Kekuatan Doa Mengijabahi Takdir_Nya

2014-04-26 / Setyana / Kekuatan Doa Mengijabahi Takdir_Nya / Indonesia 印尼 / Tidak ada

Kekuatan Doa Mengijabahi Takdir_Nya


By : Setyana

Doa adalah titik akhir sebuah pencapaian kala usaha sudah menemui jalan buntu. Doa pula yang mampu menjadi penerang kala gelap menutupi takdir. Karena doa adalah penyejuk batiniah kala hidup dirundung masalah. Bukan hanya asal meminta. Namun lengkapilah dengan kesungguhan dan keikhlasan air mata. InsyaAllah doa mampu membawamu dalam kenikmatan aroma surgawi.

Kehidupan memang sudah semestinya jalan yang dilalui selalu berkerikil tajam. Mengeluh adalah kebiasan terburuk manusia untuk memberontak kepada keadaan. Namun hanya manusia berhati lapang yang mampu membuat jalan yang berkerikil tajam mampu merubahnya menjadi jalan raya yang rata dan mampu menjadi jalan penghubung kesuksesan. Dengan cara menambahkan pasir ketekatan dan aspal berwarna tirakat yang dicampur dengan segentong air bertadahkan doa-doamu.
Inilah keajaiban bagiku. Dari jalanan yang berkerikil tajam berubah menjadi jalan raya penghubung kesuksesanku. Dengan tekad (niat dan tujuan), tirakat (usaha dan puasa) dan doa (sholat dan berdzikir) insyaallah keajaiban sederhana ini akan merubah jalan hidupmu. Dari yang mustahil menjadi mungkin. Dari yang hitam menjadi putih. Dari yang gelap menjadi terang.

*****

Memilih menjadi TKW yang bekerja di luar negeri bukanlah keinginanku. Melainkan suratan takdir yang memaksaku untuk memilihnya. Aku adalah gadis berumur 18 tahun yang seharusnya menikmati bangku perkuliahan dan menikmati indahnya masa remaja. Namun tidak dengan aku yang harus meninggalkan orang-orang tercinta seperti keluarga, saudara, dan sahabatku demi sebuah tekat untuk merubah nasib masa depan keluargaku.
Februari 2011 nasib telah membawaku sampai pada titik awal perjuangan hebat hidupku. Ya, Taiwan adalah ladang pembelajaran untukku tentang memakai hidup yang sesungguhnya. Mulanya aku berpikir dengan bekerja di Taiwan akan mendapatkan gaji banyak dan membuatku bisa cepat kaya. Namun itu hanya bualan palsu kenyataan di awal saja.
Sebenarnya pekerjaanku di Taiwan adalah merawat orang jompo. Namun sesampainya di Taiwan aku diperkerjakan disebuah pabrik besi milik bosku yang bermarga Lee. Setiap hari senin sampai Sabtu mulai pukul 08.00 pagi sampai jam 18.00 petang kegiataanku bergelut dengan benda-benda berat dan keras. Bayangkan saja berat potongan besi sekitar 30-40 Kg per karung dan harus kuangkat dengan kedua tanganku sendiri. Bukan hanya sekarung dua karung saja melainkan puluhan karung dalam sehari kedua tanganku dipaksa untuk mengangkatnya. Kemudian menimbangnya sesuai takaran. Dan dipacking dalam ratusan kardus. Sedangkan pekerjanya hanya 3 orang. Satu sopir dan satu pengurus kantor. Tidak hanya itu saja kadang disela-sela pekerjaanku menimbang besi sambil menjaga cucu laki-laki bosku yang super rewel. Tak urung aku sering kena tamparan omelan bosku karena kerjaku lelet padahal aku bekerja menimbang besi sambil menjaga cucunya.
"Ayaa. Bagaimana kamu bisa sukses bila kerjamu lelet seperti ini!" Tamparan makian bosku seakan menghantam batinku.
Hanya bisa diam tertunduk. Mengamuk dalam amarah yang kupendam. Mencoba membayangkan kedua wajah orangtuaku lewat helaan nafas yang panjang. Terlintas kebahagiaan masa tua beliau adalah tanggungjawabku. Segera kusingkirkan seonggok kebencian menjadi rasa syukur telah mengajari aku tentang sabar dan ikhlas. Sudah bekerja layaknya kuda yang menderek delman, tak henti-hentinya pak kusir marah dan mencambuk bila tak cepat dalam berlari.
Dan keesokkan harinya kembali menjalani test kesabaran pada level yang lebih bertingkat dari hari kemarin. Karena kerjaku yang lelet kemarin, akhirnya aku dihukum. Aku disuruh membersihkan halaman belakang pabrik dengan rumput-rumput dan tumbuhan liar yang tingginya sama bahkan ada yang lebih tinggi dari tinggi badanku. Dan parahnya lagi aku hanya diberi sarung tangan saja tanpa peralatan lain.
Satu jam bekerja peluh-peluh keringatku mulai mengalir lewat celah-celah lelahku. Tak terasa peluh tetes air mataku pun ikut terjun menunjukkan perihku. Pekerjaan ini seakan merendahkan martabatku yang kedudukannya tak lebih dari rumput dan ilalang yang kupangkas. Selain tubuh dan mata yang sempat menangis tak terasa tangan-tangankupun ikut menangis darah. Ya Allah tanpa kusadari tanganku penuh luka. Perih dan merintih pada kesunyian berjajar penuh ilalang. Pedang-pedang ilalang telah menggores tinta merah kesakitan dikedua tanganku. Sambil memandangi rumput-rumput yang telah tumbang. Ada kelegaan dan perasaan lelah.
Tak lama kemudian anak laki-laki bosku datang. Dan menyuruhku untuk menyudahi pekerjaan itu. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Namun seakan aku ingin menyembunyikan cambukkan luka pada tanganku karena goresan nakal sang ilalang. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Apakah aku terlalu bodoh untuk berontak? Apakah aku takut kepada mereka? Padahal ini sudah keterlaluan.
Namun apa daya pengalaman yang sangat minim tak mampu membuatku pergi dari penjara ini. Karena bisa jadi keluar dari kandang singa lalu masuk kandang harimau. Aku belum bisa lancar dalam berbahasa mandarin dan aku tak tahu arah kemana. Kecuali berdiam di sini menanti berharap malaikat datang menjemputku. Sebagai mukjizat yang bisa merubah nasib seseorang.
Pernah juga aku bekerja di pabrik mengepak mur dan baut dari jam 8 pagi sampai jam 11 malam. Dan besok paginya harus bangun sekitar jam 5.30 pagi untuk menyiapkan sarapan seluruh anggota bosku. Namun gajiku tetap sama tidak bertambah. Sempat komplain kepada agentcy. Malah yang ku dapat bukannya tambahan gaji melainkan makian dari agentcy. Sudah sangat lelah meregang rapuhku. Pasrah dan tunduk pada keadaan.
Sudah bekerja berat seperti itu ocehan dan omelan tak habis-habisnya menyiarkan langsung menusuk palung batinku. Kerja seperti ini salah seperti itupun salah. Tak pernah dihargai sedikitpun hasil kerjaku oleh mereka. Semaksimal mungkin berpura-pura membudekkan kedua gendang telingaku dan berusaha mengerjakan apapun yang mereka suruh. Dan yang paling menyakitkanku dan benar-benar membuatku marah yaitu aku dilarang menghubungi kedua orangtuaku selama 2 bulan lebih tak bisa ku dengar suara orang-orang yang ku cintai. Entahlah, perasaanku seakan terkoyak sakit yang sungguh teramat menyakitkan
******

Di sudut kesunyian tepat di sepertiga malam berterangkan lampu lampion kecil aku bersimpuh di hadapan_Nya. Rasa lelah dan letih yang merantai tubuhku dan rasa kantuk yang memborgol mataku seakan mampu ku singkirkan sejenak. Dengan berwudhukan air mata kepasrahan ku kecup asma Allah di sajadah ikhlasku. Seonggok raga lemas ini mengiba kepada sang Pencipta Allah ta'alla.
"Aku ingin pulang ya Allah. Aku lelah dengan semua ini."
Tertunduk dan berpasrah atas kuasa_Nya. Hadirkan lukisan senyum bahagia kedua orangtuaku. Ya, kalau aku pulang bagaimana dengan nasip mereka? Bukannya niat dan tujuan bekerja di Taiwan untuk meringankan beban mereka? Haruskah aku menyerah padahal baru sejengkal langkah?
"Tidak! Yakinlah Allah selalu punya rencana indah dalam setiap musibah."

*****

Suatu hari aku bertemu dengan teman seperantauan yang sudah 4 tahun bekerja di Taiwan tanpa sepengetahuan bosku. Kita berkenalan dan kuceritakan semua tentang pekerjaanku selama ini. Singkat cerita dia akhirnya merasa kasihan dan iba mendengarkan jeritanku bekerja rodi ikut orang Taiwan. Karena sebenarnya bosku telah secara ilegal mempekerjakanku tidak sesuai job. Dan ia menyarankanku untuk melapor ke 1955 yaitu tempat pengaduan BMI(Buruh Migran Indonesia) yang siap siaga melayani selama 24jam. Bahkan ia rela memberikan ponselnya yang memang sudah tak bagus lagi namun masih bisa digunakan.
Waktu itu tepat dengan bulan ramadhan 2011 namun tetap ku paksakan untuk berpuasa. Dengan semua pekerjaanku yang sangat berat dengan bersahurkan niat bersungguh-sungguh alhamdulilah bisa bertahan sampai buka. Dan pada sepertiga malam bebarengan dengan waktu sahur selalu kusempatkan untuk bertahajut meminta petunjuk Allah Ta'alla. Kuberanikan niatku untuk mengadu ke 1955 sesuai anjuran teman yang ku temui beberapa hari lalu, setelah solat tahajut semoga Allah meridhoi usahaku. Dengan bacaan bismilah akhirnya nomer yang aku tuju tersambung dan langsung kuceritakan semua apa yang telah aku alami.
Alhamdulilah langit cerah mulai menampakkan cahayanya. Mereka akhirnya bersedia membantu mengatasi masalahku. Dan harus bersabar menunggu waktu pembuktian yang mereka rahasiakan. Mungkin ini sudah menjadi bagian rencana indah dari Allah. Suatu hari datanglah 3 wanita yang merupakan anggota dari tim 1955. Mereka mendatangi pabrik tempat ku bekerja tanpa pemberitahuan dan tiba-tiba. Mereka melihat sendiri dan sempat memotret pada saat aku bekerja mengepak mur baut untuk bukti otentik bahwa benar bosku mempekerjakanku secara ilegal atau tidak sesuai job. Sembah syukurku kala itu seakan memberi mukjizat nyata dalam hidupku.
Akhirnya aku terbebas dari penjara romusha yang menyeramkan tanpa harus mendobrak gerbangnya atau kabur secara paksa. Mukjizat Allah selalu datang pada orang yang kuat. Disaat musibah tak membuatku rapuh dan menyerah dengan berdoa secara sungguh-sungguh ternyata mukjizat itu ada.

Terima kasih ya Allah atas mukjizatmu yang mampu membawaku keluar dari sangkar kesengsaraan. Dan kini ku dapatkan pengganti pekerjaan yang sesuai jobku bekerja di Taiwan yaitu merawat pasien jompo. Tanpa harus bergelut dengan besi-besi berat ataupun menebas ilalang yang ganas. Dan aku boleh menggunakan alat komunikasi seperti handphone ataupun laptop yang bisa sesuka hatiku menghubungi orangtua, sahabat dan kerabatku.
Ya, memang benar hanya doa yang bisa mengijabahi takdir. Menghadirkan mukjizat diambang kenestapaan. “Terima kasih ya Allah telah mengajariku menjadi orang yang tidak mudah menyerah .”


Tamat.