My Lovely Patient

2014-05-13 / Marina Herlambang / My Lovely Patient / Indonesia 印尼 / Tahu dari Teman (Kwek Lina)


MY LOVELY PATIENT
Merry selamat datang di Taiwan, kami menyambut anda sebagai bagian dari keluarga kami.
Mataku merebak membaca kertas yang diberikan oleh Xien Seng padaku, disambut senyum dari Tai tai, Ama, dan Wei Jie. Wei Jie Pasienku.
Sorot matanya selalu menatapku dengan lembut “Terima kasih” Aku hanya tersenyum, tugasku memang untuk menjaganya, tidak seharusnya dia selalu mengucapkan terima kasih ketika aku melakukan sesuatu untuknya, mencuci kaca mata, mengambilkan air minum untuknya, mengingatkannya untuk minum obat, dan segala keperluannya yang lain. “Tidak perlu sungkan” Pasienku yang baik hati, namun takdir telah merubah hidupnya hanya dalam hitungan detik. Sebuah kecelakaan telah melumpuhkan hidupnya, betapa tidak, akibat kecelakaan itu dia kehilangan otak kirinya, sebagian tubuhnya tidak berfungsi, Tangan kirinya tak lagi lurus, kaki kiri tak dapat digerakkan, namun senyumnya yang teduh membuatnya nampak tidak pernah khawatir tentang apa pun, tentu saja dia hanya berpura-pura, aku tahu dia menyimpan sakit yang teramat sangat pada hatinya.
“Wei Jie jangan main komputer terus, nanti matamu rusak” Tai Tai berteriak dari dapur, sesaat kemudian aku akan mendengar teriakan Wei Jie yang berteriak marah, aku tidak paham apa yang dia teriakan, selalunya kalau Tai Tai berbicara padanya dia selalu marah. Aku berlari menuruni tangga menuju tempat di mana Wei Jie sedang asik dengan komputernya “Wei Jie kamu kenapa” Dia hanya akan menggelengkan kepalanya, suaranya akan tersendat ketika dia marah. “Kamu tidak boleh marah, tidak baik untuk tekanan darahmu” Kulihat dia mengepalkan tangannya, “Hatiku sangat sakit” Aku bisa paham dengan ketidakberdayaannya, kekecewaannya, pada nasib. “Sabarlah” Aku mengusap punggung tangannya yang mengepal, “Terima kasih” Ucapnya.
Wei Jie mengajarkanku banyak hal, selama ini aku hanya merasa bahwa akulah manusia paling menderita, di muka bumi ini, dengan semua beban yang aku tanggung, aku lupa satu hal, tuhan memberiku kesehatan, tubuh yang sempurna tanpa cacat, dibanding dengan keadaan pasienku yang bahkan dia tidak bisa menggaruk sendiri bokongnya yang gatal, kehilangan memory pendeknya, namun dia tetap bisa menghiburku disaat aku sedih. “Merry kamu kenapa?” Aku hanya menggeleng “Jangan bohong padaku, ayo ceritalah” Aku tidak dapat menyembunyikan butir-butir bening yang terus menetes dari mataku, tangannya yang tidak lurus bersusah payah meraih tisu yang ada di sampingnya, dia bersusah payah mengambil tisu hanya untuk menghapus air mataku “Jangan menangis, aku sayang kamu” Dengan keadaannya yang seperti itu namun dia mampu menunjukan rasa perdulinya padaku. Terkadang aku merasa wei Jie yang menjagaku bukan aku yang menjaganya, Wei Jie tak hanya pasien, tapi dia adalah sahabat dan seorang kakak untukku.
****
“Nggak salah lo?” Bono meninggikan nada suaranya “Gue nggak salah denger kan?” Kuberanikan menatap matanya yang sedari tadi lekat memandang wajahku yang letih “Cuma ini yang bisa gue lakuin” Aku tak bisa berkata lebih banyak, suaraku tersendat, hanya bening yang mengalir dari pojok mataku. “Kadang gue nggak ngerti jalan pemikiran lo” Suaranya terdengar begitu berat. Aku tak kuasa untuk tidak menjatuhkan diriku dalam dekapannya, Bono sahabatku. Hanya dia yang selalu mencoba untuk mengerti semua keputusan yang kuambil. Tentu saja bukan mereka, ya mereka yang selalunya mencemoohku “Anak kuliahan kok jadi TKW eman-eman Izasahmu nduk” Atau mereka yang berkata “Hah!, serius lo, lo udah ngebunuh talenta yang lo punya, harusnya lo sadar!, di sini udah ngajar, kenapa milih keluar negeri cuman buat jadi babu!” Kemudian mereka pergi tanpa perduli, tanpa ingin mengerti apa yang sedang aku alami. Selalu saja seperti itu. Mereka bertanya bukan karena perduli tapi hanya sekedar ingin tahu, kemudian mencaci dan pergi. Pada akhirnya aku tetap sendiri dengan bebanku.
Aku jengah, muak dengan mereka yang ‘Sok’ perduli padahal hanya omong kosong “Di tempat lo ada lowongan kerja nggak?” Dahinya mengernyit, tawanya mengejek
“Akh ngebecandain gue lo”
“Gue serius!”
“Usaha lo kenapa?”
Apa harus aku bilang, “Usahaku bangkrut!, Ibu terkena serangan jantung! aku butuh uang untuk biaya rumah sakit!, aku butuh kerja untuk mendapatkan uang!” Sepertinya percumah, toh tidak akan ada yang perduli, tidak akan ada yang dapat merubah hidup terkecuali diri sendiri. Meski harus menjadi babu di Negeri orang, aku siap, asal bisa menolong ibu.
****
Matanya yang sipit terbalut kaca mata minus, hidungnya yang mancung, dan senyumnya yang polos seperti anak kecil membuatku selalu nyaman untuk bercerita apa pun tentang diriku padanya, atau mendengarkan apa pun cerita tentang dirinya padaku. Sebuah kecelakan telah merubah hidupnya, usia kami berbeda sepuluh tahun, usiaku sekarang sama dengan usianya ketika dia mengalami kecelakaan, aku 23 tahun, dan dia mengalami kecelakaan di usia yang sama, kecelakaan motor yang dia alami, mengharuskan dokter mengangkat otak kirinya, dia kehilangan memory pendeknya, baginya dia selalu berumur 23 tahun, dan selalu sama, tidak pernah bertambah usianya. Butuh waktu empat bulan untuk mengingat namaku. Pemuda yang malang hidupnya berubah hanya dalam beberapa detik saja, betapa sedih hati Xien Sheng dan Tai Tai mereka selalu meneteskan air mata saat bercerita tentang Wei Jie. “Lihatlah betapa tampannya wei Jie” Tai Tai menunjukan selembar foto padaku. Hidungnya yang mancung dan postur tubuhnya yang tegap terlukis begitu jelas, berbeda dengan kondisinya sekarang, badan yang bertambah gemuk karena kurang bergerak, namun hidungnya yang mancung masih tetap terlihat sama, dia memang benar-benar tampan.
“Wei Jie kenapa pacarmu tidak pernah datang, bukankah kau bilang pacarmu sangat mencintaimu”
“Karena dia sangat mencintaiku, aku melarangnya untuk datang”
“Kenapa?, kamu tidak merindunya?”
“Karena aku tidak bisa berjalan, aku tidak akan bisa membahagiakannya”
Aku tertegun, cinta tekadang sangat membingungkan, dia selalu menginginkan kebahagian untuk orang-orang yang dia sayangi. Sementara orang-orang yang dia sayangi justru tidak paham apa yang dia inginkan.
“Haruskah aku tetap hidup?” Aku berhenti menggerakan tanganku yang sedari tadi menulis guratan-guratan huruf kanji, kegiatan kami di waktu senggang. “Kenapa kau bertanya seperti itu padaku?” Mata itu lagi, tatapan nanar itu lagi, tatapan yang mampu membuat hatiku terasa sakit ketika menumbuk tatapannya. “Kau pasti bisa” Hiburku padanya, “Kau hanya menghiburku saja” Mungkin dia benar, sudah sepuluh tahun dia menjalani semuanya, tak ada harapan untuknya agar bisa berjalan lagi. Menatapnya membuat bening di pojok mataku mengalir. “Kenapa kau menangis adik kecil?” Aku cepat-cepat menghapus air mataku. “Jangan menangis, kamu harus mencari laki-laki yang baik untuk jadi pacarmu, dan yang paling penting harus sama tampan denganku ya, jangan lupa itu” Wei Jie selalu saja dapat menghiburku, dengan candanya, banyak laki-laki yang tampannya sama denganmu tapi aku belum menemukan laki-laki yang baiknya sama denganmu.
Kupandangi wajahnya yang sedang terlelap tidur, waktu berjalan begitu cepat, besok pagi aku sudah harus meninggalkan Taiwan. “Wei Jie maafkan aku” Aku tak lagi dapat menjaganya kontrakku sudah habis, dan aku harus menjaga Ibu. Masih terlintas di kepalaku semua ucapannya “Kau juga harus memikirkan masa depanmu, pergilah, carilah suami yang baik, berbahagialah” Akhirnya aku pergi meninggalkan Taiwan didiringi tangs dari Tai Tai dan lambaiyan tangan dari Wei Jie, sebelum pergi aku memeluk Tai Tai dan Wei Jie. Semoga aku bisa mengunjungi kalian di waktu yang akan datang.