GARIS CINTA DARI SEPINGGAN

2014-05-30 / Leeah Ross GARIS CINTA DARI SEPINGGAN / Indonesia 印尼 / tidak ada


"GARIS CINTA DARI SEPINGGAN
Oleh : Leeah Ross

.
“Ayahmu titip pesan, Ken.” Suara ibu terdengar lembut. Aku diam tidak menyahut ucapan ibu. Aku lebih suka menunggu ibu melanjutkan kalimatnya, karena memang aku tidak tahu harus menjawab apa. “Dia bilang rindu padamu. Sudah bertahun-tahun ia tidak mendengar kabarmu.”

“Mendengar kabar Kennis dari ibu apa bedanya, Bu.” jawabku acuh

“Apa salahnya menjawab telepon ayahmu sebentar, Ken.” Suara ibu masih selembut tadi. Namun.

“Jangan menghukum ayahmu seperti itu, nak. Bagaimana pun juga, ia adalah ayahmu.”

“Bu…” aku tercekat tak mampu melanjutkan ucapanku. Protes yang selalu terhenti setiap kali mendengar lembut suara ibu. Entahlah, terbuat dari apa hati wanita itu, ibuku. Hatinya senantiasa lembut, senantiasa memaafkan. 

“Orang tua itu ibarat kitab suci, nak. Meski lembarannya robek sekalipun, kau tetap harus mengangkatnya tinggi-tinggi.” Dan sampai pada detik ini, aku tak mampu lagi membendung air mataku. Mengulum isak dalam-dalam agar ibu tak mendengar tangisanku. Susah payah ku ucapkan salam sebelum menutup menutup percakapanku dengan ibu di telepon.


Tiga tahun yang lalu, gelar D3 Teknik Geomatika Sekolah Vokasi  sebenarnya telah mengantarkanku ke pulau Kalimantan sebagai surveyor di sebuah perkebunan kelapa sawit dan karet berskala nasional. Aku berangkat dengan membusungkan dada. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi di pulau Borneo itu akan ku temui seseorang yang kepadanya ingin kutunjukkan bahwa tanpa hadirnya pun ibuku mampu menjalankan perannya dengan sempurna. Menjadikanku sukses tanpa campur tangannya. Aku berpikir, dengan itu akan terbalas kekecewaan yang kupendam bertahun-tahun lamanya. Akan habis semua kehampaan atas harap yang tergantung di langit-langit doa untuk keutuhan kembali sebuah keluarga. 

Dan ternyata aku salah. Aku justru mendapati kenyataan pahit, bahwa lelaki itu, mantan suami ibuku, tinggal tepat di seberang jalan rumah dinasku. Setiap hari aku harus menyaksikan kasih sayang yang sekian lama kurindukan itu tereguk manis seorang gadis beranjak remaja. Kasih sayang yang seharusnya dulu tercurah hanya untukku, anak tunggal ibuku. 

Delapan bulan menjalani masa kerja, aku memutuskan untuk mengundurkan diri. Ibu tentu saja terkejut dengan keputusanku. Apalagi setelah kuutarakan niatku untuk pergi bekerja ke luar negeri. “Kennis janji akan membahagiakan ibu, tapi biarkan Kennis memilih jalan Kennis sendiri, Bu.” Pintaku pada ibu waktu itu. 

Sejatinya, aku hanya ingin melarikan diri dari keadaan yang sama sekali tidak kuinginkan. Aku ingin menghabiskkan waktu tanpa mendengar secuilpun sesuatu tentang lelaki itu, ayahku, dan anak gadisnya yang beranjak dewasa. Aku benar-benar bergemuruh setiap kali harus mengingat tentang hal itu. Aku tak sanggup melupakan bagaimana dulu ia meninggalkan ibu dengan hanya menyisakan aku. Sementara seluruh harta yang terkumpul dari ketabahan ibu, kesabaran ibu, keuletan dan ketangguhannya mendampingi suami merintis usaha percetakan dari nol kemudian ia bawa begitu saja dengan perempuan barunya.Tidak..!!!! Aku tidak akan pernah lupa. Dan itu yang menjadi cambuk bagiku untuk selalu maju, menjadi yang terbaik untuk ibuku.

***

“Aku bisa melakukannya sendiri!” Kakek Liu menepiskan tangan tuan muda yang membimbingnya. Ia mengayun-ayunkan tongkatnya untuk mengenali jalan menuju kamar mandi. Beberapa kali malah ayunan tongkat itu diperlebar areanya seolah ingin menyingkirkan segala sesuatu yang berada di sekitaranya, termasuk tuan muda.

“Biar aku membantumu, Papa.” Ucap tuan muda lembut sembari meraih tangan kakek kembali meski tepisan dari kakek akhirnya menjadi jawaban yang sama. Kuperhatikan, tidak ada yang berubah dari raut muka tuan muda. Masih setenang dan selembut biasanya.

“Kennis, tolong bantu siapkan baju ganti dan handuk untuk papa ya.” Aku tergagap mendengar permintaan tuan muda.

“Baik,Tuan.” Jawabku khusyuk dan segera menyiapkan keperluan kakek.

Dua tahun lebih bekerja pada keluarga Liu, membuatku sering mengucapkan syukur yang tak pernah habis. Aku seperti tinggal di rumah sendiri. Tuan muda sangat baik, ia lebih sering merawat kakek sendiri ketika berada di rumah. Dan kakek sudah menganggapku seperti putrinya sendiri meski ketika emosinya sedang labil ia sering mengayunkan tongkatnya -yang menjadi mata kedua- itu sembarangan, tak jarang menghantam kaki atau tanganku. Syukurlah, melihat tuan muda begitu sabar aku pun belajar hal yang sama.

“Mungkin papa sedang bosan Kenn, dia butuh sesuatu yang menghibur.” Begitu tuan muda menenangkanku ketika ia melihat sorot mata putus asa -atau kesal?- di wajahku saat kakek sedang meluap emosinya. Kecelakaan lalu lintas 8 tahun yang lalu telah merenggut penglihatan kakek, dan juga seluruh kebahagiaannya -mungkin- . Atau justru mengantarkan kakek Liu pada kebahagiaan yang sesungguhnya?

Malam beranjak larut. Aku mulai menyiapkan tempat tidur kakek, sementara tuan muda menemani kakek menonton tv.
“Kita pergi tidur ya, Pa.” ucap tuan muda sembari meraih tangan kakek. Kulihat kakek tidak  menyahut, tapi perlahan ia bangkit dari duduknya.

“Matikan tv-nya Kenn. Jangan lupa periksa semua pintu, jangan lupa menutup gas, dan matikan semua lampu.” Kakek berucap kepadaku sambil melangkah menuju kamarnya ketika ia tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Dulu nenek selalu memijitku sebelum tidur,” ucapnya kemudian

“Aku bisa menggantikan nenek dan memijitmu sampai terlelap, Kek.” Sahutku seraya mendekat kepadanya.

“Sudah, sana kau tidur saja. Anak kecil bisa apa?!” ucap kakek bersungut-sungut. Aku cekikikan meski sudah berulang kali melewati ritual ini. Ya, aku membaca kerinduan kakek terhadap perempuannya, nenek. Kakek kerap bercerita tentang kelembutan nenek, dan bagaimana kedekatan mereka serupa sahabat yang menua bersama. Menikmati masa senja ketika mereka sama-sama tak menarik lagi. Nenek yang gendut, kata kakek. Dan kakek dengan keterbatasannya yang tak mampu lagi melihat dunia, dan cinta yang begitu besar di mata istrinya.

Aku menemani tuan muda mengantarkan kakek ke pembaringan. Ada sesuatu yang hangat mengembun di kelopak mataku. Aku melihat tuan muda dengan penuh kasih sayang memapah kakek beristirahat. Dirapikannya selimut tebal menutup tubuh kakek rapat, seolah tak membiarkan secuil celahpun bagi angin mengusik kulit tua sang ayah. Ia menggenggam tangan kakek, mencium keningnya, dan mengucapkan selamat malam. Ada getar menjalar dari kehangatan di kelopak mataku. Mengirimkan sebuah bayangan dalam jaringan otakku. Mata elang. Yang di dalamnya ada cinta, dan sewaktu dulu pernah menghangatkanku. Mungkin seperti kehangatan yang kini menjalari hatiku. Dan aku terlambat menyembunyikan embun yag terlanjur jatuh dari kelopak mataku.

“Kamu ada masalah, Kenn?” Tanya tuan muda. Aku hanya tersenyum. Dan kami keluar bersama dari kamar kakek menuju ruang tengah yang sekaligus menjadi tempat bersantap bagi kami bertiga. Kami duduk berhadapan di sana. Meja bundar kecil menjadi tempat kami menopang gundah. Entah apa yang ada dalam pikiran tuan muda.
“Kamu ada masalah, Kenn?” Tuan muda mengulang pertanyaannya kemudian.

“Aku terharu melihat kedekatan dan kasih sayang kalian, Tuan.” Jawabku polos. Kulihat tuan muda tersenyum mendengar ucapanku

“Kau juga bisa melakukan hal yang sama pada ayahmu nanti.” 

“Aku tidak yakin apakah aku bisa Tuan. Ada hal-hal yang sebenarnya sangat ingin kita lakukan, namun alasan tertentu seringkali mengubah semuanya.” Aku menghela nafas dalam. “Tuan dan kakek dulu pasti sangat dekat.” Aku melirik tuan muda yang mendesah pelan sembari tersenyum

“Kau tahu?” tuan muda menghentikan sejenak ucapannya dan menatapku lekat. “Aku bahkan baru melihat papa 8 tahun yang lalu, ketika kecelakaan itu terjadi.” Hening sejenak.

“Papa meninggalkan kami semenjak aku masih dalam kandungan mama. Ia memilih mengejar karirnya dengan wanita kaya raya sahabat mama.”Aku kembali terhenyak. Drama apa lagi ini? Pikirku. 

“Tiga puluh empat tahun, aku sama sekali tak pernah bertemu papa. Sampai kecelakaan itu terjadi, dan papa telah seorang diri. Papa memilih meninggalkan sahabat mama yang tak mampu memberinya keturunan.”

“Tapi… Bagaimana Tuan muda bisa begitu menyayangi kakek sementara tuan tak pernah sekalipun mendapatkan kasih sayangnya?” sahutku heran. Entah alasan apa yang harus kuutarakan jika seseorang menanyaiku mengapa aku harus protes dengan kabaikan hati tuan muda?

“Kennis, seperti inilah kehidupan. Pahit dan getir itu seperti segenggam garam. Jika hatimu hanya sekecil cangkir, garam itu akan terasa pahit. Tapi jika kau luaskan hatimu seperti lautan, segenggam garam itu tak akan mampu merusak suasana bathinmu.Toh jika aku memperlakukan papa dengan buruk sekalipun, semua itu tak akan membayar kerinduanku selama ini.” Aku terdiam merenungi kata-kata tuan muda. Dibanding apa yang kualami selama ini, apa artinya penderitaanku. Aku bahkan masih sempat merasakan kasih sayang ayah, menjadi bidadari kecinya. Sementara tuan muda?

“Dan mama, jika ada seseorang yang paling sakit, dia adalah mama. Tapi aku melihat kebesaran hatinya. Darinya aku belajar menjadi bijak. Belajar berlapang dada atas apa yang menimpa kita, memaafkan keadaan, dan menerima hal-hal yang mungkin menyakitkan. Ia dengan telaten merawat papa dengan tangannya sendiri. Dari mama aku belajar bagaimana menyayangi papa. Mereka saling melengkapi, ketika papa tak bisa melihat matahari terbit mama mampu menjadi kehangatan sinar itu bagi papa. Dan papa menjadi bukti bagi mama, ialah wanita terhebat yang pantas mendampingi papa sampai akhir hidupnya.”

Aku tergugu. Bayangan ketegaran ibuku mengoyak benteng pertahananku. Tak sepatah katapun keluar dari celah bibirku. Namun embun yang terderai mungkin cukup menjadi penjelasan bagi tuan muda tentang bagaimana perasaanku. Kami menutup malam tanpa salam. Membiarakan pagi menjemput kami dalam kebisuan yang hangat.

***

Penghujung tahun, ketika desember menebar dingin dan dedaunan menjadi selimut bumi, aku menerima hadiah dari tuan muda, sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya. Tiga tahun terlewati, dan aku akan pulang menemui Elang. Lelaki yang telah mengingatkan pada sosok yang ingin kulupakan, ayah. Lelaki kedua setelah tuan muda yang mengajariku, bagaimana seharusnya aku memperlakukan ayah. Lelaki yang mengajariku, bagaimana membahagiakan ibu dengan memenuhi permintaannya, pulang dan melaksanakan ritual sakral itu dihadapannya, dengan ayah sebagai wali.

Pesawat Eva Air membawaku terbang dari Bandara International Taoyuan menuju  Ngurah Rai, Bali. Derai awan putih memantulkan kenangan bisu. Mungkin saat ini ayah juga tengah berangkat dari Sepinggan setelah menerima kabar kepulanganku. Kubaca kembali cerita lama yang berdebu di sudut ingatan. Aku tersenyum kecil mengingat kumis ayah yang melintang tebal. Ketika aku nakal, kumis itu menjadi senjata ayah yang paling ampuh. Aku akan menangis dan patuh jika ayah sudah menggosok-gosokkan kumisnya di pipiku. Dan aroma keringatnya, aku rindu. Akan ku cari nanti di bawah lengan ayah. Masihkah sekekar dahulu? Atau kini telah rapuh dimakan usia?  

***

Halaman rumah ibu nampak ramai. Ah, apakah semua orang telah tahu kabar kepulanganku? Tenda warna biru menghiasi halaman depan. Wanita-wanita berkerudung  nampak sibuk berjalan keluar masuk rumah. Bapak-bapak dengan kopyahnya pun turut serta dalam hiruk pikuk itu. 

“Ini rumahnya Mbak?” Tanya pak supir taksi yang mengantarkan aku pulang dari bandara Ngurah Rai mengagetkan aku. 

“Eh, iya Pak.” Sahutku tergagap. “Sini mampir Pak. Pasti banyak makanan di rumah. Ibu saya mau mantu.” Sahutku sambil tertawa. Dan pak supir itu menjawab tawaranku dengan gelengan kepala. Aku pun segera meloncat turun setelah membayar ongkos. Koper kecil ku jinjing perlahan memasuki pintu pagar. Beberapa pasang mata mulai menangkap kedatanganku. Mereka berlari menyambutku. Aku merasa sedikit aneh. Mereka menatapku dengan tatapan tidak biasa. Apakah ada yang salah dengan diriku?

“Ibu mana, Bulek?” tanyaku pada bulek yang menggamit tanganku.

“Ayo masuk dulu.” Sahut bulek tanpa menjawab pertanyaanku. “Pasti ada yang tidak beres,” bathinku. Semua berpakaian hitam. Dan kenapa aku tidak melihat ibu?

“Ada apa ini, Bulek? Kenapa aku tidak melihat ibu?” tanyaku mulai cemas. Atau, Elang…?

Ah, mata-mata itu semakin memandang aneh ke arahku. Iba, ya…!!! Mereka seakan iba padaku. Dan belum habis kebingunganku. Kudengar sirine ambulans meraung semakin dekat kearahku. Detak jantungku seolah terhenti saat itu. Berbagai pikiran buruk melintas di benakku. Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak menunggu lama ketika ambulans berhenti di depan pagar. Menghambur bersama derai air mata tanpa kutahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Petugas medis dengan cekatan menurunkan tandu dari dalam ambulans. Mendorongnya masuk melewati tubuhku yang tiba-tiba dingin membeku. Sesosok tubuh tertutup selimut putih terbujur kaku di sana, dan aku tak tahu siapa. Aku bahkan tak mampu membalas pelukan Ibu atau rengkuhan Elang. Dan histeris yang tak terbendung ketika akhirnya aku menyadari ayah lah yang terbujur dingin di sana. Kenapa, Tuhan…?! Kenapa harus ayah? Kenapa tak Kau beri kesempatan sebentar saja bagiku untuk menatap mata elangnya? 

Ada serupa anak panah yang tiba-tiba menghunjam jantungku. Membuatku tiba-tiba rapuh tak mampu menopang tubuh ini. Mobil yang menjemput ayah dari bandara mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang. Kini aku hanya mampu membelai wajah ayah yang diam, mencari sisa-sisa kasih yang hilang sekian lama. Kugenggam erat jemarinya, yang sewaktu dulu pernah menggamit jemari mungilku menyusuri pagi tanpa letih, yang sewaktu dulu tak mengenal enggan membelai rambutku. Aroma tubuhnya, kusimpan dalam doa untuk perjalanannya menuju kehidupan baru. 

Selamat jalan, ayah. Maafkan anakmu atas segala kebencian yang pernah ada. Sejatinya cintamu tak pernah pupus meski jarak dan waktu membentang ruang. Doaku akan senantiasa mengalir selayak cintamu yang aku yakin selama ini tak pernah terputus untukku. Aku bahagia darahmu mengalir dalam tubuhku.

SELESAI
"