Suara detak jarum jam di kamarku terdengar jelas malam hari ini, aku terbaring di ranjang merasakan letihnya badan karena seharian aku bekerja merawat pasien, namun jika aku melelapkan untuk tidur maka malam akan murka kepadaku karena kesunyian seperti inilah yang membantuku untuk berpetualang dengan aksara. Akhirnya aku harus mengalah dengan rasa capek dan aku harus bangun. Ini adalah kesempatanku untuk mengikuti event lomba menulis karya bebas yang diadakan oleh Pemerintah Taiwan pikirku.
Hmmmmm… kuhempaskan nafas dalam-dalam sambil kuucap bismillah.
Hi Sobat, panggil aku dengan Secha nama account facebookku Rita Secha! Aku lahir di Bengkulu dan sekolah SD di sana. Kemudian melanjutkan SMP di Palembang dan SMA di Lampung, keren bukan? Aku anak bungsu dari tiga bersaudara selama 12 tahun sebelum akhirnya ibu melahirkan adikku hingga ia menghembuskan nafasnya pulang ke pangkuan Ilahi.
Inilah awal dari perjalanan hidupku ketika diusia masih belia harus kehilangan orang tuaku.
Sobat, pernahkah kalian merenung untuk apa kita diciptakan, mengapa kita dipertemukan atau dikenalkan dengan orang-orang disekitar kita baik itu orang jahat, orang baik? Sedih jika terkadang aku tak dapat menemukan jawaban atas renungan-renungan itu namun itulah fitrahnya aku hanya sebagai manusia biasa, aku hanya berusaha berbaik sangka padaNya. ketika Allah memanggil orang tuaku disaat aku masih butuh kasih sayang mereka ini problem besar pikirku saat itu.
Siapa manusia di atas bumi ini yang tidak mengalami permasalahan, setiap orang pasti menghadapi problematika ada yang diliputi kesedihan kekurangan financial, ada yang sedih memikirkan hutang yang bertumpuk-tumpuk, ada yang gundah gulana karena jodoh tak kunjung datang, sedih karena sudah bertahun-tahun belum memiliki keturunan dan ada juga yang bersedih karena menderita penyakit yang sangat berbahaya, seperti halnya aku sedih karena ditinggalkan orang tuaku. Dari berbagai problematika ini kita tentunya mencari solusi untuk bisa keluar dari permasalahan tersebut.
“Well… karena kita manusia memang harus berusaha.”
Namun solusi yang utama adalah Do’a, kata ustadz Yusuf Mansur, “Do’a, ikhtiar, Do’a.” Inilah solusi yang utama yaitu do’a sebelum solusi yang lain dilakukan.
Di dalam hadits riwayat At-Tirmidzi juga disebutkan, “ Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali do'a dan tidak ada yang menambah umur kecuali kebaikan.”
do’a adalah senjata utama orang mukmin untuk menyelesaikan problematika juga dijelaskan oleh Allah melalui firmanNya, "berdoalah kamu kepadaku,niscaya kuperkenankan permintaan kamu itu" (AL-mu'min : 60).
Walau aku tak memiliki orang tua, aku selalu memohon padaNya agar aku dipertemukan dengan orang-orang yang menyayangiku. Sehingga aku merasa betah tinggal dimana pun.
Mungkin aku pernah bangga karena terpilih menjadi siswa teladan tingkat kabupaten oleh Pemerintah Lampung Utara saat duduk di bangku MTsN, mungkin karena faktor keberuntungan. dan dukungan dari orang-orang di sekitarku. Atau dahsyatnya do’a karena setiap saat aku mohon padaNya untuk memberiku daya pikir lebih dari teman sekolahku.
Di sini, saat aku menuliskan jejak langkahku, ingatanku pun terbayang masa silam ketika dua rasa menyelimutiku saat itu. Satu sisi aku bahagia karena aku lulus sekolah dengan memperoleh predikat juara umum jurusan IPA di sekolahku. Setelah berkutat dengan buku pelajaran dan berjuang agar bisa membiayai sekolahku akhirnya hari kelulusan itu tiba. Namun di sisi lain aku sangat kecewa dan sedih yang teramat dalam karena keadaan yang tak memungkinkan untuk melanjutkan studyku, pengumuman beasiswa pun tak kunjung aku dapatkan, dulu aku malu untuk menanyakan hal itu kepada pihak sekolah.
Dua minggu sudah aku berada di dalam kamar merenung akan kemana langkah kaki ini membawa asa, akhirnya penat ini menghampiri, aku kehilangan tujuan hidup berjibaku dengan keadaan kian tak menentu namun aku tak mau kehilangan Engkau ya Rabb.
Selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal semua yang pernah aku lalui begitu pula masa silam aku ingin terbang tinggi bersama mimpi yang pernah aku kubur dalam aspal kini menjulang dalam angan kian melambung menghantarkan dalam rangkaian daftar kehidupan yang kusiapkan.
Aku bangkit untuk meraihnya, succes menyingsing hari esok nan cerah secerah embun pagi yang suci, aku pun sibuk menyingkirkan aral yang melintang.
Tak ada orang yang mendukung aku tidak akan peduli, asal Allah bersamaku.
Orang bilang: Memang bisa kau mencapai kesuccesan, siapa yang akan membiayai sekolahmu?
Jika kuteringat kalimat itu perih dan tersayat hati ini. Apa pedulimu menanyakan hal itu yang akan mematahkan mimpi-mimpiku menambah keterpurukan menakuti bak hantu malam kian mencekam.
Dengan keyakinan yang tinggi aku melangkah pergi, jiwa sepenuhnya mendapat kebebasan memilih jalan hidup yang aku lalui. Meningalkan negri tercinta demi sebuah cita-cita.
Yah! Aku pergi untuk kembali. Mencari sesuap nasi dan sebungkah berlian.
“Kemana aku harus pergi?” tanyaku ketika aku dalam kebingungan kala itu.
“Jepang, Taiwan atau Korea?”
Mungkin sepeda miniku bisa menghantarkanku ke Negara seberang, karena aku tau tak satu sen pun uang yang aku miliki. Atau perahu kertas bisa aku tumpangi? Agar bisa berlabuh di salah satu Negara tersebut. Agar bisa cepat mendapatkan uang sehingga aku mampu meraih mimpiku menggapai cita-cita menjadi seorang ahli kimia reaksi.
Tak juga nampak apa yang kucari. Di hadapanku bukan sebungkah berlian melainkan pasien-pasien yang menunggu uluran tanganku agar aku bisa membantu merawatnya.
“Well… ini langkah awal menuju cita-cita itu mungkin,” hiburku dalam hati ketika aku tiba di negeri Formosa. Aku bahagia seberkas cahaya menerangi langkahku menapaki jalan hidup ini.
“Lakon apa yang sedang aku perankan?”
Tak jarang hati mulai bertanya pada sang maha kuasa.
Man shabara dzafira Rita(Siapa yang bersabar dia yang beruntug), ketika aku mulai kehilangan kesabaran hanya kalimat itu yang bisa menguatkan dalam kepenatan di tengah keramaian kota. Jauh dari keluarga tercinta, bersyukur aku dipertemukan dengan orang-orang baik seperti keluarga baru di Taiwan yang bisa mengobati kerinduan akan belaian kasih sayang. Bukankah ini semua demi masa depan.
Bertahun-tahun sudah aku berada di Taipei, Taiwan. Kurasakan kembali suasana yang aku rindukan. Suara kicauan burung di pagi hari, Kokokan ayam, bau khas pembuatan gula aren tetanggaku tidak jauh beda dengan aroma bubur kacang ijo yang sering menipu panca indra penciumanku.
Menyapu sekitar halaman rumah almarhum kakek angkatku dengan tidak menggunakan alas kaki.
Aku merindukan masa-masa ini. Duduk bersama kakek, mendengarkan kisah-kisah jaman penjajahan. Ah, namun itu tak akan terulang karena kakek sudah meninggalkan aku untuk menghadap sang kuasa.
Semoga engkau bahagia di sana kek, walau aku bukan cucumu engkau menyayangiku dan aku belum sempat membalas budi baikmu hanya do’a yang bisa kuberikan. Semoga Allah memberikan kasih sayangNya, memberikan tempat seperti dulu engkau memberiku segalanya.
Ah, siapa sangka aku yang dulu sering memotifasi adik-adik didikku saat aku mengajar pramuka di SD dan mengajar les private di daerahku, kini menjadi rapuh. Mudah terhempas oleh angin tatkala aku mulai merindukan orang-orang yang menyayangi dan mengasihi telah meninggalkanku.
Aku malu kepada diriku sendiri. Namun aku memaklumi karena aku hanya wanita biasa, jangankan aku, seorang motifator handal saja tidak akan ada bisa bertahan jika menghadapi suatu masalah dalam hidupnya sendiri.
Aku menatap langit yang tak berhenti berawan itu artinya aku tak boleh putus asa dengan keadaan.
“Ayo bangkit…bangkit. Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini!”
Tahun ini 2011 pun datang masa dimana aku harus meninggalkan Negara ini, namun bosku mengharapkan aku tetap melanjutkan untuk bekerja di sini dengan menambah gajiku.
Tiga tahun bukan waktu yang sedikit bagiku untuk berhenti bergerak dari buku-buku pelajaranku, berhenti dari mimpiku. Allah apa yang harus aku lakukan? Dari hatiku yang terdalam aku tak ingin berhenti lebih lama lagi untuk menunda kuliahku. Aku ingin meneruskan studyku ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Di sisi lain nuraniku berat untuk menolak tawaran perpanjangan kontrak kerja mengingat aku pun butuh membiayai kehidupanku, kuliahku sedangkan ekonomi keluargaku masih di titik nadir kala itu.
Dengan bibir yang bergetar serta keyakinan yang kuat setelah aku memohon petunjukNya, aku mengatakan, “Iya, aku mau melanjutkan kontrak kerjaku tiga tahun lagi asalkan aku diijinkan melanjutkan studyku di Formosa.”
“Well, ofcourse you can continue your study in Taiwan,” Jawaban dari bos tempatku bekerja yang membuatku bersujud syukur. Aku bahagia bukan main saat itu mana kala mendapatkan dukungan atas niatku untuk melanjutkan study di bumi Formosa.
Aku tertarik, aku menyanggupi dan tanda tangan perpajangan kontrak kerja. Rasa haru menyelimutiku. Di saat hati ini gundah gulana menempuh perjalanan lika-liku kehidupan, mereka mendukungku dengan caranya.
Aku pasrah dengan jalan yang diberikan oleh Allah atas hidupku, pasrah bukan berarti tidak berusaha. Aku berusaha dan berdo’a agar hari esok lebih baik lagi. Akankah ini menjadi langkah untuk menuju satu titik yang dinamakan kesuksesan? Ataukah ini awal dan masih banyak rintangan hidup di depan sana?
Kesempatan ini tidak aku sia-siakan, September 2011 aku persiapkan persyaratan-persyaratan dan mendaftarkan diri untuk bisa menjadi seorang mahasiswa di Universitas Terbuka Taiwan.
Setiap do’a yang teruntai aku pasrah dan hanya berharap padaNya, aku yakin dengan firman-Nya, “Sesungguhnya, setelah kesulitan ada kemudahan.”
Setiap apa-apa yang terjadi pada diri kita semua sudah dengan rahmat, perhitungan serta ilmuNya.
Meski dinaungi langit yang sama, manusia berjalan dalam jalanan dengan bobot yang berbeda. Semua tidak lain adalah anugrah karunia Ilahi.
Semakin bertambah usia, maka semakin berkurang daya pikir manusianya, itulah yang aku rasakan setelah lama otak ini tidak digunakan untuk berfikir pelajaran yang berat-berat maka aku sangat kesulitan beradaptasi dengan situasi dimana aku harus bekerja, belajar serta aktifitas pribadiku. Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan menjadi pekerja sekaligus pelajar di Negara orang.
Pada awal semester memang berat kujalani, tak jarang aku jatuh sakit ketika aktif perkuliahan.
Sering nilaiku tidak sesuai dengan yang aku harapkan namun aku tak berkecil hati karena bukan nilai semata menjadi prioritasku saat ini.
Aku tak akan menyerah dengan keadaan. Aku bosan dengan kebodohan, aku tak ingin anak-anakku kelak sepertiku.
Tak disangka waktu sangatlah cepat berlalu, 2014 genap sudah enam tahun aku di kota Taipei, Taiwan. Dan aku sudah duduk di smester enam itu artinya kuliahku pun hampir selesai, mungkin kini saatnya aku memikirkan pulang ke Indonesia membawa sedikit modal financial dan ilmu-ilmu yang selama ini kupelajari baik ilmu di bangku kuliahku maupun ilmu yang lainnya seperti kedisiplinan orang Taiwan yang memberi kesan tersendiri bagiku.
Hal yang aku sadari dari pengalaman hidup ini adalah setiap kejadian yang kita alami patutlah kita syukuri, karena Allah tak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaNya semua ada hikmah, layaknya ujian dalam sekolah pasti ada kunci jawabannya.
Setiap prestasi yang kita raih adalah cambuk untuk memacu kita lebih giat lagi, lebih berani mengejar impian kita walau rintangan silih berganti walau terkadang kita merasa tidak mampu meraihnya tugas kita hanya berusaha namun Allahlah yang berhak atas segala-galanya.
Karena aku sudah berjanji dengan diri ini untuk menyelesaikan studyku minimal lulus S1 walau salah jurusan aku tidak peduli dan ini bagian dari hidupku yang harus disyukuri.
Memang tidak akan mudah, perlu kerja keras dan komitmen tinggi untuk tidak gampang menyerah akan kegagalan, keadaan yang tidak kita inginkan, situasi yang tidak mendukung namun aku kembali lagi berfikir semua ini demi masa depan bukan hanya untuk aku melainkan untuk anak-anakku kelak. Aku bisa menceritakan bagaimana perjuangan hidup ini kepada mereka.
Satu hal lagi aku ingin menghadirkan senyum kebanggaan dan kebahagiaan kepada Almarhum orang tuaku, “Ayah, Ibu anakmu sudah tumbuh dewasa. Walau aku tak mampu meraih cita-citaku sebagai ahli kimia reaksi, aku bisa sekolah dan kuliah dengan biayaku sendiri.”
Ya, aku masih memiliki keinginan suatu hari nanti aku bisa melanjutkan studyku ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Mencontoh orang-orang Taiwan di sekitarku yang rajin belajar, kerja keras dan tidak bermalas-malasan, satu hal lagi orang Taiwan sangat irit dalam menggunakan uang.
Dalam hati aku selalu berdo’a, “Ya Allah, berilah hambaMu ini kekuatan, kesabaran serta kegigihan dalam meraih kesuksesan baik dunia dan akhirat.”
Perjuangan untuk meraih kesuksesan tidaklah mudah banyak hinaan dan cacian bahkan sering dipandang sebelah mata karena aku hanya seorang TKI. Aku tidak peduli yang terpenting pekerjaan itu halal. Apa artinya kita di hadpan manusia, aku hanya mementingkan tahta di hadapan yang maha kuasa dengan ilmu dunia dan akhiratNya.
Alhamdullilah, Allah memberiku jalan hidup seperti ini tentu semua ini bisa aku ambil hikmahnya suatu hari nanti.
Aku benar-benar tersentuh dengan skenario-Nya. Begitu indah rencaNya, pertama aku diciptakan kedunia ini, kemudian menghadapkanku dengan segala yang tidak aku inginkan kehilangan orang tuaku hingga aku bertanya-tanya apa maksud Allah memanggil begitu cepatnya. Ternyata dari situlah langkah kaki ini membawaku singgah di bumi Formosa demi menuju satu titik yang dinamakan kesuksesan, kebahagiaan.
Walau aku sendiri belum menemukan kesuksesan seperti apakah patokan dalam hidupku. Yang pasti aku hanya ingin hidup bahagia dunia dan akhirat dengan keridhoan-Nya.
Allah memang maha bijaksana. Bukan memberikan sesuatu yang kita inginkan, namun memberikan yang kita butuhkan.
關於很有啟發力的外籍勞工生活故事,描述一名外勞的意志不會因為自己身分而停住。Hmmmmm… kuhempaskan nafas dalam-dalam sambil kuucap bismillah.
Hi Sobat, panggil aku dengan Secha nama account facebookku Rita Secha! Aku lahir di Bengkulu dan sekolah SD di sana. Kemudian melanjutkan SMP di Palembang dan SMA di Lampung, keren bukan? Aku anak bungsu dari tiga bersaudara selama 12 tahun sebelum akhirnya ibu melahirkan adikku hingga ia menghembuskan nafasnya pulang ke pangkuan Ilahi.
Inilah awal dari perjalanan hidupku ketika diusia masih belia harus kehilangan orang tuaku.
Sobat, pernahkah kalian merenung untuk apa kita diciptakan, mengapa kita dipertemukan atau dikenalkan dengan orang-orang disekitar kita baik itu orang jahat, orang baik? Sedih jika terkadang aku tak dapat menemukan jawaban atas renungan-renungan itu namun itulah fitrahnya aku hanya sebagai manusia biasa, aku hanya berusaha berbaik sangka padaNya. ketika Allah memanggil orang tuaku disaat aku masih butuh kasih sayang mereka ini problem besar pikirku saat itu.
Siapa manusia di atas bumi ini yang tidak mengalami permasalahan, setiap orang pasti menghadapi problematika ada yang diliputi kesedihan kekurangan financial, ada yang sedih memikirkan hutang yang bertumpuk-tumpuk, ada yang gundah gulana karena jodoh tak kunjung datang, sedih karena sudah bertahun-tahun belum memiliki keturunan dan ada juga yang bersedih karena menderita penyakit yang sangat berbahaya, seperti halnya aku sedih karena ditinggalkan orang tuaku. Dari berbagai problematika ini kita tentunya mencari solusi untuk bisa keluar dari permasalahan tersebut.
“Well… karena kita manusia memang harus berusaha.”
Namun solusi yang utama adalah Do’a, kata ustadz Yusuf Mansur, “Do’a, ikhtiar, Do’a.” Inilah solusi yang utama yaitu do’a sebelum solusi yang lain dilakukan.
Di dalam hadits riwayat At-Tirmidzi juga disebutkan, “ Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali do'a dan tidak ada yang menambah umur kecuali kebaikan.”
do’a adalah senjata utama orang mukmin untuk menyelesaikan problematika juga dijelaskan oleh Allah melalui firmanNya, "berdoalah kamu kepadaku,niscaya kuperkenankan permintaan kamu itu" (AL-mu'min : 60).
Walau aku tak memiliki orang tua, aku selalu memohon padaNya agar aku dipertemukan dengan orang-orang yang menyayangiku. Sehingga aku merasa betah tinggal dimana pun.
Mungkin aku pernah bangga karena terpilih menjadi siswa teladan tingkat kabupaten oleh Pemerintah Lampung Utara saat duduk di bangku MTsN, mungkin karena faktor keberuntungan. dan dukungan dari orang-orang di sekitarku. Atau dahsyatnya do’a karena setiap saat aku mohon padaNya untuk memberiku daya pikir lebih dari teman sekolahku.
Di sini, saat aku menuliskan jejak langkahku, ingatanku pun terbayang masa silam ketika dua rasa menyelimutiku saat itu. Satu sisi aku bahagia karena aku lulus sekolah dengan memperoleh predikat juara umum jurusan IPA di sekolahku. Setelah berkutat dengan buku pelajaran dan berjuang agar bisa membiayai sekolahku akhirnya hari kelulusan itu tiba. Namun di sisi lain aku sangat kecewa dan sedih yang teramat dalam karena keadaan yang tak memungkinkan untuk melanjutkan studyku, pengumuman beasiswa pun tak kunjung aku dapatkan, dulu aku malu untuk menanyakan hal itu kepada pihak sekolah.
Dua minggu sudah aku berada di dalam kamar merenung akan kemana langkah kaki ini membawa asa, akhirnya penat ini menghampiri, aku kehilangan tujuan hidup berjibaku dengan keadaan kian tak menentu namun aku tak mau kehilangan Engkau ya Rabb.
Selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal semua yang pernah aku lalui begitu pula masa silam aku ingin terbang tinggi bersama mimpi yang pernah aku kubur dalam aspal kini menjulang dalam angan kian melambung menghantarkan dalam rangkaian daftar kehidupan yang kusiapkan.
Aku bangkit untuk meraihnya, succes menyingsing hari esok nan cerah secerah embun pagi yang suci, aku pun sibuk menyingkirkan aral yang melintang.
Tak ada orang yang mendukung aku tidak akan peduli, asal Allah bersamaku.
Orang bilang: Memang bisa kau mencapai kesuccesan, siapa yang akan membiayai sekolahmu?
Jika kuteringat kalimat itu perih dan tersayat hati ini. Apa pedulimu menanyakan hal itu yang akan mematahkan mimpi-mimpiku menambah keterpurukan menakuti bak hantu malam kian mencekam.
Dengan keyakinan yang tinggi aku melangkah pergi, jiwa sepenuhnya mendapat kebebasan memilih jalan hidup yang aku lalui. Meningalkan negri tercinta demi sebuah cita-cita.
Yah! Aku pergi untuk kembali. Mencari sesuap nasi dan sebungkah berlian.
“Kemana aku harus pergi?” tanyaku ketika aku dalam kebingungan kala itu.
“Jepang, Taiwan atau Korea?”
Mungkin sepeda miniku bisa menghantarkanku ke Negara seberang, karena aku tau tak satu sen pun uang yang aku miliki. Atau perahu kertas bisa aku tumpangi? Agar bisa berlabuh di salah satu Negara tersebut. Agar bisa cepat mendapatkan uang sehingga aku mampu meraih mimpiku menggapai cita-cita menjadi seorang ahli kimia reaksi.
Tak juga nampak apa yang kucari. Di hadapanku bukan sebungkah berlian melainkan pasien-pasien yang menunggu uluran tanganku agar aku bisa membantu merawatnya.
“Well… ini langkah awal menuju cita-cita itu mungkin,” hiburku dalam hati ketika aku tiba di negeri Formosa. Aku bahagia seberkas cahaya menerangi langkahku menapaki jalan hidup ini.
“Lakon apa yang sedang aku perankan?”
Tak jarang hati mulai bertanya pada sang maha kuasa.
Man shabara dzafira Rita(Siapa yang bersabar dia yang beruntug), ketika aku mulai kehilangan kesabaran hanya kalimat itu yang bisa menguatkan dalam kepenatan di tengah keramaian kota. Jauh dari keluarga tercinta, bersyukur aku dipertemukan dengan orang-orang baik seperti keluarga baru di Taiwan yang bisa mengobati kerinduan akan belaian kasih sayang. Bukankah ini semua demi masa depan.
Bertahun-tahun sudah aku berada di Taipei, Taiwan. Kurasakan kembali suasana yang aku rindukan. Suara kicauan burung di pagi hari, Kokokan ayam, bau khas pembuatan gula aren tetanggaku tidak jauh beda dengan aroma bubur kacang ijo yang sering menipu panca indra penciumanku.
Menyapu sekitar halaman rumah almarhum kakek angkatku dengan tidak menggunakan alas kaki.
Aku merindukan masa-masa ini. Duduk bersama kakek, mendengarkan kisah-kisah jaman penjajahan. Ah, namun itu tak akan terulang karena kakek sudah meninggalkan aku untuk menghadap sang kuasa.
Semoga engkau bahagia di sana kek, walau aku bukan cucumu engkau menyayangiku dan aku belum sempat membalas budi baikmu hanya do’a yang bisa kuberikan. Semoga Allah memberikan kasih sayangNya, memberikan tempat seperti dulu engkau memberiku segalanya.
Ah, siapa sangka aku yang dulu sering memotifasi adik-adik didikku saat aku mengajar pramuka di SD dan mengajar les private di daerahku, kini menjadi rapuh. Mudah terhempas oleh angin tatkala aku mulai merindukan orang-orang yang menyayangi dan mengasihi telah meninggalkanku.
Aku malu kepada diriku sendiri. Namun aku memaklumi karena aku hanya wanita biasa, jangankan aku, seorang motifator handal saja tidak akan ada bisa bertahan jika menghadapi suatu masalah dalam hidupnya sendiri.
Aku menatap langit yang tak berhenti berawan itu artinya aku tak boleh putus asa dengan keadaan.
“Ayo bangkit…bangkit. Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini!”
Tahun ini 2011 pun datang masa dimana aku harus meninggalkan Negara ini, namun bosku mengharapkan aku tetap melanjutkan untuk bekerja di sini dengan menambah gajiku.
Tiga tahun bukan waktu yang sedikit bagiku untuk berhenti bergerak dari buku-buku pelajaranku, berhenti dari mimpiku. Allah apa yang harus aku lakukan? Dari hatiku yang terdalam aku tak ingin berhenti lebih lama lagi untuk menunda kuliahku. Aku ingin meneruskan studyku ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Di sisi lain nuraniku berat untuk menolak tawaran perpanjangan kontrak kerja mengingat aku pun butuh membiayai kehidupanku, kuliahku sedangkan ekonomi keluargaku masih di titik nadir kala itu.
Dengan bibir yang bergetar serta keyakinan yang kuat setelah aku memohon petunjukNya, aku mengatakan, “Iya, aku mau melanjutkan kontrak kerjaku tiga tahun lagi asalkan aku diijinkan melanjutkan studyku di Formosa.”
“Well, ofcourse you can continue your study in Taiwan,” Jawaban dari bos tempatku bekerja yang membuatku bersujud syukur. Aku bahagia bukan main saat itu mana kala mendapatkan dukungan atas niatku untuk melanjutkan study di bumi Formosa.
Aku tertarik, aku menyanggupi dan tanda tangan perpajangan kontrak kerja. Rasa haru menyelimutiku. Di saat hati ini gundah gulana menempuh perjalanan lika-liku kehidupan, mereka mendukungku dengan caranya.
Aku pasrah dengan jalan yang diberikan oleh Allah atas hidupku, pasrah bukan berarti tidak berusaha. Aku berusaha dan berdo’a agar hari esok lebih baik lagi. Akankah ini menjadi langkah untuk menuju satu titik yang dinamakan kesuksesan? Ataukah ini awal dan masih banyak rintangan hidup di depan sana?
Kesempatan ini tidak aku sia-siakan, September 2011 aku persiapkan persyaratan-persyaratan dan mendaftarkan diri untuk bisa menjadi seorang mahasiswa di Universitas Terbuka Taiwan.
Setiap do’a yang teruntai aku pasrah dan hanya berharap padaNya, aku yakin dengan firman-Nya, “Sesungguhnya, setelah kesulitan ada kemudahan.”
Setiap apa-apa yang terjadi pada diri kita semua sudah dengan rahmat, perhitungan serta ilmuNya.
Meski dinaungi langit yang sama, manusia berjalan dalam jalanan dengan bobot yang berbeda. Semua tidak lain adalah anugrah karunia Ilahi.
Semakin bertambah usia, maka semakin berkurang daya pikir manusianya, itulah yang aku rasakan setelah lama otak ini tidak digunakan untuk berfikir pelajaran yang berat-berat maka aku sangat kesulitan beradaptasi dengan situasi dimana aku harus bekerja, belajar serta aktifitas pribadiku. Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan menjadi pekerja sekaligus pelajar di Negara orang.
Pada awal semester memang berat kujalani, tak jarang aku jatuh sakit ketika aktif perkuliahan.
Sering nilaiku tidak sesuai dengan yang aku harapkan namun aku tak berkecil hati karena bukan nilai semata menjadi prioritasku saat ini.
Aku tak akan menyerah dengan keadaan. Aku bosan dengan kebodohan, aku tak ingin anak-anakku kelak sepertiku.
Tak disangka waktu sangatlah cepat berlalu, 2014 genap sudah enam tahun aku di kota Taipei, Taiwan. Dan aku sudah duduk di smester enam itu artinya kuliahku pun hampir selesai, mungkin kini saatnya aku memikirkan pulang ke Indonesia membawa sedikit modal financial dan ilmu-ilmu yang selama ini kupelajari baik ilmu di bangku kuliahku maupun ilmu yang lainnya seperti kedisiplinan orang Taiwan yang memberi kesan tersendiri bagiku.
Hal yang aku sadari dari pengalaman hidup ini adalah setiap kejadian yang kita alami patutlah kita syukuri, karena Allah tak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaNya semua ada hikmah, layaknya ujian dalam sekolah pasti ada kunci jawabannya.
Setiap prestasi yang kita raih adalah cambuk untuk memacu kita lebih giat lagi, lebih berani mengejar impian kita walau rintangan silih berganti walau terkadang kita merasa tidak mampu meraihnya tugas kita hanya berusaha namun Allahlah yang berhak atas segala-galanya.
Karena aku sudah berjanji dengan diri ini untuk menyelesaikan studyku minimal lulus S1 walau salah jurusan aku tidak peduli dan ini bagian dari hidupku yang harus disyukuri.
Memang tidak akan mudah, perlu kerja keras dan komitmen tinggi untuk tidak gampang menyerah akan kegagalan, keadaan yang tidak kita inginkan, situasi yang tidak mendukung namun aku kembali lagi berfikir semua ini demi masa depan bukan hanya untuk aku melainkan untuk anak-anakku kelak. Aku bisa menceritakan bagaimana perjuangan hidup ini kepada mereka.
Satu hal lagi aku ingin menghadirkan senyum kebanggaan dan kebahagiaan kepada Almarhum orang tuaku, “Ayah, Ibu anakmu sudah tumbuh dewasa. Walau aku tak mampu meraih cita-citaku sebagai ahli kimia reaksi, aku bisa sekolah dan kuliah dengan biayaku sendiri.”
Ya, aku masih memiliki keinginan suatu hari nanti aku bisa melanjutkan studyku ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Mencontoh orang-orang Taiwan di sekitarku yang rajin belajar, kerja keras dan tidak bermalas-malasan, satu hal lagi orang Taiwan sangat irit dalam menggunakan uang.
Dalam hati aku selalu berdo’a, “Ya Allah, berilah hambaMu ini kekuatan, kesabaran serta kegigihan dalam meraih kesuksesan baik dunia dan akhirat.”
Perjuangan untuk meraih kesuksesan tidaklah mudah banyak hinaan dan cacian bahkan sering dipandang sebelah mata karena aku hanya seorang TKI. Aku tidak peduli yang terpenting pekerjaan itu halal. Apa artinya kita di hadpan manusia, aku hanya mementingkan tahta di hadapan yang maha kuasa dengan ilmu dunia dan akhiratNya.
Alhamdullilah, Allah memberiku jalan hidup seperti ini tentu semua ini bisa aku ambil hikmahnya suatu hari nanti.
Aku benar-benar tersentuh dengan skenario-Nya. Begitu indah rencaNya, pertama aku diciptakan kedunia ini, kemudian menghadapkanku dengan segala yang tidak aku inginkan kehilangan orang tuaku hingga aku bertanya-tanya apa maksud Allah memanggil begitu cepatnya. Ternyata dari situlah langkah kaki ini membawaku singgah di bumi Formosa demi menuju satu titik yang dinamakan kesuksesan, kebahagiaan.
Walau aku sendiri belum menemukan kesuksesan seperti apakah patokan dalam hidupku. Yang pasti aku hanya ingin hidup bahagia dunia dan akhirat dengan keridhoan-Nya.
Allah memang maha bijaksana. Bukan memberikan sesuatu yang kita inginkan, namun memberikan yang kita butuhkan.
(1) Cerita mengenai perjalanan hidup TKI yang cukup menginspirasi, menggambarkan tekad seorang BMI yang tidak terhenti hanya karena status diri
(2) Artikel ini memberikan contoh kepada kita semua bahwa kesuksesan membutuhkan usaha, kesabaran dan doa, jangan berkecil hati apabila kita gagal dalam melakukan sesuatu, terus berjuang tetap semangat suatu saat nanti kita pasti akan meraih apa yang kita cita-citakan.