NAPAK TILAS BURUH MIGRAN
(Menjadi Buruh Migran itu tidak mudah)
Oleh: Yully Agyl
Di waktu masih kecil setiap orang pasti punya cita-cita, dan yang pasti tidak akan ada yang bercita-cita menjadi buruh migran atau biasa disebut TKI / TKW.
Bahkan mungkin berpikir untuk menjadi buruh migran pun tidak.
Tetapi jalan hidup manusia siapa yang tahu. Kalaupun memilih bekerja jauh dari keluarga, itu adalah keputusan yang diambil dengan berbagai pertimbangan.
Kurangnya lapangan kerja, minimnya ketrampilan, juga karena ingin mencari penghasilan yang lebih besar, membuat sebagian orang memilih menjadi buruh migran.
Aku (penulis), ingin sedikit mengurai lewat tulisan tentang TKI dengan berdasar apa yang pernah ku alami, ku lihat dan ku dengar sendiri.
Sengaja aku memakai kata "Napak Tilas", di judul tulisanku. Istilah yang sering digunakan oleh para pencinta alam.
Pecinta alam sejati selalu siap menghadapi tantangan alam dalam penjelajahannya. Kadang nyawa pun menjadi taruhannya.
Ketika tantangan itu bisa ditaklukkan, senyum kemenangan dan kebanggaan akan tersirat di wajahnya.
Demikian pula dengan seorang buruh migran.
Melangkah meninggalkan negeri dan orang-orang tercinta, dengan segala risikonya.
Hal pertama yang harus dikantongi seseorang yang ingin bekerja jauh adalah ijin / restu keluarga. (Kecuali bagi mereka yang lari / minggat).
Ijin / restu keluarga adalah doa yang bisa meringankan langkah kita.
Bila ijin telah di dapat dan calon buruh migran telah mempersiapkan diri, awal petualangan pun di mulai.
Daftar ke PJTKI dan mulai masuk karantina, untuk belajar segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan di jalani di negara tujuan.
Berinteraksi dengan banyak teman yang berbeda karakter dan sifat.
Di penampungan, mental pun di uji.
Semua di perlakuan sama. Makan dengan lauk yang sama, mandi antri, tidur di ranjang yang sama bahkan kadang di lantai.
Tidak sedikit calon buruh migran yang tidak kuat menjalani kehidupan di penampungan. Selain karena telah adanya beban pikiran yang di bawa dari rumah, juga karena ketidak siapan mental.
Ada yang mengundurkan diri baik-baik, ada yang kabur. Ada juga yang mengalami depresi bahkan bunuh diri.
Selain itu kadang fihak pegawai PJTKI / Agency pun berlaku laksana bos besar.
Main perintah seenaknya.
Satu hal lagi, kadang pihak PJTKI / Agency membuat pernyataan / perjanjian sepihak yang merugikan kami.
Apakah itu yang di sebut adil?
Padahal keduanya saling membutuhkan.
Apalah artinya kantor PJTKI /Agency berdiri megah kalau tidak ada kami ( TKI / TKW).
Kami pun juga akan mengalami kesulitan bila mengurus segala sesuatu sendiri.
Bila job telah di dapat, dan persyaratan telah dipenuhi, calon buruh migran pun harus siap dengan tantangan baru lagi.
Antara sedih dan gembira berbaur jadi satu. Sedih, karena harus meninggalkan orang-orang tercinta dalam jangka waktu yang lama.
Gembira, karena harapan baru mulai nampak.
Pastinya juga dag dig dug membayangkan kehidupan di tempat baru seperti apa.
Sebenggal-benggalnya seseorang, rasa takut pasti terlintas di benaknya.
Sekarang, kedatangan para Tenaga Kerja Asing di Bandara Touyuen Taiwan sungguh sangat terorganisir.
Tidak seperti waktu aku pertama kali datang ke sini (tahun 1999 lalu).
TKA tidak usah takut kesasar atau terlantar, tinggal mengikuti petugas bandara yang ramah-ramah.
Yah, menjadi buruh migran tidaklah mudah, seperti kata mereka yang mungkin hanya bisa bicara tanpa mengalami sendiri.
Walaupun telah mendapatkan majikan yang baik, pasti ada saja hambatannya.
Karena itulah kehidupan.
Kalau di sektor formal, jam kerja sudah pasti.
Sedangkan di sektor informal seperti menjaga orang tua (manusia lanjut usia), orang sakit, anak kecil. Jam kerja tanpa batas yang pasti. Setiap saat harus siaga. Uang lembur tidak ada, hanya hari minggu di ganti dengan satu hari gaji.
Belum lagi ada yang mendapat kerjaan ganda.
Tekanan lain sektor informal, banyak yang tidak boleh melaksanakan ibadah keagamaan. Ada juga yang di larang berkomunikasi dengan dunia luar, di kurung dalam rumah.
Tekanan lain yang tidak kalah kuatnya mempengaruhi kejiwaan seorang buruh migran adalah dari orang terdekat.
Yang berumah tangga, karena hubungan jarak jauh dan tidak adanya saling pengertian, terjadi perselisihan bahkan berujung perceraian.
Yang masih bujangan, kadang ada orang tua yang selalu merongrong anaknya.
Karena tekanan batin yang tiada henti dan raga yang lelah, dan tidak kuatnya iman, tidak sedikit yang mencari pelarian.
Yang bisa libur terjerat pergaulan bebas, mabuk-mabukan.
Yang tidak bisa keluar bisa mengalami depresi, nekat kabur, bahkan nekat bunuh diri.
Benar-benar jadi buruh migran (TKI/TKW) itu tidak mudah dan serba salah.
Walaupun di posisi benar sekalipun kadang masih saja di pojokkan dan di cari celah kesalahan.
Apalagi kalau Agency yang tidak mau tahu dan hanya mencari keuntungan semata.
Terus, bagaimana agar kita bisa menghadapi dan menyikapi semuanya?
Bukan aku mau menggurui, aku hanya ingin berbagi.
Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Yang terpenting kuatkan iman kita.
Bagi mereka yang bisa libur, gunakan waktu sebaik-baiknya.
Kalau pemerintah Taiwan saja berusaha memberikan bimbingan ketrampilan secara gratis, kenapa tidak di manfaatkan?
Apalagi sekarang banyak kegiatan positif yang diadakan oleh sesama teman buruh migran.
Bagi yang tidak bisa libur tetapi masih bisa berkomunikasi dengan dunia luar, gunakan pula dengan sebaik-baiknya. Jangan hanya habiskan pulsa tanpa kendali hanya untuk ngobrol tanpa arti.
Memang kita butuh teman bicara, tapi kita juga harus bijak dengan keuangan kita.
Banyak pula kegiatan yang bisa di ikuti secara online.
Bagi teman yang tidak bisa keluar sama sekali, juga tidak boleh pegang handphone. Tentu tetap ada waktu walau sebentar, mungkin di saat mau tidur. Menulislah walaupun di kertas apa adanya, apapun yang di alami.
Suatu saat tulisan itu bisa jadi bukti, bila memang sudah tidak kuat untuk bertahan lagi.
Bukankah pernah terdengar / membaca berita seorang TKW yang di kurung majikannya bisa bebas hanya karena coretannya di lemparkan lewat jendela?
Tuhan pasti akan menolong umatnya, dengan cara yang kadang tidak terduga.
Saudaraku, sesama buruh migran.
Tidak selamanya kita di sini, mari kita gunakan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Masa depan kita, kita sendirilah yang menentukan.
Ada sesuatu pula yang jadi pertanyaan dalam hatiku ( mungkin juga sebagian besar teman-teman di sektor informal) adalah :
Kenapa dari dulu hingga kini gaji kami tidak ada kenaikan? (tetap 15840Nt), sedangkan sektor formal sudah mengalami kenaikan.
Padahal kerjaan kami juga beresiko dan tidak ada batasan waktu.
"Napak Tilas Buruh Migran", sebuah perjalanan panjang kehidupan anak manusia, dan dia sendiri penentu akhir perjalanannya, tentu dengan ijin Yang Maha Kuasa.
Demikianlah coretanku, bila ada kata-kata yang kurang berkenan, sudilah kiranya untuk di maafkan.
Sebuah puisi ku tulis untuk kita, untuk semua.
PUISI BURUH MIGRAN
Bukan cita-cita kami tuk menjadi buruh migran
Bekerja jauh di perantauan
Meninggalkan keluarga dan handai taulan
Demi sebuah masa depan
Wahai Tuan
Kami datang bukan mengharap belas kasihan
Pengabdian kami adalah perjuangan
Janganlah kau membeda-bedakan
Karena kita sama, ciptaan Tuhan
Yang punya hati dan perasaan
Wahai kawan
Teruslah berjuang jangan terkalahkan
Raihlah mimpi indahmu, jangan buang kesempatan
Dan kelak tanggalkan gelar kita sebagai buruh migran
Ganti dengan sebutan Sang Tuan
***SEKIAN. ****
Biodata :
Yully Agyl nama penaku.
Ibu dari 3 orang anak.
Pantang menyerah demi kebahagiaan sang buah hati, yang pasti tetap di jalan NYA.
Belajar mengurai kata, untuk mengisi kejenuhan. FLP Taiwan, secara online tempat belajar, karena tidak bisa libur.
(Menjadi Buruh Migran itu tidak mudah)
Oleh: Yully Agyl
Di waktu masih kecil setiap orang pasti punya cita-cita, dan yang pasti tidak akan ada yang bercita-cita menjadi buruh migran atau biasa disebut TKI / TKW.
Bahkan mungkin berpikir untuk menjadi buruh migran pun tidak.
Tetapi jalan hidup manusia siapa yang tahu. Kalaupun memilih bekerja jauh dari keluarga, itu adalah keputusan yang diambil dengan berbagai pertimbangan.
Kurangnya lapangan kerja, minimnya ketrampilan, juga karena ingin mencari penghasilan yang lebih besar, membuat sebagian orang memilih menjadi buruh migran.
Aku (penulis), ingin sedikit mengurai lewat tulisan tentang TKI dengan berdasar apa yang pernah ku alami, ku lihat dan ku dengar sendiri.
Sengaja aku memakai kata "Napak Tilas", di judul tulisanku. Istilah yang sering digunakan oleh para pencinta alam.
Pecinta alam sejati selalu siap menghadapi tantangan alam dalam penjelajahannya. Kadang nyawa pun menjadi taruhannya.
Ketika tantangan itu bisa ditaklukkan, senyum kemenangan dan kebanggaan akan tersirat di wajahnya.
Demikian pula dengan seorang buruh migran.
Melangkah meninggalkan negeri dan orang-orang tercinta, dengan segala risikonya.
Hal pertama yang harus dikantongi seseorang yang ingin bekerja jauh adalah ijin / restu keluarga. (Kecuali bagi mereka yang lari / minggat).
Ijin / restu keluarga adalah doa yang bisa meringankan langkah kita.
Bila ijin telah di dapat dan calon buruh migran telah mempersiapkan diri, awal petualangan pun di mulai.
Daftar ke PJTKI dan mulai masuk karantina, untuk belajar segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan di jalani di negara tujuan.
Berinteraksi dengan banyak teman yang berbeda karakter dan sifat.
Di penampungan, mental pun di uji.
Semua di perlakuan sama. Makan dengan lauk yang sama, mandi antri, tidur di ranjang yang sama bahkan kadang di lantai.
Tidak sedikit calon buruh migran yang tidak kuat menjalani kehidupan di penampungan. Selain karena telah adanya beban pikiran yang di bawa dari rumah, juga karena ketidak siapan mental.
Ada yang mengundurkan diri baik-baik, ada yang kabur. Ada juga yang mengalami depresi bahkan bunuh diri.
Selain itu kadang fihak pegawai PJTKI / Agency pun berlaku laksana bos besar.
Main perintah seenaknya.
Satu hal lagi, kadang pihak PJTKI / Agency membuat pernyataan / perjanjian sepihak yang merugikan kami.
Apakah itu yang di sebut adil?
Padahal keduanya saling membutuhkan.
Apalah artinya kantor PJTKI /Agency berdiri megah kalau tidak ada kami ( TKI / TKW).
Kami pun juga akan mengalami kesulitan bila mengurus segala sesuatu sendiri.
Bila job telah di dapat, dan persyaratan telah dipenuhi, calon buruh migran pun harus siap dengan tantangan baru lagi.
Antara sedih dan gembira berbaur jadi satu. Sedih, karena harus meninggalkan orang-orang tercinta dalam jangka waktu yang lama.
Gembira, karena harapan baru mulai nampak.
Pastinya juga dag dig dug membayangkan kehidupan di tempat baru seperti apa.
Sebenggal-benggalnya seseorang, rasa takut pasti terlintas di benaknya.
Sekarang, kedatangan para Tenaga Kerja Asing di Bandara Touyuen Taiwan sungguh sangat terorganisir.
Tidak seperti waktu aku pertama kali datang ke sini (tahun 1999 lalu).
TKA tidak usah takut kesasar atau terlantar, tinggal mengikuti petugas bandara yang ramah-ramah.
Yah, menjadi buruh migran tidaklah mudah, seperti kata mereka yang mungkin hanya bisa bicara tanpa mengalami sendiri.
Walaupun telah mendapatkan majikan yang baik, pasti ada saja hambatannya.
Karena itulah kehidupan.
Kalau di sektor formal, jam kerja sudah pasti.
Sedangkan di sektor informal seperti menjaga orang tua (manusia lanjut usia), orang sakit, anak kecil. Jam kerja tanpa batas yang pasti. Setiap saat harus siaga. Uang lembur tidak ada, hanya hari minggu di ganti dengan satu hari gaji.
Belum lagi ada yang mendapat kerjaan ganda.
Tekanan lain sektor informal, banyak yang tidak boleh melaksanakan ibadah keagamaan. Ada juga yang di larang berkomunikasi dengan dunia luar, di kurung dalam rumah.
Tekanan lain yang tidak kalah kuatnya mempengaruhi kejiwaan seorang buruh migran adalah dari orang terdekat.
Yang berumah tangga, karena hubungan jarak jauh dan tidak adanya saling pengertian, terjadi perselisihan bahkan berujung perceraian.
Yang masih bujangan, kadang ada orang tua yang selalu merongrong anaknya.
Karena tekanan batin yang tiada henti dan raga yang lelah, dan tidak kuatnya iman, tidak sedikit yang mencari pelarian.
Yang bisa libur terjerat pergaulan bebas, mabuk-mabukan.
Yang tidak bisa keluar bisa mengalami depresi, nekat kabur, bahkan nekat bunuh diri.
Benar-benar jadi buruh migran (TKI/TKW) itu tidak mudah dan serba salah.
Walaupun di posisi benar sekalipun kadang masih saja di pojokkan dan di cari celah kesalahan.
Apalagi kalau Agency yang tidak mau tahu dan hanya mencari keuntungan semata.
Terus, bagaimana agar kita bisa menghadapi dan menyikapi semuanya?
Bukan aku mau menggurui, aku hanya ingin berbagi.
Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Yang terpenting kuatkan iman kita.
Bagi mereka yang bisa libur, gunakan waktu sebaik-baiknya.
Kalau pemerintah Taiwan saja berusaha memberikan bimbingan ketrampilan secara gratis, kenapa tidak di manfaatkan?
Apalagi sekarang banyak kegiatan positif yang diadakan oleh sesama teman buruh migran.
Bagi yang tidak bisa libur tetapi masih bisa berkomunikasi dengan dunia luar, gunakan pula dengan sebaik-baiknya. Jangan hanya habiskan pulsa tanpa kendali hanya untuk ngobrol tanpa arti.
Memang kita butuh teman bicara, tapi kita juga harus bijak dengan keuangan kita.
Banyak pula kegiatan yang bisa di ikuti secara online.
Bagi teman yang tidak bisa keluar sama sekali, juga tidak boleh pegang handphone. Tentu tetap ada waktu walau sebentar, mungkin di saat mau tidur. Menulislah walaupun di kertas apa adanya, apapun yang di alami.
Suatu saat tulisan itu bisa jadi bukti, bila memang sudah tidak kuat untuk bertahan lagi.
Bukankah pernah terdengar / membaca berita seorang TKW yang di kurung majikannya bisa bebas hanya karena coretannya di lemparkan lewat jendela?
Tuhan pasti akan menolong umatnya, dengan cara yang kadang tidak terduga.
Saudaraku, sesama buruh migran.
Tidak selamanya kita di sini, mari kita gunakan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Masa depan kita, kita sendirilah yang menentukan.
Ada sesuatu pula yang jadi pertanyaan dalam hatiku ( mungkin juga sebagian besar teman-teman di sektor informal) adalah :
Kenapa dari dulu hingga kini gaji kami tidak ada kenaikan? (tetap 15840Nt), sedangkan sektor formal sudah mengalami kenaikan.
Padahal kerjaan kami juga beresiko dan tidak ada batasan waktu.
"Napak Tilas Buruh Migran", sebuah perjalanan panjang kehidupan anak manusia, dan dia sendiri penentu akhir perjalanannya, tentu dengan ijin Yang Maha Kuasa.
Demikianlah coretanku, bila ada kata-kata yang kurang berkenan, sudilah kiranya untuk di maafkan.
Sebuah puisi ku tulis untuk kita, untuk semua.
PUISI BURUH MIGRAN
Bukan cita-cita kami tuk menjadi buruh migran
Bekerja jauh di perantauan
Meninggalkan keluarga dan handai taulan
Demi sebuah masa depan
Wahai Tuan
Kami datang bukan mengharap belas kasihan
Pengabdian kami adalah perjuangan
Janganlah kau membeda-bedakan
Karena kita sama, ciptaan Tuhan
Yang punya hati dan perasaan
Wahai kawan
Teruslah berjuang jangan terkalahkan
Raihlah mimpi indahmu, jangan buang kesempatan
Dan kelak tanggalkan gelar kita sebagai buruh migran
Ganti dengan sebutan Sang Tuan
***SEKIAN. ****
Biodata :
Yully Agyl nama penaku.
Ibu dari 3 orang anak.
Pantang menyerah demi kebahagiaan sang buah hati, yang pasti tetap di jalan NYA.
Belajar mengurai kata, untuk mengisi kejenuhan. FLP Taiwan, secara online tempat belajar, karena tidak bisa libur.