Dongeng Si Pemimpi

2014-05-13 / Iis Nuranisa / Dongeng Si Pemimpi / Indonesia 印尼 / Tidak ada


Dongeng Si Pemimpi
Senyuman manis dari wajah mungil itu mengingatkan ku akan masa kecil ku, dan tatapan mata yang tanpa dosa menatap ku dengan penuh kehangatan, menandakan betapa bangganya memiliki seorang ibu seperti aku, “ ya, aku”. Paris Van Java adalah tempat dimana aku dilahirkan. Aku berasal dari keluarga berkecukupan. Aida Ainun Anissa namaku, sulung dari dua bersaudara. Aku duduk di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Tingkat Atas.
Mentari pagi menyinari Paris Van Java, suara merdu sang penguasa pagi telah membangunkan ku dari mimpi indah ku. Aku pun segera bangun dari ranjangku untuk memulai aktivitas di pagi hari dengan senyuman. Hari ini adalah hari yang bersejarah penentuan untuk masa depan ku, “ yupz, pengumuman kelulusan Ujian Akhir Nasional tentunya”. Kegembiraan menyelimuti ku karena aku termasuk tiga besar penerima Nilai Ebtanas Murni tertinggi di sekolahan ku. Setelah hari itu, aku mulai menata rencana untuk masa depan. Melanjutkan sekolah adalah impian terbesar ku. Dengan rasa percaya diri aku menjejakkan kaki ku ke salah satu universitas ternama di Bandung, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Selang beberapa minggu, aku pun datang kembali ke kampus untuk memastikan diterima atau tidaknya aku di universitas tersebut. Alhamdulillah akhirnya aku diterima di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Ayah dan ibu pun senang mendengar berita tersebut, tetapi aku khawatir dengan keadaan ayah yang semakin lama semakin memburuk karena penyakit yang dideritanya. Dokter pernah menyarankan kepada ayah untuk menjalankan operasi, tetapi ayah terus menolak saran tersebut. Entah apa yang sedang ayah pikirkan pada saat itu, hanya ayahlah yang tahu. Ayah hanya melakukan berobat jalan setiap tiga bulan sekali. Dengan sabar ibu membujuk ayah untuk menjalankan operasi demi kesehatannya, akhirnya ayah pun luluh dengan bujukan ibu dan bersedia untuk dioperasi.
Ku lihat langit mendung dari balik jendela kamar ku, tidak jauh berbeda dengan perasaan ku saat ini. Ku dihadapkan dengan dua pilihan antara membayar administrasi kuliah atau untuk membiayai operasi ayah. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya aku memutuskan uang biaya administrasi kuliah digunakan untuk membiayai operasi ayah. Semoga ini jalan terbaik untuk aku dan ayah. Tetapi ibu sedikit tidak setuju dengan keputusanku, aku pun menjelaskan alasan tersebut kepada ibu, akhirnya ibu mengerti dan menyetujuinya.
Seminggu setelah operasi, kondisi ayah terlihat sedikit membaik. Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain, ayah pun meninggal karena penyakit komplikasi yang tidak dapat terditeksi. Perih dan kekecewaan yang kurasakan pada saat itu, terlintas sejenak dalam benak ku bahwa Tuhan tidak adil kepadaku. Mengapa kau panggil beliau begitu cepat? Aku rela mengorbankan impianku hanya untuk kesembuhan ayah. Astagfirullahaladzim, segera ku tepiskan pikiran itu dari angan ku. Mungkin ada hikmah yang tersimpan dibalik semua cobaan ini. Aku harus tegar, aku tidak boleh meratapi kepergiannya. Biarlah yang telah pergi takkan pernah kembali. Selalu saja meninggalkan bait-bait tersembunyi. Tak boleh ditangisi, apalagi diratapi. Karena tiap-tiap jiwa akan merasa mati. Seperti yang tertulis dalam Al-Quran surat Al-Anbiyaa’:21 ayat 35, bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada kami. Bahwasannya kita tidak boleh tenggelam dan larut dalam kesedihan, aku harus tetap tegar menjalani hidupku demi ibu dan adikku. Hanya doa yang bisa aku panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar ayah diterima disis-Nya, amin.
Semenjak kepergian ayah, kehidupan perekonomian keluarga kami semakin memburuk. Aku pun tak tega melihat ibu yang bekerja keras banting tulang untuk membiayai kebutuhan kami sekeluarga. Muncul keinginanku untuk membantu perekonomian keluarga dengan cara bekerja keluar negeri. Dengan harapan sukses seperti Ani teman semasa Sekolah Menengah Tingkat Pertama, dan dapat melanjutkan kuliahku serta bisa membiayai sekolah adikku. Dengan modal nekat dan restu dari ibu, aku memberanikan diri mendaftar ke salah satu PJTKI tujuan Taiwan di daerah Bekasi Barat. Persyaratan untuk menjadi salah satu TKI pun telah aku siapkan, dan aku pun diterima. Aku tidak akan mensia-siakan kesempatan yang kudapatkan. Belajar, belajar dan belajar itulah yang kulakukan saat berada di penampungan.
Nasibku sangat beruntung dibandingkan teman yang lain, hanya beberapa bulan berada di PT aku akan segera menginjak dan menghirup udara bumi “FORMOSA”. Alhamdulillah, aku mendapatkan majikan yang baik hati, meskipun nenek yang aku jaga sedikit rewel. Hari-hari ku sangat menjenuhkan karena aku hanya tinggal berdua dengan nenek, dengan bahasa yang pas-pasan dan tidak begitu lancar menambah kegelisahan dalam hatiku. Ingin rasanya aku berlari dan berteriak menumpahkan beban pikiran ini. Sunyinya malam menarik langkahku untuk keluar melihat bintang yang bertaburan di langit. Tersirat dalam pikiranku teringat akan indahnya kebersaman dengan ibu dan adikku, “ wahai angin malam, sampaikan salam rinduku untuk mereka, ku harap semoga mereka sehat selalu”. Lamunanku terhenti ketika terdengar suara sayup nenek dari dalam kamar, “Niss, Niss, Nissa”. Dengan spontan aku menjawab sambil menggerutu dalam hati “ she de, ini si nenek jam segini masih belum tidur juga”. Kemudian aku pun bergegas menghampiri nenek dan membantunya. Akhirnya pekerjaan ku selesai juga, aku merebahkan tubuhku yang lelah di atas ranjang kesayanganku.
Rutinitasku sehari-hari membawa nenek ke taman. Di sana aku melihat banyak TKI sedang bercanda gurau dengan pasien yang dijaganya. Aku pun meberanikan diri untuk menyapa mereka “ hai mbak, Indo ya?” , dengan wajah yang ramah si mbak pun menjawab “ iya mbak, kalau mbak Indo nya mana?”. Kemudian kami pun berkenalan dan saling menanyakan pekerjaan masing-masing dan bertukar cerita tentang pengalaman. Mulai saat itu aku mempunyai teman untuk saling menghibur, memberi saran dan dukungan untuk tetap bersabar menjalani pekerjaan di Taiwan ini. Saking asyiknya ngobrol, sampai-sampai aku lupa waktu untuk pergi ke pasar dan menyiapkan makan siang untuk nenek tercinta. Dengan tergesa-gesa ku dorong kereta tua menuju pasar untuk membeli sayur-sayuran.
Waktu berlalu dengan cepat, tanpa ku sadari sudah genap tiga bulan aku bekerja di Taiwan, aku memberanikan diri meminta izin kepada majikan untuk mempunyai telephone seluler, dan majikan pun mengizinkannya. Kejenuhan ku dapat terobati, saat aku bisa mendengar suara ibu dan adikku dalam keadaan baik di seberang sana. Mereka memang jauh dari pandanagan dan jangkauanku, tetapi mereka dekat di hati ada dalam setiap doa-doaku setiap hari.
Negeri Formosa mungkin menjadi negeri impian banyak TKI asal Indonesia, dengan gaji yang cukup besar yang dapat merubah nasib. Aku pun berjanji pada diri sendiri akan bekerja lebih baik dan menabung demi masa depan yang lebih baik dan bisa membantu meringankan beban ibu. Kepercayaan yang diberikan majikan untuk merawat nenek kepadaku akan ku jaga selalu, karena kepercayaan dari seseorang patut dihargai. Nenek telah kuanggap seperti keluarga ku sendiri sehingga pekerjaan yang ku jalani terasa ringan. Aku sangat beruntung mendapatkan majikan yang baik dan menghormati agamaku. Aku diperbolehkan untuk beribadah dan berpuasa. Di rumah ini aku juga dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka. Majikan ku tidak melarang kalau aku libur atau sekedar keluar main dua sampai tiga jam untuk bertemu teman. Mereka hanya menasehati ku agar aku dapat menjaga diri. Majikanku memberi nasehat bahwa di Taiwan itu berbeda dengan di Indonesia, aku harus pandai memilih teman supaya aku tidak terbawa dalam pergaulan yang salah.
Musim semi telah berlalu, kini saatnya masyarakat Taiwan menyambut datangnya musim panas. Panasnya terik matahari menyengat kulit halus ku, menarik langkahku menuju sebuah Toko INDO yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Aku melihat berbagai majalah tersusun rapi di rak buku. Aku tertarik pada salah satu majalah Indonesia yang terkenal di kalangan para TKI, dengan cover Boyband popular dari Korea Selatan tidak lain tidak bukan “ Super Junior”. Ku baca lembar demi lembar majalah tersebut, tidak sengaja mataku terpaku pada tulisan dipojok atas majalah mengenai informasi pendaftaran mahasiswa baru Universitas Terbuka Taiwan (UTT). Aku pun langsung mencari kebenaran tentang informasi tersebut. Hati kecil ku berbisik “ mungkin ini adalah jalan menuju impianmu”. Dengan hati gelisah dan cemas, ku coba ungkapkan keinginan ku kepada majikan untuk mengikuti program UTT. Pucuk dicinta ulan pun tiba, akhirnya yang ditunggu datang juga, “hehe, my laoban lai le!”. Dengan kata yang terbata-bata aku menyampaikan maksud dan keinginanku, “ Laoban, bu hao i se! Wo yau nake, nake”. “ Semo, wo ding bu dong” , kemudian aku mengambil majalah ke kamar dan menunjukan kepada majikan. Kebetulan dalam informasi tersebut tertulis dengan menggunakan dwi bahasa, majikan pun berlalu tanpa memberi jawaban yang pasti. Keputusasaan pun menghampiri ku, pasrah pada jawaban yang diberikan majikan.
Selang beberapa menit kemudian majikan memanggilku “ Nissa, ko lai i sia, ni kheyi qu ta xue, khese ni yao hao-hao cauku Ama, hao bu hao?”, dengan perasaan yang bahagia aku pun menjawab “hao te, xie-xie nin”. Hati ku berbunga-bunga dan tidak sabar untuk segera mendaftar. Aku pun menyiapkan persyaratan untuk mendaftar menjadi mahasiswa UTT. Aku tidak ingin mengalami kegagalan yang sama untuk yang kedua kalinya. Orientasi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) telah ditetapkan oleh panitia, aku pun telah diterima menjadi mahasiswa UTT. Tak dapat ku ungkapkan perasaan ku saat itu, penantian untuk OSPEK pun terasa begitu lama. Waktu seakan tidak berputar seperti semestinya, seolah diam tanpa kata. Nah, sekarang tiba saatnya giliran ku libur untuk mengikuti OSPEK yang diadakan di salah satu universitas ternama di Taiwan. Senang tiada tara kurasakan, karena aku adalah orang yang beruntung dapat menjadi salah satu bagian dari keluarga besar UTT yang dapat melanjutkan pendidikan, karena masih banyak di luar sana para TKI yang tidak mendapatkan izin dari majikan untuk dapat mengikuti pendidikan. Jangankan untuk libur sekolah, untuk sekedar libur biasa saja tidak diperbolehkan, karena kebanyakan masyarakat Taiwan hanya mementingkan kepentingan sendiri dan keluarganya. Para TKI hanya dipandang sebelah mata saja, sedangkan pada kenyataannya TKI adalah manusia biasa yang membutuhkan istirahat yang cukup dan memiliki hak untuk berlibur.
Seusai dilaksanakannya OSPEK, aku berjanji pada diriku sendiri ingin ku buktikan kepada dunia bahwa aku bisa menyelesaikan pendidikan ku, karena kebanyakan masyarakat berpendapat bahwa mengenyam pendidikan di UTT kurang bermutu dan hanya di pandang sebelah mata atau diremehkan. Buah bibir masyarakat tentang ejekan UTT, menjadikan ku bersemangat dalam belajar dan akan ku buktikan bahwa lulusan UTT sejajar dengan universitas ternama yang ada di Indonesia. Penggunan sistem belajar yang diterapkan di UTT sangat efisien, karena menggunakan sistem online yang mudah diakses dimana saja dan kapan saja, serta tidak menyita waktu ku dalam bekerja. Aku bisa membagi waktu antara bekerja dan belajar, sehingga pekerjaan berjalan dengan lancar. Majikanku pun mendukung kegiatan belajarku di UTT. Alhamdulillah, semester demi semester ku jalani dengan lancar, meskipun setiap menghadapi ujian mengalami kendala waktu untuk libur dengan majikan.
Rengekan si kecil Alissa, menghentikan cerita ku tentang kehidupan dan impian ku akan masa lalu. Aku pun beranjak dari tempat duduk ku menghampiri Alissa yang sedang menangis. Tak terasa senja di ufuk barat mengantarkan matahari ke peraduannya, dan menyambut datangnya sang rembulan untuk menerangi malam. Sejenak pikiran ku melayang ke masa lalu dimana masyarakat meremehkan pendidikan ku selama belajar di UTT. Sekarang telah ku buktikan kepada seluruh dunia bahwa pendidikan tidak bisa di pandang dari segi ketenaran atau keunggulan universitasnya, tetapi niat dan ketekunan dari diri sendirilah yang menentukan kesuksesan. Senyum dan keceriaan Allisa melukiskan suatu harapan seorang ibu yang berjuang demi impian dan mengorbankan kebahagiannya, agar kelak mereka tumbuh dengan penuh kebahagiaan dan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi tanpa harus menjadi seorang TKI seperti yang ku rasakan dahulu.
Dua hal nasehat dari ibu yang selalu ku ingat dalam hidupku. Pertama, bahwa kita tidak boleh menilai seseorang dari penampilan luarnya saja, tetapi harus lihat dalam hatinya, belum tentu apa yang kita lihat sesuai dengan kenyataan dan yang kedua, kebahagian tidak bisa dibeli dengan uang, karena kebahagian itu adalah kebersamaan dalam keluarga. Pengorbanan yang telah ku lakukan selama ini tidak sia-sia, kehidupan ku sekarang sudah jauh lebih baik dari masa lalu. Impian ku untuk melanjutkan kuliah pun telah terwujudkan dan aku bisa membantu membiayai pendidikan adikku tersayang serta membangun toko kecil untuk ibunda tersayang. Aku lakukan semua itu demi rasa cinta dan bakti ku terhadap ibu, mungkin itu tidak sebanding dengan apa yang telah ibu berikan selama ini kepada anak-anaknya. Aku merasa bangga memiliki seorang ibu yang baik dan tegar, dia adalah motivasi ku untuk mencapai impianku selama ini. Impian ku kini ingin menjadi seorang ibu yang tegar dan tegas seperti sosok ibuku, untuk mendidik putri tercinta ku Allisa Sukma Fadlillah Putri Pamungkas.