Kamu ada no telephon lainnya tidak" suara Dina dengan nada cemas.

"Coba di sms, semenjak saat itu aku dah tidak lagi komunikasi sama dia,Din. Aku ada juga kamu yang kasih"
"Sabar, Din. Mungkin dia lagi sibuk." aku mencoba menenangkan.


Kenyataannya seperti kecurigaanku selama ini, Mbak Rus menghilang dan membawa kabur uang temanku, apa yang selama ini ia ucapkan adalah bohong. Entah dengan cara apa ia bisa menaklukkan pikiran temanku itu, Hanya Allah yang tahu.

Aku mencoba menenangkan pikiran temanku, betapa kecewanya dan terpukulnya dia. Harapan hanya tinggal harapan. Bekerja sekian tahun hanya untuk mengisi rekening orang yang tidak bertanggung jawab.

"Gimana, An? Ibu menyuruhku cepat pulang, tapi kamu tahu kondisiki sekarang. Sedang Orang tuaku tidak tahu kondisiku sekarang."

"Kalau bisa bilang jujur sama orang tua, Din. meskipun kenyataan pahit pasti bisa menerima."

Akhirnya Temanku Dina menunda kepulanggannya beberapa bulan.
"Selamat jalan sahabat, semoga ada hikmah di balik
semuanya." Doaku mengiringi sahabatku.

*****

"Ani, bentar lagi kamu cuma jaga Kakek, manfaatkan untuk berfikir bagaimana langkah kamu kedepan." pesan anak Kakek yang di Amerika.

Mengisi waktu luangku aku gunakan untuk usaha sampingan dan juga kesenanganku dalam dunia menulis cerpen, meski mulai belajar.
Tepatnya bulan Ramadhan cerpen pertamaku masuk dalam sebuah antologi yang berjudul " Ramadhan Di Rantau." berkat teman menulisku yang mengirimkan naskahku. Ada sebuah kepuasan batin, dan banyak hikmah yang aku peroleh selama aku bekerja di Taiwan.


"Oh, ya" Ingat dengan usahaku . Kali ini kutemukan jawabannya. Aku ingin punya usaha rumah kontrakan, kos-kosan dan sejenisnya. Dan juga bisa punya usaha sendiri yang akhirnya bisa merekut karyawan.

Tapi, buat beli tanah di tengah kota mahal. Uangku pun belum cukup. Akhirnya aku berfikir dua kali, infestasi yang aku ambil dan menurutku tepat adalah membeli tanah dulu. Tanah di kampung terbilang murah, dan menjangkau. Ada sedikit uang buat beli tanah. Bagiku investasi tanah tidak ada ruginya. Selain harga naik tiap waktunya dalam penjualan di era saat ini juga gampang.

Seperti yang pernah aku baca dalam buku The Caslow kuadran. Seseorang yang hanya memiliki beberapa tanah akhirnya bisa memiliKi sebuah apartemen.

Buku itu pernah aku baca saat aku pernah terjun dalam bisnis MLM, yang menganjurkan memiliki buku tersebut.Meskipun dalam bisnisnya gagal setidaknya aku memperoleh ilmunya.
"Buku adalah jendela dunia" tertariknya aku membaca kisah orang-orang sukses.

Tiga tahun kontrakku habis. Tetapi Bosku menginginkan aku balik lagi ke Taiwan, karena Kakek tak mau aku tinggalkan. Akhirnya aKu mengambil keputusan balik Taiwan lagi, selain untuk menambah modal. Berat rasanya meninggalkan Kakek yang se
lalu menangis bila tak melihatku.

Aku ambil cuti sebulan. Selama sebulan aku mengurus semua yang ada di Indonesia. Alhamdulilah Ibuku bisa sembuh, aku bisa melihat lagi senyum di pipinya dan aku bisa membeli sedikit tanah milik Budhe dan Pakde yang saat itu butuh uang menyuruhku untuk membelinya. Aku bersyukur kontrak ke duaku mendapat berkah yang bagiku sungguh luar biasa.

01 April 2013 Aku kembali ke Taiwan.
"Aku kira aku sudah tidak bisa lagi melihatmu." kata kakek sambil memelukku keluar air matanya.

"Aku sayang sama kamu, aku pasti kembali."jawabku.

Bagiku kakek meskipun bukan bagian keluargaku, aku sangat sayang sama dia. Meskipun sudah pikun dan kadang bikin orang pusing kalau lagi kambuh erornya, bagiku itu sebuah tantangan. Mereka mengganggapku seperti keluarga sendiri, semua terserah aku dari urusan belanja, masak, mangatur rumah, sampai tagihan bulanan semuanya aku yang pegang.


Seperti biasanya kalau cuaca baik aku bawa kakek ke pasar belanja, tapi kalau cuaca tidak bersahabat kakek aku taruh di tempat Bosku. Di rumah bosku ada pembantu yang jaga kakek.

20 Maret 2014 langit tampak mendung, dengan sepeda aku membawa sayur belanjaanku. Di tengah jalan tas yang setiap kali aku bawa bando yang didalamnya berisi foto Kakek dan Nenek hilang.

Tak lama sampai di rumah Kakek aku segera kemasi sayuran ke dalam kulkas, dan ingin cepat -cepat ambil kakek di rumah Bosku.

Sampai Pintu Lif 14, saat aku mau buka pintu.

"Ani, Kakek hilang." dengan muka cemas Bosku menarikku kembali masuk dalam lif.

Kulihat Tubuh kakek yang kekar tergeletak di lantai 13 Di kerumuni banyak orang. Bungkam tak berkata, hanya matanya yang masih bisa melihat, namun tatapannya kosong. Seakan lantai yang kupijak tak mampu menopangku, tangisku pecah. Tak lama Ambulan datang dan membawa kakek ke rumah sakit. Dan kakek harus di rawat Di ruang ICU.

Sehari kakek jatuh Bosku menyuruhku jam 13.00 kerumah sakit melihat kakek. Karena Bosku tahu aku yang paling dekat dengan Kakek. Baru aku bersiap-siap, jam 12.20 Bosku menelphonku Kakek telah tiada.

Rasa kehilangan tak mampu aku tahan. Kemaren aku masih bercanda dengannya. Kali ini dihadapanku ku lihat raganya membujur kaku. Empat purnama banyak cerita yang tak bisa yang tak mudah untuk ku lupa.

Setiap orang pasti tak ingin kehilangan orang yang di sayang. Akankah dengan kehilangan terus membuat kita larut dalam kesedihan. Apa yang kita miliki yang di dunia ini hanya titipanNy, kapan saja, dimana saja, bisa saja sewaktu-waktu di ambil pemilikNya.

***

Kemaren tawamu melepas
laksana bujur panah
senyummu kulihat indab
Aku tak mampu mendaur waktu
Yang ada kini seoggak tulang belulang
Ragamu yang dulu tegap, berbaur dengan api
dan menjadi setumpuk abu.


Empat purnama bersamamu
Tiada ikatan darah antara aku dan kamu
Seiring berjalannya waktu
Hati menyatu
Kepergianmu menepis semangatku

Takdir melepasmu
Bersama iringan doa menyambutmu
"Yeye" kusebut gelar untukmu
"Ada kala aku kilaf dalam menjagamu maafkan aku. Bila ada setitik kebaikan menjadi ladang pahala buatku."

Semoga aku melakukan kewajiban sesuai dengan amanah.

Sebait kata mewakili rinduku
Bila kini aku mengingatku
Derai air mata masih membanjiri pipi
Bila candamu masih melintas dalam ingatanku.

****

Formosa mengajariku menghapus air mata, banyak cerita antara canda dan air mata berbaur menjadi satu kata dan bermakna. Aku tulis perjalananku menapaki negeri Formosa, harapKu menjadikan pelajaran berharga tentunya buatku, dan semoga saja juga untuk yang lainnya.

Saat kutulis coretan ini aku masih menungu proses pindah majikan, Harapku aku mendapatkan majikan yang baik.

***
Aku ingin tetap mengejar mimpiku, meski usiaku kini hampir kepala tiga. Aku ingin mewujudkannya.
Mungkinkah keinginanku seperti mengejar mentari di batas senja. Apakah jika petang masih ku temui cahaya rembulan diantara gelapnya malam.