Lukisan Kasih Dalam Bingkai Cinta

2014-04-26 / Menur Lestari / Lukisan Kasih Dalam Bingkai Cinta / Indonesia 印尼 / 

LUKISAN KASIH DALAM BINGKAI CINTA

Oleh : Menur Lestari




"Putriku besok akan datang dari Canada." Kemarin kau berujar pada wanita penjual ikan langgananmu di pasar.

Penjual itu tersenyum ikut merasakan kebahagiaan, karena kau membeli lebih banyak barang dagangannya. Lain dari hari-hari biasa.

Sekuat tenaga tanganmu terus menarik keranjang belanja beroda yang penuh berisi barang. Tersendat-sendat langkah tidak mengurangi semangatmu untuk segera tiba di rumah, dan mempersiapkan segala sesuatunya.

Di siang yang cerah ini, kau sepertinya tidak sabar menantikan kehadiran Li Mei, putrimu tercinta. Sedangkan suamimu terlihat tenang membaca koran.

"Maa …! Paa …! Kami sudah datang. Bagaimana kabar kalian?" Tidak lama berselang, begitu pintu terbuka suara Li Mei putrimu terdengar. Putrimu terlihat semakin cantik, dengan balutan celana panjang berwarna biru dan baju berwarna putih yang bagian atasnya berenda.

Rumah dua lantai yang biasanya sepi ini, kini tampak ramai. Wajahmu terlihat sangat bahagia, dan senyum di bibir mengembang sempurna.

Di binar matamu semua rasa itu menjelma! Dengan hati-hati kau ambil cucumu yang tertidur pulas dari pelukan ayahnya. Tak lupa kau memberi sebuah kecupan penuh kasih untuk Peter Chang Yi, bayi laki-laki mungil berusia lima bulan itu. Lembut kedua pipinya, selembut hembusan napasnya.

"Kalian pasti lelah dan lapar. Ayo, makan dulu! Kemudian beristirahatlah," katamu mempersilahkan. Namun mereka masih asyik bercengkerama dengan suamimu, hingga untuk beberapa saat kau harus menunggu.

Mungkin kau sendiri juga lelah, karena sedari kemarin sibuk berbelanja ke pasar dan membereskan rumah. Sedangkan hari ini dirimu harus memasak bahan makanan mentah, dan mempersiapkan jamuan makan siang. Namun kehadiran Li Mei beserta keluarga kecilnya telah membuat rasa letihmu hilang.

Beraneka ragam hidangan tampak tersedia di meja. Padahal mungkin selera mereka tak lagi seperti dulu. Telah berubah, karena bermigrasi ke tempat baru. Walau putrimu sekarang, adalah orang yang sama dengan Li Mei kecil itu.

Dulu, setiap sore hari kau selalu menyempatkan diri untuk merawat bunga dan sayuran yang kau tanam.

"Ma, mengapa kita harus menanam sayur sendiri? Sedangkan di pasar banyak dijual dan lebih beragam." Dengan polos kalimat itu pernah terucap dari bibir Li Mei kecil yang membantumu menyiram tanaman, saat mentari akan beranjak ke peraduan.

"Daripada tempat ini terbengkalai. Di samping itu, juga menghemat uang belanja, Sayang," jawabmu. "Coba perhatikan siklus pertumbuhan daun bawang itu! Dulu berupa biji, kian tumbuh dari hari ke hari, dan semakin besar hingga bisa dinikmati. Semuanya hal itu menjadi hobi yang menyenangkan."

"Tapi, lihatlah! Banyak cacing mengeliat dari dalam tanah. Hii …." Li Mei memberi alasan, dengan muka seolah melihat sesuatu yang menjijikkan.

"Itu berarti, sayuran ini lebih aman untuk dikonsumsi, karena tidak menggunakan pestisida atau pupuk kimia." Penjelasanmu ternyata cukup memuaskan, sehingga Li Mei kecil tidak lagi bertanya. Kenangan itu masih terukir jelas dalam ingatanmu.

Perputaran waktu berjalan cepat, hingga suatu hari seorang pria datang meminang Li Mei. Rasa antara kebahagiaan dan kesedihan sempat mewarnai hatimu kala itu. Namun kau tetap ikhlas merelakan putrimu menggapai bahagia. Menempuh kehidupan baru dengan pasangannya, di belahan bumi baru, Canada.

Memang sudah sewajarnya, ketika seorang anak tumbuh dewasa, dia akan menentukan jalan hidupnya sendiri dan mungkin terpisah jauh dari pantauan orang tuanya.

"Mama …, Ma …!" Panggilan putrimu menyentak semua kenangan masa lalu itu menghilang.

"Ya? Ada apa? Aku teringat kembali kenangan waktu kamu masih kecil, Li Mei." Memang alasanmu adalah benar adanya.

"Ma, kosmetik ini sangat berguna untuk mencegah penuaan dini. Mama harus mencobanya." Li Mei tersenyum memberikan sebuah bingkisan. Padahal kehadirannya disini, menurutmu adalah kado paling indah dan berkesan.

"Mamamu usianya sudah tujuh puluh enam tahun, Li Mei! Keriput pasti datang, dan bukan lagi penuaan dini." Suamimu tertawa meledek, dan seperti biasa kau akan bersungut-sungut menanggapinya.

"Papamu mungkin iri, Li Mei! Di usianya yang kedelapan puluh tahun, sepertinya dia juga berminat dengan kosmetik ini." Kata-katamu berhasil menciptakan suasana rumah menjadi ceria, penuh tawa, lebih hidup dan berwarna.

Sayang, putra sulungmu Chen dan keluarganya tidak bisa hadir di sini. Karena kebetulan baru saja berangkat perjalanan wisata ke Indonesia, tepatnya ke kepulauan Raja Ampat .

Namun biasanya, sebulan sekali putramu itu selalu menyempatkan diri datang mengunjungi kalian. Terkadang menemanimu menanam sayuran dan bunga, membantu suamimu memperbaiki saluran air yang rusak, atau sekedar mengganti lampu ruangan yang sudah redup sinarnya. Semua perhatiannya itu membuatmu sangat bahagia. Memang semenjak kecil putramu telah mempunyai jiwa sosial yang luar biasa.

Sebuah kenangan beberapa puluh tahun yang lalu, masih tetap kau ingat dengan jelas. Ketika itu, matahari bersinar sangat terik menyengat kulit para mahluk hidup di bawah langit-Nya. Bahkan semut-semut berkumpul di tepian teduh, seakan cahaya panas itu telah mencapai lubang terdalam tempatnya tinggal.

Kala matahari mencapai titik, di mana sebuah bayangan tepat berdiri di tengah sebuah benda. Dengan berteriak, Chen kecil mencarimu sepulang sekolah.

"Maa …!" panggilnya, tanpa menanggalkan atribut sekolahnya terlebih dahulu.

Tergesa-gesa kau keluar dari ruangan dapur, mungkin Chen kecil menemui masalah! Namun sebuah cerita yang keluar dari mulutnya membuatmu tertegun. Kisah tentang seorang kakek renta yang berjalan dengan sebuah tongkat kayu, di bawah panasnya mentari tengah hari.

"Kasihan kakek tua itu, Ma. Beliau tiba-tiba jatuh tersungkur. Keluarganya seperti tidak begitu memperhatikannya, karena membiarkan beliau sendirian di jalanan." Chen kecil berkata dengan muka yang tampak miris.

"Inilah hidup, Sayang. Kita boleh mengeluarkan pendapat, tetapi jangan menghakimi orang lain begitu rupa." Kau berusaha menjelaskan dengan hati-hati.

"Andai Mama melihatnya langsung, pasti akan berpikiran sama sepertiku." Chen kecil tetap berusaha mempertahankan pendapatnya, tanpa peduli dengan keringat yang menetes di dahi.

"Seperti buruh migran, mereka meninggalkan keluarganya demi mengapai impian masa depan yang lebih baik. Kemungkinan hal itu juga terjadi dengan keluarga kakek itu." Kau terlihat menghela napas sejenak. "Anak atau menantunya mungkin pergi mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena biaya hidup di Taiwan itu tinggi. Bagi golongan atas, pasti tidak menjadi masalah. Tetapi berbeda dengan golongan bawah, mereka harus berusaha lebih keras lagi. Terkadang pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Sehingga orang tua lanjut usia di rumah kurang perhatian."

"Tetapi mereka bisa mengambil seorang perawat untuk membantu menjaga kakek itu, Ma. Jika keuangan tidak mencukupi, mungkin bisa patungan dengan anggota keluarga lainnya," kata Chen lugas. Entah darimana dia mempunyai pemikiran begitu empati.

"Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing, Sayang. Pada dasarnya setiap anak memang wajib berbakti kepada orang tuanya," katamu sambil mengusap kepala Chen kecil.

"Kelak jika nanti dewasa, aku akan berbakti serta merawat papa dan mama. Aku juga berjanji untuk selalu berada di sisi kalian berdua." Ucapan Chen membuat kau terharu dan bangga. Ternyata putramu mempunyai impian teramat mulia.

Kau mengerti, bahwa semua orang harus berjuang untuk menghadapi kehidupan. Angka kelahiran di Taiwan memang sangat rendah. Sehingga jumlah orang tua lebih banyak dari balita. Bahkan dapat dikatakan jika setiap rumah di pulau Formosa ini, pasti terdapat satu orang lanjut usia.

"Aku pun kelak akan bertambah renta. Tuhan, semoga selalu ada cinta untuk kami berdua. Amin." Lirih doamu kala itu.

Lembayung senja sudah memerah memenuhi sisi cakrawala. Ketika kau terbangun dari tidur siang, dan sesaat linglung karena suasana rumah terasa sunyi. Ach! Ternyata kau lupa, bahwa Li Mei sudah pulang kembali ke negaranya, setelah seminggu lebih dia menemani hari-harimu. Perlahan kau bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke ruang belakang, tampak suamimu sedang meneliti sebuah album foto yang terlihat agak kusam.

"Dari kemarin kucari-cari, barusan ketemu. Ini adalah harta karunku!" jelasnya tanpa kau harus bertanya.

"Harta karun?" Kau terheran, tidak paham maksudnya.

"Foto ini adalah harta karun, Ma! Kenangan yang terukir di dalamnya, kebersamaan yang pernah terekam jejak kamera." kata suamimu dengan bangga, dan tangannya yang keriput mengusap satu persatu foto kenangan dalam album itu. "Materi bukanlah segalanya, Ma. Tetapi kehangatan sebuah keluarga, akan selalu dirindukan setiap insan dari bayi yang masih di dalam kandungan hingga orang lanjut usia."

Mendengar perkataan itu, kau terdiam. Entah apa yang ada di dalam benakmu. Meski maksud perkataan suamimu hanya sebatas ungkapan jiwa tua.

***

Beberapa hari terakhir ini, banyak stasiun televisi serta media sosial ramai membicarakan badai Pasifik bertenaga terbesar dengan kecepatan angin mencapai 240 Kilometer (Km) per jam akan memasuki wilayah Taiwan. Dari hari ke hari, terjadi curah hujan tinggi disertai angin kencang. Pertanda badai Usagi perlahan kian mendekati pulau ini.

Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Angin bertiup dengan sangat kencang, mengakibatkan jendela kaca bergetar seakan susah payah menahan tiupan badai yang semakin kuat. Suaranya seperti puluhan pesawat tempur yang menderu-deru, terbang berputar mengelilingi rumahmu.

Angin juga masuk menerobos lewat celah-celah jendela, menciptakan semacam bunyi lengkingan yang aneh. Seperti jeritan monster yang mengintai penghuni rumah dan seakan memanggil kawan-kawannya untuk membantu menerkam mangsa. Menjadikan suasana malam kian mencekam.

"Braak …!"

Suara yang amat keras terdengar, Membuat tidurmu terjaga. Dingin! Hembusan udara disertai air hujan seakan berlomba-lomba untuk masuk melalui kaca jendela yang pecah. Karena pohon di samping rumahmu tumbang, dan sebagian dahannya menghantam bagian luar kamar.

Suamimu pun bangkit dari tidurnya. Kau lihat sekilas keadaan di luar sana. gelap! Hanya tampak keremangan lampu jalan, serta bayangan pepohonan yang terus menerus bergerak tiada aturan menahan hembusan angin topan.

Kalian segera memindahkan satu persatu barang yang ada ke kamar lain, karena khawatir air hujan akan merusak nilainya.

Terakhir hanya tersisa satu buah kotak berukuran lumayan besar di sudut ruangan. Kau coba mengangkatnya. Berat! Sekali lagi kau berusaha. Benar-benar bergeming kotak itu dari tempatnya! Kau menyerah karena tenagamu tidak cukup kuat rupanya. Suamimu yang melihat hal itu hanya tersenyum. Akhirnya kotak tersebut berhasil juga dipindahkan, setelah kalian berdua bersama-sama mengangkatnya. Lelah! Itu yang kalian rasakan saat ini.

Setelah beristirahat sejenak, kau meraih gagang telepon yang tergeletak di meja ruang keluarga, untuk selanjutnya menekan nomor ponsel putramu. Terdengar nada dering panggilan. Namun tidak ada jawaban! Satu kali, dua kali, hasilnya masih sama. Perasaan gelisah mulai menyelimuti hatimu. Akhirnya setelah panggilan telepon ketiga, ada suara yang menjawab di seberang sana.

"Chen! Apakah kamu dan keluarga baik-baik saja?" Itu pertanyaanmu yang pertama.

Sepertinya suara putramu terdengar sangat pelan, mungkin karena rasa kantuk yang luar biasa menyerang.

Padahal bisa jadi suara panggilan teleponmu telah menganggu mimpi indahnya. Namun rasa khawatir itu membuatmu terlupa, bahwa waktu sekarang menunjukkan lewat tengah malam.

Setelah meletakkan kembali gagang telepon itu, ekspresi wajahmu tampak lega, karena putramu dan keluarganya tidak kurang suatu apapun di sana. Walaupun kalian baru saja melewati malam yang menegangkan, tetapi tak kau biarkan putramu mengetahuinya.

Matahari pagi masih enggan menampakkan diri. Tetesan air hujan di dedaunan masih terlihat basah. Sesaat bunyi derit pintu terbuka, dan kau berjalan keluar sambil merapatkan jaket agar tidak kedinginan. Pemandangan yang tampak di depan matamu berbeda dari biasanya. Taman bunga yang kemarin indah itu kini berantakan. Di sudut halaman, pot-pot sayuran juga acak-acakan. Suamimu bergegas memeriksa bagian luar rumah yang tertimpa pohon tumbang.

Di jalanan depan, beberapa pohon juga terlihat roboh malang melintang. Bahkan sebagian besar tercabut dari akarnya dan menimpa kendaraan bermotor yang terparkir di dekatnya. Menandakan betapa dahsyat kekuatan alam yang semalam datang.

"Padahal, aku telah susah payah merawat bunga dan tumbuhan sayuran itu," ujarmu dengan nada sedih, saat kalian sedang menikmati sarapan pagi.

"Itulah kenyataan hidup ini, Ma. Terkadang apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwasanya, manusia hanya bisa berusaha, tetapi Yang Kuasa lebih menentukan segalanya," kata suamimu bijak.

Benar! Dalam hati kau mengiyakan. Ini adalah hidup, yang membutuhkan perjuangan dan juga pengorbanan!

Ketika suatu hari suamimu terbaring sakit karena didiagnosis terkena kanker hati yang telah memasuki stadium lanjut, karena terlambat terdeteksi. Sehingga mengharuskannya keluar masuk rumah sakit untuk menjalani berbagai pengobatan, baik itu kemoterapi maupun terapi radiasi. Kau selalu setia di berada sisinya menemani. Kalian saling memberi semangat satu sama lain. Tegar! Itu yang terpancar dari sikap kalian.

Karena bagi kalian, sakit ini bukanlah penderitaan, tetapi sebuah ujian atau cobaan dari sang Pencipta kepada seorang hambanya. Hari-hari tetap berlalu seperti adanya, kalian masih bercengkerama dan tertawa. Semua begitu indah, membuatmu ingin terus merengkuh dan melebur bersama cinta ini untuk selamanya.

Hingga takdir itu datang menyapa. Perpisahan, kesedihan, kehilangan, semua ibarat pil pahit yang kau telan karena pendamping hidupmu kini telah tenang. Namun segala kenangan tentangnya, akan tetap terukir indah di hatimu hingga masa itu tiba.

Kini, tubuhmu mungkin telah mati rasa. Tetapi jiwamu masih tetap sama. Walau bibir tak lagi mampu mengeja kata, namun lewat tatapan mata kau mengartikan tentang cinta.

Doamu tetap terangkai panjang menjela setiap detik walaupun hanya terucap dalam hati, namun semua itu tetaplah memberi arti. Segala perjuangan dan pengorbananmu di masa muda bukanlah sesuatu yang sia-sia. karena untuk orang-orang tercinta, kau ikhlas dan rela menjalani suratan takdir-Nya.


Tamat


Taipei, 26 April 2014